Pura Pura Cinta

Jumat, 27 Mei 2011

We are Different (Not Including Own) Bab.1 [Part.2]

BAB.1

<3 Merely a Dream <3

(Part.2)

Keputusan sudah diambil..
Namun apakah rencananya akan berhasil?
Tidak! Cobaan itu ada, datang dan menyapa..
Bahkan hampir merenggut paksa kebahagiaan yang hadir didepan mata..

Besoknya pagi-pagi sekali Carrol sudah siap dengan mengenakan jersey berwarna ungu muda yang ia padukan dengan skiny jeans berwarna agak kehitaman, dan tidak lupa diluarnya pun Carrol tambah dengan mantel berbulu domba asli sebagai penghangat. Yah, jaga-jaga dengan cuaca New York yang bulan ini diperkirakan akan sering berubah-ubah (kadang panas dan kadang dingin) atau malah dingin seterusnya. Penampilannya kali ini terlihat santai ditambah rambut sebatas dada yang ia ikat dengan gaya kuda.
Setelah Carrol sarapan dengan segelas susu sapi segar dan sepotong roti bakar Carrol pun meninggalkan Desa RainVill diantar oleh Khatrien dan juga Damon untuk memulai petualangannya ke Kota New York. Kedua sahabatnya itu hanya mengantarkan Carrol sampai di terminal desa, lalu mereka menaikkannya ke mini bus yang akan membawa Carrol menuju terminal kota.
Selama perjalanan menuju Los Angeles Carrol hanya menghabiskan waktunya dengan melamun sambil mendengarkan mp3 melalui ipod nano miliknya. Kebetulan sekali Carrol mendapatkan tempat duduk yang berada tepat disamping jendela, itu sangat memudahkannya untuk menikmati indahnya pemandangan Desa RainVill yang menuju ke Kota Los Angeles.
Hamparan padang rumput yang berwarna hijau sangat menyejukkan mata Carrol saat ini.
Jendela bus pun ia biarkan terbuka lebar, mengizinkan angin masuk dan menampar wajahnya dengan lembut.
Tidak sampai 10 menit angin yang menamparnya tadi membawa Carrol kealam bawah sadarnya, lalu ia pun tertidur dengan begitu lelapnya.

»Then In The Dream«
Tidak pernah Carrol sangka sebelumnya jika konser Justin Bieber akan berjalan dengan semeriah ini.
Konser akbar yang pernah ia lihat disepanjang musim dingin.
Semua penonton --yang mayoritasnya wanita-- bergerombol menjadi satu disebuah gedung Music Star ditengah kota New York. Gedung itu terlihat lebih kecil dari ukuran aslinya, akibat terlalu banyaknya pengunjung yang memaksa untuk masuk. Carrol yang takut akan banyaknya manusia itu pun memilih untuk menepi, menyaksikan perform sang idola dipaling pojok. Padahal dalam hati ia ingin sekali berada dibarisan yang paling depan! Tapi apalah daya? Carrol juga takut jika nanti pulang dari konser ia malah sudah tak bernyawa lagi.
1 jam sudah konser berlangsung, karena kebelet ingin buang air kecil Carrol pun bergegas menuju toilet yang berada digedung tersebut melalui pintu belakang.
Disaat ia berlari dengan tergesa-gesa tanpa ada kesengajaan tubuhnya pun menabrak keras tubuh seseorang.
`Brukkkk...!`
“Awwwww.......” jerit seorang pria yang tersungkur dihadapan Carrol.
Carrol juga ikut terjatuh, namun sedetik kemudian ia pun bangun dan mengulurkan tangannya untuk membantu pria yang ditabraknya itu.
“I'm sorry.. Maafkan aku! Aku tidak lihat kalau kau ada didepanku..”
“Dasar wanita bodoh! Lain kali kalau jalan gunakan matamu dengan baik dan benar.. Kau hampir saja membuatku masuk rumah sakit tahu?!” hardiknya memaki Carrol dengan kasar. Seketika mulut Carrol terbuka lebar disaat menatap lekat-lekat pria itu. Mata cokelat dengan rambut mangkok?!
“Je--Je-Just-Justin?!” Carrol mendadak gagap, tapi tidak lama karena setelah itu ia langsung melompat-lompat dan menjerit dengan histeris.
“Justin! Kau Justin Bi------”
Belum selesai Carrol merampungkan jeritannya itu, dengan refleks Justin pun membekap mulutnya kuat-kuat.
“Ssstttt... Don't shout shawty! Bisa gawat kalau fans-fans ku sampai mendengar teriakanmu!”
`Deggg...!`
Carrol speeachless, “Shawty?” ucapnya dalam hati.
Karena Carrol kesulitan bernafas Justin pun langsung melepas bekapannya. Carrol kembali memperhatikan wajah Justin dengan seksama. Hampir saja ia berteriak kembali, kalau Justin tidak kembali membekap mulutnya dengan sigap.
“Remember not to yell shawty!” perintahnya ½ berbisik.

Carrol terpaku, antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang ada dihadapannya sekarang.
Ingin rasanya Carrol mendekat dan memeluk Justin, idola sekaligus pujaan hatinya itu. Tapi, kaki Carrol terasa kaku dan sulit untuk digerakkan.

“Kenapa... Emmm, kau memanggilku dengan sebutan errr.... Sha-shawty?” tanya Carrolnya gugup.
“Karena semua wanita cantik memang ku panggil shawty..”
Pipi Carrol bersemu merah mendengar jawaban Justin. Itu artinya secara tidak langsung Justin telah memujinya `cantik!`.
“Apakah itu artinya kau menyukaiku?”
Justin tersenyum tipis melihat raut wajah Carrol yang sangat polos. Bukannya menjawab dia malah balik bertanya, “Apakah kau seorang beliber?”
“Yeah, of course! Aku sangat mengagumimu Justin...” jawabnya dengan wajah tertunduk malu.
Justin mendekat selangkah kehadapan Carrol, tangannya bergerak mengitari leher Carrol dan berhenti tepat dibagian dagu. Diangkatnya dagu yang tertunduk itu dengan jari telunjuknya, lalu......?
“Karena kau seorang blieber aku akan memberikan kenang-kenangan untukmu..”
Tiba-tiba sekujur tubuh Carrol bergetar hebat. Keringat dingin mengucur didahi mulusnya yang sedikit tertutupi oleh poninya itu.
Ia sampai menggigit kecil bibir bawahnya, dengan wajah harap-harap cemas menantikan kenang-kenangan apa yang akan diberikan Justin untuknya sebagai beliber sejati.
Masih dengan posisi semula, yaitu dagu Carrol yang diangkat oleh telunjuk Justin, Carrol pun memejamkan matanya.
Terasa sekali wajah Justin yang semakin dekat dengan wajahnya, hingga akhirnya jarak diantara wajah mereka hanya sekitar 3 cm! Tubuhnya semakin bergetar apalagi disaat Justin mengusap-usap bibir Carrol dengan jari telunjuknya, kemudian ia memiringkan kepalanya dan.........?
»Then In The Dream«

Seseorang menepuk pundak Carrol dengan sangat keras.
`Pukkkkk.....!`
“Hei anak muda bangun! Kau tidak mau turun? Sekarang kita sudah sampai di Terminal Greyhound..” seru seseorang membangunkan Carrol dari tidurnya yang sangat pulas.
Carrol mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha untuk menyempurnakan penglihatannya yang sedikit kabur akibat terlalu banyak tidur. “Justin? Dimana dia?” igau Carrol antara sadar dan tidak sadar.
“Justin? Siapa Justin? Apakah dia pacarmu?” tanya seorang wanita paruh baya yang telah membangunkannya tadi.
Setelah cukup sadar dengan ucapannya yang mulai ngelantur, Carrol pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Ah tidak! Justin hanyalah kucing piaraanku..” jawabnya tersenyum manis. Ternyata itu hanyalah mimpi! Tapi kenapa Carrol dibangunkan secepat ini? Padahal ia belum merasakan hangatnya ciuman Justin.
“Ibu-ibu menyebalkan! Kau telah merusak acara first kiss ku yang indah..” gerutu Carrol dalam hati tentunya.

Setelah menggendong tas ranselnya yang lumayan besar, Carrol pun keluar dari mini bus dengan hati yang berbunga-bunga karena 2 jam lagi ia akan sampai di Kota New York.
Sembari menunggu kereta tujuan New York datang, Carrol memutuskan untuk beristirahat sejenak dikedai kopi yang terdapat diterminal Greyhound.
Menikmati secangkir mocha hangat sambil menekuri sebuah novel romance adalah pilihannya saat ini.
Ditemani oleh hiruk-pikuk dan lalu-lalang manusia yang --mungkin-- mempunyai tujuan yang sama dengannya.
Tak lama kemudian, kereta yang akan membawa Carrol ke New York pun datang.
Ia langsung naik dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomer yang tertera dikarcisnya.
Lumayan. Itulah satu kata yang pas untuk menggambarkan letak tempat duduk yang Carrol dapat saat ini.
Letaknya tidak didepan juga tidak dibelakang, tapi ditengah-tengah.
Setelah menaruh ranselnya ditempat yang telah disediakan, Carrol pun terduduk manis dibangkunya.
Belum ada semenit Carrol menikmati tempat duduknya, tiba-tiba seorang anak kecil mencolek punggungnya dari belakang. Carrol menoleh dan tersenyum lebar padanya dengan tatapan yang seolah bertanya “Ada apa?”, namun gadis kecil itu menggeleng cepat. Wajah lugunya sangat menggemaskan untuk dipandang.
Setelah melihat ia membalas senyumannya, Carrol pun membetulkan posisi tubuhnya untuk kembali menghadap kedepan.
Dibutuhkan waktu sekitar ± 2 jam untuk sampai di kota New York. Dan untuk membunuh rasa jenuh Carrol pun membuka kembali novel romance yang baru beberapa lembar dibacanya --di terminal tadi--.
Meresapi setiap kata per kata yang ada dinovel itu hingga akhirnya kata-kata itu jualah yang mengantarkannya sampai di alam mimpinya.
Singkat cerita kereta api yang Carrol tumpangi pun tiba di Stasiun Vernon Boulevard. Ia kini sudah berada di Kota New York!
Rasa penat karena ½ hari ini berdiam diri di mini bus dan kereta api listrik seolah-olah terbayarkan sudah.
Kini Carrol dapat merasakan nikmatnya udara di Kota New York, dan bener kata Khatrien cuaca disini ternyata sangat dingin.
Mantel tebal yang membaluti tubuhnya pun Carrol dekap dengan erat. Seperti mencari sesuatu, tangannya meraba-raba kesekitar kantong mantelnya.
“Oh my God!” pekiknya tertahan. Ternyata dompet yang Carrol taruh disaku mantel raib entah kemana.
Carrol pun berusaha mengingat-ingat dimana terakhir kalinya ia taruh? Tapi sudah Carrol cari diseluruh tempat hasilnya nihil, tetap tidak diketemukan.
“Jangan-jangan tercecer!” serunya dalam hati. Akhirnya Carrol pun berbalik arah untuk mencari dompetnya yang --mungkin-- tercecer disepanjang jalan menuju gerbong.
Carrol menghela napas dengan berat. Rasanya mustahil untuk mendapatkan dompet itu kembali.
So, bagaimana dengan nasibnya di Kota New York?
Carrol mungkin saja masih bisa bertahan hidup dengan beberapa lembar uang dolar yang ia selipkan dikantong celana jeansnya. Tapi bagaimana dengan harapannya yang ingin melihat konser Justin Bieber? Mengingat harga tiket konsernya yang sebesarnya US 250$ dan parahnya uang sebanyak itu malah Carrol taruh didompet yang telah hilang tersebut.
Tanpa Carrol sadari setetes air bening nan hangat jatuh dipipinya yang lumayan chubby. Carrol pun menangis meratapi nasibnya saat ini.
Siapa yang tega mencurinya? Sejak kapan di New York ada pencopet? Carrol terus mengingat-ingat, berusaha mem-flashback semua kejadian 2 jam --yang lalu-- yang sudah terekam jelas dimemori otaknya.
Disaat ia tengah berpikir keras tiba-tiba seorang gadis kecil mengagetkannya dengan sebuah sapaan.
“Hello beautiful sister?”
Carrol menoleh kesamping kanan dan mendapati gadis kecil yang tengah tersenyum kearahnya. Dari raut wajahnya, sepertinya Carrol mengenalinya. “Hai adik manis.. Kau yang dikereta api tadi bukan?” tanya Carrol dengan air mata yang masih membasahi pipinya.
Carrol sedikit berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan gadis kecil tersebut.
“Yah, namaku Stephani. A sister whom? Mengapa Kakak menangis?”
Carrol tersentak kaget disaat tangan mungil Stephani mengusap lembut air matanya.
“Ah tidak, mataku hanya kemasukan debu! Namaku Carrol Bowling. Kau cukup memanggilkuCarry” jawabnya sambil menggenggam tangan gadis kecil itu hangat. Berusaha menghentikan tingkahnya, karena terus terang Carrol sangat malu sudah ketahuan menangis didepan gadis kecil yang umurnya terpaut jauh dibawahnya.
“Errrr....kau sedang apa disini?” tanya Carrol mengalihkan pembicaraan.
“Aku ingin menyerahkan sesuatu pada Kakak. Aku yakin Kakak pasti akan berhenti menangis jika melihat benda ini.” Stephani tersenyum lalu menyerahkan sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan warna merah menyala.
“Oh my God! It is my wallet!” Carrol terbelalak melihatnya, ternyata benda itu adalah dompet yang ia cari-cari sejak tadi. Tapi kenapa dompetnya bisa berada ditangan gadis kecil itu? Ah tidak mungkin Stephani yang mencurinya! Carrol pun berusaha untuk berpositive thinking. Mungkin Stephani lah yang menemukannya dijalan atau --mungkin-- dilantai kereta api. Yah, sudah seharusnya Carrol berterima kasih padanya.
“Adik manis, makasih ya! Kau telah mengembalikan kebahagiaanku..” pekiknya seraya memeluk Stephani dengan erat. Masih dalam posisi berpelukan Carrol pun bertanya dimana Stephani menemukan dompetnya itu? Karena ia masih sangat terlihat penasaran. “Stephani, dimana kau menemukannya?”
“Aku tidak menemukannya Kak! Tapi aku, tapi aku... Emmmmm, aku lah yang mencurinya”
“What?!” Mata Carrol pun membulat seketika. Carrol longgarkan pelukannya lalu ia cengkram lengan Stephani dengan lembut. Apakah Carrol salah mendengar? Sepertinya sih tidak.
“Maafkan aku Kak. I know I was wrong, tidak sepantasnya aku mencuri. Tapi Ibuku sedang sakit keras dan aku butuh uang untuk membawanya ke dokter. Aku terpaksa melakukan ini. Maafkan aku Kak maafkan aku... Please forgive me? Aku mohon jangan serahkan aku pada pihak yang berwajib..” tutur Stephani dengan bibir yang bergetar. Raut wajahnya penuh dengan rasa menyesal dan ketakutan, sampai-sampai ia hendak bersujud dikaki Carrol, tapi dengan cepat Carrol mencegah itu.
“Tidak, aku sudah memaafkanmu adik manis. Tapi aku heran, padahal kau sudah bersusah payah mencuri dompetku, setelah berhasil kenapa kau malah mengembalikannya?”
“Aku tau ini adalah perbuatan yang dosa dan Kakak pasti sangat membutuhkan uang itu! Lagipula Ibuku tidak akan sembuh jika aku membawanya ke dokter dengan uang hasil curian.. Ahya jadi Kakak mau memaafkanku kan? Makasih ya Kak!”
Carrol tertegun mendengarkan celotehannya yang sangat menyentuh. Bagaimana mungkin ada seorang pencopet yang mau mengaku? Rasanya impossible! Seperti kata pepatah yang berbunyi, “Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau maling mau ngaku penjara penuh!”
Tapi Stephani adalah salah satu buktinya.
Raut wajahnya yang terlihat sangat polos, membuat Carrol ragu jika menganggapnya seseorang yang pandai mengarang cerita dan pancaran matanya pun juga menyiratkan kejujuran. Entah dapat dorongan darimana Carrol pun malah memberikan seluruh isi dompetnya itu kepada Stephani.
“Use the money, semoga uang itu cukup untuk membawa Ibumu kedokter..”
“Tapi Kakak kan----”
“Never mind, pakailah aku ikhlas kok! Nyawa Ibumu lebih penting daripada kebahagiaanku yang sesaat itu..” potong Carrol cepat dengan senyuman yang lebar.
Sepertinya Carrol sudah ikhlas jika membatalkan niatnya yang ingin sekali menyaksikan konser Justin Bieber dimalam minggu ini.
Stephani pun tersenyum senang. Kedua manik matanya yang semula berkaca-kaca berubah menjadi binar-binar kebahagiaan.
“Kakak baik sekali! Aku yakin suatu saat Kakak akan mendapatkan balasan yang setimpal..” bisiknya seraya mengecup pipi kanan Carrol dan langsung berlalu pergi meninggalkannya.
Carrol terhenyak. Apakah yang ia lakukan tadi itu sudah benar? Kalau Carrol tidak jadi menonton konser Justin lantas apa yang akan ia lakukan di Kota New York? Dalam kegundahan yang melanda hatinya sesosok pria tiba-tiba menghampiri Carrol dengan senyuman yang mengembang.
Carrol memperhatikannya dari atas sampai bawah dan kalau ia boleh menebak pria itu umurnya sepantaran saja dengannya. Andaikata dia lebih muda juga mungkin Carrol berumur hanya setahun-dua tahun lebih tua darinya.
“Apakah kau sahabat dari sepupu perempuanku yang bernama Khatrien Robert?” tanyanya to the point dan Carrol pun menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
“Kenalkan aku adik sepupunya yang bernama Chris dari keluarga Beadles.. What's your name?” Pria yang mengaku bernama Chris itu pun mengulurkan tangannya.
“Sebentar..” pinta Carrol seraya mengobrak-abrik isi tas selempang yang ia gunakan.
Chris menautkan kedua alisnya. Ia nampak berpikir dan berusaha menduga-duga dengan apa yang sebenarnya Carrol cari didalam tas berwarna hitam tersebut.
“Kau mencari apa?”
“Foto..” jawab Carrol singkat. Melirik sekilas ke arah Chris lalu kembali ke aktifitas semula.
“Foto?”
“Yah, foto yang tadi pagi diberikan Khat untukku.. Aku hanya ingin memastikan apakah kau memang benar Chris atau bukan?”
Chris tertawa kecil, tapi semenit kemudian tawanya terhenti karena Carrol memandangnya dengan wajah yang aneh.
“What's funny?” seloroh Carrol tajam.
“Tidak ada, hanya saja wajahmu sangat terlihat lucu sekarang!”
Carrol menepis tangan Chris yang mencubit kedua pipinya dengan begitu gemasnya. “Tidak sopan!” pikir Carrol dalam hati. Sementara Chris hanya tersenyum ketika Carrol menatapnya dengan ekspresi wajah dongkol, “Lalu apa kau sudah menemukan fotonya?”
“Sudah dan wajahmu sangat mirip dengan gambar yang ada difoto ini, hanya saja difoto ini rambutmu terlihat lebih panjang dibandingkan aslinya..”
Carrol menjelaskan perbedaannya sambil memperlihatkan selembar foto itu kepada Chris.
Kemudian Chris merampasnya lalu mengamati foto itu dengan seksama. “This really is me! Foto ini diambil sebelum aku pergi ke salon.. Apakah kau sudah percaya kalau aku Chris? Atau kalau kau mau aku akan menelepon Khat sekarang?”
“Ah tidak perlu! Aku percaya kalau kau Chris.. Kenalkan namaku Carrol dari keluarga Bowling..” ucapnya sembari menarik telapak tangan milik Chris dan segera menjabatnya hangat.
Chris tersenyum lalu mengambil alih ransel yang Carrol taruh dipunggungnya untuk kemudian digantungkan dibahunya.
Apa yang dilakukan Chris itu membuat Carrol tersentak kaget, namun Chris bersikap acuh sambil terus berjalan keluar dari stasiun.
“Hei, kita mau kemana?” tanya Carrol berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah Chris.
Chris hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan langkah panjangnya.
Setibanya kalian ditempat parkir roda 4 barulah Chris menjelaskan apa maksutnya itu.
“Ikutlah denganku.. Kau butuh tempat menginap kan?” ucap Chris yang dibalas dengan tampang melongo oleh Carrol. Ia masih belum paham dengan ajakan Chris itu. Menginap? Apa maksutnya? Seolah-olah paham dengan gurat kebingungan bercampur kecemasan dari raut wajah yang Carrol tampakkan itu, Chris pun melanjutkan ucapannya.. “Sebentar lagi matahari akan terbenam.. Kau tidak berniat untuk menginap di stasiun ini kan?”
Carrol masih terlihat confused, dan tanpa ia sadari sejak 3 menit yang lalu Chris telah memasuki mobil sport nya yang berwarna merah nge-jreng.
“Come on Carr! Apa lagi yang kau pikirkan? Tunggu mataharinya tenggalam dulu?!” serunya kesal. Terlampau kesal karena Carrol masih saja diam mematung disamping mobilnya tanpa berniat untuk masuk kedalamnya.
Akhirnya Chris pun keluar dari dalam mobil dan menarik tangan Carrol dengan ½ memaksa.
“Ayo cepat!”
“Oh okay okay aku akan ikut denganmu! Tapi aku rasa aku tidak perlu menginap dirumahmu segala, kau cukup menemaniku untuk mencari penginapan atau motel Chris..” ucap Carrol memberikan penawaran. Chris sedikit tertawa kecil disaat mendengar jawabannya. Entahlah, apa maksutnya menertawakan Carrol seperti itu?
“Siapa juga yang mengajakmu kerumahku? Aku akan membawamu ke apartemen kekasihku..”
“Kau-----”
“Sudahlah ayo naik!”
Belum sempat Carrol menyetujuinya atau tidak, Chris langsung mendorong Carrol masuk kedalam mobilnya.
Mau tidak mau Carrol pun terpaksa menurut, dan mobil itu langsung melaju dengan kecepatan sedang diatas jalan raya beraspal di Kota New York.
“Chris apa tidak sebaiknya aku mencari penginapan ditempat lain saja? Aku merasa tidak enak jika harus menginap dirumah orang lain yang belum aku kenal..” Carrol menghela napas sejenak. Helaan napas yang terdengar pelan ditelinga Chris, “Walaupun itu seorang wanita?” tanya Chris tanpa memandang kearah Carrol.
Ia mengangguk, “Hmm..” Hanya deheman kecil yang terbentuk dari bibir tipisnya.
Chris yang semula fokus menyetir, kini mengalihkan pandangannya dari jalanan berkelok-kelok ke wajah Carrol yang terkenal manis.
“Tenang saja Carr, Kekasih ku itu sosok yang ramah dan baik hati. Dia pasti akan senang jika menampung gadis polos nan lugu sepertimu..” tutur Chris dengan nada yang mantap. Ia sedikit tersenyum lalu kembali sibuk dengan stir yang ada dihadapannya.
Carrol hanya mengangguk tanpa bernafsu untuk menyahut lagi.
Menurutnya, bukankah lebih bagus kalau ia menginap diapartemen kekasihnya Chris daripada dirumahnya si Chris sendiri?
Disepanjang perjalanan menuju lokasi, keheningan meliputi mereka berdua.
Carrol lebih memilih untuk mengedarkan pandangan kekaca mobil sementara Chris masih fokus mengemudi sambil sesekali melirik kearah Carrol.
Sadar dengan hal itu membuat ekor mata Carrol ikut-ikutan melirik kesamping.
Carrol perhatikan wajah Chris yang nampak terlihat lebih muda darinya. Sangking memperhatikannya Carrol tidak menyadari kalau Chris sekarang juga tengah menatapnya dengan heran.
“Are you okay?” seloroh Chris mengagetkan Carrol.
Carrol gelagapan, mengalihkan pandangannya ke objek lain demi menetralkan rasa kaget yang mengganggu hatinya.
“Ya aku baik-baik saja..” jawabnya pelan.
Chris mendelik, “Lantas kenapa tadi kau memperhatikan ku dengan begitu seriusnya? Jangan-jangan kau------”
“Ah tidak! Aku tengah berusaha mengenali wajahmu, dan errrr....aku hanya merasa kalau wajahmu itu agak mirip dengan penyanyi terkenal..” selanya cepat. Tidak mencari-cari alasan, karena memang itulah yang Carrol rasakan sekarang.
“Ohya? Siapa?!” tanya Chris antusias.
Dimata Carrol ia mirip dengan....?
“Justin Bieber!”
“What?! Matamu masih normal kan girl?”
Kau tersenyum mantap, “Of course! Mataku tidak lagi katarak ataupun rabun senja. Anyway, my eyes are always healthy!”
“Hahaha... Kau lucu sekali! Mana mungkin aku mirip dengannya? Leluconmu itu sangat lucu Carry, hahaha...” elak Chris diikuti dengan derai tawanya yang terdengar garing ditelinga Carrol.
“Menurutku kau lumayan mirip dengannya. Apalagi rambut mangkok mu itu! Hanya saja wajahmu terlihat lebih imut dibandingkan Justin..” komentar Carrol sambil menunjuk rambut Chris yang berwarna coklat ke-emasan.
“Tentu aku lebih keren dibandingkan dia..”
“Hmm.. Tapi sayangnya dimataku dia yang lebih keren!” cibir Carrol menjulurkan lidah.
“Kau mengaguminya?”
Carrol menoleh dan tersenyum pada Chris yang pandangannya masih lurus kedepan, “Of course! Dia tampan dan suara emasnya sangat bagus. Aku rasa semua orang waras pasti menyukainya!” tuturnya dengan nada yang mengebu-gebu.
“I don't like him! So, apakah sekarang kau mengganggapku gila?”
Pengakuan Chris membuat Carrol mengernyitkan dahi, “Why? Kenapa kau tidak menyukainya? Kau-----”
“Bagaimana mungkin seorang pria waras menyukai sesama pria?” potong Chris yang disambung dengan gelak tawa olehmu.
“Maksudku kan wanita! Semua wanita waras pasti menyukai Justin..”
“Tapi tadi kau tidak bilang begitu” sahut Chris. Kedua manik matamu pun berputar, pertanda kalau kau tengah kesal. “Okay lupakan.. Ngomong-ngomong soal Justin, aku serius mengatakannya Chris. Kau mirip dengan Justin! Hanya saja yah wajahmu itu tampak lebih imut darinya..”
“Wajar sih, aku kan memang lebih muda dari Justin!” seru Chris dengan nada yang datar.
“Ohya? Berapa umurmu?”
“14 tahun..” jawabnya yang sukses membuat Carrol terbelalak.
“What?! 14 tahun?! Bagaimana mungkin kau diizinkan mengemudi?!” cerca Carrol menggoyang-goyangkan bahu Chris. Beruntung disaat itu lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Kalau tidak, ulahnya itu akan sangat mengganggu Chris dalam mengemudi.
“Calm down girl. Aku sudah bisa mengendarai mobil dengan baik dan kedua orang tuaku pun menyetujui ini! Siapa yang bisa melarangku sekarang? Polisi? Peduli apa aku dengan mereka?”
“Okay, whatever you say!” desis Carrol pelan. Carrol tidak mau ngotot, karena menurutnya berdebat dengan anak yang umurnya lebih muda darinya sama saja dengan membuang-buang waktu. Wasting time!
10 menit kemudian Chris menyetopkan kendaraannya didepan bangunan tinggi yang menjulang.
Waktu Carrol tanya bangunan apa itu? Chris menjawab kalau itu adalah apartemen kekasihnya.
Mereka pun turun dari mobil dan berjalan bersisian.
Apartemen kekasihnya Chris terletak dilantai 3.
Carrol melirik jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya.
Waktu menunjukkan pukul 07:00 pm.
Hm, ternyata cukup jauh juga dari stasiun menuju apartemen ini. Yah, membutuhkan waktu hampir satu jam lamanya.
Chris memencet bel dengan begitu sopan dan tidak lama kemudian seseorang pun membukakan mereka pintu.
“Hei Chris!”
Didepan mereka tampak wanita berwajah oriental dengan rambut lurus sebahu. Siluet wajahnya seperti menegaskan kalau dia adalah sosok yang ramah.
Setelah berpelukan dengan Chris wanita itu menoleh kearah Carrol. Mata sipitnya menatap Carrol dengan tajam, seperti menuduh atau malah ingin menerkamnya.
“Honey, kenalkan namanya Carrol Bowling. Dia ini adalah wanita yang aku ceritakan semalam. Dia yang akan menemanimu selama 1 minggu kedepan..” tutur Chris menjawab tatapan sinisnya. Apa yang dijelaskan Chris sukses membuat wanita itu dengan cepat merubah ekspresi wajahnya.
Senyuman yang semula miring berganti menjadi sebuah lengkungan yang lebar.
“Jadi kau itu sahabatnya Khatrien?” tanyanya sumringah. Carrol hanya bisa mengangguk lemah dengan tampang stupid. Mendengar pertanyaan yang dilontarkannya itu membuat Carrol confused sendiri. Khatrien ada cerita apa saja dengan mereka berdua? “Oh my God! Jangan bilang kalau Khatrien juga menjelaskan tujuanku pergi ke Kota New York! Itu akan sangat memalukanku” pikirnya dalam hati.
“Hei kau kenapa? Mengapa melamun? Kau baik-baik saja kan?” cerca wanita itu bertubi-tubi.
Carrol pun tersenyum kikuk, belum sempat ia menjawab pertanyaannya, lebih dulu wanita itu menarik tangan Carrol untuk masuk kedalam apartemennya. Dibelakang mereka Chris mengikuti lalu mengunci pintu apartemen dengan rapat.
“Kenalkan namaku Lenka Kuroyanagi. Aku kekasihnya Chris..”
Lenka mengulurkan tangannya dan Carrol jabat dengan hangat.
“Namaku Carrol Bowling, tapi kau cukup memanggilku dengan Carry, dan mengenai itu Chris sudah menceritakannya tadi..”
Lenka mengangguk paham, bersamaan dengan itu ia pun mempersilahkan Carrol duduk disofa ruang tamunya. “Are you thirsty?”
“Yah sedikit..”
“Okay, tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan minum untukmu.”
Sepeninggalan Lenka, Carrol dan Chris bercakap-cakap ringan. Chris bilang, tidak usah sungkan-sungkan dengan Lenka, karena kekasihnya itu adalah sosok yang friendly. Dia mudah akrab dengan siapa saja termasuk orang yang baru dikenalnya. Carrol mengangguk paham, tidak perlu dijelaskan Carrol pun tahu itu.
Kemudian dari arah dapur tampak Lenka yang menghampiri mereka sambil membawa dua buah gelas kaca berisi syrup merah ditangannya.
Ditaruhnya gelas tinggi itu diatas meja ruang tamu lalu ia mempersilahkan Carrol dan Chris untuk segera meminumnya.
“Oh my God, semula aku pikir kau ini adalah kekasih barunya Chris!” celetuknya disaat Carrol tengah meneguk air berwarna merah tersebut.
“Ah tidak. Aku dan Chris hanya berteman” jawab Carrol sembari menaruh gelas --yang kini isinya tinggal ½-- itu kembali keatas meja.
“Lagipula aku hanya menyayangimu honey..” sahut Chris dengan tatapan nakal. Lenka hanya tersenyum mendengarnya begitu juga dengan Carrol. Menurutnya wajah Chris tampak lucu jika sedang merayu wanita.
“Ohya, sebenarnya aku kesini selain untuk mengantar Carry juga ingin mengobrol penting denganmu. Apa kau ada waktu?” sambung Chris dengan mimik serius.
“Of course..” Lenka tersenyum lalu mengalihkan pandangannya kewajah Carrol.
“Aku tinggal sebentar yah Carr? Kalau kau lapar dikulkas ada puding nanas yang baru saja ku buat tadi sore dan barang-barangmu itu boleh kau letakkan dikamar tamu. Aku tidak akan lama, karena aku ingin mengajakmu untuk makan malam bersama sebentar lagi..”
Setelah mendapat persetujuan dari Carrol, Lenka meraih tangan Chris, lalu membawanya menuju balkon diapartemennya.
Dari kejauhan Carrol melihat Chris yang mencium pipi Lenka tanpa basi-basi. Sebenarnya ia risih melihat adegan itu, apalagi jika diperagakan oleh pria semuda Chris! Tapi...... Ya sudahlah, semua orang punya kehidupan masing-masing. Lagipula ini kan di Kota, tepatnya lagi di Negara bagian Barat. Bukankah itu hal yang biasa?
Tanpa mau ambil pusing, Carrol langsung menggendong ranselnya lalu melangkah menuju kamar tamu.
Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak disana.
Merebahkan diri demi menghilangkan rasa penat ditubuhnya adalah pilihan Carrol saat ini.

***

Jam dinding dikamar Carrol berdentang 8 kali disaat Lenka mengetuk pintu kamarnya untuk mengajak makan malam bersama.
Diruang makannya yang sederhana Lenka duduk berhadapan dengan Carrol. Sementara Chris lebih dulu pamit pulang kerumahnya.
“Kalau aku boleh tau berapa umurmu?” tanya Lenka disela-sela aktifitas Carrol yang tengah menyantap spagheti buatannya.
Carrol mendongak, membersihkan noda saus spagheti diujung mulutnya dengan lap makan lalu menjawab pertanyaan itu sumringah, “Tentu saja boleh! Umurku 16 tahun. Kalau kau?”
Lenka membulatkan matanya. Yah walaupun mata sipitnya itu tidak bisa sebulat mata Carrol. Sepertinya dia terkejut, tapi karena apa? She don't know.
“We are the same age girl! Aku juga 16 tahun!” serunya berbinar-binar.
“Ohya?!”
Carrol juga tidak kalah terkejutnya. Ternyata umurnya sepantaran saja dengan Lenka. Tapi bukankah dia berpacaran dengan Chris? Chris kan umurnya baru 14 tahun! Apakah Chris pengikut Justin Bieber? Yaitu sama-sama pengagum wanita “berumur”? Carrol mengernyitkan dahi berusaha untuk menerka-nerka. Karena tidak menemukan jawabannya, Carrol pun menanyakannya pada Lenka.
“Lalu mengapa kau bisa menjalin hubungan dengan Chris?”
“Never mind, Chris memang suka menjalin hubungan dengan wanita yang lebih tua darinya. Seperti......”
“JiBi?!” tebaknya tepat sasaran.
“Yah Justin Bieber dan aku juga tidak keberatan jika harus berpacaran dengan brondong seperti Chris! Karena menurutku sifatnya dewasa..” ucap Lenka menjelaskan alasannya.
Carrol tersenyum miring mendengarnya, setelah itu kembali menyantap spagheti dipiringnya yang akan segera tandas hanya dengan 2 kali suap.
“Apa tujuanmu ke Kota New York?”
Lenka kembali memecah keheningan dengan sebuah topik baru. Carrol pun menjawab pertanyaan Lenka tanpa menoleh kearahnya.
“Just for a vication..”
“Just it?”
“Yeah..”
“Batal menyaksikan konser Justin?”
Carrol terkesiap, detik selanjutnya ia langsung meraih segelas air putih yang ada dihadapannya untuk melegakan kerongkongannya yang tercekat.
Ternyata dugaan Carrol benar. Khatrien telah menceritakan semuanya pada Lenka.
Alhasil mau tidak mau Carrol pun mengiyakan ucapannya tersebut.
“Yah awalnya sih begitu, tapi sepertinya aku harus membatalkan niatku itu..”
“Why?”
“Uang untuk membeli tiket sudah aku berikan kepada seorang gadis kecil yang aku kenal di stasiun..”
“Bodoh! Kalau kau ingin sekali menonton kenapa uangnya malah kau berikan kepada orang lain?!” cetus Lenka tajam.
Carrol tersenyum santai, “Dia membutuhkan uang itu”
“Tapi kau juga membutuhkannya kan?!”
“Of course. Tapi setidaknya dia lebih membutuhkannya daripada aku. Ibunya sakit keras Len, dan aku tidak akan mungkin membiarkannya kehilangan orang yang disayanginya itu. Coba kau bayangkan kalau itu terjadi pada Ibumu? Kalau aku pribadi sih tidak akan tega..” jawab Carrol panjang lebar.
Lenka terdiam mendengarnya. Raut wajahnya perlahan-lahan berubah sedih, lain dari biasanya. Mungkin selama ini dia tidak pernah peduli pada orang lain. Entahlah! Daripada bertahan disituasi yang seperti ini, Carrol pun langsung beranjak dari ruang makan. Mengangkat piring-piring kotor dan membawanya menuju wastafel untuk segera dibersihkan.
“Kau sangat mengagumi Justin?”
Lenka menghampiri Carrol lantas membantunya mencuci piring. Dibilasnya piring-piring kotor itu dengan air bersih sambil terus menantikan jawaban dari wanita yang baru dikenalnya beberapa jam tadi.
“Sangat, sangat, dan sangaaaaaaat mengaguminya! Bahkan mungkin aku mencintainya Len..” tutus Carrol sambil meremas-remas spon pencuci piring sehingga menimbulkan busa yang melimpah dan ia menyenangi itu.
Lenka tersenyum lebar, pengakuan Carrol itu membuatnya berhasrat untuk menggodanya habis-habisan. “So, apa itu artinya kau ingin menjadi kekasih Justin?”
“If that's possible why not?” ucapnya sambil mematikan kran di wastafel. Yah, selesai sudah acara cuci piring mereka malam ini.
“Seandainya kau bertemu dengan Justin apa yang akan kau lakukan?” tanya Lenka lagi.
Kali ini ia mengikuti langkah Carrol yang berjalan menuju kamar tamu.
Setibanya disana Carrol pun langsung menghempaskan tubuhnya diatas kasur yang empuk lalu disusul oleh Lenka. Wanita itu merebahkan dirinya tepat disamping Carrol.
“Yah layaknya fans pada umumnya. Seperti minta tanda tangan, menyanyi bersama, berpose bersama, dan yang paling ekstrim paling-paling aku minta peluk!” jawab Carrol malu-malu.
“Kau tidak ingin menciumnya?”
Carrol bergidik kecil, kemudian bangkit dari tidurnya. Duduk ditepi ranjang sambil berpura-pura sibuk dengan majalah yang berada dipangkuannya. “Ehem..” Deheman kecil yang diberikan oleh Carrol itu membuat Lenka tidak sabar untuk menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir mungil Carrol. “Aku memang mencintainya dan sangat mengaguminya. Tapi aku rasa aku tidak akan berbuat selancang itu Len. Kecuali kalau dia yang......”
“Menciummu?”
“Yah, itu pun hanya boleh sebatas pipi”
“Kau munafik!”
Sontak Carrol pun menoleh kearah Lenka. Menatapnya dengan alis yang terangkat sebelah. Apa maksudnya?
“Akuilah kalau kau juga ingin merasakan hangatnya ciuman Justin!”
“Kau fikir aku sama dengan fans-fans nya yang lain? I'm different girl! Aku menghormati setiap jengkal bagian ditubuhku. Aku tidak akan membiarkan seseorang menjamahnya dengan bebas, walaupun itu sekedar ciuman dibibir! Dan disatu sisi aku merasa risih jika melakukannya diumur semuda ini..”
“Walaupun yang memberinya itu seorang Justin Bieber yang notabene nya adalah idola beratmu?”
“Tetap tidak. Lagipula ciuman Justin sudah mendarat banyak dibibir setiap kekasih maupun fansnya! Dan aku akan menjadi fans pertama yang sok jual mahal padanya..” ucap Carrol mantap.
Lenka menghela napas dengan berat, sepertinya dia agak aneh dengan sifat Carrol yang sekilas tampak munafik itu. “Kau ini bodoh atau dungu? Kau bilang kau ingin sekali menjadi kekasih Justin tapi kenapa dicium saja kau tidak mau? Padahal Justin selalu melakukan itu dengan kekasihnya..”
“Mencium tidak mesti dibibir kan? Pipi, dahi, atau tangan juga bisa!”
“Kau bukan asli barat?”
“Yah Ibuku orang timur tepatnya di Indonesia..”
“Pantas! Tapi sepengetahuanku di Indonesia juga banyak kok yang melakukan first kiss diusia sepertimu..”
“Aku kan sudah bilang aku adalah tipe wanita yang menghormati seluruh aset berharga ditubuhku. Aku belum pernah melakukannya dan aku tidak akan melakukan itu setidaknya sampai aku dewasa kelak!”
“Mustahil..” desisnya pelan.
Pandangannya meremehkan Carrol tapi Carrol tidak mau ambil pusing. “Whatever!” tandas Carrol sambil merebahkan kembali tubuhnya, lalu menutup wajahnya dengan sebuah bantal.
“Bagaimana Justin akan menyukaimu?” gumam Lenka lagi. Tetapi tidak Carrol tanggapi, mungkin Carrol sudah terlelap. Bersamaan dengan itu berakhirlah perdebatan mereka malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar