»Potongan Part.6
“Kau sudah memaafkanku? Bukankah kau sangat membenci yang namanya pemohong besar?” tanya Justin dengan mata memicing.
Carrol menggangguk, “Yah, dan kau bukanlah pembohong besar! Kalau kau pembohong besar, mana mungkin identitas aslimu terbongkar secepat ini.” Sedikit terkekeh geli, lalu ia pun kembali menyambung, “Lagipula aku tidak mungkin bisa membencimu Justin. Because, I really admire you dear!” tukasnya mengerling nakal.
Menggoda Justin, hingga wajah pemuda itu pun tersipu malu dibuatnya. Memerah.
Mereka berdua saling melempar senyum, lalu kembali tenggelam dalam dekapan penuh kasih sayang.
Terlihat sangat akrab, bagai sepasang kekasih yang sudah lama terpisah dan kembali dipertemukan oleh takdir.
Namun kebahagiaan itu sama sekali tak dirasakan oleh wanita yang sedari tadi hanya setia menjadi penonton saja.
Yakni, Mom Eliana. Ia terperangah.
Terkejut dengan reaksi yang Carrol berikan.
Ini semua sungguh diluar dugaan! bisiknya tak kentara.
++++
BAB.2
<3 The Girl is She <3
(Last Part/A)
Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan – seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran… (Kahlil Ghibran)
***
“Selamat pagi pemirsa. Berita mengejutkan kali ini datang dari penyanyi muda berbakat asal Kanada, yaitu Justin Drew Bieber, yang dikabarkan tengah menikmati masa liburannya disebuah desa terpencil. Awalnya pemuda ini merahasiakan kepergiannya tersebut, tetapi setelah ke-gap oleh awak media, akhirnya ia pun membeberkannya secara terbuka. Bagaimanakah kisah yang sebenarnya? Berikut liputan selengkapnya.”
Suara pembawa acara infotainment yang pagi ini ditayangkan disalah satu stasiun televisi New York, begitu menyita perhatian Carrol.
Posisi badannya yang semula menyender dikepala ranjang, langsung menegak seketika disaat kabar itu disiarkan.
Begitu juga dengan magazine yang semula berada digenggamannya, dilemparnya asal saja. Berganti dengan remote control guna menyaringkan volume televisi yang sedang ditontonnya.
“Oh no~ dia bukan kekasihku! She is my best friend and we have been friends a long time.”
Carrol tertegun disaat mendengar jawaban Justin yang menampik rumor bahwa dirinya telah berselingkuh dibelakang Zelena, kekasihnya.
Pria itu mengaku kepada media jika Carrol hanyalah sahabat karibnya yang tengah jatuh sakit. Dan wajarkan bila Justin menjenguknya?
Sementara mengenai alasan dirinya yang tidak mengajak serta Zelena, ia bilang untuk saat ini sang kekasih sedang tak bisa diajak bepergian jauh. Ya! Mengingat desa RainVill yang terletak diujung kota New York, tentu itu menjadi pertimbangan tersendiri baginya jika ingin membawa Zelena bersama dengannya.
Carrol menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa, ia merasakan sesak dibagian dadanya.
Pernyataan yang Justin lontarkan laksana seutas tali yang mengikat kuat dilehernya. Sakit! Sehingga sukses membuatnya kesulitan untuk menghembuskan napas dengan normal.
“OH MY, WHAT THE HELL?!”
Carrol berteriak dalam hati sambil meremas kuat rambut pirangnya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi pada dirinya.
Yakni, mengapa ia harus kesal ketika Justin hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat? Toh memang kenyataannya seperti itu kan?
Detik selanjutnya ia pun mendesah pelan. Berusaha untuk menerima semua statement-statement yang diberikan Justin didepan para wartawan.
Well, sekiranya ini lebih baik.
Dengan begini ia terbebas dari kepungan media, dan namanya pun tidak akan pernah tertulis didalam list makhluk hidup yang Zelena benci.
“Of course, she was a good girl.”
Justin mengakhiri acara conference pers kilatnya dengan sebuah pujian yang ditujukan kepada Carrol tentunya.
Lalu, bersusah payah ia pun meninggalkan area taman belakang rumah sakit, sebuah tempat yang dipergunakannya untuk berjumpa dengan para wartawan.
Mimik wajahnya yang nampak kesal sangat terlihat jelas, kentara. Mungkin dalam hati ia bersungut, “It`s so crazy! Seharusnya aku tidak menyuruh Kenny kembali hingga meninggalkanku seorang diri seperti ini. Oh really sucks!”
Bagaimana tidak?
Ditengah kerumunan paparazzi, ia harus melarikan diri tanpa bantuan seseorangpun.
Sekuat tenaga ia menerjang sorotan kamera dan serbuan microphone para pemburu berita yang mengikutinya baik itu didepan dan juga dibelakang.
Carrol terkekeh geli.
Pasti itu terjadi kemarin sore! Terlihat dari t-shirt merah yang Justin kenakan.
Ah, untunglah anak itu memakai pakaiannya yang layak!
Jika tidak? Tentu segerombolan `pengorek berita` tersebut akan semakin mencurigainya dan menambah daftar pertanyaan dinote kecil yang selalu mereka bawa.
Tiba-tiba, derap langkah kaki seseorang memecah keheningan yang tercipta diruang inap Carrol.
Bunyi berisik yang berasal dari highells bertumit runcing, yang dijejakkan dilantai keramik rumah sakit itu semakin lama semakin terdengar nyaring.
Menandakan bahwa si pemakai alas kaki tersebut berada tidak jauh dari dirinya.
Hingga muncullah 2 kemungkinan. Entah dia hanya sekedar lewat, atau memang kamar Carrol lah yang menjadi tujuan sosok itu.
CKLEK.....!
Carrol tersentak.
Suara knop pintu yang ditarik kebawah itu spontan mengalihkan pandangannya dari televisi flat berukuran 24 inch, menuju daun pintu yang terletak tepat disamping ranjangnya.
Sejurus kemudian, dari ambang pintu tampaklah Mom Eliana yang masuk diikuti dengan seorang pria berpakaian rapi layaknya direktur perusahaan besar. Pria itu membawa sekeranjang buah-buahan segar disalah satu tangannya.
Carrol mendengus. Untuk apa Mom membawa pria itu kemari? gerutunya dalam hati.
Walaupun baru pernah melihat Mr. Eqbal sekali, namun rupanya Carrol sudah begitu hafal dengan setiap lekuk dari wajah duda beranak satu itu.
Sosok pria yang semalam menjadi pemicu retaknya keharmonisan diantara ia dan sang Ibunda tercinta.
“Good morning sweety!” sapa Mom Eliana girang. Ia berjalan beriringan dengan Mr. Eqbal, menghampiri Carrol yang kembali bersender dikepala tempat tidurnya dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada. Cuek.
Anak itu sama sekali tidak mau membalas sapaan bahkan senyuman tulus dari kedua orang tua yang ada dihadapannya.
Bahu Mom Eliana mengendur disertai dengan helaan napasnya yang terdengar berat. Kecewa karena tegurannya diabaikan.
Dalam hati ia mengerti. Ia paham.
Carrol masih menyimpan amarah --entah itu kecil atau besar-- terhadapnya. Dan itu wajar, jika mengingat dirinya yang telah melukai wajah anaknya tempo hari. Merobek sedikit ujung bibir malaikat kecil yang seharusnya ia kasihi bukan malah disakiti.
Tapi itu kan refleks?! Tidak bisakah Carrol memaafkannya?
Dengan menggunakan isyarat mata, Mom Eliana pun meminta Mr. Eqbal agar segera keluar dari ruangan berbau obat-obatan yang tajam itu.
Mungkin, dengan begitu Carrol mau berbicara lagi dengannya.
Dan beruntung, cukup sekali saja, Mr. Eqbal dapat membaca sorot mata Ibunda Carrol. Setelah menganggukkan kepalanya, ia pun bangkit dari atas sofa yang disediakan khusus untuk pengunjung.
Ia menggerakkan kedua kakinya menuju meja kecil, yang terpajang disamping kasur guna meletakkan buah tangan yang ia bawa disana.
Lalu, sambil mengusap puncak kepala Carrol ia pun berujar, “Get well soon dear. Berhentilah membuat Ibumu khawatir.” pesannya tersenyum lebar. Nada bicaranya sangat terlihat berwibawa dan penuh perhatian.
Mom Eliana tersenyum lega, melihat reaksi Carrol yang setidaknya --masih-- bersikap sopan didepan orang yang lebih tua darinya.
Anak itu tidak sekalipun menepis tangan Mr. Eqbal dari atas rambutnya, yah walaupun posisi tubuhnya yang membelakangi Mr. Eqbal secara tiba-tiba itu, sudah cukup menunjukkan rasa ke-tidak-senangannya akan kehadiran sosok pria berumur 40-an yang berpotensi sebagai calon Ayah tirinya, pengganti mendiang Bowling.
Carrol mendengus sebal.
Diraihnya sekotak MoonPies dari bawah kasur. Sengaja ia sembunyikan disana, agar Mom Eliana tidak menceramahinya habis-habisan hanya untuk membahas masalah berat badannya yang mudah naik karena camilan manis kesukaannya.
Hah...! Anak itu bandelnya sudah tidak bisa tertolong lagi.
Cuma demi berkaleng-kaleng kue kering dan berbungkus-bungkus permen caramel saja, ia rela pergi ke minimarket satu-satunya di desa RainVill yang jaraknya nyaris 1 km dari rumah.
Dan berhubung saat ini ia tengah sakit plus tidak bisa berjalan-jalan jauh, maka ia pun menitipkannya pada kedua sahabatnya. Yakni, Khat dan juga Damon yang semalam kebetulan berkunjung untuk menjenguknya.
Well, ini lebih baik! At least, berkat mereka ia masih bisa ngemil disaat-saat sakit seperti ini.
Sambil mengeluarkan sekeping MoonPies dari dalam kotaknya, gadis itu tampak serius memperhatikan punggung sang Ibu yang mengantarkan kepulangan Mr. Eqbal tepat didepan pintu, dimana ia dirawat.
Rasanya aneh. Menyaksikan 2 insan manusia yang saling mencintai, tetapi harus terpisah oleh karena ego seseorang. Tak punya hatikah ia?
Carrol menggeleng cepat. Ia rasa tindakan protes yang diambilnya sudah tepat, walaupun tanpa tambahan kata `Begitu` didepannya.
Setelah memastikan bahwa wujud Mr. Eqbal sudah menghilang disalah satu lorong, Mom Eliana pun menutup pintunya rapat-rapat.
Lalu, ia memutar badannya kembali menghampiri Carrol.
Secara tak sengaja sepasang pupil matanya menangkap isi dari sebuah nampan yang tertata rapi diatas meja didekat kasur.
Gelas kaca tinggi berisi air putih dan mangkuk plastik yang didalamnya terdapat bubur putih lengkap dengan potongan ayam rebusnya masih utuh seperti belum ada disentuh. Padahal, tadi pagi ketika merasa lapar Carrol sempat menyentuhnya sedikit. Namun, setelah mengetahui isi dari menu sarapannya yang khas sekali dengan masakan rumah sakit, Carrol pun urung untuk memasukkannya kedalam mulut. Daripada memakan makanan yang tidak ia sukai, lebih baik puasa seharian penuh! begitu pemikirannya 2 jam yang lalu.
Mom Eliana melirik wirstwatch berwarna gold yang melilit dipergelangan tangan kirinya seraya berseru, “Sudah jam 10 tapi kenapa kau belum sarapan?!”
“Sarapannya tidak enak! Aku tidak mau makan! Melihatnya saja sudah membuatku mau muntah.” tolaknya seperti anak kecil.
Bukannya mengindahkan seruan sang Ibu, Carrol malah semakin bersemangat melahap MoonPies keping demi kepingnya. Camilan sejenis biskuit berlapis cokelat dengan isi marsmallow yang sungguh terasa lezat dilidah Carrol. Hingga membuat gadis itu ingin terus menikmatinya lagi, lagi, dan lagi.
Ia seolah tak peduli dengan tatapan tak suka Ibunya yang memang tidak pernah mengizinkannya untuk ngemil sebelum sarapan.
“Sejak kapan kau berubah jadi childish?” tanya Mom Eliana datar.
Dengan acuh Carrol pun menjawab, “Sejak Mom menamparku semalam!”
“Tapi itu-------”
“Ibu macam apa yang tega menampar anaknya hingga terluka seperti ini?! Hanya kau yang-----”
“SHUT UP CARRY!” Kali ini giliran Mom Eliana yang menyela dengan cepat. Matanya berkaca-kaca dibarengi dengan napasnya yang mulai naik turun tak beraturan.
Hhh... Sakit rasanya jika sudah mendengar buah hati yang --sejujurnya-- ia cintai berujar seperti itu. Kembali mengingatkannya dengan peristiwa menyakitkan yang membuatnya dilanda penyesalan yang hebat.
“Ibu mohon berhenti untuk mengungkit hal itu lagi. Tidak bisakah kau memaafkan Ibumu ini? Mom tidak ada niat sedikitpun untuk melukaimu dear. Yang semalam itu refleks karena Mom dikuasai oleh emosi. Please, try to understand me.” terang Mom Eliana memelas. Nada bicaranya yang semula tinggi mendadak lembut diakhir kalimat.
Seakan tak memberikan kesempatan untuk Carrol menjawabnya, wanita berambut ikal itu pun kembali menyahut, “Kalau kau memang tidak suka dengan Mr. Eqbal, Mom bisa membatalkan rencana itu. Toh, Mom juga belum mengatakan iya kepada beliau.” lanjutnya sungguh-sungguh. Kalimat yang diucapkannya terdengar santai tanpa beban. Dan terang saja Carrol terkaget-kaget ketika mendengarnya! Bukankah mulanya Mom Eliana bersikeras hendak menjalin hubungan serius dengan PresDir International Bakery itu yah? Tapi mengapa sekarang.........?
Carrol terkesiap. Tak bisa dipungkiri jika hatinya miris mendengar keputusan yang Ibunya lontarkan. Walaupun Mom Eliana mengungkapkan pilihannya dengan nada yang tenang, tapi tetap saja kilatan mata yang seakan tak rela itu terlintas jelas dikedua kornea matanya yang berwarna hitam kecokelatan.
Oh God, what should I do? batinnya bergejolak.
Pendiriannya nyaris saja goyah! Baru hampir, karena ternyata hati gadis berpipi chubby itu terlalu keras untuk dilunakkan. Ya! Tepat ketika dirinya mengingat nama mendiang sang Ayah, Bowling, sikap ke-tidak-setuju-an kembali hadir menguasai dirinya.
“Baguslah.” desis Carrol tersenyum miring. MoonPies yang sempat terabaikan karena rasa kaget pun kembali dilahapnya tanpa ampun. Lidahnya bergoyang merasakan sensasi kenikmatan dari biskuit tersebut.
Setelah itu, perlahan-lahan Mom Eliana mengangkat nampan berbahan melamin yang diatasnya terdapat menu sarapan Carrol dengan kedua belah tangannya. Lalu dibukanya plastik tipis yang berfungsi untuk melindungi bubur putih itu agar tetap steril dan terbebas dari debu-debu yang melayang diudara.
“Ayo buka mulutmu.” perintah Mom Eliana menyodorkan sebuah kepala sendok kehadapan mulut Carrol.
“Tidak! Aku tidak ingin memakannya!” bantah gadis itu menggeleng keras dengan sebelah tangan yang menutupi mulutnya rapat-rapat.
“Kalau kau tidak mau sarapan, berhenti mengudap camilan. Biskuit itu tidak membuatmu sehat Carry! Yang ada malah semakin membuat tubuhmu bulat. Listen to me atau Mom akan merampasnya dari tanganmu!” ancam Mom Eliana tegas.
Spontan sepasang mata biru milik Carrol melotot, seperti hendak keluar dari sarangnya. MoonPies yang didapatkannya susah payah itu akan dirampas?!
“NO WAY! Aku lebih suka biskuit ini daripada bubur putih yang hambar itu. Tidak bisakah kau menuruti kemauanku?!” balasnya lantang.
Karena Mom Eliana tidak ingin berdebat lagi, maka langsung saja ia menarik kemasan yang berbentuk kotak dan bertuliskan merk “MoonPies” itu dari genggaman Carrol. Namun sayangnya ia kalah cepat! Lebih dulu Carrol memeganginya kuat-kuat. Terlampau erat! Seakan biskuit itu adalah “mimpi terbesarnya” yang tidak boleh direnggut secara paksa oleh siapapun.
Akibatnya, aksi tarik-menarik yang terjadi diantara Carrol dan Ibunya pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Beruntung tak ada orang yang melihatnya! Jika tidak, mungkin orang-orang akan menganggap bahwa mereka berdua adalah sosok anak kecil berwujud dewasa, atau malah orang dewasa yang bersikap seperti anak kecil. Sungguh memalukan!
Dan `pertarungan` sengit itupun dimenangkan oleh Carrol. Ia berhasil mempertahankan MoonPies-nya dari serangan sang Ibu.
Well, sebagai seorang winner, tentu sudah sewajarnya bagi Carrol untuk tersenyum puas sambil melihat yang kalah mendecakkan lidahnya dengan kesal.
Eummm~ bukan hanya kesal ternyata! Tetapi lebih dari itu.
Jengkel, sebal, gondok, dan keki bercampur aduk menjadi satu.
Kecewa pada dirinya sendiri, karena tidak berhasil membujuk dan menyelamatkan Carrol dari bahaya camilan.
“Dimana Justin?” tanya Carrol tiba-tiba. Entahlah, setelah menonton tayangan infotainment tadi pagi, ia jadi merindukan sosok Justin.
“Dia sedang sarapan dikantin rumah sakit.” jawab Mom Eliana malas-malasan.
“Aku ingin bertemu dengannya.”
“Tidak sekarang. Habiskan dulu sarapanmu baru kau boleh bertemu dengan Justin.”
“AKU TIDAK MAU!” tolaknya keukeuh.
Hahhhh....! Mom Eliana menghela napas panjang dan juga berat. It`s okay! Kali ini biarlah aku yang mengalah, ucapnya dalam hati.
Mungkin, kalau Justin yang menyuapinya Carrol mau memakan bubur putih yang --sudah-- tak hangat seperti pertama kalinya dihidangkan suster pagi tadi.
“Baiklah, tunggu sebentar. Mom akan memanggilkan Justin untukmu.” ucap Mom Eliana seraya menaruh nampannya kembali keatas meja.
Setelah membetulkan letak tas kerjanya yang sempat melorot dari bahunya, Mom Eliana pun pamit keluar.
Namun, tepat diambang pintu langkahnya tiba-tiba terhenti. Seperti ada yang tertinggal, ia kembali berbalik kebelakang.
“Kenapa tidak jadi keluar?” tanya Carrol mengerutkan keningnya, heran.
Tanpa berkata-kata, Mom Eliana berjalan menghampiri anaknya.
Lalu, sesampainya ditepi ranjang Carrol, ia pun menunduk. “Bolehkah aku mencium keningmu?” izinnya hati-hati.
JLEBBBB.....!
Bagaikan terhunus keris, hati Carrol mencelos. Ia tersentuh atas permintaan izin yang keluar dari mulut Mom Eliana.
Untuk apa? Untuk apa Mom meminta izin segala? Padahal biasanya juga Mom selalu menciumku setiap malam datang dan pagi menjelang. Sebegitu merasa bersalahnya kah ia? Sampai-sampai menciumku saja takut-takut seperti itu. Carrol terus bergumam didalam hati.
Ia tak mampu bersuara lagi. Yang dapat ia lakukan hanyalah mengangguk kecil, pertanda bahwa Mom Eliana boleh mengecup keningnya.
CUPPPPP....!
Tak lama setelah Carrol mengangguk, kecupan hangat itu pun mendarat dikeningnya yang tertutupi oleh beberapa helai rambut.
Harus ia akui, sentuhan lembut bibir Mom Eliana kali ini terasa berbeda dari biasanya.
Membuat hati gadis itu berdesir, bergetar dengan hebat.
Bahkan yang lebih berlebihannya lagi, dari kedua sudut matanya mengalir cairan bening yang sukses meninggalkan rasa sesak didadanya.
Ini aneh! Apakah emosi dihati Carrol atas “insiden” kemarin telah lenyap? Berganti dengan rasa kasih sayang yang memang sudah tertanam dan mengakar kuat dihati kecilnya sejak ia lahir? Entahlah, karena itu masih menjadi tanda tanya besar dibenak Carrol.
Mom Eliana tersenyum, kedua tangannya bergerak maju guna mengelus setiap helai rambut pirang anaknya dengan gerakan teratur.
“Mom akan kembali lagi nanti sore,” Ia merengkuh wajah Carrol yang terlihat berantakan ditambah dengan hiasan noda MoonPies dikedua sudut bibirnya, “Dan Mom ingin keadaan fisikmu lebih membaik dari yang ini.” sambungnya penuh harap.
Carrol tetap setia pada kediamannya. Ia bingung harus menjawab apa? Saat ini pikirannya tak bisa fokus dan melayang-layang entah kemana.
Sampai-sampai ia tak menyadari jika sosok Mom Eliana sudah tidak ada lagi diruangannya kini. Beliau telah pergi, menghilang.
***
Entah sejak kapan Kanada menjadi lautan kendaraan seperti sekarang. Macet!
Jalanan utama di Kota yang dikenal dunia karena tempat wisatanya, yakni air terjun yang luar biasa indahnya itu terhambat, tak mulus seperti biasanya.
Penyebabnya adalah karena tumbangnya pohon besar akibat hujan badai yang terjadi tadi malam.
Sebenarnya tak ada masalah jika pohon itu tumbang dijalanan kecil yang terletak didekat rumah susun warga Kanada. Tapi ini? Musibah itu malah terjadi dijalanan utama yang letaknya tepat dijantung Kota!
Jalanan yang notabene-nya banyak dilalui warga Kanada untuk menuju ke berbagai tempat, guna menjalankan aktifitas mereka masing-masing.
Diantara sederet kendaraan beroda 4 itu, nampak sebuah mobil mewah berwarna merah menyala. Warna nge-jreng-nya itulah yang membuat mobil tersebut terlihat lebih mencolok dibandingkan mobil yang lain.
Dan didalamnya terdapat seorang wanita yang memasang ekspresi wajah masam. Badmood!
Kedua matanya terus tertuju pada jam kecil yang terpampang manis diatas dashboard. Lalu, karena jarum jam itu hanya berdetak memutar hingga semakin membuatnya bosan, ia pun mengalihkan pandangannya menuju antrian panjang didepan.
Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian glamour itu mendecakkan lidahnya dengan kesal.
“Jhon! Kira-kira berapa lama lagi aku harus menunggu?! Sedari tadi pihak `Noon Chat` terus menghubungi ponselku! Mereka bilang, mereka takut aku terlambat datang keacaranya. Haduh, bagaimana ini?!” gerutu wanita itu sambil meremas kedua belah telapak tangannya kuat-kuat. Terlampau cemas! Dan benar saja, selang beberapa detik kemudian handphonenya kembali berdering. Menandakan satu panggilan masuk dari seseorang, dan parahnya seseorang itu adalah wanita dari pihak “Noon Chat” yang dibicarakannya tadi.
Mengenai “Noon Chat” sendiri, itu adalah acara sejenis talkshow yang ditayangkan siang hari ditelevisi New York. Selalu menghadirkan bintang-bintang besar, dan kali ini Zelena Domez --si wanita itu-- adalah salah satu bintang tamunya.
“Hallo, Zelena is speaking. What`s up ya? Aku masih dijalan. Iyaps, aku usahakan akan sampai tepat pada waktunya. Ahya tapi maaf aku tidak janji! Karena jalanannya sampai sekarang masih macet. Iya, aku tidak berbohong! Aww~ thank you guys atas dispensasi-nya yang amat membantuku. Okay, see you and bye!”
KLIK....!
Zelena menutup ponselnya dengan senyuman yang merekah lebar.
Setelah menerima telepon itu perasaannya pun menjadi lebih lapang. Bagaimana tidak? Pihak “Noon Chat” bersedia memberikan dispensasi untuknya. Yaitu, jika Zelena memang tidak bisa datang hari ini, maka waktu kerjanya akan ditunda minggu depan. Dan kalau sudah begitu, tentu pihak “Noon Chat” akan kembali bekerja untuk mencari pengganti bintang tamunya.
Jhon, pria berkulit gelap dengan tubuh ceking yang berprofesi sebagai personal driver Zelena itu menoleh kebelakang.
“Bagaimana? Apakah masalahmu sudah selesai?” tanyanya dengan kedua tangan yang masih bertumpu dilingkaran kemudi mobil.
Zelena mengangguk malas, dan si supir pun ikut tersenyum lega.
Namun, meski perasaan tenang itu menghampirinya, tetap saja ada rasa bored yang masih betah menghinggapi Zelena. Tak ada pemandangan menarik yang bisa dilihat, dan tidak ada majalah fashion yang bisa dibacanya kini.
Alhasil, dengan sebal ia pun mengeluarkan ipad hitam dari dalam tas jinjingnya.
Berselancar didunia maya guna menghilangkan rasa jenuh mungkin adalah pilihan yang tepat!
“Koran~ Koran~ Koran~ Koran~”
Suara lantang loper koran menggema menjajakan dagangannya dipagi hari.
Well, bagi para pekerja kantoran atau artis yang anti macet, tentu menganggap bahwa tumbangnya pohon didepan itu adalah musibah. Tapi untuk para pedagang asongan dan loper koran, tumbangnya pohon itu justru adalah anugerah yang indah.
Karena dengan begini, mereka bisa menawarkan jualannya dari satu mobil ke mobil yang lain tanpa harus menunggu lampu merah datang, dan itu tentu lebih memudahkan mereka bukan?
“Korannya Pak?”
Seorang anak kecil berpakaian lusuh mengetuk pintu mobil Zelena. Ia menawarkan dagangannya kepada seseorang yang duduk dijok kemudi.
Siapa lagi kalau bukan Jhon? Tapi sayangnya, pria itu mengibaskan tangan kanannya tanda tak minat.
Dan seperti tak patah arang, ia kembali membujuk Jhon agar membeli satu saja dari dagangannya.
Entah itu koran, tabloid, atau majalah juga tak apa.
“Majalah juga tidak mau? Edisi terbaru Pak! Kabar dari Justin Bieber yang tengah menghabiskan waktu liburannya didesa. Sungguh menarik!” promosinya lagi. Dipamerkannya majalah dengan cover Justin Bieber yang tampak mengobrol bersama Mom Eliana, berharap Jhon tertarik untuk membelinya.
Tetap tak berpengaruh! Hampir saja Jhon ingin menolaknya, tapi niat itu urang ia lakukan karena Zelena keburu menyahut, “Belikan majalah itu untukku! Ini uangnya.” perintahnya memberikan selembar uang dolar kepada Jhon.
Jhon mengangguk seraya membuka kaca jendela mobil yang ada disampingnya.
Lalu, ketika tahu Jhon berminat untuk membeli majalahnya, anak itu pun menyunggingkan senyumannya yang lebar.
“Koran? Tabloid? Atau majalah sir?”
“Majalah saja.”
Dengan segera bocah kecil itu memberikan satu ekslamper majalah ketangan Jhon.
“Thank you sir.” ucapnya berlalu riang. Senang karena selembar uang dolar telah berhasil ia kantongi.
“Berikan padaku.”
Seakan tak sabar Zelena meminta majalahnya dari tangan Jhon.
Dan dibalas dengan nada yang santai oleh sang supir, “Tenang saja, reading bukanlah hobby ku!” selorohnya seraya menyodorkan majalah itu.
Setelah mendapatkannya, Zelena pun langsung membuka lembar demi lembarnya dengan penuh nafsu.
Sungguh! Melihat covernya saja sudah membuat hatinya bergolak dahsyat.
Tepat dilembar ketiga Zelena refleks menghentikan pergerakan tangannya. Matanya membulat disaat membaca isi dari berita tersebut.
“Justin berlibur didesa untuk mengunjungi sahabat lamanya? Apa benar begitu? Tapi kenapa dia tidak mengajakku?! Dan malah membuat statement yang 100% bohong seperti ini.” gumamnya kesal.
Amarah didadanya kian bertambah tatkala mengetahui bahwa daerah tempat dimana Justin berlibur dirahasiakan oleh media.
“Arghhhhhh~ pasti ada yang dia sembunyikan dariku!” umpatnya seraya merobek-robek salah satu lembaran majalah yang memuat kabar Justin hingga menjadikannya serpihan-serpihan kecil yang berserakan.
Jhon yang memperhatikan tingkah majikannya dari kaca spion hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Pasti setelah ini, aku yang disuruhnya untuk membersihkan jok mobil dari sampah kertas itu! pikirnya dalam hati.
Tak lama kemudian, kendaraan yang berada didepan mobil Zelena pun bergerak maju. Menandakan bahwa pohon tumbang itu telah berhasil disingkirkan dari jalan.
“Jhon, tolong putar arah ke jalan Gold Street sekarang juga ya!” serunya dengan nada memerintah. Niatnya yang ingin shooting untuk acara talkshow, terpaksa diundur ketika dirinya diperlihatkan dengan majalah yang telah memberikannya kabar buruk dipagi, eummmm~ maksudnya menjelang tengah hari.
Jhon hanya mengangguk seraya menginjak pedal gas kearah yang majikannya maksud.
Rumah bertingkat tiga dengan gaya eropa dan berwarna golden itu terlihat lengang.
Tak ada satupun pembantu, baik itu pria dan wanita yang berlalu-lalang.
Tak ada teriakan balita yang biasanya memeriahkan suasana.
Dan tak ada bunyi petikan gitar yang selalu dilengkapi dengan suara merdu seorang pemuda yang terdengar begitu khas ditelinga.
Sepi!
Bahkan pagar besi yang menjulang tinggi itu pun masih terkunci dengan gembok. Menunjukkan bahwa tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari gerbang rumah mewah itu.
Zelena keluar dari mobilnya, setelah memerintahkan sang supir agar tidak ikut masuk kedalam. Ia bilang, ia hanya ada perlu sebentar dan akan kembali lagi dalam hitungan menit.
Tanpa menjawab, pria yang cenderung bersikap masabodo itu hanya menaik-turunkan kepalanya beberapa kali, manut saja.
Karena pagarnya digembok, dengan terpaksa Zelena pun mengeluarkan kunci serepnya.
Untung Justin memberikan kunci cadangannya padaku, syukurnya dalam hati.
Setelah berhasil membuka pintu pembatasnya, ia pun langsung berlari-lari kecil. Menyusuri setiap lorong yang terdapat dirumah besar nan megah milik kekasihnya tersebut.
Dan tujuan wanita itu adalah ruang kerja Mom Pattie.
Letaknya yang berada dilantai 1, cukup memudahkan Zelena untuk mencarinya.
Yupz! Akhirnya ketemu juga.
Tepat disaat Zelena hendak menarik gagang pintunya, Mom Pattie pun keluar dan muncul dari balik pintu ruang kerjanya yang ingin Zelena buka.
“Kau?! There is anything you need here?” tanya Mom Pattie terkaget-kaget. “Kalau hanya untuk mencari Justin, dia tidak ada!” lanjutnya cepat dengan nada yang tak bersahabat.
Zelena tersenyum ½ hati, “Tidak! Tetapi aku kesini karena ingin menemuimu Mom.”
“Aku? Untuk apa? Aku
merasa tidak ada urusan denganmu.”
“Please, aku mohon beritahu aku
dimana keberadaan Justin sekarang!”
“Emm.. Emm.. Emaksudmu apa?” kata Mom Pattie berpura-pura tak mengerti.
Untuk menjaga rahasia anaknya, biarlah ia menjadi seorang yang stupid untuk beberapa hari ini.
“I know if you have been hiding something from me. Aku sudah membaca beritanya tadi pagi!” ungkap Zelena mengagetkan Mom Pattie.
Wanita paruh baya itu menggigit kecil bibirnya seraya menjauh dari Zelena, menghindar.
“Aku tidak tahu!” ujarnya cepat.
Zelena terus mengekor dibelakang Mom Pattie, sambil sesekali menarik pergelangan tangan kanannya.
Berkali-kali Mom Pattie menepisnya dengan kasar, maka berkali-kali pula Zelena berusaha memeganginya dengan erat. Wanita itu tak mau menyerah!
Hingga ketika sampai didepan pintu kamarnya, tiba-tiba Mom Pattie pun menyentakkan tangannya dari pegangan Zelena seraya berseru membentak kekasih anaknya tersebut, “KALAU KAU TIDAK MEMPERCAYAIKU, KAU TIDAK PERLU MENGINJAKKAN KAKIMU DISINI LAGI! AKU SUDAH MENGATAKANNYA SEDARI TADI KALAU AKU TIDAK TAHU, DAN KALAU AKU SUDAH BILANG TIDAK TAHU YA TIDAK TAHU! KENAPA KAU KERAS KEPALA SEKALI HAH?!!!” bentaknya geram.
Rahangnya mengeras dan nada bicaranya terlampau berteriak.
Seram sekali! Zelena saja langsung menciut kala mendengarnya.
Dan yang berlebihan, genderang telinganya serasa mau pecah akibat teriakan Mom Pattie tadi.
Sesudah mengatur emosinya sesaat, Mom Pattie kembali berbicara dengan nada yang lebih tenang.
“Aku lelah, aku ingin istirahat. Silakan kau keluar dari rumahku.” imbuhnya
terkesan mengusir.
Sedetik kemudian, wujudnya sudah tak ada lagi dihadapan Zelena. Lenyap dibalik pintu kamar.
Ck....!
Zelena mendecak luar biasa kesal.
Ibu dan anak sama-sama menyebalkan! umpatnya diam-diam.
Tak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang, terkecuali menunggu Justin kembali dari desa itu dengan sendirinya. Dan kapan waktunya tiba? Ia hanya bisa menunggu.
Sementara itu didalam kamarnya, Mom Pattie terlihat mondar-mandir gelisah.
Kabar mengenai putranya yang tengah berlibur didesa telah terendus oleh media. Terlebih lagi si pedofhelia itu juga sudah mengetahuinya.
So, apa yang harus ia perbuat sekarang?
Setelah melalui pemikiran yang panjang, Mom Pattie pun memutuskan untuk mengambil ponselnya dilaci meja rias.
Ya, menghubungi Justin adalah keputusan yang tepat!
***
Disaat cinta yang suci tertanam dan mulai berkembang didalam hati, mengapa harus ada benalu yang merusaknya? Tak bisakah bunga itu dibiarkan merekah dan mewangi dengan indah?
Mom Eliana melangkahkan kakinya dengan begitu gontai.
Menyusuri lorong-lorong rumah sakit bersama pikirannya yang kosong.
Benar-benar kacau!
Disatu sisi, dia sudah menggantungkan begitu banyak harapan kepada Mr. Eqbal.
Dan disisi lain, ia juga tidak ingin kehilangan putri semata wayangnya hanya demi perasaan cinta yang tak direstui itu.
Cukup! Sudah cukup ia kehilangan suaminya, dan kini takkan ia maafkan dirinya jika harus menyia-nyiakan kehadiran Carrol disisinya.
Mom Eliana tertunduk lesu. Kalau ia boleh jujur, apa yang dikatakannya kepada Carrol tadi bukanlah keinginan dari hatinya tetapi mulutnya!
Terkadang mulutnya memang suka berbohong, tetapi hatinya tak pernah sanggup untuk berdusta.
Semua sudah terlanjur.
Kalau ditanya sakit? Tentu sakit rasanya jika melepaskan orang yang kita cintai begitu saja. Namun, demi Carrol rasa sakit itu seakan hilang, sirna diganti dengan kebahagiaan karena melihat senyuman manis dari sang putri.
“Oh my God, aku lupa!”
Mom Eliana menepuk jidatnya pelan. Akibat pikirannya yang berkelana jauh, ia sampai lupa dengan pesan Pak Dokter tadi pagi yang menyuruhnya untuk menebus dua macam jenis obat diapotik rumah sakit.
Seketika Mom Eliana memutar langkahnya menuju apotik yang kebetulan berada tidak jauh dibelakang, disamping kantin dirumah sakit itu juga.
Masih ditempat yang sama, yaitu area hospital Rainhealty.
Sesosok pemuda berjaket ungu tengah asyik mengaduk-aduk sebuah gelas plastik yang berisikan ½ cairan (air.red) berwarna cokelat muda.
Pandangannya lurus kedepan, entah apa yang ia perhatikan?
Uap dari vanilla latte yang tadinya mengepul, kini sudah tak terlihat lagi. Dan yang awalnya hangat berubah menjadi dingin karena sedari tadi si empu-nya hanya mengaduk-aduknya tanpa berniat untuk meminumnya. Pikirannya berkecamuk!
Justin, si pemuda tadi termenung.
Baru beberapa menit yang lalu ia mendapatkan telepon dari Ibunya.
Dan.....? Hah! “Paksaan itu lagi.” gumamnya ½ berbisik.
Ditelepon tadi, Mom Pattie memaksanya untuk segera kembali ke Kanada, tersebab para paparazzi dan Zelena yang sudah mengetahui keberadaannya sekarang.
Beliau takut sesuatu yang buruk akan terjadi, jika Justin terus-terusan berada didesa itu.
Ditambah lagi, masa berliburnya yang tinggal beberapa hari saja!
Mom Pattie ingin, sebelum Justin kembali disibukkan dengan proyek album baru dan single duet-nya bersama Zelena, anak itu beristirahat yang cukup dulu dirumah.
Tetapi bagaimana jika Justin belum siap meninggalkan desa RainVill? Eummm~ lebih tepatnya belum siap meninggalkan perasaannya. Meninggalkan gadis yang secara perlahan-lahan berhasil menggeser posisi Zelena direlung hatinya.
Sungguh! Ia belum siap merasakan perihnya jatuh cinta.
Justin menelengkupkan kepalanya dimeja panjang yang ada dihadapannya.
Berharap rasa bimbang itu enyah dan berhenti menghantuinya, itu pun kalau bisa!
Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
Hingga dentuman kecil seperti bunyi terbenturnya kursi dengan meja pun mampir ditelinganya, dan refleks membuatnya mendongak.
“Mrs. Eliana?” ucapnya seperti orang bodoh. Efek dari rasa kaget ketika melihat Mom Eliana yang tahu-tahu sudah terduduk manis saja didepannya. Sejak kapan? batinnya bertanya-tanya.
Ibunda Carrol itu mengangguk santai, lalu tanpa basa-basi ia pun langsung menarik gelas plastik yang diaduk-aduk oleh Justin tadi.
“Iya ini aku.” jawabnya seraya menyesap Vanilla Latte milik Justin seteguk, tanpa izin. “Kenapa kopinya tidak kau minum? Haduh, kopinya sampai dingin seperti ini.” sambungnya memberikan komentar atas Latte yang ia minum.
Justin melongo. Dibiarkannya saja Mom Eliana menenggak kopi yang jelas-jelas belum ada diminumnya barang setetespun! Karena ia masih belum paham dengan maksud kedatangan Mom Eliana, terbengong-bengong.
“Aku tidak nafsu.”
“Kalau tidak nafsu kenapa kau pesan? Hah! Apa kau tak mengerti arti dari mubazir? Ya ampun, kau suka sekali menghambur-hamburkan uang.” cibir Mom Eliana tetap dengan sikap dinginnya.
Justin hanya tersenyum tipis, lalu menjawab, “Seleraku tiba-tiba saja hilang.” ujarnya singkat.
“I don`t care about it karena itu bukan urusanku. Aku kesini hanya ingin meminta bantuanmu”
“Bantuanku?” Justin menunjuk dirinya sendiri dengan kelima jari kanannya. “Apa yang bisa aku bantu?” tambahnya setelah melihat anggukan kepala yang Mom Eliana berikan.
“Carrol, dia tak mau makan. Tolong bujuk dia agar menghabiskan sarapannya. Setelah itu kau berikan obat ini untuknya. Ingat yah PAKSA dia! Dia tak akan mau meminum obat ini jika tidak kau paksa, karena dia membenci semua jenis obat-obatan kecuali obat penenang dan obat tidur miliknya saja.” tutur Mom Eliana merincikan satu per satu tugas untuk Justin. Belum sempat Justin memberikan respon setuju atau tidak, Mom Eliana malah kembali melanjutkan perintahnya, “Engggg~ dan satu lagi! Kalau berdiam diri dikamar membuatnya jenuh, ajaklah ia berjalan-jalan disekitar rumah sakit. Aku lihat taman disamping rumah sakit ini sangat indah! Banyak bunga-bungaan dan danau buatannya. Kau mau menolongku kan? Demi Carrol.” Kening Justin mengernyit tiba-tiba. Demi Carrol? Maksudnya?
“Aku tahu kau menyukai anakku kan? Tapi maaf Tn. Bieber mendapatkan hati seorang Carry bukanlah semudah yang kau kira.”
“Aku tak mengerti apa maksudmu. Tapi jika aku bersedia membantumu itu demi kesembuhan Carrol, bukan untuk merebut hatinya seperti dugaanmu.” timpal Justin tegas, mulai tak suka.
Mom Eliana terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu?
Ditepuknya pundak Justin perlahan sambil berucap, “Yeah, aku percaya apa katamu. Sebelumnya terima kasih untuk bantuannya yah Nak.” tukas Mom Eliana tulus. Untuk yang pertama kalinya ia memanggil Justin dengan sebutan “Nak”. Sebenarnya Justin tak mengerti apa itu artinya “Nak”, namun terus terang, seperti keju swiss yang dipanaskan diatas bara api, hatinya meleleh. Tersentuh ketika Mom Eliana memanggilnya dengan sebuah kata yang berbunyi “Nak”.
“Okay itu saja. Sekarang aku harus kerja dan akan kembali lagi nanti sore. Ohya vanilla latte ini buatku saja ya? Thanks and bye!” pamit Mom Eliana beranjak meninggalkan kantin rumah sakit dengan membawa serta vanilla latte milik Justin.
Sikap yang sama seperti Carrol tadi pagi, Justin masih terpaku dialam lamunannya.
Ia sama sekali tak menyadari jika Mom Eliana sudah pergi dari tempatnya berpijak kini.
Setelah sosok wanita berparas Indo itu benar-benar menghilang, barulah Justin tersadar dan cepat-cepat menuju ruang inap Carrol dengan membawa kantongan plastik yang berisi obat-obatan untuk gadisnya.
***
Gadis berpiyama pink dengan corak micky mouse itu tengah mengudap camilannya sambil sesekali menggonta-ganti channel televisi dengan remote yang digenggamnya ditangan kiri.
Bosan! Itulah yang dirasakan oleh Carrol saat ini.
Tak ada hal menarik yang bisa ia lakukan selama dirumah sakit. Semuanya serba membosankan!
Diputarnya lagu Justin Bieber dari handphone qwerty-nya. Berharap rasa bosan itu hilang, tapi nihil!
Disaat seperti ini ia malah merindukan sosok Khatrien. Sahabat wanitanya yang selalu mengoceh jika ia memutar lagu Justin berulang-ulang kali.
Hhh.... Sayangnya Khat dan Damon tidak bisa berkunjung kerumah sakit hari ini. Lantaran ulangan harian Biology yang dilaksanakan lusa. Ya! Mereka bilang, mereka harus belajar seharian penuh karena ulangan biology kali ini membahas 2 bab sekaligus.
Dalam hati Carrol mengeluh, kenapa kemarin aku harus pingsan?
Akibatnya ia disuruh menjalani rawat inap dirumah sakit. Meninggalkan ulangan biology yang sudah dipelajarinya jauh-jauh hari itu.
Okay, walaupun disini ia cuma menginap sehari, tapi tetap saja rasa membosankan itu ada!
PIPPP.....!
Karena tak ada acara yang menarik, Carrol pun langsung mematikan televisi-nya.
Dengan lebih berkonsentrasi dilahapnya camilan yang tersisa beberapa keping lagi.
Amat sangat fokus, sampai-sampai ia tak menyadari jika seorang pemuda tampan memperhatikannya dari ambang pintu.
“Ehem~ lahap sekali makannya!” tegur sang pemuda dengan nada yang menggoda.
Carrol menghentikan kunyahannya. Matanya terbelalak kaget ketika mendapati Justin yang tengah berdiri tegak dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana.
So cool! batinnya meelting.
Sambil melangkahkan kakinya mendekati Carrol, Justin pun berkata, “Ibumu mengadu padaku bahwa kau tidak mau sarapan. Why? Aku tidak ingin kehilangan belieber yang manis sepertimu.”
“Justiiiiiin...... Berhentilah menggodaku!” rengeknya hendak memukul pundak Justin. Tetapi lebih dulu pria itu menghindar dan menangkap tangan sang gadis.
“Eits! Siapa yang menggodamu? Aku berbicara jujur dari dalam lubuk hatiku yang terdangkal.”
“Terdalam Justin!” beritahu Carrol membenarkan.
“Emangnya sudah ganti yah?”
“Memang itu daridulu!” jawab Carrol gemas.
Justin hanya nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun dengan rapi.
“Sudahlah! Leluconmu garing!” ucap Carrol sambil memasukkan kepingan MoonPies yang kesekian kedalam mulutnya.
Justin tersenyum kecil. Ia memperhatikan Carrol yang terus melumat camilannya dengan tatapan penuh makna.
“Jangan terlalu banyak memakan camilan, karena nanti pipimu akan berubah menjadi bakpao.” tegur Justin lembut. Kedua ibu jarinya bergerak maju untuk mengusap setiap sudut dibibir Carrol. Membersihkannya dari remah-remah biskuit yang menempel disana secara perlahan-lahan.
Sontak, kedua belah pipi Carrol pun menjadi blushing, tersipu malu.
Karena sentuhan lembut tangan Justin, membuatnya speechlees! Meelting untuk yang kedua kalinya.
Apalagi tatapan mata Justin yang memikat! Ibaratkan pisau daging yang menusuk tepat diulu hatinya tanpa ada rasa sakit barang sedikitpun. Tajam, tapi tidak menyakiti.
“Jangan menatapku seperti itu Justin. Aku jengah.” lirih Carrol menunduk.
“BAHAHAHAHAAAAAAA.....”
Spontan tawa Justin meledak, hingga membuat Carrol mengangkat wajahnya dengan heran.
“Apanya yang lucu?!”
“Nothing. Hanya saja warna pipimu sekarang sama merahnya seperti apel! Ah bukan! Apel terlalu bagus untukmu. Eummmm~ maksudku tomat. Yah tomat busuk! Bahahahahahaa.....”
Justin kembali tertawa. Kali ini lebih keras, lebih menggema dibanding yang tadi.
Ketika ia sadar bahwa Carrol tengah merengut masam, barulah Justin menghentikan tawanya.
“Maafkan aku Carry, aku hanya bercanda. Kau cantik. Bahkan lebih dari cantik dari seorang angel!” pujinya tulus. Sungguh! Tak ada niat sedikitpun untuk menggombal.
Carrol menggigit kecil bibir bawahnya. Lagi-lagi ia harus membuang muka dari Justin. Ah, jatuh cinta memang merepotkan!
Kemudian, perlahan-lahan Justin pun melaksanakan perintah yang diberikan Mom Eliana.
Diangkatnya nampan yang memuat sarapan Carrol, lalu ia taruh dipangkuannya.
“Apa kau benar-benar seorang belieber?” tanya Justin tiba-tiba.
Carrol mendelik kurang paham, tapi toh akhirnya dengan mantap ia pun menjawab, “Of course! Tentu saja aku seorang belieber.”
“Are you sure?”
“Yeah, I`m sure!”
“Baiklah, kalau begitu seorang belieber harus patuh dan tunduk kepada presidennya yakni Tn. Bieber! Ayo, buka mulutmu. Kau harus memakan bubur putih ini.” suruhnya lembut. Tidak ada nada memerintah sama sekali didalam ucapannya. Ahya, ini namanya bukan seperti suruhan, tetapi lebih ke bujukan.
Carrol diam bergeming, memandangi isi dari mangkok plastik yang dipegang oleh Justin.
Sejujurnya ia ragu, tapi anehnya ia sama sekali tak berontak ketika Justin mengambil bungkus MoonPies dari tangannya.
Ia rela! Ia ikhlas-ikhlas saja.
Selang 30 menit kemudian, tugas Justin pun selesai.
Ia berhasil membujuk Carrol untuk menghabiskan sarapan serta meminum dua butir obatnya.
It`s easy! Baginya tak ada yang sulit jika semua dikerjakan dari hati.
Dan yang terakhir ia harus mengajak Carrol berkeliling diarea rumah sakit. Kata dokter itu berfungsi untuk menenangkan pikiran Carrol. Entahlah! Justin sendiri juga tidak tahu apa maksudnya? Kenapa Carrol tak boleh depresi? Ia dilarang keras untuk menghadapi konflik yang berat.
Potongan Last Part/A ---->>
Lengang.
Koridor disetiap lorong yang ada dirumah sakit itu terlihat sepi. Tak ramai seperti dipagi dan sore hari.
Wajar sih, karena ini memang sudah siang dan waktunya para pasien untuk tidur atau sekedar beristirahat didalam kamar.
Tetapi Carrol....?
Ia justru berkeliaran diluar, berjalan bersama Justin dengan sebuah alasan simple, yaitu bosan.
Dan kini, perasaan badmood itu lenyaplah sudah. Berganti dengan air muka bahagia yang terpancar jelas diwajah bundar milik Carrol.
Yah cerah! Tidak ada lagi raut lesu, tidak ada lagi raut letih disana.
Begitu juga dengan Justin. Pemuda itu ikut senang melihat keceriaan dimuka gadisnya yang saat ini terlihat lebih manis dengan mengenakan piyama berwarna pink.
“Carrol?”
“Iya?”
Setelah sekian lama mereka terperangkap dalam keheningan, akhirnya Justin pun mulai mengajak Carrol untuk berbincang-bincang ringan.
“Kau masih marah pada Ibumu yah?” tanyanya tiba-tiba.
Carrol tersentak dengan kedua alis yang saling bertaut.
Perlahan dilepaskannya genggaman Justin yang melingkar dilengannya.
“Kenapa memangnya? Kenapa kau menanyakan itu?”
“Never mind, aku hanya bertanya. Apa tidak boleh?” Carrol terdiam.
“Tidak baik bertengkar terlalu lama dengan Ibu kandungmu sendiri. Ingatlah Carrol dia yang melahirkanmu. Aku rasa sakit yang kau derita diujung bibirmu itu tidak ada apa-apanya dibanding pada saat Ibumu berjuang mengeluarkanmu dari rahimnya.” nasehat Justin sembari mengaitkan kelima jarinya dengan jari-jemari Carrol. Lalu, seperti anak kecil
ia mengayun-ayunkan tangannya yang bersatu dengan tangan Carrol sambil bertanya lagi, “Tidak maukah kau memaafkannya?”
“Aku sudah memaafkannya dan aku juga tidak marah.”
“Tapi kenapa disaat beliau menyuruhmu makan kau malah membangkang? Itu artinya kau belum ikhlas memaafkannya!” tuding Justin tajam.
“Sok tahu sekali kau! Itu kan karena aku tidak suka menu sarapannya bukan karena aku tidak mau disuapi Ibuku tauk!” elak Carrol membela dirinya sendiri.
“Ohya?” Justin memutar kedua bola matanya. “Lalu kenapa kau mau-mau saja disaat aku menyuapimu tadi? Menunya sama kan? Tidak berubah menjadi daging atau ikan gurame bakar kesukaanmu. Atau jangan-jangan karena aku yang menyuapinya yah?” singgung Justin dengan embel-embel menggoda dibelakang.
Carrol tertunduk malu.
Skak mat! Karena jawabannya memanglah IYA. Tapi tetap saja, ia tidak mungkin mengakuinya didepan Justin.
Hah...! Bisa-bisa anak itu besar kepala nantinya.
“It..it..itu karena aku..... Eummm~ ahya kau kan idolaku Justin! Apa salahnya jika aku ingin merasakan suapanmu? Memangnya Zelena saja yang boleh merasakan itu?” tukasnya balik menyindir.
Justin tertawa kecil seraya mengacak-acak puncak kepala Carrol. Anak itu sifatnya sangat menggemaskan! Ia mempunyai segudang alasan jika sudah disudutkan seperti itu oleh Justin. Tak mau kalah.
“Ohya Carry, aku ketoilet sebentar yah?” pamit Justin yang kebetulan hendak buang air kecil. “Kau jangan kemana-mana, tunggu aku disini. Aku tidak akan lama kok!” pesannya lagi.
Carrol pun hanya mengangguk tanda meng-iya-kan semua ucapan Justin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar