^Piece Love Story By Minah Syalalabibeh^
Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi..
Aku semakin tersiksa karena tak memilikimu..
.............
“Ara!”
Seseorang memanggil namaku.
Dengan gerakan yang spontan aku pun memutar kepalaku ke
belakang ketika mendengar suara itu. Suara yang terdengar khas ditelingaku.
Suara yang mampu mengakibatkan ‘gempa
lokal’ dihatiku. Suara yang
datangnya dari dia, sahabat sekaligus orang yang telah mencuri perhatianku.
Suara yang....... Ah! Terlalu banyak kata yang ingin kutuangkan ketika sudah
mendengar suaranya. Intinya saja, suara itu kini sanggup membuatku rela untuk
sejenak menghentikan aktifitasku yang --sebenarnya-- tidak bisa diganggu gugat
oleh siapapun kecuali DIA. Menulis, aku senang melakukannya.
“Hai, Feb! Ada
apa?” Aku tersenyum kecil menyambut kehadiran Febrian yang tahu-tahu sudah
berdiri tegap di hadapanku. Sama halnya denganku, Febrian juga mengukir
senyum. Senyuman termanis yang pernah aku lihat.
“Aku mau
ngasih ini buat kamu,”
Febrian menyodorkan sebuah kertas undangan berbentuk hati yang kemudian
diletakkannya diatas buku tulisku. Bukannya menerima, aku malah mendelik heran.
Undangan apa itu???
“Siapa
yang ulang tahun?” tanyaku
kemudian.
“Itu bukan
undangan ulang tahun, Ra. Tapi, undangan ke acara little party aku. Cuma kamu
doang lho yang aku undang! Yah, itung-itung sebagai ungkapan rasa terima kasih
aku buat kamu.” jelas Febrian
terkekeh kecil diujung kalimat. Untuk yang kedua kalinya alis ku terangkat.
Terima kasih? Untuk apa pula Febrian berterima kasih? Dan seperti dapat membaca
arti dari tatapan mataku, Febrian pun kembali menyahut. “Kamu lupa yah? Kemarin kan aku sempat
curhat sama kamu, Ra. Tentang perasaan!”
Tentang perasaan? Aku bertanya -lagi- dalam hati. Buru-buru
kuputar memori ingatanku untuk menjelaskan maksud dari jawaban sahabatku itu.
Memangnya dia ada curhat apa sih semalam?
Untuk waktu yang cukup lama aku termangu. Dan pada akhirnya
aku pun ingat!
Kemarin..........
Kelas sudah sepi. Murid-murid juga telah pulang ke rumah
mereka masing-masing, berbeda dengan aku yang masih sibuk membereskan peralatan
tulisku yang nampak berserakan diatas meja. Di saat itulah Febrian datang
menghampiriku dengan wajah yang bisa dikatakan.... Eunggg~ no kidding! Yah,
serius.
“Ra, aku
pengen cerita sama kamu. Ini penting!” katanya dengan nada yang antusias.
Aku menoleh sedikit ke arahnya, lalu kembali memasukkan
buku-buku tulisku ke dalam tas. “Sepenting
apa sih Feb? Pentingan mana coba sama pertandingan Indonesia ngelawan Qatar
entar malem?” godaku jail.
Aku memang suka menggodanya, apalagi disaat Febrian lagi ingin serius seperti
sekarang. Tapi, aku rasa mood-nya memang lagi tidak bisa diajak bercanda,
karena ku lihat matanya langsung melotot garang seperti hendak menelanku tanpa
sempat dimasak.
“Aku serius!” gertaknya cukup membuatku takut,
lantas diam.
“Iya, iya.
Memangnya ada apa sih?”
“Aku, aku, aku
lagi jatuh cinta, Ra.” jawabnya sedikit tergagap, mungkin karena gugup. Febrian
sempat menatapku sesaat lalu setelah itu ia buru-buru mengalihkan pandangannya.
Aku tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu? Apakah gadis yang beruntung
itu adalah aku? Oh Tuhan, jika benar, betapa indahnya cinta yang Kau
anugerahkan untukku. Cinta yang bersambut tanpa ada istilah kata bertepuk
sebelah tangan.
“Menurutmu
aku harus gimana? Aku nggak mau dia di ambil orang.” lanjut Febrian cemas. Aku suka sifatnya
yang to the point. Langsung ke inti permasalahan seperti ini.
“Kalau
kamu takut dia di ambil orang, buruan nyatakan cintamu! Urusan diterima atau
enggak itu sih belakangan. Yang penting kamu udah bilang dan seenggaknya belum
ada kata menyesal kan?”
saranku pada saat itu.
Serta-merta lengkungan kecil pun tercetak indah dibibir
mungil Febrian. Ia menjentikkan jarinya seraya berseru, “Kamu benar Ra! Aku bakal nembak dia
secepatnya.”
Ya, seingatku hanya itu curahan hati Febrian kemarin. Apa
jangan-jangan dia?
“Dan
sekarang kamu udah jadian?”
tanyaku tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat menguasai kami selama
beberapa menit. Entahlah, kini aku merasa was-was. Aku takut mendengar jawaban
Febrian. Kalau dia bilang “Iya”, itu artinya bukan aku gadis yang
Febrian maksud kemarin.
“Yeap!
Tadi malam Sasa nerima aku Ra! Thanks yah? Ini semua berkat saran kamu.” Dalam sekejap aku sudah berada
dalam pelukan Febrian. Terdiam dengan napas yang tertahan. Jadi gadis itu?
“Sasa?” gumamku nyaris berbisik. Dunia
seakan runtuh. Menindih tubuhku hingga aku kesulitan bernapas. Dadaku sesak.
Rasanya seperti melayang tinggi di udara lalu
dihempaskan tiba-tiba hingga jatuh ke bawah padang mawar yang berduri.
Sakit!
Aku tersiksa karena kenyataanku sendiri. Kenyataan bahwa aku
tidak mampu memiliki Febrian. Febrian bukanlah untukku, dan aku juga bukan
untuk Febrian.
***
Kucoba jalani hari dengan pengganti dirimu..
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu..
.............
Sahabat jadi cinta itu adalah takdir.
Seperti aku yang ditakdirkan untuk mencintaimu.
Sahabat jadi cinta itu suatu proses.
Seperti aku yang kini sedang dalam proses untuk melupakanmu.
Sahabat jadi cinta itu sudah biasa.
Sangking biasanya, kini hal itu juga terjadi diantara aku
dan kamu.
Sahabat jadi cinta itu...................
Arrrrrgggghhhh! Dengan kesal ku remas kertas putih yang
tadinya kucoreti dengan berbagai kata bertemakan “Sahabat Jadi Cinta”, hingga kertas itu pun kumal
terlipat-lipat. Bodoh! Yah, aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku
menyalah-artikan kasih sayang yang selama ini Febrian berikan. Seharusnya sejak
awal aku sadar jika dia hanya menyayangiku sebagai sahabat! Bukan sayangnya
Romeo terhadap Juliet atau bahkan cintanya Qais pada Laila. Perhatian yang
Febrian beri untuk Ara is just a friend! Yah, hanya sebatas itu. Memang aku-nya
saja yang terlalu PD, ke-GR-an. Dasar Ara bodoooooooh.......!
“DORRRR!” Tiba-tiba seseorang mengagetkanku
dari belakang. Aku terkejut hingga nyaris terjungkal kebawah. Dan untungnya
pada saat itu aku cepat-cepat berpegangan erat pada tepian meja belajarku.
Kalau tidak, mungkin pinggulku yang akan jadi sasarannya.
Buru-buru aku memutar badan, “Ya ampun Azka! Ngagetin aja ih!” seruku melotot garang ketika tahu siapa orang yang telah berbuat
iseng, mengejutkanku seperti itu.
Dan dia adalah Azka, anak kelas sebelah yang berstatus
sebagai pacar pertamaku. Pemuda berkulit sawo matang itu menyatakan cintanya
padaku seminggu setelah Febrian menyebarkan berita prihal hubungannya dengan
Sasa. Terus terang aku tidak sedikitpun menaruh rasa pada Azka. Aku terpaksa
menerima cintanya. Eunggg~ lebih tepatnya aku SENGAJA menerima Azka, dengan
harapan aku dapat melupakan Febrian. Ya, aku memang jahat! Tapi ini
satu-satunya cara yang bisa kulakukan agar sakit hati itu lenyap. Sirna tanpa
perlu meninggalkan jejak.
Kini Febrian sudah menjadi milik Sasa dan aku lihat dia
bahagia. Sebagai sahabat sudah sewajarnya aku pun ikut bahagia. Walau ini
susah, namun akan aku coba.
“Maaf deh,
Ra. Lagian kamu masih pagi udah ngelamun aja.” Azka mencondongkan sedikit tubuhnya. Perlahan ia pun merebut
kertas putih yang nampak lecek dari kepalan tangan kananku. “Ini apa?” tanyanya seraya membuka kertas yang lusuh itu.
Aku ingin mencegahnya, tapi terlambat! Azka lebih dulu
membuka kertas itu dan membacanya dengan seksama. Sekarang aku hanya bisa
pasrah. Menggigiti bibir bawahku sembari menanti reaksi yang Azka berikan
ketika ia sudah selesai membaca isi dari kertas tersebut. Apakah dia akan
marah? Oh Tuhan, aku mohon jangan.
Setelah kurang lebih 3 kali Azka membacanya berulang-ulang,
ia pun kembali menaruh kertas itu di atas meja dan menatapku dalam-dalam.
Aku lihat raut wajahnya berubah. Mengeras, tidak selembut
biasanya.
Dengan cepat aku menunduk. Rasanya aku sudah tidak tahan
menatap sepasang mata elang milik Azka yang menyimpan sebuah kekecewaan
terhadapku. I know, ini memang salahku.
“Maaf,” Hanya satu kata itu yang akhirnya
terucap dari bibirku yang sekian lama terbungkam. Itu pun aku ucapkan dengan
nada yang bergetar. Aku takut.
“Aku tahu
kok Ra. Sahabat jadi cinta itu maksudmu Febrian kan? Jatuh cinta dengan sahabat
sendiri sudah biasa lagi.”
ucap Azka tersenyum santai. Reaksinya sungguh diluar dugaanku! Dia tidak
langsung memaki ataupun membentakku. Justru dia mengucapkannya dengan nada yang
tenang. Sedikit demi sedikit aku pun mulai berani mengangkat wajahku. “Tapi, please Ra, sekarang kamu
udah jadi milik aku. Apa perlu aku jadi sahabatmu dulu biar kamu bisa mencintai
aku?” lanjutnya menohok tepat
dijantungku.
Aku terdiam, bersusah payah menelan ludah dengan bibir yang
semakin kelu. Ternyata Azka memilih untuk menggunakan sindiran yang halus.
Memang tidak kasar, tapi rasanya jauh lebih sakit.
Semenit...
2 menit....
3 menit sudah berlalu, namun tidak ada satu kata pun jawaban
yang bisa keluar dari mulutku. Rasanya bibirku seperti tergembok dan susah
sekali untuk dibuka.
Untungnya tidak lama kemudian bel masuk langsung berbunyi.
Membuat Azka menghela napas berat seraya --mau tidak mau-- berlalu pergi
meninggalkanku.
“Maaf Ka,” lirihku dalam hati. Aku menyesal
dengan keputusan yang kemarin kuambil. Keputusan yang secara tidak sengaja
membuatku menyakiti hati Azka. Karena kenyataannya, walaupun ragaku menjauh dari
Febrian, tetap saja hatiku tidak bisa berpaling darinya.
Sekali lagi maaf Ka. Tidak seharusnya aku melakukan ini
padamu. Menjadikanmu sebagai tempat pelampiasan sakit hatiku terhadap Febrian.
Keesokan harinya.....
Pagi-pagi sekali pintu kamarku sudah diketuk oleh seseorang.
Jujur saja, aku masih mengantuk, aku masih ingin berkutat dengan bantal,
guling, selimut, dan spring bed-ku yang empuk. Tapi, bunyi ketukan pintu itu
benar-benar berisik dan mengusik tidurku. Hoh! Baiklah. Dengan langkah gontai
kuhampiri pintu kamarku yang bercorak kupu-kupu. Ku buka knop-nya perlahan dan
nampak didepanku sosok tegap Febrian berdiri di ambang pintu dengan bibir yang
mengulas senyum.
“Feb---“
“Good
morning my sweety Ara,”
Suara ini?!
Refleks bibirku terkatup ketika sadar bahwa suara halus yang kudengar kini
bukanlah suara yang biasanya aku kenal. Ini bukan suara Febrian! Tetapi
suara............
“Azka?” gumamku masih tak percaya.
Setelah sempat mengerjapkan mata beberapa kali, barulah aku yakin bahwa yang
ada didepanku kini memang bukanlah Febrian, melainkan Azka. Ternyata aku hanya
berhalusinasi saja. Tapi untunglah kata “Febrian” belum
seutuhnya keluar dari mulutku. Kalau seandainya itu terjadi, entah untuk yang
keberapa kalinya aku menyakiti hati Azka.
Azka terkekeh ringan, menyaksikan raut wajahku yang nampak
konyol di pagi ini. I know, aku pasti terlihat kacau sekarang! Dengan
tergesa-gesa aku pun melangkah menuju wastafel. Menggosok gigi dan mencuci muka
hingga lebih dari dua kali. Dari cermin wastafel aku juga dapat melihat Azka
yang masih bertengger didepan pintu, sebelah tangannya membawa sebuket bunga
mawar yang cantik.
“Untukku
yah? Dalam rangka apa?”
tanyaku kembali menghampiri Azka. Pemuda
itu menyodorkan bunganya dihadapanku ketika aku sedang mengusap wajahku dengan
handuk.
“Happy
sweet seventeen my sweetheart, love you always ya.” ucapnya lembut sambil mengacak-acak
puncak kepalaku.
Aku ulang tahun? Ya ampun, bahkan aku sendiri lupa jika hari
ini adalah hari ulang tahunku. Langsung saja ku terima bunga pemberiannya
seraya mencium baunya yang ternyata sangat wangi.
“Thank you
Ka,” jawabku balas tersenyum.
Sejenak aku termangu. Akankah Febrian juga mengingat hari ulang tahunku? Ah,
bahkan dalam keadaan seperti ini aku masih saja memikirkannya.
***
Tuhan maafkan diri ini yang tak pernah bisa menjauh dari
angan tentangnya..
Namun apalah daya ini????
Bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta dia..
.............
10 mei??? Tidak ada yang istimewa dengan tanggal ini. Hanya
saja, di tanggal 10 mei ini aku berulang tahun yang ke-17. Sederhana, karena
aku rasa semua orang pasti mengingat tanggal di mana mereka lahir dan
menjadikannya sebagai momen yang patut dirayakan. Berbeda denganku, andai saja
Azka tak datang ke rumah pagi ini, mungkin aku takkan pernah ingat jika hari
ini adalah hari kelahiranku. Yah, pelupa itulah aku.
Disaat matahari mulai menggantung rendah di langit, aku pun
mematut diri didepan cermin. Kulirik layar handphoneku yang menampilkan pesan
singkat dari sebuah nomer asing. Sebuah sms yang baru saja masuk beberapa menit
lalu.
“Ku tunggu
kehadiranmu di Taman Kota malam ini jam 07:00 tepat.” Kubaca berulang-ulang pesan tersebut
hingga kerutan didahiku mencapai empat lipatan. Siapa yang mengirimiku pesan
singkat ini yah??? Pikirku terheran-heran. Sebenarnya aku tidak suka yang
dengan hal-hal yang berbau misterius. Tapi, berhubung ini adalah hari ulang
tahunku, aku rasa tidak ada salahnya jika aku menuruti perintah dari sms
tersebut. Lagipula seharian berdiam diri di rumah hanya akan membuatku suntuk!
Setelah berdandan ala kadarnya, aku pun pamit untuk keluar
rumah sebentar kepada Ayah dan Bunda yang tengah duduk santai di ruang
keluarga. Aku sendiri tidak tahu, apakah mereka ingat hari ulang tahunku atau
tidak? Yang jelas mereka belum ada mengucapkan “happy birthday”
untukku. Tak masalah, jika memang mereka lupa. Yang menjadi masalah buatku
adalah jika mereka ingat tapi tidak mau mengucapkan atau malah sengaja
melupakannya.
Waktu menunjukkan pukul 18:45 ketika aku telah menginjakkan
kaki di Taman Kota.
Tidak biasanya taman ini nampak lengang, tanpa ada satu
orang pun yang berseliweran. Sejenak aku merasa takut dan was-was. Apakah ada
orang yang ingin berniat jahat padaku?
“Jangan
takut, aku ada disini.”
samar-samar seruan seseorang berhasil menepis rasa takut yang menyelimuti
perasaanku. Dengan cepat aku berbalik, mencari sumber suara itu.
“Ayo,
jalan terus! Sedikit lagi.”
Kuikuti arah suaranya dengan jantung yang berdebar kencang. Mungkin seseorang
ingin memberiku kejutan. Tapi siapa orang itu? Mungkinkah ia Febrian? Lagi-lagi
sosok itu yang ada dibenakku. Tanpa memberikan kesempatan pada sosok lain untuk
sejenak menggantikannya.
Lalu, tiba didekat air mancur, langkah kakiku terhenti.
Terdengar bunyi petikan gitar yang akhirnya mengantarkanku pada sosoknya. Sosok
yang selalu menghantui pikiranku. Sosok yang selalu kuimpikan. Sosok yang
selama ini menguasai celah kosong dihatiku. Sosoknya yang kini telah menjadi
milik orang lain.
Kupandangi gestur tubuhnya dari belakang, dan aku yakin
dialah sosok yang kucari. “Febrian?”
Namun ternyata sosok itu hanya siluet palsu. Bayangan gelap
yang tak mungkin bisa menjadi nyata.
“Aku Azka,
Ra. Bukan Febrian.” jawabnya
seraya berbalik. Bersamaan dengan itu bayangnya pun menghilang, berganti dengan
sosok nyata Azka yang tersenyum miris menatapku.
“Azka?” Dan aku hanya mampu menggeleng
lemah ketika semilir angin malam membangunkanku dari angan-angan semu,
menyadarkanku bahwa dia adalah Azka, bukan Febrian.
Tanah Grogot, 31
Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar