Pura Pura Cinta

Senin, 13 Juni 2011

We are Different (Not Including Own) Bab.2 [Part.4]

MiNia Story



BAB.2

<3 The Girl is She <3

(Part.4)

Drama tetap berjalan..
Berusaha mengikuti alur yang telah digariskan..
Dari satu kebohongan ke kebohongan yang lain pun terus diucapkan..
Dengan satu alasan, yakni kebahagiaan..

***

“Jaxon?”
“Ahya itu aku dibantu oleh seorang bapak tua yang kebetulan melihatku dirumah panggung. Beliau menghampiriku lalu mengajakku bercakap-cakap sebentar. Dan----”
“Kau yang memintanya untuk mengantarkanmu kesini?” tebak Carrol menyela penjelasan Justin.
Justin mengangguk lemah. Gerakan kepala kebawah yang berarti “iya”. Yah, karena memang benar itu yang ingin ia katakan tadi, hanya saja keburu dipotong oleh Carrol.
“Apa bapak tua itu berkepala botak dan bertubuh pendek?” tanyanya lagi.
Justin mengedutkan dahi. Ia pikir disaat diintrogasi seperti ini jawaban yang aman hanyalah satu, yakni “YA” atau hanya sekedar anggukan kepala saja.
Untuk yang kesekian kalinya Carrol terdiam, matanya pun memicing lalu tiba-tiba senyumnya terkembang dengan sangat manis.
“Oh ya sekarang aku percaya! Itu Mr. Jerry, beliau yang merawat dan menjaga bukit ini Jaxon.” ujar Carrol sedikit memberikan penjelasan.
Entah sudah yang keberapa kalinya Justin mengelus dada, seolah tidak peduli dengan bapak tua yang bernama Mr. Jerry itu yang terpenting adalah kebohongannya masih bisa tertutupi saat ini.
Percayalah, disaat keadaan genting dan engkau dihadapkan oleh dua pilihan seperti “Ya” atau “Tidak”, maka jawaban yang tepat adalah “YA”, karena jawaban itu cenderung bersifat mengamankan.
Carrol tertawa kecil lalu ikut menghempaskan bokongnya disamping Justin. Batu yang besar sehingga cukup diduduki oleh dua atau bahkan 3 orang sekalipun.
“Maafkan aku, aku pikir kau telah membohongiku.”

DEGH....!
Hati Justin mencelos disaat Carrol meminta maaf. Nada bicaranya terdengar menyindir. Apakah itu yang namanya firasat? Carrol sudah mulai berpikiran buruk tentangnya.
Maafkan aku Carry, bukan kau yang salah, tapi aku! Aku memang telah membohongimu, batinnya miris.
Rasa bersalah itu semakin terasa menusuk tatkala suara lembut milik Carrol mengusik ditelinganya.
“Kau mau memaafkanku kan Jax?”
Justin menjawab, “Ah tentu! Tentu saja aku mau memaafkanmu,” sedikit tersenyum tipis lalu, “Dengan senang hati.” katanya menambahkan.
Kedua ujung pada bibir Carrol pun tertarik untuk mengukir seulas senyum. Ditatapnya lekat-lekat Justin yang juga ikut tersenyum bersamanya.

Senyum itu? Senyum yang mirip dengan.......? Ah mungkin hanya penglihatanku saja. Tidak mungkin seorang penyanyi terkenal buta! Pasti infotainment akan heboh!

Carrol menggelengkan kepalanya dalam tempo cepat. Berusaha membuang semua pikiran buruk yang bersarang dibenaknya.
Disampingnya nampak Justin tengah memetik pelan senar gitarnya, dan kembali bersenandung.
Tapi kali ini Justin melakukan hobinya itu dengan pandangan yang menerawang kedepan. Sengaja agar Carrol mempercayai bahwa dia memang hafal berbagai chord lagu yang terdapat di gitar kecil miliknya tersebut. Bukan murni kebohongan sih, karena ini memanglah skill yang Justin punya.
“Waw hebat sekali kau bermain gitarnya! Belajar dimana?” puji sekaligus tanya Carrol bertepuk tangan dengan tulus. Sontak Justin pun menghentikan permainan gitarnya tadi lalu meletakkan alat musik itu dipangkuannya.
“Ah tidak, aku menyukai gitar sejak kecil, dan mungkin ini hanya karena terbiasa.” tukasnya merendah. Entah mengapa pujian yang diberikan oleh Carrol terdengar lain dari pujian yang dilontarkan gadis-gadis kebanyakan, bahkan Zelena pun tidak pernah memujinya setulus itu. Pujian dari hati yang bagaikan sengatan matahari disiang bolong sehingga sukses membuat pipinya merah memanas. Sungguh ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
“Ah Jaxon, tidak baik terlalu merendah. Menurutku kau hebat! Kau tidak bisa melihat tetapi kau bisa memainkan gitar itu dengan baik dan benar. Bukankah itu hebat? Suaramu juga indah! Mirip dengan suara idolaku, Justin Bieber! Kau kenal dia kan? Bahkan senyummu pun semanis senyumannya!” puji Carrol panjang lebar. Nada suaranya yang terdengar menggebu-gebu pun tidak dapat disembunyikannya lagi. Bukan, bukan karena Carrol menyukai pemuda tunanetra itu, hanya saja ia ingin keheranannya terjawab kali ini.
“Emmmm~ kalian bukan orang yang sama kan?” sambungnya dengan nada menyelidik.
Sebenarnya itu pertanyaan konyol, karena pada dasarnya Carrol sendiri tidak yakin bahwa pemuda ini adalah Justin Bieber, penyanyi idolanya. Namun, pertanyaan itu muncul begitu saja tatkala ia mendengar suara dan melihat senyuman Jaxon as Justin.
“Aku mengenalnya, tetapi aku bukan Justin. Aku sering mendengar namanya disebut-sebut oleh kaum hawa. Apakah dia setampan Pangeran William? Kata orang-orang dia tampan!” tanya Justin antusias. Ada sekelumit nada ketidaksenangan diucapannya dan Carrol dapat merasakan itu.
Buru-buru ia pun menggelengkan kepalanya dengan tegas, “Ah tentu saja kau bukan Justin! Lagipula pertanyaan ku tadi bukanlah pertanyaan yang serius kok! Jadi, kau tidak perlu tersinggung seperti itu Jax. Errrr~ menurutku dia lebih tampan dari Pangeran William,” Carrol tersenyum sambil membayangkan wajah tampan idolanya. Menghembuskan nafas satu kali, lalu, “Sama seperti kau!” lanjutnya tanpa mau berhenti tersenyum manis.

Justin mengalihkan wajahnya kesamping.
Ya ampun Carry! Kau senang sekali membuatku salah tingkah, batinnya menggigit bibir.
Jika selama ini selalu Justin yang membuat wanita tersipu malu, maka berbeda dengan sekarang. Saat ini malah dirinya yang harus merasakan hangatnya pipi yang bersemu merah. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Tersipu-sipu disaat si dia memuji kita? Ah entahlah!

“Kau sangat mengidolakannya?”
Suara Justin kembali menggema ditelinga Carrol. Membuat gadis itu refleks menengok kearahnya, “Of course! Tapi bertemu dengannya hanyalah mimpi. Do you know Jaxon? Bahkan untuk menonton konsernya saja Ibuku tidak memperbolehkan itu.” curhat Carrol, miris.
“Why?!”
Justin sedikit kaget mendengarnya. Jika ia tidak mengenakan kacamata, mungkin kalian dapat melihat kedua bola matanya yang melebar dengan sempurna sekarang. Apa salah ku? Kenapa Ibunya Carrol tidak suka jika Carrol mengidolakanku? Itu adalah dua dari sekian banyak pertanyaan yang menghuni diotak Justin.
Masih menatap hangat Justin, Carrol pun menjawab, “Entahlah! Sepertinya beliau hanya kurang suka.” jawabnya agak menggantung. Bukan sengaja, tapi ia memang tidak begitu tahu dengan alasan sang Ibu.
“Hhh, padahal aku sangat memimpikan untuk menghadiri konser Justin. Siapa tahu aku bisa menjadi OLLG dikonsernya! Jax, sejujurnya aku ingin sekali mendengarkan senandungnya dari jarak yang dekat! Tapi menurutmu apa itu mungkin?”
Carrol memandang Justin nanar. Berharap pemuda itu mau mengeluarkan setidaknya satu saja kalimat penyemangat untuknya.
Disaat ia tidak yakin dengan impiannya sendiri layaknya sekarang, ia hanya ingin ada seseorang yang menguatkannya. Memberikan dorongan bahwa nothing impossible in this world! Yeah, hoping.

Carry, aku disini shawty! Aku Jaxon sebenarnya adalah idolamu si Justin Bieber itu. Ayo peluklah aku sekarang! batinnya berteriak.
Sejujurnya ia ingin melepaskan kacamata hitamnya dan memeluk gadis itu, tapi sayangnya ia belum ingin kebenaran terbongkar sekarang, karena ini belum waktunya.
Apalagi jika mengingat cerita Carrol yang mengatakan kalau Ibunya kurang suka jika Carrol mengagumi dirinya! Akhirnya terurungkanlah niat yang mengisi separuh relung hatinya tadi.

“Ingat kata Justin kan? Never say never! Teruslah bermimpi Carry, hingga suatu saat nanti engkau berhasil mendapatkannya.” ceplosnya asal.
Carrol speachless, terpaku disamping Justin dengan mulut ½ terbuka. “Never say never” adalah satu kalimat yang sering ia baca didalam mention yang beliebers kirimkan ke twitter Justin. Setiap para penggemar Justin memohon-mohon untuk difollowback, pasti mereka mencantumkan kata-kata itu diakhir kalimat.
Entah berapa kali “Never say never” yang mereka kirimkan, yang jelas hingga Justin mau memfollowback mereka.
Dan tak dapat dipungkiri, seringkali Justin mengabulkan keinginan para beliebers itu. Apakah hal demikian juga berlaku untuk Carrol? It's okay, mungkin sudah saatnya Carrol mempercayai satu kalimat ajaib yang berbunyi “Never say never” tersebut. Toh itu bukanlah hal yang sulit.
“Aku akan bernyanyi untukmu. Saat ini anggaplah aku Justin Bieber bukan Jaxon Keynes. Apa kau bisa?” lanjut Justin merangkul Carrol dengan sebelah tangannya. Hal yang tiba-tiba membuat jantung Carrol berdetak lebih cepat dari biasanya, namun perasaan aneh tersebut buru-buru ditepis oleh gadis itu. Ia tersenyum simpul dan tentu saja memberikan jawaban dengan 3 kata, yakni, “Yeah, I can!”.

Begitulah sepanjang sore Carrol menghabiskan waktunya berdua dengan Justin. Bernyanyi dan tertawa bersama dibukit Bignius tepatnya ditepi danau. Entah mengapa berada didekat Justin, Carrol merasa nyaman. Ia seolah-olah tidak peduli dengan kebutaan yang Justin alami. Kemudian setelah bernyanyi mereka berbagi kisah. Bertukar cerita ditemani sang dewi angin yang bertiup sepoi-sepoi. Benar-benar sore yang menyenangkan!
Tanpa terasa hari pun sudah senja. Carrol memutuskan untuk membawa serta Justin kerumahnya. Awalnya Justin ragu dan takut kalau-kalau Ibunya Carrol tidak menerima kehadirannya nanti, tapi berkat bujukan Carrol yang terus-menerus memaksanya, akhirnya ia pun pasrah.
Membiarkan si gadis menyeret tangannya keluar dari area BHS untuk menuju halte terdekat. Maklum, letih yang mendera mereka membuat keduanya sepakat untuk kembali kerumah dengan menggunakan jasa taksi.

***

Rumah sederhana itu nampak lengang. Dari teras hingga keruang tamu tidak ada tanda-tanda keberadaan satupun makhluk yang bernama manusia.
Setelah menutup rapat pintu rumahnya, Carrol pun membimbing Justin menuju ruang tengah. Sepi! Tetap tidak ditemukan sesosok wanita paruh baya yang tengah dicarinya.
Tidak mungkin kalau jam segini Ibu belum pulang, pikir Carrol berasumsi sembari melirik jam tangan persegi miliknya.
Mom Eliana adalah pekerja keras yang disiplin. Waktunya kerja yah dipakai untuk kerja, begitu juga dengan sebaliknya. Oleh sebab itu, kegiatan dirumah dan ditoko kue pun tidak pernah terbengkalai.
Carrol mendecak pelan. Diperintahkannya Justin untuk menunggu diruang tv sebentar, sementara ia sendiri langsung masuk kedalam kamar.
Menggantungkan tasnya dibelakang pintu, lalu keluar lagi tanpa mengganti baju seragamnya terlebih dahulu.

Aroma asap yang bercampur dengan berbagai macam bumbu rempah-rempah menusuk indera penciuman Carrol, dan bau itu berasal dari dapur. Apa itu artinya Ibu sudah pulang?
Refleks kedua kaki Carrol pun berbelok menuju dapur dan menghampiri Mom Eliana yang sedang berjibaku dengan alat pemanggang barbeque miliknya.
“Hai Mom!” sapanya sumringah.
Mom Eliana menoleh, sejenak menghentikan kesibukannya.
“Carry, kau sudah pulang?” tanyanya menengok kebelakang.
Carrol mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berjalan menuju wastafel. Mencuci kedua tangannya dengan bersih, lalu mendekati Mom Eliana untuk membantunya memasak makan malam.
“Mom masak apa?”
“Masak menu kesukaanmu dear.” jawab Ibunya tanpa menoleh kearah Carrol.

Tak perlu bertanya lebih lanjut, karena cukup dilihat dari apa yang dipanggang, Carrol tahu Ibunya tengah memasak ikan gurame bakar untuknya. Ya! Itu adalah salah satu menu favoritenya.
Carrol menelan ludah. Ia sudah sangat merindukan rasa manis bercampur gurih dari daging ikan gurame yang Ibunya bakar itu. Hmm, rasanya pasti sangat menggoda lidah.

“Ahya kenapa kau baru pulang? Bukankah seharusnya sejak 2 jam yang lalu kau sudah ada dirumah?” tanya Mom Eliana disela-sela aktifitasnya menumis sayuran yang sejenis kangkung.
Carrol terkesiap. Detik selanjutnya ia segera menutup mulutnya dengan kedua belah tangan.
Teguran halus sang Ibu mengingatkan Carrol pada sosok Justin. Pemuda itulah yang menyebabkan Carrol pulang terlambat.
Dan sekarang apakah ia masih berada diruang tengah? Ah betapa bodohnya Carrol yang melupakan Justin hanya karena bau asap ikan gurame kesukaannya.
Dengan tergopoh-gopoh ditariknya tangan sang Ibu untuk mengikuti langkah panjangnya yang melaju keruang tengah.
“Mom, coba kau lihat dia!” pinta Carrol menunjuk kearah sofa yang terletak tepat didepan tv berukuran 34 inch. Nampak Justin yang masih duduk manis disana.
Ia tetap berpura-pura stay cool, walaupun bahunya sedikit bergidik ketika mendengar seruan Carrol. Agak kaget rupanya.
“Siapa dia?!” Pelipis Mom Eliana terangkat dengan sendirinya.
Carrol hanya tersenyum. Lalu, tanpa ada rasa takut ia menjawab, “He is my new friend Mom! Mom mau kan berkenalan dengannya?”
Tidak ada jawaban. Tahu-tahu Carrol langsung menarik lengan sang Ibu untuk berkenalan dengan Justin.
Sementara itu Justin meremas-remas kesepuluh jarinya. Ia sangat takut sesuatu yang buruk akan terjadi hari ini.
Jantungnya semakin berdegup kencang diwaktu Carrol beserta dengan Mom Eliana sudah berdiri dihadapannya.
Oh God! Lindungi aku, batinnya cemas.
Dari belakang kacamata hitamnya, ia bisa melihat wajah Mom Eliana dengan jelas. Gurat-gurat keriput dibagian kening dan kedua ujung matanya tetap tidak menutupi kecantikan paras wanita itu.
“Jaxon, kenalkan ini Ibuku. Namanya Eliana Alamsyah Bowling. Kau cukup memanggilnya dengan sebutan Mom Eliana.”
Carrol meraih telapak tangan Justin dan mengarahkannya untuk bersalaman dengan Ibunya.
“Jaxon Keynes.” ucap Justin pelan. Bersikap tenang demi menutupi rasa nervous yang menderanya.
Mom Eliana mengangguk kecil, lalu melepaskan jabatan tangan itu perlahan.
“Mom, apa boleh Jaxon tinggal dirumah kita? Kasihan Jaxon, dia tersesat dan dia tidak punya siapa-siapa didesa ini,” tutur Carrol begitu memohon. “Aku rasa dia bisa menempati kamar tamu!” lanjutnya masih dengan intonasi suara yang penuh harap.
Kedua pasang mata milik Mom Eliana memicing. Tatapannya yang menyelidik itu membuat Justin semakin gelisah.
Ia tahu, Mom Eliana pasti meragukan keadaannya. Tapi ia tidak ingin memberitahukan kebenarannya sekarang. Jika memang tabir itu harus terkuak, maka biarlah dia terungkap dengan sendirinya.
“Mom tidak berpikiran untuk mengusir Jaxon kan?” ujar Carrol lagi.
Mom Eliana menggeleng. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin ia membiarkan Justin keluyuran diluar rumah sementara matahari sudah merangkak naik keperaduannya? Bergantian dengan bulan untuk menerangi planet bumi. Sungguh ia tidak akan tega.
“Tidak, biarkan Jaxon tinggal dirumah kita. Mom senang dengan kehadirannya.” jawabnya sebelum beranjak dari sana.
Meskipun Mom Eliana mengatakan setuju atas kedatangannya, tapi Justin harus tetap waspada. Karena dari pancaran matanya, nampak Ibunda Carrol itu seperti meragukan sesuatu. Apa yang tengah diragukannya? Itu masih menjadi tanda tanya besar dibenak Justin.

***

Justin merebahkan tubuhnya diatas kasur.
Merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu menggeliat kecil.
Sejarah baru. Malam ini untuk yang pertama kalinya ia dapat merasakan “nasi”. Makanan pokok khas Indonesia itu sangat terasa lezat diindera pengecapnya.
Awal mulanya hambar, tapi setelah dikunyah rasa manis akan menyeruak ditengah-tengah lidah.
Jauh mengenyangkan dibanding spaghetti, pizza, atau burger sekalipun.

Pandangan Justin menerawang, menatap langit-langit kamar tamu dirumah Carrol yang sekarang telah menjadi kamar pribadinya. Kecil sih, tetapi nyaman.
Walaupun tidak ada AC, tapi kipas angin kecil yang menggantung didinding juga sudah cukup untuk mengadem-ayemkan udara dikamar itu.
“Hoaaaammmm...” Justin menguap beberapa kali. Hembusan kipas angin yang membelai wajahnya membuat Justin didera kantuk yang amat sangat.
Namun, baru sekejap Justin memejamkan matanya, ia pun refleks terbangun lagi ketika mendengar kebisingan dari arah samping rumah Carrol.
Disibaknya tirai lebar yang menutupi jendela kayu tersebut.
Sekali tarik terlihat wujud seorang gadis yang tengah memotong sebilah bambu dengan sebuah golok.
Apa yang dikerjakannya? Justin kurang paham.
“Carrol? Apa yang sedang ia lakukan disana?” gumam Justin seraya menutup kembali gorden yang dibukanya tadi.
Beranjak keluar kamar dengan kacamata hitam yang selalu setia menemaninya.

Gelap. Halaman samping rumah Carrol itu tampak sepi sekali.
Dengan berbekal lampu minyak, Carrol melakukan suatu pekerjaan yang Justin sendiri tidak tahu apa?
Yang jelas bunyi tebasan golok terdengar nyaring memekakkan telinga.
Justin terus memperhatikannya dari jauh. Hingga akhirnya Carrol pun beringsut dari bawah pohon bambu tersebut seraya membersihkan roknya dari sisa-sisa debu yang menempel.
Raut mukanya nampak berseri-seri disaat memandangi hasil pekerjaannya.
Walaupun jaraknya cukup jauh, tapi Justin dapat melihat benda apa itu? Yap, tongkat!
Apa tongkat itu untuknya?
Sebelum Carrol melihat dirinya, Justin pun buru-buru pergi dari sana.
Bergegas masuk kedalam kamarnya dengan perasaan yang campur aduk.

`Tok... Tok... Tok...`
Carrol mengetuk pelan pintu kamar Justin dengan sebelah tangannya. Sementara sebelahnya lagi ia pergunakan untuk memegang sebilah bambu panjang hasil buatannya yang memakan waktu selama hampir satu jam penuh. Dan itu khusus untuk Justin!
“Jaxon, ini aku Carry. Apa kau didalam?” tanya Carrol ½ berteriak.
“Ya, aku didalam. Masuk saja Carry! Pintunya tidak ku kunci kok.” jawab Justin balas teriak.

CKLEK....!
Hanya satu kali putaran kekanan, pintu kamar Justin pun terbuka dengan lebar.
Didalamnya nampak Justin yang terduduk ditepi ranjang. Berlagak menyibukkan diri bersama gitar kesayangannya. Padahal...?

“Jax, ini untukmu.” katanya seraya menyerahkan tongkat tersebut ketangan Justin.
Pemuda itu terpaku menatap gadis yang kini berada didepannya. Gadis yang masih setia memamerkan senyum termanisnya meskipun dalam keadaan letih seperti sekarang.
Pretty! Keringat yang mengucur didahi Carrol tidak lantas menjadikan kecantikannya pudar. Yang ada malah membuat Justin semakin mengaguminya.
Gadis itu rela membikinkan dirinya tongkat, padahal ia sendiri belum mengganti seragam sekolahnya dengan baju rumahan.
Apa Carrol memang berhati malaikat?
Gadis yang terlalu baik, pikirnya dalam diam.
“Hei! Kenapa tidak kau ambil? Aku sengaja membuatkanmu tongkat ini agar kau bisa menopang tubuhmu disaat berjalan. Aku pikir tidak baik jika kau terus-menerus bergantung kepada orang lain. Kau harus bisa berdiri sendiri Jaxon! Apa kau tidak suka dengan tongkatnya?” Justin terlonjak kaget. Serta-merta ia pun menggeleng pelan, “Errrr~”
“Sudahlah, kau harus belajar menggunakan tongkat! Aku kekamar dulu yah? Kamarku terletak disebelah kamarmu. Jadi, kalau kau perlu sesuatu silahkan datangi aku. Aku bersedia membantumu asal kau mau menggunakan tongkat itu. Bye Jaxon!”
Carrol meninggalkan kamar Justin setelah mengucapkan beberapa patah kata.
Ah, bukan! Bukan beberapa patah kata, melainkan beberapa patah kalimat.
Yah terkesan cerewet sih, tapi itu lucu!
Tahu-tahu Justin sudah tersenyum lebar saja mendengar ocehan Carrol tadi. Sampai-sampai ia sendiri lupa mengucapkan terima kasih atas tongkat yang diberikan gadis tersebut.
“Carry?”
Percuma. Wujud gadis itu telah menghilang dari pandangan Justin, dan bahkan siluetnya pun sudah tak terlihat lagi.

Well, ini bukan masalah. Tinggal datangi saja Carrol kekamarnya! Gampang bukan?
Lekas-lekas Justin menyambar tongkatnya untuk kemudian melangkah keluar dengan bantuan alat pelengkap sandiwaranya itu.

Setibanya disana, tanpa permisi dan basa-basi Justin pun langsung membuka pintu kamar bercat ungu pucat yang ada dihadapannya.
“Kyaaaaaa.....”
Carrol berteriak histeris. Ia terkejut, karena diwaktu Justin membuka pintu kamarnya, kebetulan ia sedang mengganti pakaian.
Namun, mulutnya kembali mengatup dengan rapat tatkala ia mengingat bahwa Justin kan buta!
Sedangkan diambang pintu Justin malah melongo. Ekspresi Carrol sungguh berlebihan! Padahalkan dia tidak sepenuhnya telanjang bulat, pada waktu itu dia masih mengenakan tanktop. Jadi mengapa mesti malu?
Dalam hati Justin bersungut, jangankan tanktop, melihat wanita yang hanya mengenakan bikini ataupun bra saja dia sudah sering kok! Namun ia bersikap biasa seperti tidak sedang melihat apa-apa.

Setelah mengetahui kedatangan Justin, Carrol pun cepat-cepat memasang piyamanya. Lalu ia segera menghampiri si pemuda yang masih betah mematung didepan pintu kamar dengan memegang tongkat kayu ditangan kanannya.
“Kau membuatku kaget Jax! Kenapa kau tidak mengetuk pintu terlebih dulu?” protes Carrol memecah keheningan malam.
“Maaf yah Carr? Aku lupa.”
Carrol tersenyum sambil menggeleng pelan, “Tidak masalah. Kau dan aku sama-sama lupa! Kau lupa mengetuk pintu, sementara aku lupa menguncinya. Kita berdua sama-sama salah Jax. Lantas apa tujuanmu datang kekamarku?”
Belum sempat Justin mengeluarkan satu patah kata, Carrol keburu menyambungnya, “Aww! Rupanya kau sudah pandai menggunakan tongkat itu Jax. Aku senang melihatnya!” seru Carrol berbinar-binar. Pancaran matanya yang bersinar seakan-akan menandakan kegembiraan hatinya saat ini. Ya! Siapa yang tidak senang jika melihat seseorang menggunakan pemberian dari kita? Bukankah itu sama artinya dengan menghargai?
“Ahya tongkat ini sangat membantuku Carry. Aku senang mendapatkan ini darimu! Sangking senangnya, sampai-sampai aku lupa berterima kasih. Hehe, thanks yah?”
Carrol ikut tertawa kecil sembari berucap, “Kembali kasih Jax. Lalu, apa kau kekamarku hanya untuk berterima kasih?” Justin mengangguk, kemudian tertegun sejenak.
Tanpa Carrol ketahui, Justin mengamati setiap sudut kamarnya yang sederhana itu.
Dinding ungu berhiaskan poster-poster Justin, sederet majalah dengan cover Justin, setumpuk kaset vcd berisikan lagu-lagu Justin..... Ah, semua serba Justin! Sebegitunya kah Carrol mengagumiku? pikirnya sedikit GR.
“Jaxon? Kau melamun?”
Justin tersentak, tersenyum agak kikuk. Canggung rasanya disaat Carrol memergokinya tengah melamun seperti ini.
“Sudah malam, aku kekamar yah Carry? Good nite!” pamitnya seraya keluar dari kamar Carrol dengan bantuan tongkat tadi.

Sesampainya dikamar Justin langsung melepaskan kacamata hitamnya.
Mengunci pintu rapat-rapat agar apa yang ia lakukan berjalan dengan aman.
Sebenarnya tidak ada hal penting yang ingin ia lakukan, hanya saja saat ini tangannya gatal ingin mencoret-coret diselembar kertas.
Dengan semangat kedua kakinya bergerak menuju ransel hitam yang tergeletak asal disudut kamar. Lalu dikeluarkannya buku harian bersampul ungu muda miliknya.
Jika sebagian orang menganggap buku diary hanya milik kaum hawa, maka tidak demikian dengan Justin. Menurutnya, baik perempuan ataupun laki-laki berhak mempunyai buku harian. Karena disitulah biasanya seseorang dapat menumpahkan isi hatinya dengan lebih leluasa tanpa harus diketahui oleh banyak pihak. Tempat curhat yang aman dan dapat dipercaya!
Justin menimang purple diary miliknya, lalu membukanya tepat ditengah-tengah halaman.
Sebuah bolpoin hitam yang tadinya tersemat disisi kiri buku pun diketuk-ketukkannya diatas kasur.
Yah sebagai pemanasan sebelum akhirnya mencurahkan berbagai perasaan dihatinya hari ini dilembaran kertas berwarna pelangi tersebut.

»_________________________________________«

Dear purple diary...

Hari ini aku harus mengatakan bahwa tidak ada hal yang menyenangkan selain bersandiwara.
Memainkan suatu drama yang aku harap akan berakhir dengan happy ending.
Peranku disini cukup sulit, yakni menjadi seorang pemuda tunanetra yang miskin. Susah sekali menjiwainya! Kemana-mana aku harus memakai kacamata hitam dan sebilah tongkat -___- aku kerepotan guys! Tetapi ini menjadi tantangan tersendiri untukku :) lagipula lawan mainku sangatlah cantik dan berhati bidadari! Jujur, aku mulai tertarik dengannya <3
Hhh.. Akankah terjadi cinlok diantara kami? Entahlah! Aku ragu. Tapi apa mungkin dia menaruh hati pada seseorang yang buta sepertiku? Secara jiwa dan raga dia termasuk perfect! Aku rasa untuknya mendapatkan kekasih itu adalah hal yang mudah.
Dan aku hanyalah pemuda cacat yang tidak akan pantas jika disandingkan dengannya........

Tidak! Rentetan kalimat diatas hanyalah kebohongan yang aku ciptakan.
Sesungguhnya aku tidak buta dan juga miskin. Melainkan aku adalah seorang penyanyi muda yang pandai sekali berbohong.
Yah, aku telah membohongi Carrol dan juga Ibunya.
Ini bukan keinginanku, tapi ini adalah keinginan hatiku.
Aku tidak ingin semuanya terbongkar, karena aku masih ingin menghabiskan waktu liburanku dengan gadis didalam mimpiku itu.
Hanya satu kata, yaitu MENYENANGKAN! Walaupun aku tahu, suatu saat, cepat atau lambat kebohongan ini akan segera terungkap.
Ya! Seperti kata pepatah, kebohongan adalah kejujuran yang tertunda.
Dan sekarang aku hanya perlu bersiap-siap.

»_________________________________________«

Justin tersenyum kecil.
Jari telunjuk dan jari tengahnya yang mengapit disebuah bolpoin, menari-nari dengan luwes diselembar kertas kosong.
Kertas yang tadinya bersih itu kini tercoret oleh tinta hitam.
Menuliskan rangkaian kalimat kejujuran yang menggambarkan isi hatinya saat ini.
Setelah merasa puas, Justin pun menutupnya lalu menyimpannya kembali ditempat semula.
Finish! Justin menguap sembari mengubah posisi tubuhnya yang awalnya tengkurap menjadi telentang --masih-- diatas kasur.
Sepasang mata pemuda itu menerawang keatap kamarnya.
Termangu tanpa menghiraukan decitan tikus sawah atau malah nyanyian jangkrik malam.
Entah mengapa disaat sunyi seperti ini ia tiba-tiba saja merindukan sosok Ibunda tercinta.
Merindukan perhatiannya, omelannya, rayuannya, perintahnya, dan....... Ah terlalu banyak yang ia rindukan!
How are you Mom? gumamnya lirih.
Justin terbangun, lalu merogoh saku celananya.
Mencari benda keramat miliknya yang bernama handphone.
Setelah menemukan benda yang dicari, Justin pun memencet sejumlah tombol seraya merapatkan ponselnya tersebut ditelinga.
Cukup lama Justin menunggu panggilannya tersambung, hingga akhirnya seseorang diseberang sana pun menyahut.
“Hi Mom! How are you today?!”
Langsung saja raut muka Justin berseri-seri ketika teleponnya diangkat.
Dengan semangat penuh ia beranjak dari kasur menuju jendela yang ada di kamarnya. Berdiri ditepi lubang angin itu sambil membuka tirainya sedikit. Yap! Mengobrol dengan Ibunda tercinta sambil menatap rembulan adalah sesuatu yang good idea.
“......”
“Aku Justin Mom, bukan Kenny!” sungutnya dengan nada sebal, merajuk.
“......”
Justin menggaruk lembut tengkuknya pada saat menyadari kesalahan memang ada pada dirinya. Wajar kalau Mom Pattie mengira ia Kenny, karena ia menghubungi Mom Pattie dengan menggunakan nomer pribadi bodyguardnya itu.
“Yayayah...! Biarlah aku yang mengalah.”
“......”
“Huh!” Sahutan Mom Pattie sanggup membuat bibir Justin mengerucut layaknya ikan lohan. Tapi itu tidak berlangsung lama, tersebab Mom Pattie cukup pandai membujuknya.
“......”
“Ah Mom aku merindukanmu! I miss you so much!” serunya ½ menjerit. Tampak siluet wajah cantik Mom Pattie lengkap dengan senyuman hangatnya terlukis dibulan penuh yang tengah Justin pandangi. Ah membuat rasa rindu semakin menggelora saja!
“......”
“Oh tidak Mom! Aku memang merindukanmu, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“......”
Justin menghela nafas, “Entahlah Mom, aku sendiri kurang paham. Tapi yang jelas disini sangat menyenangkan!”
“......”
“Tentu tidak Mom! Tenang saja, aku pasti akan kembali ke Kanada kok!” jawabnya mantap. Sedikit terkekeh geli lalu menggoda sang Ibu tercinta, “Akuilah kalau Mom merindukanku.”
“......”
“Well, aku akan tidur. Tapi jika Mom mau bernyanyi untukku. Sejujurnya, aku juga merindukan nyanyian merdumu itu Mom!”
“......”
“Tunggu sebentar! Aku bersiap-siap dulu yah Mom?”
Justin bergegas menutup tirai jendela kamarnya, lalu merangkak naik keatas kasur bersiap untuk tidur. Setelah membungkus sebagian tubuhnya dengan selimut, Justin pun kembali menyahut, “Sudah Mom! Silahkan bernyanyi untukku.”
Justin memejamkan kedua belah kelopak matanya. Mendengarkan alunan lembut sang Ibu yang selalu berhasil membuatnya terhanyut dalam kedamaian.
“Twinkle-twinkle Little Star... How I Wonder What You Are...”
Dari seberang sana Mom Pattie bernyanyi untuk anak kesayangannya.
Sementara Justin mendengarkan lantunan lagu kesukaannya itu dengan sayup-sayup.
Dan lama kelamaan ia pun terlelap dengan begitu tenang.
Nyenyak. Sampai-sampai ponselnya dibiarkan menempel ditelinga.

***

Hari sudah larut malam.
Mom Pattie baru saja menyelesaikan urusannya dengan Scooter.
Tidak terlalu serius, karena mereka hanya membicarakan tentang proyek single terbaru Justin yang berduet dengan Zelena. Awalnya Mom Pattie kurang setuju kalau Justin bekerja sama dengan Zelena, tapi karena Justin dan Zelena bernaung dibawah management yang sama, akhirnya mau tidak mau ia pun harus setuju.
Lagipula pihak management mengatakan, single duet Justin dan Zelena akan cepat booming jika mengingat status hubungan mereka yang memang sepasang kekasih sungguhan.
Lalu, apa lagi yang mesti dipermasalahkan? Toh ini juga menguntungkan!

Mom Pattie menguap satu kali. Tiba-tiba saja rasa kantuk menderanya begitu cepat malam ini. Baiklah, tidur lebih awal bukanlah hal yang buruk.
Mom Pattie berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya. Namun, belum sempat ia memejamkan mata, ponselnya lebih dulu berdering.
Diraihnya ponsel lipat yang tergeletak asal diatas meja rias.
Setelah melihat siapa peneleponnya, ia pun langsung membuka lipatan handphonenya itu.
“Hai Kenny. Tumben sekali kau menelponku ditengah malam seperti ini! Ada perlu apa? Aku baik-baik saja.” jawabnya dengan kening yang mengerut. Bagaimana tidak? Sejauh ini Kenny tidak pernah menghubunginya diwaktu tengah malam seperti sekarang. Dan kali ini ia melakukannya? Tumben sekali!
“......”
Mom Pattie terkejut. Sangking kagetnya ponselnya hampir terlepas dari genggamannya.
Raut letih diwajah Mom Pattie berubah 180 derajat tatkala suara diseberang sana menyahut, memberitahukan siapa dia sebenarnya.
Pemilik suara itu seolah-olah menumbuhkan kembali rasa rindu dihati Mom Pattie.
Rasa rindu ingin bertemu dengan buah hatinya yang tersayang.
“Oh my God Justin anakku! Kau Justin sungguhan?! I'm so sorry dear! Jangan merajuk. Lagipula yang salah itu kan kau Nak! Kenapa kau menelepon Mom dengan nomer Kenny? Kau sengaja menukarnya? Seharusnya kau memberitahu Ibumu ini terlebih dulu!” sahut Mom Pattie panjang lebar, dan sedikit menasehati putranya.
“......”
“What the hell? Yang salahkan memang kamu!” cibir Mom Pattie ½ menggoda. Kemudian ia kembali menyahut, tatkala mendengar hembusan nafas Justin yang berbunyi agak kasar. Anak itu mulai merajuk rupanya, “Mom hanya bercanda Justin. 1 hari tanpamu rasanya sudah seperti 1 tahun lamanya saja!”
“......”
Wanita itu tersenyum haru. Jeritan putra semata wayangnya terdengar begitu so sweet ditelinganya. Ia yakin ucapan Justin barusan adalah ungkapan hatinya yang jujur tanpa direkayasa.
Pelan-pelan Mom Pattie melangkah menuju balkon kamarnya.
Menatap indahnya langit malam di Kota Kanada yang selalu dihiasi dengan sebuah bulan dan jutaan bintang berkilauan.
“Kalau kau merindukan Ibu, segeralah pulang Justin!” ucapnya penuh harap. Tidak muluk kok, ia hanya ingin Justin pulang dalam waktu 1-2 hari ini. Jangan seminggu! Karena itu terlalu lama.
“......”
“Apa yang kau cari disana? Bukankah kau sudah bertemu dengan gadis itu? Cepatlah pulang Justin!” pintanya bergetar, menahan tangis yang siap tumpah dalam hitungan detik.
“......”
Mom Pattie mendesah, “Kau tidak berniat untuk menetap disana kan Biebs?” tanyanya cemas.
Kegamangan menyelimuti hati Mom Pattie disaat mendengar Justin mengatakan kesenangannya terhadap sebuah desa yang ia sendiri tidak tahu namanya apa? Tapi sepertinya tempat itu benar-benar menarik.
“......”
Untuk yang pertama kalinya Mom Pattie akhirnya bisa tersenyum bersuara (tertawa.red) walaupun itu kecil.
Justin anaknya memang pandai menggoda wanita, “Baiklah Mom akui Mom juga sangat merindukanmu! Maka dari itu cepatlah pulang Justin! Apa kau tega membiarkan Ibumu kesepian disini? Hah kau ini! Ehya, mengapa jam segini kau belum tidur?” cerocos Mom Pattie tanpa titik dan koma.
Hari semakin larut, tetapi benda-benda langit seolah tidak pernah kehabisan tenaga untuk melaksanakan tugasnya.
Dibawah rembulan malam, nampak kumpulan kunang-kunang yang berterbangan dengan bebas. Santai tanpa beban! Cahaya ekornya yang keemasan terlihat sangat cantik.
Bicara tentang kunang-kunang, waktu kecil Justin sangat menyukai cerita tentang kunang-kunang. Yah! Selain senang mendengarkan senandung Mom Pattie, sebelum tidur Justin juga suka mendengarkan dongeng yang dibacakan oleh Ibunya itu. Salah satunya adalah dongeng tentang kunang-kunang, karangan sang Ibu sendiri.
“......”
Mom Pattie tersenyum, padahal baru saja ia membahas soal itu. “Bukan hal yang sulit! Okay, Ibu akan bernyanyi untukmu.”
“......”
Dengan setia Mom Pattie menunggu putranya bersiap-siap.
Selang 3 menit kemudian, Justin pun kembali menyahut, “Sudah Mom! Silahkan bernyanyi untukku.”
Mom Pattie menarik nafas sebelum akhirnya bernyanyi untuk sang putra tersayang.
Tidak perlu menanyakan lagu apa? Karena satu-satunya lagu penghantar tidur yang Mom Pattie hafal hanyalah lagu fenomenal dengan judul “Twinkle-Twinkle Little Star”.
Sambil menatap jutaan bintang yang berhamburan dilangit Mom Pattie pun menyanyikan lagu tersebut.
“Twinkle-Twinkle Little Star... How I Wonder What You Are? Up Above The World Out Side... Like A Diamond On The Sky...”

Singkat. Cukup menyanyikannya 1 bait, Mom Pattie sudah dapat mendengar dengkuran halus Justin.
Putranya itu tertidur tepat dibait terakhir.
“Good nite and have a nice dream Biebs.”
Mom Pattie tersenyum simpul, lantas mematikan sambungan teleponnya.
Sebelum benar-benar meninggalkan balkon kamarnya, tiba-tiba saja kedua mata Mom Pattie menangkap sebuah bintang yang paling bersinar!
Besar dan cahayanya pun lebih terang dari yang lain.
Didalamnya terlukis wajah Justin yang sedang tersenyum manis kearahnya. Teramat indah!
Bersamaan dengan itu setetes air bening pun meluncur bebas dari ujung sepasang mata bening milik Mom Pattie. Ah, ini membuatnya semakin merindukan sosok Justin, satu-satunya bintang dihatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar