BAB.2
<3 The Girl is She <3
(Part.2)
***
Digarasi mobil nampak Kenny yang sudah standby diatas range rover milik Justin.
Tanpa basa-basi lagi si pemilik mobil juga langsung ikut masuk kedalamnya.
Justin melambaikan tangannya kearah Mom Pattie, bersamaan dengan itu range rover yang dikemudikan oleh Kenny pun melaju meninggalkan perumahan tempat dimana ia tinggal.
Hening. Justin dan Kenny sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bodyguard Justin itu tengah berkonsentrasi mengemudikan mobil tuannya. Sedangkan si empu-nya mobil sendiri justru tenggelam dalam alam lamunannya. Mengkhayal akan segera menemukan gadis itu di tempat berliburnya kelak. But, apa mungkin?
Lagu Michael Jackson mengalun memecah keheningan, ditambah lagi suara nge-bass milik Kenny yang mengajak Justin untuk mengobrol bersamanya.
“Kau ingin berlibur kemana? Paris? Aussie? India? Atau----”
“Tidak perlu sejauh itu Kenny! Aku hanya ingin berkunjung ke Los Angeles.. Sudah lama aku tidak kesana” potong Justin cepat. Sedikit kesal karena Kenny telah membuyarkan angan-angannya.
Pria bertubuh gelap itu mengangguk, lalu ekor matanya melirik kearah Justin yang tampak tersenyum-senyum memandangi sebuah kertas putih bergambarkan seorang gadis. Yah, bagi Kenny itu hanyalah selembar kertas yang tiada arti, tapi untuk Justin hasil lukisannya itu memiliki seribu arti yang terpendam.
“Siapa gadis yang kau lukis itu? Zelena?”
Justin menoleh sambil menyembunyikan lukisannya tadi dibalik punggungnya, “Bukan!” Singkat, karena memang bukan kekasihnya itu yang dilukisnya.
“Lantas?”
“Kau tidak perlu tahu!”
1 kalimat yang sukses membuat Kenny terdiam dan kembali fokus menyetir. Kalau Justin bilang “Kau tidak perlu tahu!”, pantang bagi Kenny untuk menentangnya. Karena itu artinya memang benar-benar rahasia.
Justin termangu disaat Kenny menyebut nama Zelena. Ah apa kabar kekasihnya itu? Sejenak Justin merasa bersalah karena ada kalanya disela-sela kesempatan ia malah memikirkan gadis lain yang bukan kekasihnya. Hal yang tidak semestinya Justin lakukan mengingat ia yang telah memiliki seorang soulmate.
Ah, aku tidak bermaksud untuk mengkhianatimu Zelena, pikirnya dalam hati. Sejujurnya ia hanya ingin bertatap muka dengan gadis yang hadir dialam mimpinya itu walaupun sekali. Tidak lebih! Kalaupun terjadi sesuatu yang lebih itu berarti diluar rencananya.
Tiba-tiba handphone Justin berdering, 1 panggilan masuk dari orang yang amat dikenalnya.
Ditekannya tombol hijau, lalu ia pun merapatkan ponselnya ditelinga, “Yes, Justin's speaking! What's up dear?”
“Justin, dimana kau sekarang? Aku sudah mencarimu diseluruh penjuru Kota Kanada tetapi aku tidak menemukan batang hidungmu juga. Kemana kau pergi? Kenapa tidak mengajakku? Dan siapa yang ada disampingmu saat ini?!” cerca Zelena diseberang sana. Dari nada bicaranya terlihat perasaan cemas dan kesal yang bercampur menjadi satu.
“Maafkan aku Zelly, aku lupa memberitahumu kalau aku sedang berlibur. Dan disampingku sekarang hanya ada Kenny seorang kok!” jawab Justin sambil melirik kearah bodyguard nya yang tampak asyik sendiri. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya distir kemudi, serta mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti alunan musik. Yah sepertinya ia sangat menikmati vokal emas MJ yang diputar dari sebuah tape mobil tersebut.
Justin tersentak, lalu kembali fokus dengan ponselnya ketika Zelena merengek dan meminta untuk ikut serta dengannya.
“Maaf Zelly, saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu. Sekali lagi maafkan aku! Tenang saja, 1 minggu lagi aku akan segera balik ke Kanada. See you and bye!”
KLIKKKK....!
Sambungan itu pun langsung diputus sepihak oleh Justin. Ia merasa tidak tega jika harus mendengar rengekkan sang kekasih yang sangat memilukan. Bukannya tidak ingin mengajak, tetapi Justin hanya takut jika Zelena mengetahui misi utamanya dalam berlibur kali ini.
Ia tidak ingin Zelena menghancurkan semuanya. Oleh sebab itu, Justin pun merahasiakan Kota tujuannya dalam berlibur. Los Angeles!
Yah, walaupun sebenarnya mudah bagi Zelena untuk menebaknya, tetapi Justin yakin kekasihnya itu tidak akan nekat untuk mencarinya. Kecuali kalau sudah seminggu lebih ia belum balik ke Kanada, baru Justin yakin Zelena akan menyusulnya!
Justin mendesah. Diliriknya arloji hitam pekat yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya.
Masih pukul 02:00 am. Itu artinya 4 jam lagi baru ia akan sampai di LA.
Demi membunuh rasa jenuh, Justin pun memilih untuk memejamkan kedua kelopak matanya.
Namun, belum sempat Justin terlelap ponselnya kembali berdering.
Panggilan masuk dari orang yang telah meneleponnya tadi.
Secepat kilat Justin pun meriject dan menon-aktifkan ponselnya. Dilemparnya asal benda itu diatas dashboard, sehingga membuat Kenny sontak menengok dengan ekspresi wajah kaget.
“Kau sudah gila yah?! Kenapa ponselnya dilempar begitu saja? Bagaimana kalau sampai rusak?”
“Gampang, tinggal beli yang baru!” jawab Justin enteng. Memejamkan kedua matanya seiring dengan gelengan kepala yang diperagakan oleh Kenny.
***
`PRAKKKK...!`
Wanita itu membanting ponselnya diatas meja ruang tamu.
Bunyi keras yang diciptakan membuat seluruh pasang mata yang ada diruangan itu menengok kearahnya dengan serempak.
“Ada apa denganmu? Kau sudah membuatku kaget!” keluh salah seorang dari mereka. Yang lain pun mengangguk setuju sambil mengelus dada masing-masing.
“Dia sangat menyebalkan!”
Seolah-olah tidak peduli dengan keluhan temannya, wanita itu malah menghempaskan tubuhnya disofa ruang tamu tepat disebelah pria berkepala botak.
“Dia? Dia siapa maksudmu? Dia si Justin?” tanya pria disampingnya.
Tanpa mau menoleh, wanita tadi menjawabnya dengan ketus “You're right! Siapa lagi kalau bukan dia?! Helllow Ryan.. Aku rasa pacarku yang menyebalkan hanya dia seorang!” sungutnya kesal berlipat-lipat.
“Maksudmu kau mempunyai pacar lebih dari 1?”
Wanita yang ternyata adalah kekasihnya Justin itu menggidikkan bahunya pelan. Dia rasa ucapannya tadi hanyalah sekedar lelucon. So, tidak perlu ditanggapi seserius itu lah!
“Huh! Kau ini bagaimana sih? Zelly sayang, sudah berapa lama kau menjadi kekasihnya Justin? Bukannya kau sudah biasa dibuatnya sebal seperti ini? Justin kan penyanyi mendunia yang super sibuk!” sahut seorang teman wanitanya yang semula asyik bermain playstation berpendapat. Sekedar menenangkan, tetapi rupanya Zelena justru semakin meledak-ledak.
“Alli, masalahnya dia bukan sibuk bekerja tetapi dia sibuk berlibur! Bagaimana aku tidak marah?! Dia pergi berlibur tanpa mengajakku Alli. Coba kau pikirkan itu!”
“Yeeeey, I'm winner!” teriak salah satu pemuda dengan rambut blonde berwarna cokelat mengkilap.
Ia berjingkrak tidak karuan sehingga membuat yang lain menatapnya agak heran.
Berbeda dengan Alli, ia justru langsung memelototi pemuda itu, “Kau sangat berisik Chris!” ketusnya garang. Kemudian Alli pun beranjak meninggalkan Chris yang tengah nyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
“Sekarang apa kau tahu dimana Justin berlibur?” tanya Alli menghampiri Zelena. Wanita berkulit cokelat itu menggeleng diringi hembusan nafas yang berat.
“Dan bodohnya aku lupa menanyakan hal itu!” gerutunya terus terang.
“Ya sudah tunggu apa lagi? Ayo hubungi Justin sekarang!” perintah Alli. Geleng-geleng kepala disaat melihat tingkah sahabatnya yang bagaikan orang ber-IQ rendah.
Zelena mengambil kembali ponselnya yang tergeletak asal diatas meja. Untung tidak rusak! batinnya dalam hati.
Dimasukinya menu phonebook dan ditekannya tombol hijau ketika sudah menemukan nomor kontak orang yang dicarinya.
“Ah shit! Kenapa nomernya tidak aktif?!” Seketika raut wajah Zelena berubah masam. Lagi-lagi ponsel itu yang dijadikannya korban. Pelampiasan dari kekesalannya yang sudah mencampai puncak.
1 lagi teman wanita nya yang menghampiri Zelena. Wanita berwajah oval dengan rambut bergelombang itu semula berkutat dengan novel ditangannya, tapi kali ini ia mulai jengah dengan sikap Zelena yang mengganggu konsentrasinya dalam membaca novel tersebut.
“Dulu kau sudah pernah kan melihatku menjalin hubungan dengan Justin? Aku rasa dari dulu sifatnya memang begitu. Seharusnya kau sadar Zelly, kau hanya kekasihnya Justin, bukan istri apalagi Ibunya! Kau harus bisa memahami dia, jangan paksa dia untuk terus memahamimu!” paparnya dingin. Melangkah 3 kali kemudian menoleh lagi kebelakang, “Tidak ada maksud lebih! Aku hanya ingin mengingatkanmu. Jangan sampai hubungan kalian kandas karena hadirnya orangnya ketiga” sambungnya dengan wajah misterius.
Mulut Zelena mengatup rapat. Gigi geraham atasnya mengeras dan menekan gigi geraham yang bagian bawah. Tangannya mengepal. Ia memandang wanita tadi dengan tatapan yang nanar.
“Awas kau Elena!” serunya dalam hati. Elena adalah mantan kekasih Justin. Hubungan mereka harus berakhir lantaran hadirnya sosok Zelena. Menjadi seorang wanita berprilaku baik dan pengertian yang akhirnya sanggup memikat hati Justin. Membuat Justin berpaling hati dari Elena.
Sampai saat ini Elena shock. Ia sangat meyakini bahwa Justin adalah tipikal pria yang setia, terbukti dengan awetnya hubungan mereka yang mencapai hingga tahun ke-3. Yah, tapi siapa yang bisa menebak? Yang namanya hati manusia cepat sekali berubahnya. Elena justru tidak menyangka bahwa sahabatnya lah yang merebut Justin darinya. Sampai sekarang hubungan persahabatan diantara mereka pun masih terlihat dingin.
“Tabahkan hatimu Zelly..” bisik Alli mengelus punggung Zelena dengan maksud menguatkan. Kekasih dari Justin itu tersenyum tipis diiringi desahan nafasnya yang terdengar pelan.
***
Takdir mempertemukan mereka disini..
Ditempat yang asing dan juga sepi..
Dalam keadaan yang tak terduga dan juga disituasi yang tak terkira..
Yah, gadis itu hadir dengan senyuman manisnya..
Apakah dia gadis yang Justin cari?
Justin harap itu tidak salah lagi..
***
Justin terjaga dari tidurnya disaat ia merasakan range rover yang ditumpanginya berhenti ditengah jalan.
Justin pikir mereka sudah tiba di Los Angeles. Tapi kenyataannya, sejauh mata memandang hanya ada pepohonan hijau yang tertanam disisi kanan dan kiri jalan. Tidak ada gedung tinggi yang menjulang dan jalanan raya yang beraspal.
“Ada apa? Kenapa kita berhenti disini?” tanya Justin sambil mengucek kedua matanya. Berusaha untuk menyempurnakan penglihatannya yang kabur akibat bangun tidur.
“I don't know Justin, tapi sepertinya kita dalam masalah..” ujar Kenny seraya keluar dari dalam mobil. Membuka kap mobil itu lalu memeriksa keadaan mesinnya.
Selang beberapa menit kemudian, Justin pun ikut turun dan menghampiri Kenny.
“Bagaimana? What is broken?”
“Mesinnya mengalami sedikit kerusakan, tenang saja akan ku perbaiki sekarang juga. Tunggulah barang 5 menit!” jawab Kenny menoleh sesaat.
Justin mengangguk lalu menyenderkan badannya dibelakang pintu mobil. Pandangannya menyapu tempat asing itu. Yah, hanya sekedar mencari-cari pemandangan yang sekiranya menarik untuk dilihat.
“Kenny apa kau tahu kita ada dimana?” tanya Justin dengan maksud basa-basi. Basa-basi yang sebenarnya mengandung arti tersembunyi, karena ia seperti tidak asing lagi dengan tempat ini. Apakah ia pernah berkunjung kesini? Tapi kapan? Justin terus mengajak otaknya untuk berpikir dengan keras.
“Aku kurang tahu, tapi menurutku daerah ini adalah sebuah Desa..” Kenny menjawabnya tanpa mau menatap Justin. Ia nampak sibuk berkutat dengan mesin mobil yang mengalami sedikit kerusakan itu. Yah, semacam mogok.
“Huh!” Justin menghembuskan nafasnya dengan kasar. Partikel-partikel udara itu keluar bebas bagaikan butiran-butiran beban yang menghimpit dipikirannya.
Well.. Terus terang Justin sangat menyukai Desa, tapi entah mengapa tempat yang dipijaknya kini seolah-olah bukanlah Desa yang sembarang Desa. Sepertinya ada sesuatu yang menarik disini! Tapi apa?
Disatu sisi Justin menganggap tempat ini sangat menyenangkan, namun disisi yang lain Desa ini terasa begitu membosankan.
Tidak ada pemandangan indah yang menyegarkan mata. Yang dapat dilihatnya hanyalah deretan pohon rimbun yang berwarna hijau, beberapa petak sawah, dan sejumlah perumahan warga yang rata-rata bermaterial kayu ulin. Yah, layaknya pedesaan pada umumnya!
“Tidak ada yang menaaaaa-------” ucapannya terhenti seketika disaat kedua bola matanya menangkap sesosok gadis berkuncir dua. Kedua kuncirannya yang bagaikan tanduk banteng itu bergoyang-goyang seirama dengan langkah kakinya.
“Dia kan?!” Mata Justin melebar. Dengan sigap ia pun mengeluarkan hasil lukisannya yang tadi ia selipkan dikantong celananya. Kertas yang semula terlipat-lipat kecil, kini terbentang dengan lebar. Memperlihatkan arsiran halus dari pensil yang membentuk wajah seorang gadis.
Begitu seksama Justin memperhatikan antara gadis itu dan hasil lukisannya secara bergantian. Hingga satu kesimpulan yang Justin dapat, yaitu kedua objek tersebut amat mirip! Bagaimana mungkin?! Apa ini hanya mimpi? batinnya berkecamuk.
“Kenny! Kenny! Come here! Tolong bantu aku cepat!” panggil Justin sedikit mendesak.
Awalnya Kenny enggan menuruti perintah tuannya itu. Namun, karena Justin terus-menerus berteriak dan memaksa, akhirnya Kenny pun beringsut dari kerjaannya.
“Ada apa Bieber? Teriakanmu itu sudah menganggu pekerjaanku..”
“Tolong kau tampar aku sekarang!” pinta Justin sambil menunjuk pipi kanannya.
Kenny bengong dengan tampang stupid. Justin minta digampar? Apa ia tidak salah dengar?
“Ayo cepat!” desak Justin lagi. Kenny rasa itu sudah cukup untuk menjawab keheranannya. Meski ragu-ragu tapi toh akhirnya tangan besar miliknya pun melayang dan mendarat mulus dipipi Justin.
PLAKKKK...!
“Awww! Sakit sekali.. Ah shit!” Justin mengerang kesakitan. Sudah dapat ditebak bahwa pipinya yang semula putih bersih, akan menjadi merah `merona` akibat sentuhan kasar dari tangan Kenny.
Pria itu mengangkat bahu ketika Justin menatapnya. Sebuah gerakan yang mengandung arti bukan-salahku-tapi-itu-kau-yang-mau!
“Okay, tamparanmu sangat nikmat sekali. Sekarang kau boleh meneruskan pekerjaanmu..”
“Freak!” gumam Kenny sambil berlalu pergi.
Setelah mengelus pipinya beberapa kali, Justin pun mengambil jaket besarnya yang tergantung dikepala jok mobil.
Sebelum gadis tersebut benar-benar menghilang dari penglihatan, Justin berniat untuk membuntutinya dibelakang.
Ditariknya tudung jaket yang selalu ia gunakan untuk melindungi wajahnya dari serbuan paparazzi, lalu Justin juga mengenakan kacamata hitamnya. Yah, sekedar jaga-jaga jikalau gadis itu mengenalinya.
Setelah merasa siap, ia langsung melaksanakan misinya.
Dengan mengendap-endap layaknya mata-mata dikutinya gerak-gerak gadis itu.
Berulang kali Justin berdecak kagum. Masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
“Thanks God.. Akhirnya kau mengabulkan permohonanku” batinnya dalam hati.
Bagaimana tidak? Apa yang dicarinya kini sudah hadir dihadapannya. Kedua mata bening dengan manik kebiru-biruan, hidung mungil, bibir tipis yang berpoleskan lipgloss berwarna pink cerah, dan kedua belah pipi yang menggemaskan tersebut adalah siluet wajah yang sangat Justin hafal diluar kepala.
Setiap lekuknya seolah tercetak jelas dimesin pengingatnya.
Aneh! Kenapa gadis itu seakan-akan tidak sadar dengan kehadiran Justin? Sekalipun ia tidak menoleh kebelakang. Sepelan itukah langkah Justin sehingga ia tidak dapat mendengar suara derap sepatu supra yang Justin kenakan?
Justin mengangguk-angguk paham. Rupanya gadis itu tengah mendengarkan musik melalui ipod. Terbukti dengan adanya earphone berwarna pink yang menyumpal dikedua telinganya. Ditambah lagi gadis itu ikut bersenandung dengan pelan.
“My prize posession one and only.. Adore ya boy I want ya.. The one I can't live without.. That's you, that's you.. My favorite, my favorite, my favorite, my favorite boy.. My favorite boy..” alunnya riang.
Lagu “Favortie Girl” milik Justin digantinya menjadi “Favorite Boy”. Suara yang dialunkannya indah, seindah wajahnya. Ayunan langkah kakinya yang semula lemah gemulai pun kini lebih cepat dan riang mengikuti ritme lagu.
Tingkah gadis bergaun ungu tersebut membuat Justin ingin tertawa, dan tanpa sadar lengkungan tipis sudah tercipta dibibir merah miliknya. “Apa dia juga seorang belieber?” batinnya dengan dada yang bergejolak.
Ketika gadis didalam mimpinya itu sudah sampai didepan rumahnya, Justin langsung buru-buru bersembunyi dibelakang pohon akasia --yang rimbun-- yang jaraknya hanya sekitar 200 meter lebih jauh dari rumah tersebut.
Dipandanginya gadis itu hingga akhirnya siluet wujudnya pun menghilang dibalik pagar besar yang terbuat dari kayu pinus.
***
KRIIIIIIIT....!
Perlahan-lahan Carrol membuka pintu rumahnya. Sunyi yang menguasai ruangan itu membuat bunyi derit pintu sehalus apapun pasti akan tertangkap oleh telinga.
Ditelusurinya setiap sekat yang ada diruangan itu. Tetapi orang yang dicarinya tidak ada.
“Hmm.. Where my mother? Tumben sekali jam segini Mom tidak ada dirumah!” gumam Carrol sambil melangkah menuju kamarnya.
Sebuah kamar bercat ungu dengan pernak-pernik yang juga berwarna senada.
Setibanya didalam Carrol langsung beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan badan sekaligus mengganti gaun ungunya dengan baju rumahan.
Tidak perlu waktu yang lama untuk melakukan itu, karena selang 5 menit kemudian Carrol pun keluar dengan baju kaos yang melekat ditubuhnya.
Dan kini ia sudah terduduk manis didepan cermin. Meraih sebuah sisir yang bergigi rapat, lalu menyikatkannya dengan lembut dirambut pirangnya yang lurus.
Setelah semua helaian itu mengumpul jadi satu, Carrol berniat untuk mengikatnya ala kuda.
Tangannya bergerak menuju kotak kecil berenda, tempat dimana ia mengumpulkan berbagai macam acsessoris-nya disana.
Cukup lama Carrol mengubek-ubek isi kotak itu, dan pada akhirnya ia pun memutuskan untuk menggunakan penjepit rambutnya yang berwarna baby pink. Senada dengan warna t-shirt yang ia kenakan.
“Sempurna!” batinnya puas, masih mematut diri didepan cermin dan sedikit tersenyum ketika melihat pantulan wajah manisnya.
Jika kaca berbentuk persegi panjang itu dapat berbicara, mungkin sekarang juga dia akan memuji kecantikan Carrol.
Kecantikan yang semakin terpancar jelas akibat terpaan cahaya matahari sore.
“Awww! I'm so pretty!” seru Carrol sambil mengedipkan sebelah matanya. Kemudian ia malah menertawai kenarsisannya tersebut. Masih dalam keadaan tertawa Carrol melangkah ke sudut ruangan. Menyalakan DVD player lalu memutar lagu JB dengan keras.
•••••
Baby You Can Do No Wrong..
My Money Is Your Give You A Little More Because I Love Ya Love Ya..
With Me Girl Is Where You Belong..
Just Stay Right Here I Promise My Dear I'll Put Nothin Above Ya Above Ya..
•••••
Yakni “Love Me”, lagu favoritenya selain “One Time” yang ia putar.
Carrol ikut bersenandung sambil meliuk-liukkan tubuhnya didepan cermin. Hal yang selalu dilakukannya setiap mendengar melodi yang bertempo cepat. Bergoyang? Carrol sangat menyukainya. Baginya menggerak-gerakkan tubuh dengan gaya yang ringan itu bisa membuat pikiran tenang, dan beban yang berat pun seakan-akan hilang.
“Love me love me, say that you love me.. Fool me fool me, oh how you do me.. Kiss me kiss me, say that you miss me.. Tell me what I wanna hear.. Tell me you love me!” alun Carrol dengan gaya centilnya. Tepat dibagian “Kiss me” dengan sengaja ia mencium poster Justin. Dan sialnya bersamaan dengan itu pintu kamarnya malah dibuka oleh seseorang. Seseorang yang ternyata Mom Eliana itu sontak terkejut dengan prilaku Carrol.
“Matikan musiknya!” perintah beliau tegas. Awalnya Carrol acuh, tapi ketika Mom Eliana mengulang perintahnya untuk yang kedua kali, ia pun menurut karena takut.
“Carry, Mommy bilang matikan musiknya!”
KLIK...!
Dengan ½ tidak rela Carrol mematikan DVD Playernya. Lalu ia melangkah gontai menuju kasur, dan terduduk ditepinya dengan wajah menunduk plus bibir yang mengerucut. Yah, katakanlah Carrol merajuk!
“Apa yang kau-----”
“Aku hanya mencium posternya bukan wujudnya! Apakah aku salah?” potong Carrol cepat.
Mom Eliana menghampiri putrinya dengan kepala yang menggeleng.
“Jelas! Itu hanya poster dan bukan Justin sungguhan..” jawabnya ikut terduduk disamping Carrol. Menggidikan bahu sambil berucap, “Kau sudah seperti orang yang tidak waras!”.
Tentu saja kalimat Ibunya itu membuat Carrol semakin memajukan bibirnya.
“Aku masih waras! Lagipula bukankah sudah biasa jika penggemar mencium poster idolanya? Aku rasa itu tidak aneh!”
“Yah, sangat biasa dan tidak aneh. Terutama untuk penggemar malang sepertimu! Penggemar yang tidak pernah bisa bertemu dengan idolanya” sindir Mom Eliana `mengejek` Carrol. Tentu saja `mengejek` dalam tanda kutip. Ia hanya ingin Carrol berpikir secara logis dan realisitis dalam mengagumi idolanya. Tidak lebih!
“Mom, bisakah kau membiarkanku mengagumi Justin? Selama ini aku tidak pernah meminta yang macam-macam padamu kan? Kau melarangku menonton konser Justin pun aku terima! Justin is the source of my inspiration Mom.. Dia penyemangat hidupku!”
“Carry, dengarkan Ibu Nak. Ibu tidak pernah melarang kau mengagumi siapapun itu, termasuk Justin. Tapi Ibu mohon bersikaplah yang wajar dan jangan berlebihan seperti ini!”
Carrol bungkam, ia hanya mendengarkan nasehat Ibunya dalam diam. Bila Mom Eliana sudah menggunakan kata-kata “Ibu” dan “Nak”, maka itu artinya beliau sangat memohon. Disaat Carrol menarik nafas, Mom Eliana justru mendesah. Ia menasehati putrinya seperti itu bukan tanpa maksud. Ia hanya tidak ingin Carrol terobsesi lebih jauh terhadap Justin, karena bagaimanapun mereka berbeda. They different! Justin Bieber adalah penyanyi terkenal sementara Carrol hanyalah gadis biasa. Bukan artis ngetop sekaliber Selena Gomez ataupun Taylor Swift!
Bahkan seingat Mom Eliana, akibat terlalu mengagumi Justin sampai sekarang Carrol belum pernah menjalin hubungan spesial dengan pemuda manapun. Jika ditanya mengapa? Ia akan menjawab seperti ini, “Aku akan menunggu sampai Justin yang melamarku. Tapi kalau itu tidak mungkin, maka aku akan mencari kembarannya Justin!”. Lantas salahkah bila Mom Eliana membatasi perasaan kagum yang Carrol miliki?
“Carry, Mom tidak bermaksud menyakiti hatimu”
“Tapi kenyataannya Mom telah menyakiti perasaanku!” sahut Carrol gesit. Sengaja membelakangi Ibunya agar beliau tahu bahwa ia sedang merajuk.
Mom Eliana tersenyum kecil, lalu memeluk Carrol dari belakang.
“I'm sorry Carry, Mom tidak bermaksud seperti itu.. Suatu saat kau pasti akan mengerti maksud dari perkataan Mom!”
Carrol berbalik seraya membalas pelukan hangat Ibunya, “Aku sangat menyayangimu Mom” bisiknya pelan. Sekilas ia seperti tidak mengindahkan maksud dari ucapan Ibunya tersebut, tapi dalam hati ia justru tengah bertanya-tanya seorang diri “Suatu saat nanti aku akan mengerti? Apa maksudnya?” batin Carrol mengernyitkan dahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar