Pura Pura Cinta

Sabtu, 04 Juni 2011

We are Different (Not Including Own) Bab.2 [Part.3]

BAB.2

<3 The Girl is She <3

(Part.3)

Bertemunya dua hati terkadang akan menjadi sebuah awal yang indah..
Seperti awal terjadinya kedekatan atau malah awal terjalinnya suatu hubungan..

***

Indahnya lembayung disore hari seindah perasaan Justin yang tengah berbunga-bunga.
Rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, ketika ia berhasil menemukan gadis didalam mimpinya.
Hal yang berhasil melenyapkan rasa penasaran dihati Justin, tapi justru menimbulkan gurat keheranan diwajah Kenny.

Dari kejauhan ia melihat Justin menghampirinya dengan senyuman yang merekah. Ada apa dengan anak itu? Pikir Kenny dalam hati.
“Justin, kemana saja kau? Mobilnya sudah selesai ku perbaiki. Ayo sekarang kita lanjutkan perjalanan!” ajak Kenny menarik tangan Justin.

“Kenny lepaskan! Aku ingin berlibur disini.” tolak Justin menepis genggaman Kenny yang mengunci disalah satu tangannya.

Sontak Kenny pun berhenti melangkah dan memandang pemuda disampingnya penuh tanda tanya. Seperti, mengapa Justin tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah dia berniat untuk berlibur di LA? Dan ini baru ½ perjalanan untuk menuju kesana!
“What?! Kau hanya bercanda kan? Apa menariknya desa terpencil seperti ini sih Bieber?” tanya Kenny terheran-heran. Pandangannya menyapu daerah itu, tapi tidak ditemukannya wanita secantik barbie ataupun wanita berpakaian mini. Apa yang menarik? batinnya tak habis pikir.

Dihadapannya nampak Justin yang tersenyum misterius, seperti tengah menyembunyikan sesuatu dari Kenny.
Tempat ini memang tidak istimewa, namun kelak sebuah kebahagiaan akan terjadi disini! Kau hanya belum mengerti Kenny, pikir Justin dalam hati.
“Turuti keinginanku atau aku akan membencimu!”
Dengan santai Justin melenggang masuk kedalam mobil. Meninggalkan Kenny yang masih berdiri mematung disamping pintu kemudi.

“Hei maksudmu apa? Aku tidak mengerti! Trus kenapa kau kembali masuk kedalam mobil? Bukankah tadi kau bilang kau ingin berlibur disini?” cecar Kenny bertambah confused. Kelakukan little bos nya itu membuat Kenny semakin pusing berlipat-lipat. Digapainya pembuka pintu mobil, lalu ditutupnya dengan keras.
“Berhentilah membuatku bingung Justin! Kau---”

“Turuti saja apa yang aku perintahkan! Kau masih ingin bekerja kan?” sela Justin separuh mengancam. Nada bicaranya membuat Kenny bertekuk lutut seketika, terbukti hanya 1 kata yang akhirnya terucap dari bibir Kenny. “Baiklah!”, sebuah kata yang mengandung arti persetujuan.
“Sekarang, ayo kita lanjutkan perjalanan. Aku ingin bermalam di Los Angeles!” perintahnya lagi.
Tanda tanya besar kembali muncul dibenak Kenny, tapi toh akhirnya pria yang diberi julukan “Giant” itu mengangguk lalu menghidupkan mesin mobilnya.

Entahlah, Kenny tidak pernah menyangka jika tujuan Justin ke Los Angeles ternyata memiliki maksud yang tersembunyi.
Bagaimana tidak? Setibanya disana Justin langsung mengajaknya untuk pergi ketukang loak. Menukar semua baju-baju barunya dengan baju bekas yang sudah usang, dan merias dirinya sendiri layaknya seorang gembel. Apa maunya anak ini? Apa lagi yang ingin direncanakannya? pikir Kenny terbengong-bengong.
Ingin memprotes tetapi ia sudah terlanjur janji akan menuruti semua kemauan Justin. Oleh sebab itu Kenny pun hanya bisa tunduk dan patuh. Hingga keesokan harinya pagi-pagi sekali Justin sudah mengajaknya untuk kembali ke Desa yang kemarin --tidak sengaja-- mereka singgahi.

Rupanya Justin masih berniat untuk menghabiskan waktu berliburnya disana.
Kenny semakin heran, sampai-sampai disepanjang perjalanan tidak bosan-bosannya ia mempertanyakan apa maksud dari semua ini? Berharap Justin akan segera menjawab keheranannya, tapi sayangnya Justin hanya diam bergeming disamping jok kemudi. Tidak mau menjawab sampai setibanya mereka di Desa tersebut.

Justin mengajak Kenny kesebuah rumah yang bercatkan abu-abu dan berpagar kayu. Sederhana juga terkesan asri dengan berbagai macam tanaman hijau yang menghiasi pekarangannya. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Justin, melainkan wujud seorang gadis manislah yang berhasil membawanya untuk kembali ke Desa ini.
Ditariknya tangan Kenny sampai ke samping rumah tepat didepan jendela kamar gadis tersebut.

“Try you look it!” suruh Justin menunjuk kearah gadis yang tengah merias wajahnya didepan cermin. Jika dilihat dari seragam yang ia kenakan, sepertinya gadis itu tengah bersiap-siap untuk pergi kesekolah.
Dengan sigap Kenny pun mengikuti arah telunjuk Justin. Beruntung jendela kamar itu hanya terbuat dari kaca biasa yang tembus pandang, sehingga Kenny dapat melihat wajah gadis yang Justin maksud dengan cukup jelas.
“Cantik!” komentar Kenny bergumam pelan.

“Of course! Dan sekarang kau lihat ini.”
Justin menyerahkan hasil lukisannya yang kemarin kepada Kenny, dan terang saja pria itu terkaget-kaget melihat gambar abstrak yang tampak mirip sekali dengan wujud aslinya. Sehebat itu kah kemampuan Justin dalam hal melukis? Wow! Sungguh Kenny tidak menyangka.
“In-ini sangat mirip Justin! Bagaimana bisa?!” seru Kenny terperanjat.

“Tentu saja bisa! Karena aku melukisnya dengan penuh perasaan, menggunakan hatiku sendiri sebagai objek.” Kalimat itu akan terdengar jika Justin berniat untuk menjawabnya. Tapi kenyataannya, sang pelukis hanya tersenyum simpul sembari menyimpan “harta berharga” nya itu disebuah ransel yang sudah usang.
“Apakah kau tahu Kenny? Aku ingin berlibur didesa ini karena gadis itu. Gadis itu yang menarik paksa hatiku untuk menetap sejenak disini, dan aku harap kau mengizinkan aku untuk melakukannya.” tutur Justin dengan ekspresi penuh harap.
“Tapi berpikirlah dengan akal sehatmu Justin! Selama seminggu disini kau akan tinggal dimana? Ditempat seperti ini tidak ada hotel apalagi apartemen! Apa kau ingin menjadi gembel hah?!” cecar Kenny bertubi-tubi.

Justin menggeleng. Sesungguhnya ini sudah menjadi pemikirannya sejak awal. Sebelum memantapkan hati akan berlibur didesa itu, ia sudah membuat sebuah skenario untuk melancarkan semua misinya. Dan ia amat sangat yakin bahwa rencana yang telah disusunnya tersebut pasti berjalan dengan mulus!
“Kau tak usah khawatir, mengenai itu aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Sekarang kau hanya perlu memberiku izin! Cukup katakan `YA` saja Kenny! Apa itu susah?”
“Tapi------”
“Penuhi keinginanku atau aku akan membencimu selamanya!” sambar Justin memotong berbagai alasan yang ingin dilontarkan Kenny. Pria yang sebentar lagi akan menikah itu tertunduk lesu. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi pada Justin. Keinginan little bos nya tersebut terlalu kuat untuk dipatahkan dan terlalu susah untuk dikabulkan. Akhirnya keheninganlah yang menguasai diantara mereka.

Justin melirik kearah Kenny, dan tiba-tiba muncul sepercik rasa bersalah didalam hatinya. Sejujurnya ia tak pernah bermaksud untuk membuat Kenny bersedih, hanya saja kalau ia meminta dengan tidak tegas maka sudah dipastikan Kenny akan menolaknya mentah-mentah.
“Maafkan aku..” Kenny menoleh dan Justin pun tersenyum tipis, “Aku hanya ingin berlibur disini. Ini adalah salah satu bagian dari mimpiku Kenny! Help me please. 1 minggu kemudian aku akan segera kembali ke Kanada.” sambungnya begitu memelas.
“Lalu bagaimana dengan Ibumu? Mom Pattie akan marah besar kalau tahu kau pergi berlibur seorang diri. Dia akan mengkhawatirkanmu Justin! Ayolah pikirkan itu.” bujuk Kenny lagi. Berharap Justin akan membatalkan niat konyolnya tersebut setelah diingatkan pada Ibunya. Tapi ternyata Kenny salah besar! Justru Justin bertambah semangat, karena ia telah berhasil membuktikan pada Ibunya bahwa gadis itu nyata! Bukanlah bidadari dalam tidurnya seperti yang Mom Pattie katakan.
“Bilang padanya bahwa aku yang menginginkan ini semua! Tenanglah, Mom Pattie tidak akan marah.” ucap Justin sambil merogoh isi saku celananya, “Kalau kau kurang yakin, berikan ini padanya. Setelah membaca surat itu aku yakin Mom Pattie akan merestui keputusan yang aku ambil.”

Kenny menerima amplop yang Justin sodorkan dengan kening berkedut. Apa ini? Apa isinya lebih penting dari pekerjaan Kenny? Apakah isi surat itu bisa menjadi jaminan bahwa keadaan akan baik-baik saja?
Tiba-tiba Justin menarik tangan Kenny menuju mobilnya yang terparkir dipinggir jalan. Tanpa menghiraukan ekspresi kaget diwajah Kenny, ia pun langsung memaksa tubuh besar itu untuk masuk kedalam range rover miliknya yang berwarna merah menyala.

“What the hell?”
“Saatnya kau pulang.. Beritahu pada Ibuku seminggu lagi Justin will back to Canada! I promise.”
Kenny mendelik, “Seyakin itu?” tanyanya meremehkan.
Kontan Justin pun melengos, “Kenapa? Kau tidak percaya?” sungutnya terlampau kesal.

SREKKK...!
Diraihnya ponsel yang tergeletak asal diatas dashboard, lalu diberikannya kepada Kenny.
“Pakailah ponselku dan aku akan memakai ponselmu..” ucap Justin merenggut handphone bodyguard-nya dari saku celana Kenny, “Tenang saja, kita tidak akan kehilangan kontak dan jangan beritahu siapapun tentang nomer handphonemu yang aku pakai ini! Okay?” sambungnya seraya membalikkan badan hendak melenggang pergi. Tapi hanya seruan Kenny yang berhasil menghentikan langkah kakinya.
“Justin!”
Sontak Justin pun memutar badannya 90 derajat kebelakang.
“What's up bro? Ada apa lagi?”
Kenny terdiam, sedikit menggeleng lalu melajukan mobilnya setelah melambaikan tangan kearah Justin.

Well, Kenny mengalah. Ia pikir diumur yang menginjak 18 tahun ini Justin sudah pintar dalam mengambil keputusan. Dan kalaupun keputusan yang diambil ternyata salah, Kenny rasa Justin bisa menghadapi resikonya dengan cukup bijak.

***

KRETEK...!
Mom Eliana meletakkan segelas susu sapi segar dihadapan Carrol. Bunyi berdenting akibat saling bersentuhannya gelas kaca dengan meja makan itu pun berhasil membuyarkan lamunan Carrol.
Ditatapnya sang Ibu yang tengah tersenyum hangat kearahnya. Cerah, secerah mentari pagi.
“Good morning Mom.”
“Good morning too dear.. Apakah PR mu yang kemarin sudah dikerjakan?” tanya Mom Eliana sembari mengoleskan selai kacang diselembar roti tawar, khusus untuk Carrol.
Anak itu pun mengangguk miring, “Of course Mom! Aku paling tidak suka menunda-nunda perkerjaanku.” jawab Carrol tersenyum simpul lantas mencomot setangkup roti tawar buatan sang Ibu tercinta. “How about you? Aku lihat tadi malam Mom sibuk sekali didapur. Eksperimen apa lagi yang ingin Mom lakukan untuk Cake Shop? Sudahlah, jangan terlalu bekerja keras! Nanti Mom bisa sakit.” sambungnya bertanya balik dan sedikit menasehati.

Lengkungan tipis pun terpola dibibir wanita paruh baya itu. Kilatan senyum yang memancarkan sebuah makna, yaitu bekerja-keras-itu-Ibu-lakukan-hanya-untuk-membahagiakanmu-Nak. Yah, orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya hidup bahagia dengan kebutuhan yang serba tercukupi? Semua orang tua pasti menginginkan itu, walaupun untuk mewujudkannya diperlukan kerja keras yang ekstra menguras tenaga. Apalagi hal itu dilakukan oleh seorang single parent seperti Mom Eliana! Butuh kerja keras yang ekstra double.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Carry. Kalau sekedar menciptakan resep-resep baru sih Ibu rasa fisik Ibu masih kuat! Lagipula Ibu perlu bekerja keras untuk memajukan Cake Shop yang kita punya.”

Carrol menggeleng prihatin. Ibunya terlalu kuat! Bahkan sangking merasa kuatnya, Mom Eliana hanya membutuhkan 2 pekerja tetap di toko kue yang merupakan satu-satunya warisan dari Ayah Carrol tersebut. Beliau merasa mampu mengerjakan semuanya seorang diri tanpa melibatkan banyak pihak. Entahlah, apakah Mom Eliana benar-benar kuat atau hanya berpura-pura kuat? She don't know! Tapi justru sikap Ibunya itu membuat Carrol semakin menyayangi beliau.

“Carry hari ini Mom tidak bisa mengantarmu ke sekolah. Zaver masih menginap dibengkel, jadi tidak masalah kan kalau kamu naik taksi?”

Masih dalam keadaan mengunyah roti kacangnya Carrol pun mengangguk. Ia tahu dan ia mengerti, Zaver as Avanza Silver milik Ibunya memang tengah mengalami sedikit kerusakan tempo hari. Dan itu akibat ulah Carrol sendiri, karena ia tidak berhati-hati dalam belajar menyetir, kendaraan beroda 4 itu pun menabrak pagar pembatas jalan. End up, ia harus merelakan mobil tersebut masuk bengkel selama 2 hari 2 malam.

“Baiklah Mom.. Aku pergi sekarang!” Setelah menenggak segelas susu dan menelan habis rotinya, Carrol pun menyampirkan tas selempangnya dibahu sebelah kanan. Mengecup hangat pipi Ibunya lalu berpamitan keluar rumah.
Sementara itu tidak jauh dari rumah Carrol, nampak seorang pemuda yang tengah berjalan dengan gontai. Yah, siapa lagi kalau bukan Justin Drew Bieber? Pemuda yang hari ini nampak berbeda dengan new hair style kreasinya sendiri.
Dibilang cupu? Tidak juga. Dibilang keren? Sepertinya jauh dari kata keren! Tatanan rambut mangkok Justin sengaja dibuat se-klimis mungkin agar gadis didalam mimpinya itu tidak mengenalinya. Tidak lupa kacamata hitam pun menutupi kedua mata indahnya. Sempurna? Tidak! Justin rasa semua akan berjalan sempurna jika ia sudah berhasil mengelabui gadis impiannya tersebut, dan untuk membuktikan itu Justin pun menghampiri seorang anak perempuan yang kebetulan sedang melintas didepannya.
“Excusme shawty?”
Anak perempuan dengan rambut pirang sebahu itu menoleh tatkala Justin menyentuh pundaknya dengan begitu lembut.
“Shawty?” tanyanya mengangkat alis.
“Yeah! Kau tidak mengenaliku? Hei aku Justin! Pemuda tampan asal Kanada yang bersuara bening! Awww.. Jangan bilang kalau kau bukan seorang belieber?!” cerocos Justin sedikit menuding. Diliriknya ransel ungu yang dipakai anak gadis itu, dan terlihat beberapa pin bergambarkan wajah Justin yang tersemat dibagian talinya. Yah, ia sangat yakin perempuan tersebut juga bagian dari beliebers!

Justin menaik-turunkan kedua alisnya, sementara dihadapannya anak gadis itu nampak memutar kedua bola matanya.
“You're crazy! Justin Bieber itu tampan, wangi, dan bersih tauk! Tidak berpenampilan jelek, dekil, dan jorok sepertimu! Hiiiii...” ocehnya berlagak jijik. Lalu segera melangkah dengan gayanya yang angkuh.
Huh..! Justin mendengus agak sebal. Dijulurkannya lidahnya ketika wajah anak perempuan itu sudah menghilang dari pandangan. Sombong sekali, pikirnya dalam hati. Tak apa, bukan suatu masalah yang besar! Bukankah ini bagus? Ini tandanya penyamarannya berhasil! Ia bertambah yakin bahwa Carrol tidak akan mengenalinya sebagai Justin Drew Bieber, melainkan sebagai pemuda asing yang berasal dari daerah terpencil.
Justin tersenyum puas lalu kembali melangkah dengan lebih semangat.
Namun tiba-tiba gerakan kakinya terhenti disaat kedua bola matanya menangkap sosok gadis yang menjadi sasarannya muncul disebuah tikungan. Gadis itu mengayunkan kakinya dengan bibir yang merekah. Senyuman manis selalu terpatri mengiringi langkah santainya. Dengan sengaja Justin memelankan langkahnya, membiarkan gadis itu berjalan lebih dulu didepannya.

Ini adalah saatnya! gumam Justin menyiapkan mental.
Didekatinya gadis itu dengan jantung yang berdebar, lalu dengan kesengajaan penuh Justin pun menabrak bahu gadis itu. Cukup keras sehingga mengakibatkan si gadis hampir saja jatuh tersungkur.
“Awww...”
“So..so..sorry! Aku tidak sengaja.”
Justin berniat untuk membantu, tapi gadis itu lebih dulu menegakkan badannya yang tadi sempat limbung sedikit.
“Never mind, aku baik-baik saja.” jawabnya sembari merapikan seragam sekolahnya yang berwarna krem kecokelatan. Ditatapnya Justin dengan pandangan heran, seperti meneliti dan itu membuat Justin ketakutan.
Ada apa dengannya? Jangan bilang kalau dia mengenaliku! batinnya ketar-ketir.
“Ka-kau buta?”
Pertanyaan yang dilontarkan gadis itu sontak membuat Justin terperanjat, kaget dengan mata melebar.
Buta? Ia mengira aku buta? Bagaimana bisa? Ini tidak ada dalam skenario! pikirnya mengerutkan kening. Hmm, tapi ada baiknya juga sih! Maybe hanya dengan satu anggukan kepala saja bisa menjadikan rencananya berjalan semakin mulus.
“Darimana kau tahu itu?”
“Kacamatamu errrrr~” gadis itu menggantung kalimatnya sebentar, menunjuk kacamata hitam yang Justin pakai lalu menggeleng cepat. “Ah jadi kau memang buta?!” tanyanya tanpa mau merampungkan kalimat yang sebelumnya. Tidak enak hati mungkin!

Air muka kaget yang dipancarkannya membuat Justin tanpa sadar mengangguk satu kali. Kemudian ia langsung “terbangun” ketika gadis tadi mencengkram bahunya dengan lembut.
“Kasihan sekali kau! Sekarang kau mau kemana? Biar aku antarkan kau sampai ditujuan.”
Justin semakin terbengong-bengong. Gadis didalam mimpinya ini sangatlah baik! Dia bersedia membuang waktunya yang penting itu hanya untuk menolong Justin.
Lalu dengan raut wajah yang sedih, Justin pun memulai kebohongannya. Melafalkan rentetan kalimat yang sudah menjadi bagian dari skenario rancangannya, dan itu sangat mudah.
“Aku tidak tahu. Aku hanya seorang anak jalanan yang sedang tersesat. Maukah kau menolongku? Aku benar-benar tidak tahu saat ini aku sedang berada dimana.” jelasnya berlagak buta sungguhan. Yah, ia harus mendalami peran dadakannya kali ini! Tidak sulit karena Justin memang sangat pandai ber-acting. Dan dapat ditebak tampangnya yang begitu memelas itu pasti akan membuat siapa saja terenyuh, termasuk perempuan yang ada dihadapannya sekarang.
“Baiklah aku akan menolongmu. Tapi sebelumnya perkenalkan dulu, namaku Carrol Bowling dan orang-orang biasanya memanggilku cukup dengan Carry. What's your name?”
Gadis yang ternyata bernama Carrol itu bersedia menolong Justin. Tentu saja Justin bersorak dalam hati! Digenggamnya uluran tangan Carrol yang menjabat telapak tangannya yang bagian kanan dengan sangat hangat, sambutan yang baik.
“Namaku Je....Jaxon! Yah Jaxon Keynes!”
Justin memperkenalkan nama barunya dengan nada yang mantap. Sama sekali tidak ada keragu-raguan yang terdengar maupun terlihat disana. Semua nampak berjalan dengan natural!
“Tapi maaf Jaxon, aku tidak bisa menolongmu sekarang. Aku harus berangkat kesekolah! So, maukah kau menungguku sampai sekolah usai? Aku akan mengamankanmu disuatu tempat.”
“Tidak masalah. Aku akan menunggumu sampai kau pulang dari sekolah.”
“Well, aku senang mendengarnya! Ahya, tapi dimana tongkatmu? Kau-----”
“Eh tongkat ku emmm~ tongkatku diambil oleh sekelompok anak kecil! Yah, mereka mengerjaiku ditengah jalan.” potong Justin cepat. Mengimprovisasi dialog karena ini memang tidak ada diskenario buatannya.
“It's okay, aku bisa membantumu berjalan!” ucap Carrol akhirnya, ia sama sekali tidak curiga dan itu membuat Justin mengelus dada.

Huft, syukurlah. Justin mendesah lega seraya menggenggam erat tangan Carrol.
Menerima bantuan gadis itu untuk menuntunnya sampai disuatu tempat.
Kurang lebih 10 menit mereka mengayun langkah, akhirnya tiba juga ditempat yang Carrol maksud.

Bangunan bercat hijau yang terbagi menjadi beberapa lorong kini tampak berdiri dengan kokoh dihadapan mereka. Dibalik kacamata hitamnya pun Justin dapat membaca tulisan yang tertera disalah satu plang didepan gerbang itu, yakni
“Welcome to Bignius High School”. Justin mengejanya dalam hati.
Apa itu sekolahnya Carrol? Not bad! Lingkungannya tampak asri dan tertata rapi. Walaupun sederhana, tapi Justin rasa semua murid akan belajar dengan nyaman disini.
Carrol memperat genggamannya, gerakan tubuh yang sukses mengagetkan Justin dari alam fantasinya.
Kemudian Justin menghentikan hipotesisnya tadi dan tersenyum tipis, “Apa kita sudah sampai?” tanyanya berpura-pura tidak tahu.
Carrol balas tersenyum sembari menatap Justin yang selalu memandang kearah depan. “Iya, kita sudah sampai disekolahku Jax. Sebentar lagi aku akan masuk kelas, jadi kau harus kuamankan terlebih dulu.” paparnya memberitahu.
Pemuda itu mengangguk, dari ujung matanya ia bisa melihat Carrol yang tersenyum begitu menawan.
Ah, senyumnya menggetarkan hatiku, batinnya berdebar-debar.
Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Carrol pun menarik tangan Justin as Jaxon untuk mengikuti langkah panjangnya.
“Ayo ikuti aku!” ajaknya seraya menyeret Justin melalui jalan belakang sekolah. Melewati padang ilalang dan sejumlah siswi BHS yang melenggang santai sambil sesekali berbincang topik ringan. Entah itu membicarakan box office tadi malam atau malah acara gosip yang ditayangkan tadi pagi. Tak jarang derai tawa menghiasi obrolan mereka. Seru sekali! Carrol rasa melihat teman-temannya tertawa lepas seperti itu adalah suatu hal yang menyenangkan.

Wushhhhhhhhhh....!
Udara pagi berhembus dengan kencang. Menampar lembut wajah Carrol dan juga Justin.
Tanpa sepengetahuan Carrol, penyanyi muda terkenal yang sekarang menyamar dengan nama `Jaxon` itu menyapukan pandangannya keseluruh sudut.
Kawasan yang dipijaknya kini tampak lebih tinggi dari halaman sekolah tadi.
Apa ini yang namanya bukit? Karena sejauh mata memandang hanya ada hamparan rerumputan hijau yang luas. Indah dan anginnya sangat segar!
“Carry, mengapa kau mengajakku ke bukit?” tanya Justin tiba-tiba.
Carrol terkesiap. Darimana Jaxon tahu kalau ini bukit? Apa jangan-jangan sebenarnya ia tidak buta? batinnya terkaget-kaget. Timbul setitik rasa curiga dibenak Carrol, tapi perasaan buruk itu buru-buru ditepis olehnya. Ia pikir berburuk sangka itu bukanlah hal yang baik, lagipula menurutnya tampang Jaxon bukanlah tampang seorang pembohong.
“Kau? Bagaimana kau bisa tahu kalau ini bukit?”
Justin menggigit kecil bibirnya yang bagian bawah. Untunglah raut keterkejutan diwajahnya tidak terlalu kentara, dan ia yakin hanya dengan satu alasan yang tepat Carrol pun akan kembali percaya padanya.
“Errrr~ itu aku,”
Diperlukan sedikit waktu agar alasan yang dikeluarkan Justin terdengar masuk akal nantinya. Oleh sebab itu, Justin pun memutar otaknya dengan cukup keras.
Dihadapannya Carrol mendelik, dengan sabar ia menantikan jawaban dari Justin.
“Ahya aku bisa merasakan itu dari udara yang berhembus! Aku pikir udara yang sejuk itu hanya terdapat didaerah yang semacam bukit saja. Lagipula tadi itu aku hanya menebak kok!”
Spontan kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Justin. Ia pikir itu akan terdengar konyol, tapi ternyata Carrol justru menyetujui pendapatnya.
“Yeah! Kau benar Jaxon, feeling mu kuat juga ternyata!” serunya sambil menepuk-nepuk pundak Justin.
Untuk menyempurnakan alasannya dengan sengaja Justin pun mendramatisir keadaan.
“Do you know Carry? Dulu sewaktu Ayah dan Ibuku masih hidup, mereka sering mengajakku ke suatu bukit. Sampai-sampai aku begitu hafal dengan suasana disana! Ah, sekarang aku merindukan masa-masa itu.” tutur Justin dengan wajah menunduk.

Carrol menatap Justin miris. Diangkatnya dagu Justin dengan jari telunjuknya. Yah, walaupun kini Justin tidak dapat melihat tatapan mata Carrol yang ikut bersedih, tapi mungkin cengkraman dibahu Justin adalah cara lain untuk menunjukkan bahwa dirinya turut berduka cita.
“Kedua orang tuamu sudah meninggal?”
Justin mengangguk, “Maaf aku tidak tahu.” ucap Carrol pelan.
“Tidak apa, ini bukanlah suatu masalah. Kau akan meninggalkanku disini?” tanya Justin mengganti topik pembicaraan. Ia pikir tidak perlu dilanjutkan, karena ia takut Carrol bertambah sedih. Anyway, ia cukup puas dengan akting nya yang berhasil meyakinkan Carrol.
“Tidak, bukan disini. Kalau disini kau akan diganggu anak-anak nantinya.”
“Jadi?”

Carrol membimbing Justin menuju rumah pondokan yang ada dibukit tersebut. Rumah panggung yang terbentuk dari kayu ulin yang lumayan kokoh. Unik! Didepannya terdapat telaga kecil dengan air yang jernih. Dan susunan bunga-bunga teratai yang mengapung sukses mempercantik danau tersebut.
Well, Justin rasa tempat ini cocok untuk berimajinasi.

Tap...! Tap...! Tap...!
“Ayo Jaxon angkat kakimu pelan-pelan..”
Dengan hati-hati Carrol membantu Justin menaiki 3 undakan tangga, satu-satunya jalan untuk memasuki rumah panggung itu.
And then, setelah tiba diatas Carrol pun langsung mendudukkan Justin disebuah kursi goyang.
“Jangan kemana-mana yah? Aku pulang dari sekolah pukul 2, tapi hari ini aku akan menghadiri klub cheers dulu. Jadi, sekitar jam 3 sore baru aku kembali kesini. Tidak apa kan?”
“Yah aku akan setia menunggumu disini.”
Carrol tersenyum kecil. Lelaki tunanetra yang baru dikenalnya ini sangatlah menggemaskan. Setiap kalimat yang diucapkannya terkesan polos dan menggoda.
“Baiklah, aku pergi.”

Carrol membenahi letak tas selempangnya lalu beranjak dari rumah panggung tersebut. Namun setibanya diambang pintu masuk, ia berbalik lagi dan kembali menghampiri Justin.
“Oh ya ampun, hampir saja aku lupa!”
Ia menepuk jidatnya sendiri, kemudian kedua belah tangannya bergerak menuju tas selempangnya. Mengeluarkan sebuah kotak persegi yang Justin rasa isinya adalah bekal siang Carrol.
“Nah ini kalau kamu lapar. Aku rasa kau belum sarapan! Iya kan?”
“Hmm..” Justin berdehem kecil.
Bersamaan dengan itu Carrol pun meletakkan kotak bekalnya dipangkuan Justin. Setelah semuanya beres barulah Carrol benar-benar meninggalkan rumah panggung beserta dengan Justin.
Hemph! Justin mendesah pelan. Membayangkan wajah Carrol membuatnya tersenyum malu-malu. Sepertinya dia gadis yang baik? Entahlah! Kalaupun nantinya penilaian Justin keliru, at least gadis itu sudah menunjukkan kemurahan hatinya terhadap orang yang baru ia kenal.
“Bukan awal yang buruk.” gumam Justin menyeringai lebar.

***

Disaat matahari merangkak naik barulah Kenny tiba di Kanada.
Siang ini sangat panas, sepanas hati Kenny yang tengah gelisah. Ia tidak tahu apakah setibanya dirumah nanti Mom Pattie akan memarahinya atau malah langsung membunuhnya? Ia hanya bisa pasrah. Kesalahan Kenny cukup fatal karena telah membiarkan Justin berlibur seorang diri didesa terpencil. Padahal selama ini Mom Pattie sangat protect terhadap Justin. Ia menyewa bodyguard karena ia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap anak kesayangannya. Tapi sekarang? Ah, Kenny rasa kesalahan bukan hanya terletak padanya. Tetapi juga Justin! Tiba-tiba saja pemuda itu berubah menjadi sangat keras kepala dan menyeramkan.

Kenny memacu mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Melajukan range rover tersebut menuju ke kediaman Justin.
Jalani semua dengan kepala dingin, maka semua akan baik-baik saja, batinnya menenangkan diri.

BRAKKKKK....!
Mom Pattie menggebrak meja kerjanya dengan begitu keras, sehingga membuat Kenny bergidik ketakutan.
“WHAT THE HELL?! Apa-apaan ini?! Kau membiarkan Justin berlibur seorang diri? Kenny kau benar-benar bodoh! Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Justin? Apa kau mau bertanggung jawab hah?!” hardik Mom Pattie tak terkendali. Emosinya meledak-ledak dan itu terbukti dari deru nafasnya yang naik-turun.
Kenny hanya mampu menjawabnya dengan kepala yang menunduk, “Maafkan aku Pattie. Tapi anakmu itu sangat keras kepala dan berubah menjadi monster! Kau tahu? Kalau aku tidak menuruti keinginannya maka ia akan membenciku seumur hidup! Dan itu belum seberapa, karena ia juga mengancam akan bunuh diri jika aku tidak mengabulkan permintaannya itu.” adu Kenny apa adanya. Ia mengatakan itu hanya untuk membela dirinya sendiri.
Masih dengan posisi yang berdiri disamping meja kerjanya, Mom Pattie pun menghela nafas berat.
“Sekarang dia ada dimana?” tanyanya melunak. Sepertinya emosi Mom Pattie mulai terkendali sekarang.
“Sekali lagi maafkan aku, anakmu tidak ingin aku memberitahukan kepada orang lain tentang dimana keberadaannya sekarang.”
Mata Mom Pattie melebar seketika. Lalu dengan keberanian yang tersisa Kenny pun mendekat seraya menyerahkan sebuah amplop putih ketangan Mom Pattie.
Tak heran bila kening wanita itu langsung mengerut tanda tidak mengerti.
“Apa ini?”
“Surat dari anakmu. Dia bilang kau akan merestui keputusannya setelah membaca surat itu.”
“Baiklah akan aku baca, dan sekarang kau boleh pulang.”
Kenny mengangguk lalu berjalan menuju pintu keluar.
Setelah wujud anak buahnya itu menghilang dari balik pintu barulah Mom Pattie membuka isi amplop tadi.
Tidak ada yang istimewa! Isinya hanya selembar kertas putih biasa dengan tulisan tangan yang jauh dari kata bagus. Yah, Mom Pattie harus mengakui bahwa tulisan anaknya 11-12 dengan tulisan dokter. Susah dibaca!
Dibukanya kertas yang terlipat dua itu, lalu dibacanya dengan begitu seksama.

..........

Dear Mom,

Kau bilang dia hanyalah bidadari dalam tidurku, dan kau bilang mustahil bagiku untuk bertemu dengannya.
TAPI KAU SALAH BESAR MOM!
Dia ada dan nyata! Aku berhasil menemukannya disalah satu tempat yang terpencil.
Maafkan aku, aku tidak bisa memberitahumu dimana tempat itu. Karena aku ingin ini menjadi rahasia antara aku, Kenny, dan hatiku saja.
Mom jangan memarahi Kenny yah? Karena dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Yang salah hanya anakmu, karena anakmu memiliki keinginan yang besar untuk menemui gadis itu.
Dan Mom juga tidak perlu khawatir! Seminggu lagi aku akan kembali ke Kanada.
Jaga kesehatan selama aku tidak ada dirumah.
Aku tidak akan berbuat ulah selama disini. Tunggu kedatanganku yah!

See you :))

Salam sayang,

<3 J.Biebs <3

..........

Mom Pattie mendesah pelan. Ia harus percaya dengan anaknya sendiri. Surat itu pun kembali dimasukkannya kedalam amplop.
“Justin, Mom merelakan kepergianmu dear. Nikmatilah masa berliburmu selama disana.” gumam Mom Pattie tersenyum haru.
Tiba-tiba pintu kerjanya dibuka tanpa permisi oleh seseorang. Seseorang yang ternyata Zelena itu menghampirinya dengan raut suka cita.
“Mom, dimana Justin? Aku dengar dari Scoot, Kenny sudah kembali ke Kanada. Apa itu artinya Justin juga sudah pulang?”
“Belum. Dia masih berlibur!” jawab Mom Pattie acuh. Tangannya bergerak menuju laci kecil yang terdapat dimeja kerjanya untuk mengamankan surat tadi. Jangan sampai Zelena mengetahu ini! batinnya dalam hati.
“What?! Jadi sekarang dia ada dimana?”
Mom Pattie mendengus seraya meraih tas kerja miliknya, “Aku tidak tahu!” jawabnya ketus. Bergegas pergi meninggalkan Zelena yang memasang wajah cemberut.

Zelena masih diam mematung ditempat. Tatapannya nanar serta tangannya pun mengepal menahan amarah.
Kau tidak berubah Pattie, masih saja membenci aku, pikir Zelena sedikit kesal. Yah, Mom Pattie memang tidak merestui hubungan Justin dan Zelena, karena menurutnya Zelena adalah tipikal kekasih yang terlalu mengatur. Overprotective!
“Huh! Dasar wanita tua yang menyebalkan!” sungut Zelena pelan.

***

“Yah begitulah nasib sahabat kita yang satu ini. Dia sudah senang bukan main etapi ternyata itu semua hanyalah mimpi!” Khat mengakhiri ceritanya disambung dengan gelak tawa oleh Damon.
Ketiga sahabat itu tengah asyik bercengkrama setelah mengikuti ekskul. Damon tergabung diklub basket, sementara Khatrien dan Carrol sama-sama aktif sebagai anggota cheers.
“Berhenti mengejekku seperti itu guys! Kalian sangat menyebalkan.” gerutu Carrol mencak-mencak. Dimasukkannya baju latihannya kedalam tas, lalu segera keluar dari ruang ganti itu.
Kedua sahabatnya pun ikut membuntuti Carrol dibelakang. Tidak henti-hentinya mereka menertawakan “mimpi malang” yang Carrol alami.
“Mimpinya memang konyol! Etapi ada salah satu adegan yang menurutku sangat mengasyikkan!” celetuk Damon berkomentar.
“Apa itu?”
“Adegan disaat aku mencium pipimu Khat! Ah seandainya itu benar-benar terjadi, pasti aku akan melayang ke langit 7.”
Dengan kompak Khat dan Carrol pun melengos. Menoyor kepala Damon masing-masing disebelah kanan dan juga disebelah kiri.
“Idih, bilang saja kalau itu keinginanmu! Dasar otak mesum!” ejek Carrol memutar kedua bola matanya.
“To much! Baru begitu saja dibilang otak mesum.” sahut Damon mencibir Carrol.
“Sudah, sudah. Kalian ini senang sekali bertengkar!” lerai Khatrien menggeleng-gelengkan kepalanya.
Carrol tersenyum lalu mengacak-acak puncak kepala Damon. Sebenarnya tadi ia hanya bercanda!
“Baiklah aku mengalah. Kalian pulang berdua saja yah? Hari ini aku ada perlu sedikit, jadi aku tidak bisa ikut pulang bersama kalian. Maaf yah?” pamit Carrol memegangi telapak tangan kedua sahabatnya. Setelah mendapat anggukan persetujuan, Carrol pun berlalu pergi sambil melambaikan sebelah tangannya. Berlari-lari kecil menuju bukit yang terletak dibelakang sekolah mereka.
Sepeninggalan Carrol, Khatrien dan Damon saling melempar pandang lalu menggidikkan bahu masing-masing.
Entahlah, seperti ada yang disembunyikan, pikir mereka dalam hati.

Jrengggggg......!

•••••

Do You Hear Me?
Talking To You..
Across The Water, Across The Deep Blue Ocean..
Under The Open Sky..
Oh My Baby I'm Trying..

•••••

Suara itu?
Sontak Carrol pun menghentikan gerakan kakinya.
Ia bersembunyi dibalik pohon ek yang besar, dari situ Carrol memperhatikan Justin yang tengah memetik halus gitarnya tepat dipinggir danau.
“Jaxon kan buta! Bagaimana bisa?” batinnya begitu heran. Tanpa pikir panjang lagi dihampirinya Justin yang terduduk manis disebuah batu besar.
“Jaxon?”

DEGH...!
Justin terperanjat. Petikan gitarnya terhenti disaat ia merasakan sentuhan lembut disalah satu pundaknya. Itu pasti Carry! Bagaimana ini?! batinnya kalap. Wajah Justin pun sudah pucat pasi. Beruntung kacamata hitamnya masih melekat pada waktu itu.
“Carry?” ucap Justin pelan, hampir tak bersuara. Tapi samar-samar bisa tertangkap oleh telinga gadis dibelakangnya.
Carrol mendekat lalu memutar tubuh Justin agar menghadap kearahnya.
Sekarang pemuda itu hanya bisa pasrah sambil memegangi erat-erat gitarnya.
Apapun yang terjadi, yakinlah semua akan baik-baik saja, bisiknya tak bersuara.
“Iya Jaxon ini aku. Bagaimana bisa kau turun dari rumah panggung itu? Lalu sekarang pun kau pandai bermain gitar! Bukankah kau buta?”
“Aku----”
“Jangan bohongi aku Jaxon!” potong Carrol cepat. Menatap Justin tajam tepat dikedua bola matanya yang dibingkai dengan sepasang kaca berwarna rabben dan berkerangka.
Tiba-tiba saja Justin gugup. Keringat dingin pun mengucur deras didahinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah berkata jujur tidak akan berdampak buruk dengan misinya? Oh God bantu aku! batinnya panik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar