»Potongan Part.5
CRESSSSSH....!
Dengan kasar Carrol pun menepis kantong kresek itu dari tangan Mom Eliana, sehingga mengakibatkan isinya terjatuh dan tumpah mengotori lantai.
“Carry! What the hell?! Ada apa denganmu dear?!” seru Mom Eliana terbelalak. Justin pun tidak kalah terkejutnya dari Mom Eliana. Bagaimana tidak? Baru kali ini ia melihat sisi lain dari diri Carrol. Sungguh, demi apapun itu Carrol akan terlihat menakutkan jika sedang marah seperti itu. Benar-benar lebih menyeramkan dibanding monster!
Carrol menatap Mom Eliana sinis dengan nafas yang berkejar-kejaran. Sejarah baru, karena untuk pertama kalinya Carrol semarah ini dengan Ibunya. Hanya karena masalah sepele, yakni karena ia melihat Mom Eliana pulang diantar pria lain saja. Just it!
“Siapa pria itu Mom?! Katakan yang sebenarnya atau aku tidak akan mau berbicara lagi denganmu!”
++++
BAB.2
<3 The Girl is She <3
(Part.6)
Kebohongan adalah suatu hal yang mengerikan..
Sering kali kita menutupinya dengan cara apapun, sehingga terjadilah kebohongan yang ditutupi dengan kebohongan yang lain..
Tapi ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan pada saat kita berbohong, yakni saat dimana kebohongan itu mulai terungkap..
Ya! Sama seperti kalimat bijak yang berbunyi ; Jika kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, maka kebohongan adalah kejujuran yang tertunda.
So, sooner or later tabir itu pasti akan terkuak.... Dengan sendirinya!
***
“Jaxon, bisakah kau masuk kekamarmu dulu? Mari aku antar.” pinta sekaligus ajak Mom Eliana menghampiri Justin.
Justin yang pada saat itu masih terlihat shock, hanya mengangguk saja.
Ia mengerti dan ia paham, sungguh tidak etis jika pertengkaran didalam rumah tangga Mom Eliana dilihat oleh orang lain yang notabene-nya bukanlah anggota keluarganya.
KREEEEK.....!
Mom Eliana menarik pintu kamar Justin, setelah itu bunyi dentuman kecilpun terdengar.
Menandakan bahwa kamar tersebut sudah terkunci dengan rapat.
Sementara diruang tamu nampak Carrol yang tengah berdiri tegap dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada.
Hatinya bergejolak.
Begitu banyak yang ingin ia tanyakan kepada Ibunya.
Antara lain ;
Siapa pria itu?
Mengapa Mom pulang harus diantar dengannya?
Kenapa mereka terlihat akrab sekali?
Trus mengapa Mom hendak mengecup pipinya?
Dan muncul satu pertanyaan yang menyimpulkan dari beberapa pertanyaan diatas. Yakni, “Apakah pria itu kekasihnya Mommy?”
Carrol menggeleng tegas.
Tidak! Itu tidak akan terjadi!
Sepasang mata miliknya memicing kearah Mom Eliana yang sedang berjalan mendekatinya.
Lalu, ketika sudah berada dihadapan Carrol, Mom Eliana mendesah.
“Namanya Eqbal Hafi Zein----”
“Aku tidak menanyakan siapa namanya!” sela Carrol cepat.
Mom Eliana melengos seraya menjawab, “Well, he is my new boyfriend.”
“Mom?!”
“Ah tidak, maksudnya kami baru melakukan pendekatan.”
“MOMMY?!” seru Carrol dengan nada yang lebih tinggi.
Sedikit jengkel ketika melihat Mom Eliana yang terus berbicara dengan memasang wajah stupid.
Seakan-akan tak peduli dengan ekspresi marah yang ia tunjukkan.
“O...ow! What is wrong?” tanya Mom Eliana --masih-- dengan wajah innocent-nya.
Carrol mendecak, “Mom, please! Jangan bercanda! Aku benar-benar tidak merestui hubungan kalian!”
“Oh sweety ayolah. Buang jauh-jauh egomu itu! Coba kau pahami perasaan Ibumu ini. Bagaimanapun hidup kita masih sangat panjang, dear. Mom masih mempunyai segudang mimpi yang belum terwujud! Begitu juga denganmu, iya kan? Kita memerlukan figur Ayah untuk melakukannya.” bujuk Mom Eliana mencengkram lembut pundak sang putri.
Namun, pintu hati Carrol seakan terkunci mati. Ia tidak mau mengindahkan segala bujuk rayu Mom Eliana.
Dengan keukeuh ia menolak, “Tidak! Mom yang egois! Kalau Mom tetap ingin menikah dengan Mr. Eqbal, itu artinya Mom telah mengkhianati Daddy! Mengkhianati Daddy sama saja dengan mengkhianatiku, dan resikonya aku akan sangat membencimu Mom!”
Mom Eliana menggelengkan kepalanya pelan.
Kalau dirinya egois, lalu Carrol yang tidak merestui keinginannya untuk menikah lagi dengan dalih menyakiti hati mendiang sang suami --yang sudah meninggal-- itu apa namanya? Lebih buruk dari egois!
Hari kian larut.
Ia pikir ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan tentang lamaran Mr. Eqbal tadi sore.
Well, tak ada gunanya untuk melanjutkan pembicaraan ini, karena tidak akan menghasilkan dampak yang positif. Yang ada malah mengganggu ketenangan tetangga rumah yang sudah terlelap.
“Terserah kau saja. Mom rasa kau sudah dewasa untuk berpikir tentang arti pengkhianatan yang sesungguhnya. Lagipula Mom hanya ingin menikah lagi. Apa itu salah? Mom tidak menyakiti hati Daddy, karena Mom melakukannya setelah Daddy meninggal dunia. Mom juga tidak mengkhianati cinta Daddy, karena walaupun Mom menikah dengan Mr. Eqbal nama Mr. Bowling akan tetap tertanam dihati Mom! Tidak ada satu orangpun yang bisa menggantikan posisi Ayahmu itu! What do you understand?!”
“I don`t understand and wouldn`t understand! Mom pengkhianat! Mom menikah dengan Mr. Eqbal hanya karena ingin hartanya saja. Iya kan Mom?!”
PLAKKKKK....!
Tak pelak tamparan keraspun dilayangkan Mom Eliana dipipi mulus Carrol.
Refleks, karena perkataan anaknya itu telah terlampau lancang.
Dihadapan Mom Eliana nampak Carrol yang mulai menangis, terisak sambil memegangi pipi kirinya yang terasa panas dan memerah.
Bahkan mungkin, tamparan itu berhasil merobek sedikit ujung bibirnya. Terbukti dari darah segar yang menitik disana.
“Mom?! Mom menamparku? YOU'RE EVIL!” jeritnya parau seraya berlari masuk kedalam kamar.
Sadar dengan apa yang sudah ia lakukan Mom Eliana pun terperanjat. Tentu ia menyesal! Karena senakal-nakalnya Carrol ia tidak bisa main kekerasan. Bisa dibilang ini baru pertama kalinya Mom Eliana mendaratkan pukulannya diwajah Carrol.
Nasi sudah menjadi bubur.
Apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa diulang lagi.
Yang tersisa tinggallah penyesalan.
Mom Eliana pun hanya tertunduk lesu disofa ruang tamu.
Mungkin setelah kejadian ini hubungannya dengan Carrol tak seharmonis dulu lagi.
***
PLAKKKK....!
Bahu Justin bergidik kecil ketika bunyi keras itu mampir ditelinganya.
Bagaimana tidak? Tak lama setelahnya langsung terdengar isak tangis seseorang.
Pasti terjadi sesuatu antara Carrol dengan Ibunya!
Apa jangan-jangan Mom Eliana menampar Carrol?
Justin yang tengah menguping dibalik pintu kamarpun miris mendengarnya.
Entahlah! Tiba-tiba saja ia merasa khawatir pada gadis itu.
Ia ingin menenangkan Carrol, sekedar mendekap atau mengusap airmata gadisnya.
Tapi apa mungkin? Kalau ia keluar sekarang tentu Mom Eliana akan curiga padanya.
Mau tidak mau Justin pun harus menahan keinginannya tersebut.
Dilepasnya kacamata hitamnya beserta dengan tongkat bambu yang kini menjadi teman sejatinya.
Kemudian, kedua kaki milik Justin pun perlahan bergerak kesudut ruangan. Dimana terdapat sebuah meja kayu berukuran sedang terpajang rapi disana.
SREEEET....!
Justin menarik sebuah laci kecil, tempat dimana ia menyimpan buku hariannya.
Yeah, purple dairy!
Dibawanya buku itu keatas kasur.
Lalu, sambil menelungkupkan badannya, Justin pun mulai menodai kertas --yang tadinya-- putih itu dengan sebatang bolpoin.
Justin pikir disaat keadaan seperti ini, hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah menulis.
Mungkin setelah mencurahkan isi hatinya diatas kertas tersebut, perasaan gamang atas keadaan Carrol akan menghilang dengan sendirinya.
»___________________________________«
Dear purple diary...
Ternyata dibalik sifatnya yang manis, gadis itu terlihat sangat menakutkan jika sedang marah!
Entahlah -__- padahal hanya masalah sepele! Tapi kenapa dia suka sekali membesar-besarkannya?
Kenapa dia marah hanya karena Ibunya pulang bersama pria lain?
Toh menurut kacamata penglihatanku, pria itu adalah pria yang baik!
Buktinya dia menghindar ketika Mom Eliana hendak menciumnya.
Ahya, aku paham.
Mungkin, gadis itu memiliki alasan tersendiri atas sikapnya tadi.
Ah, tapi tetap saja! Akibat ulahnya, Mom Eliana jadi bersikap kasar padanya.
Hahhhh...! Anak itu -__- tak tahukah ia kalau aku mengkhawatirkannya?
Selama ini yang aku tahu cinta adalah anugerah.
Tapi apa yang dialami oleh Mom Eliana sekarang, membuatku kembali berpikir.
Kalau cinta memang anugerah mengapa Mom Eliana harus tersakiti seperti ini?
Tidak! Mom Eliana pantas mendapatkan kebahagiaan.
Dan aku akan berusaha membujuk gadis itu agar mau menerima anggota baru dikeluarga kecilnya.
»___________________________________«
Justin mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya beberapa saat. Namun, sepertinya indra penglihatannya itu tidak bisa diajak kompromi saat ini.
Itu terlihat dari cahaya matanya yang nyaris 5 watt.
Alhasil, tanpa bisa dicegah, kepalanya pun ambruk kebawah beserta dengan bolpoinnya yang ikut terjatuh dari genggamannya.
Justin terlelap diiringi nyanyian jangkrik-jangkrik malam.
Begitu nyenyak! Sampai-sampai rasa lapar karena belum makan malampun tidak dirasakannya lagi.
***
BLAMMMM.......!
Carrol membanting keras pintu kamarnya.
Rasa sakit diujung bibirnya tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakit yang ada dihatinya.
Sungguh! Tak bisa ia mempercayai atas apa yang telah Mom Eliana lakukan padanya.
Ini terlalu menyakitkan!
Masih dalam keadaan menangis, Carrol pun terduduk menyender dibelakang pintu kamarnya.
Layaknya orang yang tengah dilanda depresi berat, ia terus-terusan memukul kepala bahkan menjambak rambutnya sendiri.
Ya! Carrol nampak shock dengan adegan “penamparan” yang baru saja ia alami tadi.
Tak ada yang bisa ia lakukan, selain menumpahkan kekesalannya pada berbagai macam benda mati yang tak bernyawa. Apapun itu!
Semua benda yang berada disekitarnya, tak luput dari amukan Carrol.
Entah itu dibenturkannya ketembok, atau malah dihempaskannya kelantai.
Hingga kamarnya sudah berantakan, Carrol tetap saja tidak merasa puas atau malah tenang.
Didalam hatinya, perasaan kecewa itu masih berada dipermukaan. Paling terdepan!
Begitu juga dengan air mata yang sampai detik inipun setia meleleh dipipinya. Sampai-sampai dadanya terasa sesak akibat terlalu banyak menangis.
“Mom jahat! Mom sudah tak menyayangiku lagi! Mom lebih memilih pria itu dibandingkan aku! Mom.... Arggggghhhhhhh~”
Berbagai racauan tak jelas keluar satu per satu dari bibir mungilnya.
Lalu, disaat binatang malam sudah tak bernyanyi lagi, barulah cairan bening itu berhenti mengalir.
Hanya isakan kecil yang terdengar. Beradu dengan suara Carrol yang mengeluh akan rasa sakit dikepalanya. “Oh my, kenapa kepalaku pusing sekali? Ssssshhh....” keluh Carrol sambil meremas kuat rambut pirangnya.
Bagai dihantam besi berton-ton kepalanya saat ini. Sakit sekali!
Karena tak tahan dengan rasa sakit yang semakin membelitnya, Carrol pun berniat untuk meminum pil penenangnya.
Hal yang selalu ia lakukan jika sudah tertekan seperti ini.
Tertatih-tatih Carrol menggerakkan kedua kakinya menuju meja rias yang terletak disamping kasurnya.
Dibukanya laci terkecil, tempat dimana ia menyimpan berbagai macam jenis obat-obatan disana.
Setelah sekian menit mengobrak-abrik isi dari laci tersebut, akhirnya iapun menemukan apa yang dicarinya.
Ditelannya pil berwarna pink itu dengan bantuan segelas air putih yang kebetulan berada diatas meja rias.
Ia sudah tak peduli lagi, apakah air putih itu masih baru, atau bekas kemarin?
Yang terpenting, berkatnya, obat penenang itu bisa masuk kedalam kerongkongannya dengan sangat mulus.
Lalu, tak lama kemudian, Carrol pun dapat tertidur.
Entah karena efek dari obat itu, atau karena dirinya yang memang kelelahan.
***
Jika di Canada kini tengah mengalami musim dingin, maka berbanding terbalik dengan cuaca di Desa RainVill.
Ya! Musim panas telah tiba.
Membawa oleh-oleh berupa sengatan panas berlebih khusus untuk penduduk Desa.
Pemuda itu bangkit dari kasurnya, setelah sempat menggeliat beberapa kali.
Ia terbangun bukan karena silau mentari pagi yang menerobos masuk melalui ventilasi kamar, tetapi ia terjaga karena bunyi perutnya yang amat mengganggu.
Diliriknya jam dinding bundar yang terpajang disudut ruangan.
“Masih jam 6,” desahnya pelan.
Diwaktu yang sepagi ini mustahil orang rumah bangun untuk sekedar menyiapkan makan pagi. Apalagi jika mengingat perang dunia ke-3 yang baru saja terjadi tadi malam! Tentunya mereka akan bangun lebih telat dari biasanya.
Dengan gontai Justin --si pemuda itu--, berjalan mendekati pintu kamarnya.
Dibukanya daun pintu perlahan-lahan, terlampau pelan malah! Hingga tak terdengar derit sekecil apapun yang dapat mengakibatkan orang-orang rumah terbangun.
Lalu, kepalanya celingak-celinguk memperhatikan keadaan diluar.
Sepi.
Seluruh lampu, baik itu ruang makan, ruang keluarga, maupun ruang tamu masih padam, pertanda belum dinyalakan.
Justin meremas kecil perutnya yang sedari tadi meronta-ronta minta diisi.
Karena sudah tidak tahan dengan bunyi kriuk-kriuk yang amat menyiksanya itu, Justin pun nekat keluar kamar tanpa menggunakan tongkat dan kacamata hitamnya.
Suatu keputusan yang.......? Riskan!
Bisa dibilang besar resikonya.
Laksana penyamun, ia mengendap-ngendap kearah dapur.
Berjalan dengan penuh hati-hati agar tak ketahuan oleh penghuni rumah.
Namun, dibelokan menuju dapur tiba-tiba langkah Justin terhenti.
Matanya tertumbuk disatu titik. Yakni, pintu kamar Carrol yang sedikit terbuka.
Memperlihatkan si penghuni kamar yang masih tertidur dengan begitu lelapnya.
Jika mengingat perasaannya yang sangat khawatir tadi malam, wajar bila Justin langsung bergerak masuk kedalam kamar gadis itu.
Yah, sekedar memastikan apakah keadaan gadisnya baik-baik saja?
Dengan hati-hati ditutupnya kembali pintu yang dibukanya tadi.
Tidak begitu rapat sih, karena ia ingin menyesuaikan keadaan pintu, baik sebelum dan sesudah dirinya masuk.
Sejurus kemudian, ia pun menghampiri Carrol yang tergeletak asal diatas kasur. Tanpa ada selimut tebal yang menutupi tubuh langsing gadis itu.
Pandangannya nanar. Tak pelak setetes cairan bening meluncur bebas dikedua ujung mata milik Justin, tatkala melihat bekas luka yang mengering diujung bibir sang pujaan hati.
“Oh my God, apa ini?! Seharusnya tadi malam kau tidak perlu berkata seperti itu Carry. Lihatlah akibat dari perkataanmu itu? Wajahmu terluka kan?! Dasar bodoh!” omel Justin dengan nada yang pelan, nyaris tak bersuara.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya bergerak maju untuk mengelus lembut pipi Carrol yang berbekas merah.
Dipandanginya dengan seksama wajah Carrol. Dan menurut Justin, walaupun wajahnya terdapat bekas luka, gadis itu tetap cantik!
Kemudian, selagi keadaan rumah masih sepi, cepat-cepat ia keluar dari kamar Carrol untuk mengambil sesuatu.
Sesuatu yang ternyata berupa handuk kering, air hangat, dan plaster itu kini sudah ada ditangannya.
Lalu, dengan penuh kelembutan Justin pun membersihkan bekas darah yang menempel diujung bibir Carrol.
Justin tersenyum, menikmati setiap detik pekerjaan kecilnya tersebut.
Sementara itu, bak mayat yang sudah tak bernyawa, si gadis sama sekali tidak terganggu dengan tangan Justin yang terus bergerak disekitar wajahnya.
Apakah karena Justin melakukannya dengan sangat lembut sehingga Carrol pun tidak merasakan sakitnya? Maybe, entahlah!
Namun, dikala Justin menempelkan plaster sebagai sentuhan akhir, gadis itu terbangun kecil.
Spontan, Justin terperanjat kaget lalu menjauh dari Carrol.
Oh my, rupanya gadis itu hanya mengigau!
Justin mengurut dadanya, lega.
Ia pikir saat ini kebohongan masih berpihak padanya, padahal justru sebaliknya. Kejujuran itu sedikit demi sedikit mulai berani menampakkan wujud dari kebenaran.
Ya! Tanpa diketahui oleh Justin, seorang wanita berpakaian rapi tengah memperhatikan gerak-geriknya dari ambang pintu yang memberikan sedikit celah kecil untuknya mengintip.
Ia sama sekali tidak terkejut, karena dari awal ia sudah curiga dan menduga bahwa pemuda yang kini tengah menetap dirumahnya itu adalah seorang yang pandai berbohong.
“Sudah kuduga! Tapi apa maksud anak itu membohongi Carrol?” gumamnya pelan.
Awalnya ia memang biasa-biasa saja, tapi detik berikutnya ia langsung terlonjak mundur kebelakang. Bagaimana tidak? Setelah diteliti wajahnya dengan seksama, orang yang telah membohongi putrinya itu ternyata seorang bintang besar! Penyanyi terkenal yang justru diidolakan anaknya sendiri.
“Astaga! Bagaimana bisa?! Aku tidak tahu bagaimana reaksi Carrol jika mengetahui ini semua!” pekiknya tertahan. Lalu, wanita itu bergegas pergi sebelum dirinya benar-benar pingsan ditempat.
***
Carrol Bowling, gadis manis itu sudah membersihkan dirinya sejak ½ jam yang lalu.
Walau begitu tetap saja ia merasa tidak segar seperti biasanya.
Seluruh badannya nampak lesu tak bergairah.
Kini, Carrol tengah mematut didepan cermin. Mengambil sisir, lalu menyikatkannya dengan rapi dimahkotanya yang terjuntai indah.
“Ya ampun! Siapa yang melakukannya?”
Kening Carrol mengkerut ketika melihat ujung bibirnya yang terbalut dengan plaster.
Ia heran, karena seingatnya ia tidak sempat membersihkan lukanya semalam. Who did?!
Untuk menjawab keheranannya, Carrol pun berniat untuk menanyakannya kepada Justin.
Setelah mengitari seluruh ruangan yang ada dirumahnya, akhirnya ia bisa menemukan sosok yang dicarinya. Pemuda itu nampak duduk santai disalah satu kursi yang terletak disamping rumah Carrol.
Tatapannya lurus kedepan dengan sebelah tangan yang setia memegangi sebilah tongkat.
“Jaxon?”
Sontak pemuda yang dipanggil “Jaxon” itu pun menoleh kebelakang.
Hanya berpura-pura. Honestly, dia juga tahu bahwa orang yang menyerukan namanya tadi, tidak berada dibelakangnya! Melainkan disampingnya.
“Aku disampingmu.” ucap Carrol memberitahu.
“Ya, what`s up Carry? Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menoleh kesamping.
Carrol mendesah, detik selanjutnya iapun mengarahkan telunjuk Justin keujung bibirnya sambil bertanya,
“Kau tahu siapa orang yang telah mengobati lukaku ini?”
Justin merabanya sesaat, lalu menggeleng lemah.
“Engggg~ mungkin ibumu.” jawabnya berbohong.
“Ohya?! Maksudmu dia yang melukaiku lalu dia juga yang mengobatiku, begitu? Ahahaha... I`m not believe! Dia kan tidak menyayangiku!” sangkal gadis itu mencibir.
“Kau membenci Ibumu?”
Carrol menatap Justin dengan alis yang bertaut. Tatapan matanya seolah mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Yakni, kenapa-tiba-tiba-kau-bertanya-seperti-itu?
Walaupun agak heran, tapi toh akhirnya Carrol menjawabnya dengan begitu santai.
“Entahlah! Tapi untuk saat ini aku tidak ingin dekat-dekat lagi dengannya!”
“Why? Apa karena pria itu?”
Carrol mendelik, “Darimana kau tahu?”
“Eh maaf. Semalam aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian.” terang Justin sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang kebetulan saja gatal.
Sungguh! Rasanya tidak enak jika kita ketahuan menguping.
Carrol tersenyum kecut.
Diraihnya sebuah bola basket yang bersembunyi dibawah meja kayu yang membatasi kursinya dengan kursi Justin, lalu ia pun memantul-mantulkannya keatas ubin dengan begitu pelan, tidak bertenaga.
“Ya aku tidak menyukainya! Aku tidak ingin Ibuku menikah lagi. I don`t want to have a stepfather.” tuturnya lirih.
Pemuda berkacamata hitam yang tengah duduk disamping Carrol menghela napas pendek, “Aku tidak mengerti,” ucapnya datar. “Kenapa kau berubah menjadi gadis yang egois seperti ini?” sambungnya dengan nada yang dingin.
Dan wajar bila Carrol tersinggung.
Ucapan Justin tadi terdengar seperti `pembelaan` ditelinganya.
Gadis itu langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu berhenti tepat dihadapan Justin.
“Kenapa kau malah membela Ibuku?! Apa kau tahu?! Ibuku menamparku tadi malam hanya untuk membela pria yang bernama Eqbal Hafi Zein itu! Apa kau tidak bisa merasakan sakit hatinya aku?! Sementara selama ini Ibuku tidak pernah memukul bahkan menamparku seperti semalam! AKU SAKIT HATI JAXON!” tukas Carrol dengan nada yang tinggi.
Entah berapa oktaf, sampai-sampai Justin ketakutan dibuatnya.
Well, ia pikir ini bukanlah waktu yang tepat untuk membujuk Carrol, karena emosi gadis itu masih terlihat labil.
Selepasnya, dengan pelan Justin pun menyahut, “Maaf, I don`t meant it like that. Aku hanya----”
“Sudahlah! Kita tidak perlu membahas ini lagi!” sela Carrol jengah.
Entah mengapa, rasa kesalnya kali ini dapat memacu semangatnya untuk memainkan bola berwarna oranye yang sejak tadi hanya dipantul-pantulkannya asal, dengan lebih ganas.
Dibawah terik matahari yang menyengat kulitnya, gadis itu bermain basket.
Walaupun rasa pusing melandanya secara tiba-tiba, tetapi itu tak menyurutkan gairahnya dalam menjalankan salah satu aktifitas favorite-nya tersebut.
Tak jauh dari tempat Carrol berada, tampak Justin yang tengah tertegun memperhatikan Carrol.
Setiap gerak-gerik, entah itu disaat Carrol mendrible atau malah men-shoot bolanya sanggup mencuri perhatian Justin. Membuat pemuda itu terpaku, terpesona disatu titik.
Dan harus diakuinya, memperhatikan Carrol selalu mampu menciptakan getaran-getaran direlung hatinya.
Selalu sukses menjadikannya bak orang waras yang minta dimasukkan kerumah sakit jiwa.
CARRY, YOU MAKE ME CRAZY DEAR! Teriaknya dalam hati.
Tiba-tiba senyum Justin memudar, berganti dengan raut kepanikan dikala sepasang mata miliknya menangkap wajah pualam sang gadis yang nampak pucat.
Oh my, ada apalagi dengan gadis itu?!
Permainan basket yang tadinya berjalan dengan penuh energik terpaksa ia berhentikan.
Carrol memegang erat kepalanya yang mendadak terasa berat. Disusul dengan badannya yang nyaris hilang keseimbangan. Ia merasa seolah-olah tubuhnya diputar dengan cepat sehingga membuat pandangannya berkunang-kunang.
Carrol berusaha menduga-duga, apa kira-kira yang membuat rasa pusing itu menyerangnya seperti ini?
Apakah karena ia kebanyakan menangis? Kebanyakan pikiran? Atau......?
BRUGGGGGGG....!
Belum sempat Carrol mendapatkan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan yang bersarang dibenaknya, lebih dulu iapun tak sadarkan diri.
“CARRY?!!” pekik Justin refleks.
Detik selanjutnya ia sudah menghambur dipelukan Carrol.
Ia sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi.
Seakan lupa dengan karakter “buta” yang seharusnya ia perankan, Justin pun langsung melepaskan tongkatnya dan membopong tubuh mungil Carrol keluar dari rumah.
Memanggil taksi untuk segera membawa gadisnya menuju rumah sakit terdekat.
***
“KAU! Kau apakan anakku HAH?!”
“You misunderstand Mom! Bukan aku yang membuatnya seperti ini, justru akulah yang membawanya dan menyelamatkan putrimu Carrol. Sungguh!”
“Bagaimana mungkin aku mempercayaimu, sementara kau justru sudah membohongi kami selama ini? Hah! Aku sudah mengatakan berkali-kali bahwa Carrol tak pantas mengagumimu! Kau terlalu BURUK untuk diidolakan!”
`Glekkkk....`
Justin menelan ludah mendengar omelan Mom Eliana yang setiap kata per katanya sangat menusuk dijantung hatinya.
Sebuah pertanda bahwa ternyata tak semua orang menyukainya. Mungkin Mom Eliana adalah satu dari sekian banyak orang yang dimaksudnya tersebut.
“Kau tahu Tn. Bieber? Kalau sesuatu yang buruk sempat terjadi dengan Carrol, maka aku akan memberimu pelajaran!” gertak Mom Eliana tegas. Tangannya mengepal menahan amarah yang kian membuncah didalam dadanya.
Bersamaan dengan itu, seorang dokter berkepala botak menghampiri Mom Eliana. Sepertinya ada suatu hal khusus yang ingin ia bicarakan, hanya 4 mata.
Oleh sebab itu, dengan terpaksa Mom Eliana pun berlalu meninggalkan Justin.
Sepeninggalan wanita itu, Justin menghela napasnya dengan amat berat.
Ia benar-benar gelisah sekarang.
Kedoknya sudah terkuak hanya dalam hitungan hari! Hingga begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang berbuah kecemasan, menyelinap masuk kedalam otaknya.
Seperti ; Bagaimana reaksi Carrol jika mengetahui kalau idolanya adalah seorang pembohong? Apakah Carrol akan mengusirnya? Apakah Carrol akan berhenti mengaguminya?
Ah, belum lagi sikap Mom Eliana yang seakan-akan tak merestui kehadirannya dikehidupan Carrol! Itu sangat membuat Justin disergap perasaan gamang.
Sementara itu, diluar halaman rumah sakit sudah begitu banyak para paparazzi yang diam-diam mengambil foto dirinya bersama dengan Mom Eliana.
Justin melihatnya, tapi dirinya tak mau ambil pusing.
Dibiarkannya saja para `penguntit` itu memotret gambar dan mengarang berita tentangnya sesuka hati.
Toh, selama ini berita yang disebarkan oleh paparazzi selalu membawa keberuntungan buatnya.
Selalu berhasil mendongkrak popularitas dirinya hingga mencapai puncak!
“Nyonya Eliana, kalau saya boleh tahu, sejak kapan putri anda mengkonsumsi obat penenang?”
“Aku tidak begitu tahu dok. Setahuku dia sangat membenci yang namanya obat! Eummmm~ memangnya ada apa? Apa penyakit Carrol berbahaya?”
“Belum, ini baru gejala dari penyakit yang dideritanya. Dan mengenai nama penyakitnya itu saya belum bisa memastikannya. Tapi saran saya, berhentilah mengkonsumsi obat-obatan, karena itu akan mengganggu kesehatannya.”
Itu adalah sepenggal percakapan yang terjadi selama Ibunda Carrol berada diruangan dokter.
Sekembalinya Mom Eliana dari ruangan yang serba putih itu, ia langsung melangkahkan kakinya menuju ruang inap VIP dengan nomer 105, tempat dimana Carrol dirawat.
Pemandangan yang pertama kali ia lihat ketika membuka pintu kamar tersebut adalah tubuh anaknya yang menyender dikepala ranjang. Ternyata Carrol sudah siuman!
“Kau sudah sadar?” tanyanya sumringah.
Carrol menoleh sekilas, lalu kembali membuang wajahnya kesamping.
“Siapa yang membawaku kesini?”
“Justin.”
“Justin? Justin siapa?”
“Justin Bieber.”
“Are you kidding me? Terakhir aku bersama Jaxon, mana mung-----”
“Bibi Eliana benar Carry. Aku Justin Drew Bieber adalah orang yang membawamu kesini.”
Gadis itu terperangah kala melihat wujud pemuda yang tiba-tiba muncul dan berdiri diambang pintu.
Mulutnya menganga lebar dan kedua bola matanya terbuka, seakan tak percaya dengan sosok yang ada dihadapannya.
“Ka-ka-kau membohongiku?”
Terbata-bata Carrol mengucapkannya.
Justin mengangguk pasrah.
Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang, karena tak ada gunanya lagi bila mengelak. Toh nantinya Mom Eliana juga akan memberitahukan yang sebenarnya kepada putrinya.
Sekejap suasananya mendadak hening.
Yang mampu ditangkap oleh indera pendengaran manusia yang ada diruangan itu hanyalah isakan kecil dari bibir Carrol.
Gadis itu menangis sesenggukan.
Ekspresinya susah sekali untuk ditebak.
Mom Eliana yang kebetulan berada disampingnya pun tak tahu harus berbuat apa.
Ia hanya mampu berdiam diri menyaksikan dua insan manusia yang sama-sama terlihat tegang.
Sementara itu, masih dengan posisinya yang sama sekali tidak beranjak dari daun pintu, Justin tampak semakin cemas.
Niatnya yang ingin mendekati Carrol, terpaksa diurungkannya, lantaran reaksi gadis itu yang mulai menangis.
Sebuah sikap yang menunjukkan kekecewaan.
“Maafkan aku Carry. Aku memang membohongimu, tetapi aku melakukannya karena sebuah alasan. Kau adalah gadis yang selalu hadir dalam mimpiku, kau adalah gadis yang mampu memikat hatiku, dan kau adalah-------”
“FOR WHATEVER REASON STILL HAVE YOU BEEN LYING TO ME! DAN KAU TAHU? AKU SANGAT MEMBENCI PEMBOHONG BESAR!” teriak Carrol disela-sela isak tangisnya yang mulai mereda.
Justin menyesal.
Kini tak ada yang patut disalahkan.
Ia yang berbohong, ia juga yang harus menanggung resikonya.
“Aku minta maaf. Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, I`m so sorry. Aku tidak akan pernah melupakanmu Carry.” lirihnya seraya bergerak, mengambil ancang-ancang untuk keluar dari ruangan yang terasa memusuhinya itu.
Selangkah...
Dua langkah...
Tiga langkah...
“Justin,”
Sebuah suara yang memanggil lembut namanya, sukses membuat Justin menghentikan langkahnya seraya menengok kebelakang.
“Kau benar Justin Bieber idolaku itu?”
Justin mengangguk satu kali.
Tatapannya masih sayu, tak bercahaya.
“Really? Kau tidak berbohong lagi kan?” tanya Carrol dengan air mata yang kembali menetes dipipinya.
“Of course! Kalau aku berbohong kau boleh membunuhku.” ucapnya tegas.
Serta-merta sebuah lengkungan yang lebar nan indah pun terlukis dibibir mungil Carrol.
“Aww! Please, hug me now dear!”
Gadis itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Lalu, Justin pun langsung masuk kedalam pelukannya.
Air mata haru kembali mengalir dengan lebih deras. Menganak-sungai dipipi chubby milik Carrol.
Keduanya sama-sama terkejut.
Carrol masih tak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya, sementara Justin masih belum yakin dengan reaksi Carrol yang tiba-tiba berubah menjadi lunak, tidak garang seperti sebelumnya.
Setelah melonggarkan pelukan diantara mereka, Justin dan Carrol pun saling tersenyum --lagi--.
“Oh my, this is like a dream!”
Carrol kembali menangis tersedu-sedu.
“No carry! It`s real. Kau telah bertemu dengan idolamu, sementara aku berhasil menemukan gadis didalam mimpiku. Kau dan aku sama-sama beruntung! That`s right? Sudahlah, jangan menangis. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.”
Justin mengusap lembut air mata Carrol dengan kedua ibu jarinya.
Sang gadis pun tersenyum, membiarkan tangan kokoh idolanya merangkum wajahnya dengan penuh kehangatan.
“Kau sudah memaafkanku? Bukankah kau sangat membenci yang namanya pemohong besar?” tanya Justin dengan mata memicing.
Carrol menggangguk, “Yah, dan kau bukanlah pembohong besar! Kalau kau pembohong besar, mana mungkin identitas aslimu terbongkar secepat ini.” Sedikit terkekeh geli, lalu ia pun kembali menyambung, “Lagipula aku tidak mungkin bisa membencimu Justin. Because, I really admire you dear!” tukasnya mengerling nakal.
Menggoda Justin, hingga wajah pemuda itu pun tersipu malu dibuatnya. Memerah.
Mereka berdua saling melempar senyum, lalu kembali tenggelam dalam dekapan penuh kasih sayang.
Terlihat sangat akrab, bagai sepasang kekasih yang sudah lama terpisah dan kembali dipertemukan oleh takdir.
Namun kebahagiaan itu sama sekali tak dirasakan oleh wanita yang sedari tadi hanya setia menjadi penonton saja.
Yakni, Mom Eliana. Ia terperangah.
Terkejut dengan reaksi yang Carrol berikan.
Ini semua sungguh diluar dugaan! bisiknya tak kentara.
<3 The Girl is She <3
_______________________________________
»Potongan Part.6
“Kau sudah memaafkanku? Bukankah kau sangat membenci yang namanya pemohong besar?” tanya Justin dengan mata memicing.
Carrol menggangguk, “Yah, dan kau bukanlah pembohong besar! Kalau kau pembohong besar, mana mungkin identitas aslimu terbongkar secepat ini.” Sedikit terkekeh geli, lalu ia pun kembali menyambung, “Lagipula aku tidak mungkin bisa membencimu Justin. Because, I really admire you dear!” tukasnya mengerling nakal.
Menggoda Justin, hingga wajah pemuda itu pun tersipu malu dibuatnya. Memerah.
Mereka berdua saling melempar senyum, lalu kembali tenggelam dalam dekapan penuh kasih sayang.
Terlihat sangat akrab, bagai sepasang kekasih yang sudah lama terpisah dan kembali dipertemukan oleh takdir.
Namun kebahagiaan itu sama sekali tak dirasakan oleh wanita yang sedari tadi hanya setia menjadi penonton saja.
Yakni, Mom Eliana. Ia terperangah.
Terkejut dengan reaksi yang Carrol berikan.
Ini semua sungguh diluar dugaan! bisiknya tak kentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar