Potongan Last Part/A ---->>
Lengang.
Koridor disetiap lorong yang ada dirumah sakit itu terlihat sepi. Tak ramai seperti dipagi dan sore hari.
Wajar sih, karena ini memang sudah siang dan waktunya para pasien untuk tidur atau sekedar beristirahat didalam kamar.
Tetapi Carrol....?
Ia justru berkeliaran diluar, berjalan bersama Justin dengan sebuah alasan simple, yaitu bosan.
Dan kini, perasaan badmood itu lenyaplah sudah. Berganti dengan air muka bahagia yang terpancar jelas diwajah bundar milik Carrol.
Yah cerah! Tidak ada lagi raut lesu, tidak ada lagi raut letih disana.
Begitu juga dengan Justin. Pemuda itu ikut senang melihat keceriaan dimuka gadisnya yang saat ini terlihat lebih manis dengan mengenakan piyama berwarna pink.
“Carrol?”
“Iya?”
Setelah sekian lama mereka terperangkap dalam keheningan, akhirnya Justin pun mulai mengajak Carrol untuk berbincang-bincang ringan.
“Kau masih marah pada Ibumu yah?” tanyanya tiba-tiba.
Carrol tersentak dengan kedua alis yang saling bertaut.
Perlahan dilepaskannya genggaman Justin yang melingkar dilengannya.
“Kenapa memangnya? Kenapa kau menanyakan itu?”
“Never mind, aku hanya bertanya. Apa tidak boleh?” Carrol terdiam.
“Tidak baik bertengkar terlalu lama dengan Ibu kandungmu sendiri. Ingatlah Carrol dia yang melahirkanmu. Aku rasa sakit yang kau derita diujung bibirmu itu tidak ada apa-apanya dibanding pada saat Ibumu berjuang mengeluarkanmu dari rahimnya.” nasehat Justin sembari mengaitkan kelima jarinya dengan jari-jemari Carrol. Lalu, seperti anak kecil
ia mengayun-ayunkan tangannya yang bersatu dengan tangan Carrol sambil bertanya lagi, “Tidak maukah kau memaafkannya?”
“Aku sudah memaafkannya dan aku juga tidak marah.”
“Tapi kenapa disaat beliau menyuruhmu makan kau malah membangkang? Itu artinya kau belum ikhlas memaafkannya!” tuding Justin tajam.
“Sok tahu sekali kau! Itu kan karena aku tidak suka menu sarapannya bukan karena aku tidak mau disuapi Ibuku tauk!” elak Carrol membela dirinya sendiri.
“Ohya?” Justin memutar kedua bola matanya. “Lalu kenapa kau mau-mau saja disaat aku menyuapimu tadi? Menunya sama kan? Tidak berubah menjadi daging atau ikan gurame bakar kesukaanmu. Atau jangan-jangan karena aku yang menyuapinya yah?” singgung Justin dengan embel-embel menggoda dibelakang.
Carrol tertunduk malu.
Skak mat! Karena jawabannya memanglah IYA. Tapi tetap saja, ia tidak mungkin mengakuinya didepan Justin.
Hah...! Bisa-bisa anak itu besar kepala nantinya.
“It..it..itu karena aku..... Eummm~ ahya kau kan idolaku Justin! Apa salahnya jika aku ingin merasakan suapanmu? Memangnya Zelena saja yang boleh merasakan itu?” tukasnya balik menyindir.
Justin tertawa kecil seraya mengacak-acak puncak kepala Carrol. Anak itu sifatnya sangat menggemaskan! Ia mempunyai segudang alasan jika sudah disudutkan seperti itu oleh Justin. Tak mau kalah.
“Ohya Carry, aku ketoilet sebentar yah?” pamit Justin yang kebetulan hendak buang air kecil. “Kau jangan kemana-mana, tunggu aku disini. Aku tidak akan lama kok!” pesannya lagi.
Carrol pun hanya mengangguk tanda meng-iya-kan semua ucapan Justin.
+++
BAB.2
<3 The Girl is She <3
(Last Part/B)
Apa arti Ibu yang sesungguhnya? Seberapa besarkah rasa sayangnya terhadap kita? Apakah lebih luas dari lautan? Apakah lebih besar dari langit dan bumi? Apakah lebih berharga dari nyawanya sendiri? Of course! Tapi kita tak pernah menyadarinya. Kita baru sadar setelah melihat perjuangan berat yang dilakukannya untuk melahirkan kita ke bumi. Mempertaruhkan nyawanya semata-mata agar kita dapat melihat indahnya dunia.
***
Carrol mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru.
Salah satu lorong, tempat dimana ia berpijak kini, terasa lebih ramai daripada lorong-lorong yang lain.
Setidaknya masih ada beberapa perawat yang berlalu-lalang dengan membawa nampan atau hanya sekedar map yang berisikan data pasien lengkap dengan grafik peningkatan kesehatannya setelah melakukan pengobatan.
Justin menyuruhku untuk menunggu disini, memangnya ini dimana? batin Carrol bergumam heran.
“Tarik napas pelan-pelan.”
“Hhhhh.......”
“Keluarkan.”
“Hahhhh.....”
“Tarik lagi.”
“Hhhhh.......”
“Keluarkan.”
“Hahhhh.....”
Suara samar-samar yang berasal dari salah satu ruangan dilorong itu, menarik perhatian Carrol. Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, Carrol pun melangkah lebih dekat lagi.
“Ruang bersalin?” Carrol mengeja tulisan yang tercetak dipapan kayu yang tergantung rapi diatas pintu dengan cat berwarna abu rokok.
Perlahan namun pasti, kedua telapak kakinya berjingkat guna mengintip keadaan didalam melalui sebuah kaca bening --seperti ventilasi-- yang tertempel dibagian atas pintu.
Carrol mengintip dengan seksama.
Didalam sana terlihat seorang calon Ibu muda yang tengah berjuang melahirkan jabang bayi dari dalam kandungannya.
Persalinan yang dilakukannya normal, dibantu oleh seorang dokter wanita yang ditemani dengan salah satu perawat bergender sama.
Wanita itu nampak menarik-buang napasnya sambil sesekali mendorong sang bayi agar cepat keluar.
“Ayo Nona terus! Dorong terus sampai kepalanya keluar! Come on you can do it!” perintah sang dokter memberikan semangat.
“Aduh dokter sakiiiiiiit.... Saya sudah tidak sanggup lagi! It feels like to die!” keluhnya mulai menangis. Napasnya memburu sambil meremas kuat sprei kasur yang direbahinya.
Carrol menggigit kecil bagian dalam bibirnya. Apakah waktu melahirkannya Mom Eliana merasakan hal yang sama sakitnya dengan wanita yang berada didalam itu? Maybe, sepertinya. Karena Ibunya pernah berkata, bahwa yang namanya melahirkan itu tidak gampang. Taruhannya nyawa, antara hidup dan juga mati.
Sementara didalam, si dokter menggeleng tegas, ekspresinya berubah panik kala melihat pasiennya yang mulai putus asa.
“Jangan berkata seperti itu Nona. Anda pasti bisa melakukannya! Ayo dorong terus, sedikit lagi bayinya pasti keluar.” bujuknya sambil mengurut pelan perut sang wanita, berharap dengan begitu akan mempercepat proses kelahiran.
Bagai mendapatkan kekuatan, wanita itu pun kembali mendorong kuat bayinya. Lebih kuat dari yang tadi! Tapi semakin kuat ia mendorong, semakin sakit pula nyeri yang dirasakannya.
“Ini sakit sekali dokter! ARRRRRGGGGGGHHHHHHH~”
Wanita itu mengerang keras dan.......?
“Oweee~ Oweeee~”
Terdengarlah tangisan seorang bayi yang sangat lucu. Berhasil!
Bayinya selamat dan si wanita terkapar dengan air mata haru yang bercucuran dikedua pipinya.
Sepasang mata biru milik Carrol berkaca-kaca, ikut terharu.
Tiba-tiba saja nasehat Justin tadi, terngiang-ngiang ditelinganya.
“Tidak baik bertengkar terlalu lama dengan Ibu kandungmu sendiri. Ingatlah Carrol dia yang melahirkanmu. Aku rasa sakit yang kau derita diujung bibirmu itu tidak ada apa-apanya dibanding pada saat Ibumu berjuang mengeluarkanmu dari rahimnya.”
Perlahan diliriknya wanita yang masih terbaring lemas itu. Lalu sebelah tangannya bergerak maju meraba sudut bibirnya yang meninggalkan segores luka akibat pukulan tangan Ibunya.
“Yah, Justin benar! Rasa sakit ini tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan Mom untuk melahirkanku. Haduh, kenapa aku bodoh sekali?! Lagipula Mom kan tidak sengaja melakukannya!”
“Hei! Kucari kemana-mana, ternyata kau ada disini!”
Seorang pemuda berseru menghampiri Carrol. Mimik wajahnya nampak kesal, menegaskan bahwa dirinya sudah kelelahan karena berkeliling mencari Carrol.
Tetapi raut itu hilang tatkala kedua pupil matanya menangkap mata gadisnya yang memerah dan berair.
“Kau kenapa? Kau menangis? Siapa yang mengganggumu?” tanyanya dalam satu tarikan napas, beruntun.
“Aku tidak apa-apa Justin. Aku hanya kelilipan saja kok! Maaf sudah membuatmu kesal.” jawab Carrol ikut memborong.
“Aku tidak kesal tauk! Aku hanya sebal. Aku kan sudah bilang, jangan beranjak dari tempat itu. Kenapa kau malah pergi seenak jidat hah?!” Justin berkacak pinggang sambil memamerkan jari telunjuknya dihadapan Carrol. Kemudian, matanya beralih dan tertuju pada papan yang bertuliskan delivery room. “Ruang bersalin? Ada keperluan apa kau kesini? Apa ada keluargamu yang melahirkan?”
Carrol tersenyum misterius. Menggamit lengan Justin seraya menjawab, “Akan kuceritakan tapi tidak disini!”
Justin melongo dengan tatapan kaget yang mengandung arti -Mau-dibawa-kemana-aku???-
***
Apa yang dikatakan Mom Eliana benar, tepat, dan tidak meleset!
Taman disamping rumah sakit sangat terlihat indah. Bunga-bunga tumbuh dan bermekaran dengan begitu cantiknya.
Carrol menggandeng Justin menuju bangku panjang disamping pohon ek yang rimbun.
Awalnya gadis itu ingin duduk dikursi kayu yang berhadapan langsung dengan danau buatan, tetapi Justin keburu melarangnya.
“Jangan disana! Kata dokter kau tidak boleh kena panas.”
“Kenapa memangnya? Aku kan hanya
sakit biasa.”
“Entahlah. Aku hanya menyampaikan apa yang dokter bilang.”
Akhirnya Carrol pun mengalah dan membiarkan Justin memilih tempat yang ia suka.
So, jadilah mereka duduk disamping pohon ek. Karena pohonnya yang rimbun mampu melindungi Carrol dari sengatan matahari secara langsung.
“Justin, aku sudah memutuskan untuk memaafkan Ibuku dengan tulus. Sepenuh hatiku sama seperti apa yang kau inginkan.” tutur Carrol mengarah kesatu topik pembicaraan. Yakni, pertengkaran kecil yang terjadi diantara ia dan Mom Eliana.
Justin terbelalak. Detik selanjutnya senyuman lebar pun terpatri dibibir merahnya.
“Oh really?! Kenapa kau berubah pikiran?”
“Aku tidak berubah pikiran. Aku hanya perlu memantapkan hatiku!” sahut Carrol gesit. Ia tersenyum kecil sambil memainkan ujung rambut pirangnya. “Do you know Justin? Hati kecilku mengatakan aku tidak pernah benci atau marah sungguhan pada Ibuku. Yang kemarin itu sekedar luapan emosiku saja. Dan kau benar! Luka disudut bibirku ini tak ada artinya jika dibandingkan dengan perjuangan Mom melahirkanku. Aku melihatnya! Dengan mata kepalaku sendiri jika melahirkan itu sakit. Butuh perjuangan yang ekstra keras.” tambahnya panjang lebar. Lagi-lagi cairan bening itu keluar perlahan dari ujung mata Carrol, lalu terjun bebas dikedua pipi chubby miliknya. Ia menyesal karena telah bersikap dingin terhadap Ibunya semalam. Padahal jika ia mau berpikir dengan lebih jernih, tentu bukan sifat memusuhi yang akan dia ambil!
“Sudahlah jangan menangis! Asal kau tahu saja, Ibumu sangat menyayangimu lebih dari dirinya sendiri. Kau adalah permata berharga yang dia punya.” hibur Justin sembari menyusut air mata Carrol dengan kesepuluh jarinya.
“Ya aku tahu itu. Maka dari itu aku merasa bersalah karena telah memusuhinya kemarin.”
“Lalu, apa itu artinya kau sudah merestui jika Ibumu menikah lagi dengan Mr. Eqbal?”
Carrol mengalihkan pandangannya dari wajah Justin. Membuat tangan sang
pemuda, yang tadinya merangkum wajah Carrol, terlepas secara bersamaan.
“Aku belum tahu.” jawabnya menggeleng pelan.
“Why? Kau masih ragu?”
“.......” Tak ada jawaban, baik itu ucapan maupun sekedar gelengan kepala.
“Carry, shawty ku yang manis. Dengarkan Bieber-mu ini berbicara sebentar. Aku ingin bertanya, bagaimana perasaanmu jika Mom Eliana melarang kau mengagumi diriku? Apa rasanya jika kau tak diizinkan menonton konserku? Dan apa rasanya jika kau tidak diperbolehkan untuk mendengarkan lagu-laguku dikamarmu?”
Carrol tertegun. Kenapa Justin tiba-tiba menanyakan hal itu?
Ia rasa tanpa dijawab pun Justin sudah bisa mengetahui, atau paling tidak menebak apa yang dirinya rasakan. Tapi kenapa anak itu menanyakannya lagi?
Walaupun bingung, tapi toh akhirnya Carrol pun menjawabnya dengan penuh penghayatan.
“Tentu saja aku kesal! Marah, galau, sakit hati, sebal, dongkol, berjejalan didalam hatiku. Hah....! Rasanya hidupku hampa. Kalau sudah begitu lebih baik aku mati saja. Kau tahu Justin? Kalau Ibuku sudah melarang keinginanku pasti aku akan menangis semalaman, meluapkan kekesalanku pada semua benda mati, lalu setelah capai aku akan meminum obat penenang atau obat tidur agar aku mudah terlelap. Ya begitulah, yang jelas rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata!” celoteh Carrol bersemangat. Ekspresinya benar-benar menunjukkan rasa kesal yang luar biasa. Tak pelak, Justin pun tertawa dibuatnya.
“Aku tahu, rasanya pasti sakit sekali. Begitu juga dengan apa yang dirasakan oleh Ibumu sekarang. Apa kau pernah memikirkan perasaannya? Menyukai seorang pria tetapi perasaannya yang tulus itu mendapatkan larangan dari putrinya sendiri. Kau sayang Ibumu kan Carry? Aku yakin jika kau sayang padanya, kau tidak akan tega jika Ibumu merasakan hal yang sama perihnya denganmu. Perasaan kesal karena dilarang itu cukup kau saja yang merasakannya, bukan begitu?”
Carrol tak mampu menjawab. Perumpamaan yang Justin berikan, membuatnya harus berpikir keras untuk mencerna dengan baik kata per katanya. Ini membuatnya kembali bimbang!
Hingga akhirnya Justin pun menepuk pundak Carrol. Mengingatkannya bahwa hari telah sore, dan mereka harus kembali kekamar sebelum Mom Eliana datang.
“Pikirkan baik-baik nasehatku Carry. Aku tahu kau adalah gadis yang cerdas! Dan pilihanmu pun selalu tepat! Sekarang ayo kita pulang!” ajak Justin berjalan lebih dulu.
Carrol masih diam mematung disana. Hingga jaraknya dengan jarak Justin sudah mencapai 200 meter, barulah ia berlari menyusul idolanya seraya berteriak, “AKAN AKU PIKIRKAN BAIK-BAIK JUSTIN! KAU BISA MENDENGARKAN JAWABANNYA BESOK PAGI!”
Jam menunjukkan pukul 5 sore.
Kini, Carrol sudah berada dikamarnya ditemani oleh Justin.
Pemuda itu dengan senang hati bersenandung untuk Carrol. Yah sekedar membunuh rasa jenuh sembari menunggu kedatangan Mom Eliana.
So amazing! Suara Justin tetap terdengar merdu walaupun ia bernyanyi tanpa diiringi alat musik barang sejenispun. Haduh, namanya juga bawaan dari lahir (?)
Tak lama kemudian, yang ditunggupun datang.
Disaat melihat wujud sang Ibunda diambang pintu, laksana seorang balita, Carrol pun langsung meloncat dari atas kasurnya.
“Selamat sore Mom! Aku sangat merindukanmu!” jeritnya seraya menghambur kepelukan Mom Eliana.
Wajar bila wanita itu terbengong, heran.
Bukankah tadi pagi Carrol bersikap acuh padanya? Kenapa sekarang?
Mom Eliana melempar pandang kearah Justin dengan tatapan yang seolah bertanya -kau-apakan-anakku???-kau-tidak-salah-memberikannya-obat-kan???-
Justin terkekeh pelan.
Ia hanya menggeleng dua kali.
Sorot matanya seolah menjawab -aku-tidak-melakukan-apa-apa-kok!-
Sore yang indah. Seindah hati Mom Eliana, Carrol, dan juga Justin.
Akankah keindahan ini bertahan sampai besok? Entahlah! Karena esok masih menjadi misteri untuk kita.
***
Pagi yang cerah di Desa RainVill.
Matahari mulai menampakkan sinarnya dikala sang dwi malam pergi kembali keperaduan.
Didalam kamarnya, seorang gadis masih nampak tertidur pulas dibawah selimut rajutan yang terasa hangat.
Ketika jam weker disamping tempat tidurnya berdering, barulah gadis itu terbangun dengan sedikit menggeliat.
Disibaknya tirai gorden yang menutupi jendelanya. Lalu, selepas membersihkan sleeping bag bekasnya tidur, gadis itu pun beranjak kekamar mandi.
TOK...! TOK...! TOK...!
Dari luar kamar si gadis terdengar ketukan pintu yang diiringi dengan teriakan seorang wanita.
“Carry kau sudah bangun Nak? Kalau sudah ayo cepat kita sarapan!” perintah sang Ibu lantang.
“Iya sebentar Mom!” jawabnya balas teriak.
Carrol, gadis itu tengah mematut diri didepan cermin.
Menyisir helai demi helai rambutnya yang diikat dua seperti tanduk kuda.
Raut sumringah tercetak jelas diwajahnya karena kini ia sudah dapat menginjakkan kaki dirumahnya kembali.
Tempat berlindung yang selalu ia rindukan, terutama kamar ungunya yang dipenuhi dengan poster Justin Bieber idolanya.
Ya! Tepatnya tadi malam, Carrol sudah diizinkan untuk kembali kerumah. Dengan catatan rajin meminum obat dari dokter, menghindari sengatan matahari berlebih, dan berhenti mengkonsumsi obat penenang.
Sementara itu, mengenai penyakit yang dideritanya dokter belum dapat memastikan. Karena keterbatasan alat medis dirumah sakitnya, membuat dokter Rainhealthy takut salah prediksi.
Tak ada ketakutan yang dirasakan Carrol, karena gadis itu merasa tidak ada penyakit berbahaya yang bersarang ditubuhnya. Tapi siapa yang tahu? Jika suatu gejala yang kecil akan menimbulkan suatu penyakit yang besar nantinya.
Untuk yang kedua kalinya Carrol memperhatikan pantulan wujudnya didepan cermin.
Stelan rok lipit bermotif kotak-kotak lengkap dengan seragam putih bersih yang dilapisi dengan blazer warna krem khas Bignius High School telah melekat ditubuhnya.
Carrol tersenyum lebar, “Aku tidak buruk!” batinnya dalam hati.
Setelah merasa rapi dengan penampilannya, Carrol pun beranjak dari meja rias.
Menyampirkan tas selempang bermotifkan kepala kucing dipundak kanan, lalu melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamar untuk kemudian menuju ke ruang makan.
Disana sudah nampak Justin dan Mom Eliana yang terduduk manis mengelilingi sebuah meja bundar.
“Good morning shawty.” sapa Justin mengerling nakal. Ia tak peduli dengan tatapan sinis Mom Eliana yang seakan tak suka dengan sikapnya yang menggoda Carrol.
“Good morning my Bieber.” jawabnya balik menyapa Justin.
Lalu, ia melirik kearah Mom Eliana yang terus memperhatikannya sedari tadi.
“Hai Mom! Kenapa Mom melihatku seperti itu? Apakah ada yang salah dengan penampilanku hari ini?” tanya Carrol, risih. Ia pun kembali mengamati setiap atribut yang melekat ditubuhnya kini. Apa ada yang aneh?
Bukannya menjawab, Mom Eliana malah balik bertanya, “Hari ini kau kesekolah?”
Carrol mengangguk mantap, “Tentu saja! Aku sudah sangat merindukan teman-temanku disekolah.” ucapnya berlebihan. Diraihnya setangkup roti tawar dengan isi mentega beserta segelas susu sapi segar yang Mom Eliana sodorkan.
Sambil menikmati sarapannya Carrol pun kembali menyahut, “Memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Tapi kenapa cepat sekali? Kau kan baru keluar dari rumah sakit. Apa tidak sebaiknya jika kau beristirahat saja dulu dirumah?” usul Mom Eliana, perhatian.
Carrol menggeleng kecil lantas menempatkan tubuhnya disebuah kursi kosong yang berada tepat disamping Justin dan berhadapan langsung dengan Ibunya.
“Tidak bisa Mom! Aku sudah banyak ketinggalan pelajaran dan berbagai ulangan harian karena tidak masuk. Lagipula, Justin juga
menjagaku disekolah nanti, jadi Mom tak perlu khawatir!” tukas Carrol meyakinkan Ibunya.
Kedua kelopak mata Mom Eliana memicing, “Justin?” Carrol mengangguk.
“Ikut dirimu kesekolah?” tanya Mom Eliana memastikan.
“Iya, kenapa memangnya?”
“Lebih baik tidak usah! Kalau dia ikut, yang ada kau tidak belajar! Karena para paparazzi pasti mengekori kalian, dan pada akhirnya kau malah sibuk meladeni mereka! Apalagi kalau bukan wawancara?” cibir Mom Eliana dingin.
Spontan, Carrol tertawa kecil menanggapi kemungkinan konyol yang dilontarkan oleh Ibunya. Masih dengan terkekeh geli, ia pun menjawab, “Tidak akan Mom, karena Justin akan tetap menyamar seperti kemarin! Iya kan Justin?” Carrol beralih menatap Justin. Yang ditatap hanya mengangguk ragu, takut salah sikap. “Kalau dia ditinggal dirumah kan kasihan. Dia tidak mempunyai teman disini.” tambahnya berlagak prihatin.
“Ya sudah terserah kau saja! Tapi nanti sore Mom tidak bisa menjemputmu. Karena Mom ada janji dengan Mr. Eqbal,”
Sebelum Carrol menyela ucapannya, wanita itu langsung menyahut. “Bukan untuk kencan! Hanya pertemuan biasa mengenai keputusan Mom antara menerima atau menolak beliau.”
“Lalu, keputusan apa yang Mom ambil?”
Sebelum menjawab Mom Eliana menghela napas panjang. Rasa perih itu kembali hadir, datang dan merasukinya tatkala mengingat jawaban “TIDAK BISA” yang harus ia katakan dihadapan Mr. Eqbal.
Oh God, tidak bisakah keputusan itu dirubah?
Hatinya ingin sekali mengucapkan “Iya” tetapi mulutnya mau tidak mau harus mengucapkan yang sebaliknya. Bisa dikatakan Mom Eliana telah membohongi perasaannya sendiri.
“Mom?” tegur Carrol menyentuh halus punggung tangan Ibunya.
Mom Eliana tersentak, “Yah tentu saja tidak.” jawabnya getir.
Lidah Carrol berdecak dengan kesal, “Kenapa bibir harus mengatakan tidak, jika sebenarnya hati berbicara iya? Seorang Eliana Alamsyah Bowling bukanlah wanita yang munafik! Iya kan Mom?” sindir Carrol tersenyum miring.
“Mmmm... Mmmm... Maksudnya?” tanya Mom Eliana ragu bercampur heran.
“Aku sudah merestui hubungan kalian. Jadi, jika Mom mencintai Mr. Eqbal katakanlah iya maka Mom akan bahagia.” ucapnya bijak.
Mom Eliana melotot. ½ tak percaya dengan apa yang putrinya katakan. Benarkah itu????
Detik selanjutnya Carrol pun beranjak dari kursinya. Memeluk Mom Eliana agar wanita itu percaya jika apa yang dikatakannya tadi benar adanya. Sungguh-sungguh dan bukanlah sebuah keterpaksaan belaka.
“Kenapa kau berubah pikiran?” pertanyaan yang sama dengan Justin pun dilontarkan oleh Mom Eliana.
“Jangan tanya kenapa kalau Mom tidak mau aku berubah pikiran.” jawabnya menggoda sang Ibu. Mom Eliana mencibir lalu tertawa bersama dengan Carrol.
Secepat itu kah takdir berubah? Tentu saja. Apapun itu jika Tuhan sudah menghendaki, maka terjadilah. Seperti cuaca, yang tadinya mendung, dalam kedipan mata saja jika Tuhan menginginkan, akan berubah menjadi cerah.
Diam-diam Carrol melirik kearah Justin yang ikut tersenyum bersamanya.
“Inilah jawabanku dear.” bisiknya pelan. Justin tersenyum lebih lebar. Tanpa sepengetahuan Carrol, pria itu mengucap syukur didalam hati.
***
TENG...! TENG...! TENG....!
Lonceng tanda berakhirnya jam pelajaran dilingkungan Bignius High School dibunyikan tepat ketika jarum pendek dijam tangan Carrol berhenti diangka 3.
Carrol menghembuskan napas dengan lega. Akhirnya setelah ± 7 jam memeras otaknya disekolah, kesempatan untuk beristirahat itu tiba juga.
Bagaimana tidak? Hari ini ia harus mengikuti 3 kali ulangan harian. Satu ulangan susulan Biology, dan dua lagi ulangan harian dadakan, yakni History dan Art.
Tidak ada masalah dimata pelajaran History, karena Carrol termasuk penghafal yang luar biasa.
Dalam hitungan menit saja ia bisa merapalkan beberapa kejadian penting di Negara Amerika lengkap dengan tanggal dan juga tahunnya.
Namun, disaat ulangan harian Art tadi, ia sungguh tak bisa berkutik.
Kesenian? Tak ada yang bisa ia banggakan dibidang itu, terkecuali keahliannya dalam bermain piano dan bernyanyi dengan nada softran. Maklum, Carrol sering menyumbangkan suaranya digereja didesa RainVill. Oleh sebab itu, wajar bila ia memiliki teknik bernyanyi seriosa yang baik.
Tetapi kalau sudah melukis? Carrol menyerah mundur. Ia harus merelakan nilai F berwarna merah tertulis diujung kanvas miliknya. Yah, contohnya saja hari ini!
Sepanjang waktu istirahat tiba, Khatrien dan Damon tak henti-hentinya mengejek nilai F yang Carrol dapatkan atas hasil lukisannya.
Mereka bilang, nilai F pun sesungguhnya tak pantas diberikan untuk lukisan Carrol yang eummm~ lebih tepatnya seperti coretan tak bermakna itu.
Disaat diejek oleh kedua sahabatnya, Carrol hanya mengembungkan pipinya. Ia tidak marah sama sekali karena ia tahu Khatrien dan Damon hanya bercanda. Tidak mengejeknya sungguhan!
Kini, si tiga serangkai itu tengah melenggang santai didepan serambi sekolah mereka.
Tidak ada hal serius yang mereka bicarakan selama dijalan pulang. Hanya obrolan ringan seputar idola mereka masing-masing, terkecuali Carrol.
Gadis itu hanya setia mendengarkan sambil sesekali menimpali, atau sekedar nyeletuk.
Ia tak mau menceritakan tentang Justin! Ia takut ditertawakan oleh Damon dan juga Khat. Ia takut dibilang pembohong! Karena kalau dipikir-pikir secara logika, memang sulit bagi kedua sahabatnya untuk mempercayai cerita Carrol.
Sikap Carrol yang tidak seheboh biasanya itu pun mengundang tanda tanya besar dibenak Khatrien.
“Tumben kau tidak heboh tentang Justin! Kau tahu tidak? Waktu aku ketoko buku untuk membeli novel kemarin, aku tak sengaja melihat sebuah majalah dengan cover JB. Kau mau tahu apa beritanya?!” Carrol menggeleng lemah. Padahal dalam hati ia sudah menduga-duga, pasti berita Justin yang berlibur ke desa!
“JUSTIN MENGHABISKAN WAKTU BERLIBURNYA DIDESA!” jerit Khat heboh. Sampai-sampai Damon yang berjalan disampingnya pun harus menutup kedua telinganya rapat-
rapat.
“Suaramu kencang sekali! Lebih kencang dari tornado! Haduh, lagipula kenapa kau yang heboh sih Khat? Yang nge-fans kan Carry.” sungut Damon mengusap-usap sepasang telinganya. Khatrien hanya menjulurkan lidahnya, tanda tak peduli.
“Ohya?!” celetuk Carrol berpura-pura kaget.
“Iya. Aku tidak berbohong! Sayangnya aku tidak sempat melihat covernya dengan jelas, karena Dad keburu memanggilku.”
“Syukurlah.” batinnya mengelus dada.
Lalu, mereka berpisah disalah satu bangsal BHS.
Khat dan Damon langsung pulang kerumah mereka, sementara Carrol melangkahkan kakinya menuju bukit yang terletak dibelakang sekolah, tempat dimana Justin setia menunggunya.
Bukit itu semakin terlihat jelas.
Carrol mempercepat langkah panjangnya diatas rerumputan hijau. Ia melangkah riang, ditemani seulas senyuman yang melekat dibibirnya dengan begitu indah.
Begitu banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada Justin. Terutama tentang ulangan harian Art yang baru saja dihadapinya tadi.
Yah, Carrol pernah membaca note salah satu teman facebook-nya yang berisi tentang “100 Fakta Justin Bieber”. Dan didalamnya juga tertulis bahwasanya Justin senang menulis dan melukis. 2
hal yang Carrol benci tetapi Justin sangat menyukainya!
Carrol pikir, mungkin Justin mau mengajarkannya cara melukis yang benar. Oleh karena itu, ia sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan pemuda tersebut.
“Bukan begitu Mom!”
DEGH.....!
Carrol menghentikan langkahnya. Samar-samar ia mendengar suara memelas Justin.
Lalu, ia pun kembali menggerakkan kakinya dengan begitu pelan.
Perlahan-lahan ia mendekati Justin yang --sepertinya-- tengah menerima telepon dari seseorang ditepi danau.
“Aku juga merindukanmu. Sebenarnya aku ingin segera pulang tapi aku......ak...aku belum sanggup meninggalkan desa ini. Tapi Mom?! Halo...? Halo....? Halo Mommy? Ck!”
Dari balik pohon besar Carrol mengintip, menguping sedikit pembicaraan Justin dengan Ibunya.
Setelah melihat ekspresi Justin yang kembali bimbang, Carrol pun dapat menarik suatu kesimpulan.
Yakni, pasti Mom Pattie mendesak agar Justin segera pulang ke Kanada! Lagi, seperti yang sudah-sudah.
Raut bahagia yang semula tercipta diwajah Carrol, lenyaplah sudah.
Entah mengapa, gadis itu merasa takut kehilangan.
Tapi apa haknya dia melarang-larang Justin pulang? Toh dia hanyalah seorang fans yang mengagumi Justin.
Tidak lebih!
Carrol mendesah pelan. Kemudian, sebisa mungkin ia mengubah raut wajahnya agar terlihat biasa-biasa saja didepan Justin, tidak mendung seperti keadaan hatinya saat ini. Aku harus bisa menjadi fans yang baik! bisiknya lirih.
“Hai my Bieber. Maaf telah membuatmu menunggu lama!” sapanya ceria.
Justin terlonjak. Lalu, agak terburu-buru ia pun kembali menyimpan ponselnya kedalam saku celana.
“Hai shawty! Kau sudah pulang?”
“Yah seperti yang kau lihat.”
Carrol tersenyum kecil sembari menghempaskan bokongnya tepat disamping Justin.
Disebuah bebatuan besar yang cukup diduduki oleh 3 orang sekaligus.
Tepat dihadapannya nampak danau kecil dengan air jernihnya --yang sekilas terlihat berwarna biru-- yang mengalir dengan begitu deras. Sungguh benar-benar view yang indah!
“Langsung pulang?” Carrol menggeleng.
“Aku ingin mengobrol sebentar denganmu, boleh?” pintanya hati-hati. “Kapan lagi aku bisa mengobrol dengan artis besar sepertimu? Iya kan? Ini kesempatan emas!” tambahnya sedikit bercanda. Berharap dengan begitu rasa takut akan kehilangan itu mencair, berganti dengan rasa ikhlas melepaskan Justin untuk pergi meninggalkan desa RainVill.
“Ah, kau ini! Berbicara seolah-olah kita tidak akan bertemu lagi saja. Kan masih ada hari esok?” timpal Justin setelah menghentikan tawa kecilnya.
Carrol menggeleng lemas, “Belum tentu! Bagaimana jika besok kau sudah tidak berada didesa ini lagi? Bagaimana kalau seandainya kau kembali ke Negaramu dan tidak akan menemuiku untuk yang kedua kalinya? Kita pasti tidak bisa mengobrol sedekat ini lagi Justin.”
“What did you say? Aku tidak mengerti!”
“Pulanglah Justin! Ibumu, kekasihmu, dan para fans-mu sudah menunggumu disana.” sahut Carrol dengan pandangan lurus menatap kearah danau. Walaupun ia ragu, tapi toh akhirnya imbuhan itu keluar juga dari mulutnya.
“Ma...maksudmu?”
“Ya aku mendengarnya. Aku mendengar percakapan antara kau dan Ibumu ditelepon tadi. Maaf, aku tidak bermaksud untuk menguping. Tapi aku mohon pikirkanlah perasaan Ibumu juga. Kau yang mengajarkanku untuk tidak bersikap egois, tapi kenapa sekarang kau malah mementingkan dirimu sendiri?! Bersikap seakan-akan kau tidak peduli dengan perasaan orang lain.”
Justin terdiam. Hatinya mencelos tatkala Carrol menyudutkannya.
Keteguhan hatinya untuk tetap stay di desa RainVill, mengendur secara perlahan.
Carrol saja sudah menyuruhnya pulang! Lalu, apa lagi yang ditunggunya sekarang? Menunggu Mom Eliana mengusirnya dulu? Ah, memalukan.
“Apakah kau ingin agar aku meninggalkan RainVill? Meninggalkanmu?”
Carrol menoleh, mengalihkan pandangannya ke wajah manis milik Justin dan menatap pemuda itu lembut.
“Demi kamu juga.” ucapnya, kalem.
Sesungguhnya getir itu ia rasakan, namun sebisa mungkin raut tak rela dan takut kehilangan tersebut ia sembunyikan dari Justin.
Sama halnya dengan Carrol, Justin juga merasakan hal yang sama.
Terus terang, ia belum ingin berpisah dan menghilang dari kehidupan Carrol. Ia masih ingin menjalani kehidupan lebih lama lagi bersama gadisnya itu. Tapi apa mau dikata? Carrol juga yang menginginkannya untuk kembali ke Kanada.
“Baiklah, kalau itu maumu aku akan pulang.” ucap Justin akhirnya. Sedikit menengok kearah Carrol lalu menyunggingkan senyuman tipis. “Terima kasih untuk segala kebaikanmu dan Mom Eliana selama aku berada disini.”
Sekumpulan anak itik yang melompat masuk kedalam danau tiba-tiba saja menarik perhatian Carrol.
Riak-riak kecil yang mengusik danau, efek dari lompatan anak itik tadi, seolah menggambarkan keadaan hatinya saat ini. Bergelombang tidak tenang dikala Justin memutuskan untuk mengikuti sarannya itu.
Pergi dan meninggalkan desa RainVill.
Benarkah itu? Justin akan pergi setelah menjalani beberapa hari ini bersamanya? Makan, pergi kesekolah, bermain basket sambil menunggu kepulangan Mom Eliana, dan berbagai aktifitas lain yang dikerjakannya selalu bersama-sama, mungkin besok tidak akan terjadi lagi.
Seakan tak percaya, bahu Carrol pun sedikit bergetar. Untungnya tak kentara.
Air mata itu kembali meleleh, perih membayangkan Justin yang sebentar lagi tidak akan menampakkan batang hidungnya didepan wajahnya.
CLUTCH.....!
Carrol tersentak, tatkala Justin merengkuh tubuh mungilnya tanpa permisi.
Pemuda itu memeluknya tanpa kata. Menenggelamkan kepala sang gadis didada bidangnya. Hangat!
Hal yang membuat Carrol semakin tak kuasa membendung air matanya lagi.
Sebelum aliran bening itu jatuh membasahi kemeja Justin, Carrol pun buru-buru menyekanya. Tak boleh! Justin tak boleh tahu kalau ia bersedih atas perpisahan yang sudah didepan mata ini. Bukankah ia yang meminta Justin untuk segera pulang?
Carrol tersenyum kecut. Perlahan namun pasti, kedua tangannya pun begerak maju kedepan untuk mencengkram kuat bagian belakang kemeja putih yang Justin kenakan. Membalas pelukan sang idola dengan begitu eratnya.
“Jadi kapan?”
“Apanya yang kapan?”
“Kepulanganmu. Besok? Lusa? Atau hari ini juga?”
“Sebentar biar aku telepon Ibuku dulu.” ujar Justin seraya melonggarkan pelukannya. Lalu, ia pun mengeluarkan ponselnya yang bersembunyi dibalik kantong celana.
Entah apa yang Justin bicarakan dengan Mom Pattie, karena ia meneleponnya dengan jarak yang agak jauh dari posisi dimana Carrol berada.
Tak lama. Setelah ± 3 menit Justin bercakap-cakap dengan Ibunya melalui sambungan telepon, pria remaja itu pun kembali menghampiri Carrol.
“Malam ini juga.” beritahunya singkat.
Carrol tertunduk lesu. Dadanya terasa sesak disaat mendengar 2 kata yang berbunyi, “MALAM INI” itu.
Secepat itu kah perpisahan tersebut terjadi? Tak bisakah diundur barang 1 hari saja?
Perlahan Carrol pun mengangkat wajahnya. Membuang jauh-jauh perasaan tak rela itu dari hati kecilnya.
“Ohya?” Hanya respon singkat yang ia berikan. Bersama dengan getaran pilu dinada bicaranya, yang membuat Justin tak kuasa untuk menyembunyikan raut kecemasan diwajah tirusnya.
“Kenapa kau mendadak murung? Apa kau menyesal telah menyuruhku untuk pulang?” Carrol menggeleng cepat.
“Bukan! Aku murung bukan karena itu tauk! Hanya saja aku teringat dengan hasil lukisanku yang diberi nilai F dengan warna merah. Ya Tuhan, Ibuku pasti akan marah besar jika sudah melihatnya!” cerocos Carrol tanpa titik dan juga koma. Mendadak sifatnya berubah menjadi Carrol yang sebenarnya ; ceria, polos, dan agak cerewet.
“Kau harus lihat ini!” tambahnya seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang diselempangkannya dibahu. Yaitu, sebuah kanvas bergambarkan pegunungan lengkap dengan sawah hijaunya.
“Face painting?” Justin mengeja judul besar yang tertera diatas kanvas putih itu. Lalu, ia menatap Carrol penuh arti, seolah bertanya -lukisan-wajah-kan?-tapi-kenapa-kau-malah-melukis-pemandangan-alam???-
Sedikit terkekeh geli Carrol pun berujar, “Yah seharusnya memang lukisan wajah. Tapi karena aku tidak bisa menggambar wajah manusia, aku gambar saja apa yang aku bisa! Dan pemandangan alam itulah hasilnya.” ungkapnya kembali murung.
Justin mengangguk paham, kemudian mengembalikan kanvas itu ketangan Carrol. “Apakah kau punya kanvas yang baru?” tanyanya pada gadis itu.
Detik selanjutnya, kedua tangan milik Carrol pun bergerak kedalam tas guna mengambil selembar kanvas lengkap dengan kuas dan juga cat minyaknya.
Justin menerima semua perlengkapan melukis yang Carrol berikan dengan senyuman lebar nan menawan. “Thank you Carry. Sekarang bolehkah aku melukismu?”
Carrol mengangguk ragu. Dipasangnya lengkungan tipis berbentuk bulan sabit termanis yang ia punya, dengan pose kedua tangan yang mendekap erat dilengannya.
“Yak bagus! Tahan sebentar yah?” suruh Justin seenaknya. Tak tahukah ia jika Carrol pegal dengan posisi seperti itu?
Justin tersenyum simpul. Jantungnya berdegup dengan kencang tatkala melihat wujud Carrol yang ada dihadapannya sekarang!
Bagaikan `dejavu` ia mengalami hal itu lagi. Objek lukis yang sama.
Carrol, gaya dan senyuman gadis itu sama persis dengan apa yang ada didalam mimpi Justin. Bahkan background-nya pun tak berubah, yakni rumah tua dengan sekumpulan burung gereja yang melintas diudara.
Sungguh, tak ada bedanya barang setitikpun!
Hening.
Kuas yang dipegang oleh Justin terus menari-nari diatas kanvas putih yang tak bernoda. Menghasilkan sebentuk wajah manis milik seorang wanita remaja yang sebentar lagi akan melangkah memasuki gerbang kedewasaannya.
Selang 10 menit kemudian, Justin pun telah selesai melukis Carrol.
“Yak! Finish.” seru Justin. tersenyum bangga memandangi hasil lukisannya.
Carrol berjingkat girang seraya mendekati Justin.
“Boleh aku lihat?”
“Silakan.”
Dengan tidak sabaran gadis itu pun merenggut kanvas-nya dari tangan Justin.
Matanya melebar dan mulutnya pun menganga, setelah melihat cetakan wajahnya dalam bentuk lukisan.
“Secantik inikah aku?” ucap Carrol seakan tak percaya. Rambut pirang lurus dan mata lonjong berwarna biru adalah dua bagian yang menonjol dari lukisan tersebut. Membuat gadis itu berdecak mengagumi keindahan wajahnya sendiri.
“Tentu saja! Itu untukmu. Dan sekarang ayo kita pulang!”
Carrol mengangguk setuju, lantas segera memasukkan hadiah dari Justin itu kedalam tas-nya.
Perasaan sedih yang tadinya singgah dihati Carrol, perlahan berkurang dan digantikan dengan rona bahagia atas hadiah berupa ; lukisan wajahnya yang dibikinkan khusus oleh Justin.
Cukup membuatnya senang! Hingga senyuman yang semanis permen caramel pun terus merekah indah dibibir Carrol yang merah delima.
Justin meraih telapak tangan Carrol.
Tepat ketika matahari mulai condong ke barat, mereka berdua melangkah bergandengan tangan.
Meninggalkan bukit Bignius dengan perasaan senang bercampur sedih.
Tak ada orang lain, tak ada makhluk lain, hanya mereka berdua dijalanan besar ini.
Ya, keduanya telah sepakat untuk berjalan kaki dikala terakhir mereka menghabiskan waktu bersama-sama.
***
Tak terasa malam pun datang. Begitu cepat.
Seolah-olah perputaran waktu berkongsi dengan Mom Pattie agar Justin cepat-cepat kembali ke Kanada.
Dengan langkah gontai, ia pun membuka sebuah laci kecil tempat dimana Purple Diary miliknya disembunyikan.
Buku harian itu baru terisi 2 lembar.
Dibukanya lembaran ketiga, lalu detik selanjutnya pikiran Justin pun sudah melebur bersama dengan buku diary dan sebatang tinta hitam yang terselip dijari telunjuk dan juga dijari tengahnya.
»____________________________________«
Dear Purple Diary......
Perpisahan ini tak bisa kuhindari lagi.
Mau tidak mau aku harus berpisah dengannya, gadis yang telah menghantui pikiranku akhir-akhir ini.
Seandainya ia bilang, menetaplah beberapa hari lagi disini, tentu aku tidak akan secepat ini meninggalkan desa RainVill. Tapi nyatanya....? Dia saja sudah memaksaku untuk segera pulang.
Honestly, apa yang dibilang oleh gadis itu ada benarnya juga!
Aku mengajarkannya untuk tidak mementingkan perasaan sendiri, tapi mengapa sekarang jadi aku yang bersikap egois? Aku ingin terus menetap didesa RainVill tanpa memperdulikan perasaan Mom, Zelena, dan para fans ku tentunya.
Hampir satu minggu aku vakum dari dunia hiburan, dan kini saatnya aku kembali untuk menyenangkan hati seluruh beliebers didunia.
Seperti janjiku kepada Mom, aku hanya ingin bertemu dengan gadis didalam mimpiku itu walau cuma sekali. Karena itu sudah terwujud, maka sekarang saatnya untuk aku kembali ke “habitat” ku.
Aku pergi, tapi bukan berarti aku harus menghapus perasaanku.
Aku pergi tanpa membawa perasaan cintaku, karena hatiku telah menetap abadi didalam jiwa gadis itu.
Kemana gadis itu melangkah, maka disitulah hatiku berada.
Carrol Bowling, dia adalah gadis didalam mimpiku dan aku berharap didunia nyatapun dia akan tetap menjadi gadisku yang manis.
<3 With Love J.Biebs <3
»____________________________________«
Justin menahan napasnya sejenak, membaca ulang apa yang sudah ditulisnya tadi.
“Ternyata semua yang kumau tak berjalan dengan indah.” lirihnya tersenyum pahit. Seakan berkomentar atas berbagai harapan yang pernah ditulisnya didalam Purple Diary itu.
Kembali diingatnya kejadian apa-apa saja yang menarik perhatiannya selama berada didesa RainVill. Dimulai dari mengekori gadis itu, menyamar menjadi seorang pemuda yang cacat, menikmati makanan pokok warga Indonesia yang harumnya sangat khas, mengenal bukit Bignius yang terasa nyaman dengan rumah pondoknya, tentu itu menjadi pengalaman menarik didalam hidup Justin.
Sementara itu, kebaikan hati Carrol dan sikap dingin Mom Eliana juga tak mungkin dapat ia lupakan.
Selembar kertas putih menyembul di tengah-tengah halaman Purple Diary. Seperti lukisan! Perlahan ditariknya kertas itu hingga memperlihatkan isi yang sebenarnya.
Justin tertegun. Itu adalah lukisan yang dikerjakannya pada saat pelajaran kimia beberapa hari yang lalu.
Lukisan wajah yang hasilnya sama persis dengan apa yang dilukisnya tadi sore.
Cantik! Tapi gara-gara lukisan itu, ia juga harus mendapatkan omelan dari Mom Pattie karena ke-gap sedang tidak memperhatikan Mrs. Pinky yang tengah menjelaskan berbagai macam rumus kimia dipapan tulis.
“Ahahahahaaaa....”
Justin tertawa kecil.
Ah, pasti dia akan sangat merindukan wajah polos Carrol!
Nada pesan masuk yang berasal dari ponselnya, berhasil mematahkan alur lamunan Justin.
Tergesa-gesa dimasukkannya Purple Diary beserta karya lukisnya itu kembali kedalam laci. Lalu, tangannya pun bergerak mencari alat komunikasinya tersebut.
Yak! Dapat.
1 new message dari Kenny, yang isinya sekedar pemberitahuan bahwa ia sudah memasuki daerah desa RainVill dan supir pribadinya itu menghimbau agar Justin segera bersiap-siap, stand by didepan rumah.
Kembali ditariknya napas panjang. Detik-detik menuju perpisahannya dengan Carrol sungguh membuat dadanya sesak! Namun, pemuda itu sudah berjanji untuk tidak menangis. Laki-laki tak boleh cengeng, begitu yang pernah Dad Jeremy ajarkan padanya.
Justin keluar dari kamar, melangkahkan kedua kakinya menuju istana kecil Carrol.
Didalam kamarnya, gadis itu tampak berjibaku dengan buku paket dan berbagai alat tulisnya. Yah, mungkin belajar. Tapi pandangannya kosong, entah karena apa?
“Kenny sudah dijalan. Kurang dari sejam lagi mungkin dia akan sampai.”
Carrol menoleh dan sedikit terkejut ketika mendapati sosok Justin yang sudah berdiri dengan tubuh yang bersender diambang pintu.
Kurang dari sejam lagi?! Itu artinya kurang dari 60 menit lagi Justin akan pergi meninggalkannya. Oh God! Tak bisakah waktu berhenti berputar hari ini saja?
“Tapi, Mom belum pulang.” tutur Carrol pelan.
Sorot matanya seakan meminta Justin untuk mengundur keberangkatannya beberapa jam lagi saja. Tapi apa mungkin?
Justin menggeleng tanda tak bisa. “Tolong sampaikan salam dan rasa terima kasihku saja padanya.”
Desahan napas kecewa pun keluar dari bibir mungil Carrol.
“Baiklah.” angguknya pasrah.
“Aku harus bersiap-siap.”
Carrol tak menyahut lagi. Ia hanya diam bergeming didepan meja belajarnya.
Menatap nanar punggung Justin yang akhirnya menghilang dari depan pintu kamarnya yang berwarna ungu pucat, sungguh ironis.
Sekembalinya dari kamar Carrol, Justin pun langsung membenahi pakaiannya.
Tangannya bergerak lemas ketika memasukkan beberapa potong pakaian kedalam ransel hitamnya yang usang.
Kasur, meja kayu berukuran kecil, kipas dinding, dan berbagai benda mati lainnya yang menghias dikamar tamu itu menjadi saksi bisu betapa berat --sebenarnya-- Justin meninggalkan desa RainVill.
Walaupun ia bersikeras untuk tetap stay disana itu pun tidak mungkin! Karena desa RainVill bukanlah lingkungannya.
Dan untuk yang terakhir kalinya, Justin pun mengedarkan pandangannya kesemua sudut kamar.
Berusaha menghafal setiap jengkalnya agar tidak lupa dikemudian hari.
Lalu tanpa diduga, perputaran bola matanya terhenti didua objek.
Yakni sebilah tongkat bambu dan kacamata hitam yang selalu ia ingat. Akan dikenangnya didalam hati, karena tak dapat disangsikan bahwa dua benda itulah yang mendekatkannya dengan Carrol, sang pujaan hati.
Dielusnya sesaat tongkat bambu itu, seakan mengucapkan terima kasih banyak atas “jasa” yang telah ia berikan.
Tanpa ada yang mengetahui, tanpa ada yang melihat, seorang gadis manis tengah mengintip gerak-gerik Justin dibalik kain kasa yang berfungsi sebagai pembatas ruangan.
Sebulir air matanya menetes perlahan ketika melihat Justin yang sudah siap dengan ransel dipunggungnya.
Secepat ini kah perpisahan itu harus terjadi?
Tak kuasa menahan tangis, ½ berlari Carrol pun menjauh dari pintu kamar Justin.
Malam itu langit didesa RainVill terlihat mendung. Tak ada satupun bintang yang biasanya setia mendampingi sang rembulan malam.
Carrol, gadis bermata biru dan berambut pirang itu tengah melamun diteras rumahnya dengan punggung yang bersender disalah satu tiang penyangga teras.
Pandangannya jauh menerawang keatas langit yang hitam tersebut. Tidak ada yang menarik sih sebenarnya, hanya saja ia ingin berbagi beban yang ada dihatinya kepada kawanan benda langit. Berharap gumpalan awan kelabu yang bergerak pelan itu membawa serta perasaan tak rela dan tak ingin kehilangan orang yang ia sayangi yang tertoreh jauh didasar hatinya.
Setelah sekian menit terdiam dengan pandangan hampa, akhirnya Carrol bergerak juga.
Ia menggeleng kecil dan tertawa hambar.
Kenapa ia egois sekali?
Seharusnya dia bersyukur, karena dia adalah satu-satunya belieber yang paling beruntung didunia. Dan satu hal yang paling membuatnya senang adalah, ternyata ia adalah gadis yang selalu hadir didalam mimpinya Justin! Idolanya sendiri. Sungguh, suatu hal yang sulit untuk ia percaya sampai detik ini.
Justin sering memimpikannya? Mungkin orang-orang tidak akan ada yang mempercayainya, dan mungkin kisahnya juga akan terdengar seperti lelucon yang garing oleh masyarakat dunia. Tapi ini nyata, REAL! Takdir yang --mungkin-- memang Tuhan gariskan untuknya dan juga Justin.
TIN...TIIIIIIIIIIN......!
Suara klakson mobil sukses mengagetkan Carrol.
Spontan gadis itu memutar kepalanya kekanan dan kekiri jalan guna mencari sumber bunyi yang keras tadi.
Tak jauh dari rumahnya nampak range rover berwarna hitam mengkilat yang terparkir dengan rapi.
Lalu, dari jok kemudi muncullah sesosok pria botak yang berbadan besar dan berkulit gelap.
Ia menghampiri Carrol.
Carrol tahu benar dia siapa! Dia adalah Kenny. Lebih lengkapnya lagi, Kenny Hamilton.
Sebelum pria itu memintanya untuk memanggil Justin, Carrol pun lebih dulu menyahut. “Sebentar aku panggilkan!” ucapnya seraya masuk kedalam rumah.
Tak lama kemudian gadis itu keluar lagi dengan membawa serta pemuda berjaket hitam yang tak lain dan tak bukan adalah Justin Bieber.
Kenny yang sudah berhari-hari tak melihat wajah tuan mudanya itu pun langsung menghambur kepelukan Justin.
“Oh my nephew! Kau masih hidup ternyata?!” pekiknya berlebihan.
Masih hidup? Maksudnya?
Justin mendengus sebal seraya melepaskan pelukan diantara mereka.
“Dasar giant! Kau pikir aku tidak bisa hidup didesa apa?!” sungut Justin memonyongkan bibirnya.
“I`m just kidding bro!” Kenny tertawa terbahak-bahak. Hingga teguran halus Carrol berhasil menghentikan tawa garingnya itu.
“Kalian tidak jadi pulang?”
Justin menoleh sekilas, lalu beralih menatap Kenny. “Ahya Kenny, kau bisa menungguku dimobil sebentar. Dan bawa ranselku sekalian ya?”
Tanpa mengeluarkan kata-kata sang bodyguard pun mengangguk, patuh.
Untuk beberapa detik setelahnya, Carrol dan Justin sama-sama terdiam tak bersuara.
Membiarkan bunyi jangkrik malam yang beradu dengan hembusan angin musim panas menciptakan keributan disekitar mereka.
Justin yang tak tahan dengan kondisi seperti ini pun berinisiatif untuk mengangkat suaranya terlebih dulu.
“Kau tak ingin menahanku? Aku masih punya waktu berlibur setidaknya 2 hari lagi lho!” gurau Justin mencairkan suasana.
Carrol tertawa hambar, dengan pelan ia bergumam. “Jangan kau kira aku plin-plan! Karena aku akan tetap konsisten dengan apa yang sudah aku pilih.”
“Really?”
“You don`t believe me?” ucap Carrol balik bertanya. Kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Rasa pilu itu terdengar dari nada bicaranya yang bergetar seperti menahan tangis.
“Bagaimana aku mau percaya, kalau nada bicaramu saja bergetar seperti itu?” sela Justin tajam, menohok tepat dihati Carrol.
Apa sih maunya anak ini?! Tak tahukah ia jikalau Carrol tengah bersusah payah menahan air matanya agar tidak jatuh dan merembes? Yah, gadis itu sedang berusaha membangun waduk yang kokoh supaya aliran beningnya tidak jebol diwaktu yang tidak tepat.
Namun, bukannya menyemangati, yang ada pemuda itu malah semakin membuatnya drop! Menambah kerapuhan yang ada dihatinya.
Justin melangkah lebih dekat kearah Carrol. Menyisakan jarak ± 60 cm dari hadapan gadisnya itu.
“Ku mohon jangan menangis, karena perpisahan bukanlah akhir dari segalanya.” ujarnya lembut, nyaris saja berbisik. And then, kedua tangan Justin dengan beraninya bergerak maju guna merangkum wajah Carrol. Tanpa izin sehingga membuat sang gadis `kejang-kejang` bagai tersengat aliran listrik.
Sampai pada akhirnya, diam-diam ia mengelus kedua pipi Carrol dengan penuh perasaan.
Barulah gadis itu terkesiap!
Sentuhan ini adalah sentuhan halus telapak tangan pemuda yang selalu ia rindukan. Oh my Bieber........
“I just go for a while... Not to leave you forever... I will definitely come back to you... But you don`t be naughty... I will come back~” senandung Justin menatap Carrol tepat dikedua manik matanya yang berwarna biru laut.
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Well, lagu itu memang terdengar asing ditelinganya, dan ia rasa itu lagu hanyalah karang-karangannya Justin saja. Tapi entah mengapa hatinya bergetar dan matanya kembali berkaca-kaca disaat Justin mendendangkan lagu itu.
Apakah lirik yang ia nyanyikan tadi adalah sebuah janji?
“Carry, dengar dan percayalah akan kata-kataku. Kau tidak perlu sedih! Because one day, entah itu kapan, takdir akan kembali mempertemukan kita. Kau masih ingin berjumpa denganku kan?”
“Yah, tentu saja.” lirih Carrol masih dengan wajah yang tertunduk.
Perlahan Justin mengangkat wajah bundar itu dengan jari telunjuknya sambil berkata, “Perpisahan ini boleh saja memisahkan fisikku dengan fisikmu. Tetapi perpisahan ini tidak akan bisa memisahkan hatiku dari hatimu. Karena, hatiku telah tertanam dan mengakar kuat disamping hatimu, yah hati kita berdampingan dear. Jadi, kau tak perlu takut! Right?”
BRUGH....!
Bukannya menjawab, Carrol malah menubruk tubuh kekar Justin. Membuat pemuda itu refleks mundur beberapa langkah kebelakang. Kaget.
“Ka-ka-kau kenapa? Sudah aku bilang jangan menangis!”
Alih-alih berhenti menangis, frekuensi linangan air matanya malah semakin menjadi-jadi.
Pertahanannya ambruk sudah.
Tak tahan lagi Carrol menyembunyikan kesedihannya itu.
“Aku memang munafik! Aku dengan sok tegarnya menyuruhmu pulang, padahal dalam hati aku masih tak rela akan perpisahan ini! Namun, aku juga harus tau diri. Memangnya aku ini siapa?! Aku hanyalah seorang belieber yang tak pantas mengatur-ngatur kehidupanmu. Aku tak berhak menyuruhmu untuk tetap berada didesa RainVill, sedangkan pacarmu saja aku bukan! Aku hanyalah satu dari sekian banyak belieber yang ada dimuka bumi ini” cerocos Carrol sesenggukan. Ia mengoceh sambil sesekali menyeka cairan bening yang membanjiri wajahnya, dengan gerakan yang kasar.
“Ssstttt.... Jangan berkata seperti itu! Karena kau termasuk orang yang berharga didalam hidupku. Kau adalah special admirer yang akan selalu kukenang disini. Percayalah!” tutur Justin menunjuk tepat dibagian dadanya.
Hati? Apakah Justin berkata dengan kesungguhan?
“Aku tidak percaya.”
“Kau mau bukti?”
“Ya, aku--------”
Belum sempat gadis itu menuntaskan kalimatnya, lebih dulu Justin membuatnya kaget dengan mencium cepat kening sang gadis.
Tidak hanya itu, seakan tak puas Justin juga mendaratkan kecupannya yang hangat itu dipipi, hidung, serta dagu Carrol.
Ketika, ciumannya hendak turun kebibir, spontan Carrol pun memalingkan wajahnya dengan gerakan yang cepat. Menolak.
“Pulanglah dan hati-hati dijalan.” pesannya sebelum berlari meninggalkan Justin.
Untuk beberapa detik pemuda tersebut melongo, memperhatikan wujud Carrol yang berlari menjauhi darinya.
Tapi untungnya itu tak berlangsung lama, karena bunyi klakson mobil yang ditekan oleh Kenny berhasil menyadarkan Justin dari ke-terbengongan-nya.
“CARRY INGAT KATA-KATAKU YAH! ONE DAY KITA PASTI AKAN BERTEMU LAGI! DAN TOLONG SAMPAIKAN SALAMKU UNTUK MOM ELIANA. TERIMA KASIH UNTUK TUMPANGANNYA SELAMA AKU BERADA DISINI. KALIAN BERDUA SAMA BAIKNYA! AKU TIDAK AKAN MUNGKIN MELUPAKANMU CARRY. BYE BLUE-EYED GIRL!” teriak Justin kencang. Ia tak peduli apakah teriakannya itu didengar Carrol atau tidak? Yang penting apa yang ada dihatinya tercurahkan sudah.
Dengan ½ berlari Justin pun menghampiri Kenny beserta dengan range rovernya. Now time to go!
Didalam mobil Justin terus melambai-lambaikan tangannya keatas, guna mengucapkan selamat tinggal kepada desa RainVill yang telah mempertemukannya dengan perempuan yang selalu hadir didalam mimpinya itu.
Finish!
Jika ditanya siapa gadis beruntung yang tengah mengisi relung hatinya saat ini? Maka Justin akan menjawab, “The girl is she, CARROL BOWLING.”
***
Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan – seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran… (Kahlil Ghibran)
***
<3 The Girl is She <3
Syalalalalaaaaa~
Aku senang karena akhirnya Bab.2 udah berakhir ~(-_-~) (~-_-)~
Maaf karena udah ngaret...
Maaf kalau ceritanya makin lama makin ngebosenin...
Dan maaf kalau dipart ini feel-nya sama sekali nggak dapet .__. I`m so sorry :(
And so thank u very muchhhhh buat para Warlike`s (Pembaca setia WAR) baik itu yang cuma baca doang, baca&ngelike, baca&ngecomment, atau malah ketiga-tiganya sekaligus.
Tanpa kalian mungkin FFB ini bakal lebih ngaret lagi daripada waktu yang telah gua tentukan :O karena gua ngelanjutin cerita ini kalau lagi mood doang :D
Mengenai cerita ini sendiri, ada beberapa pertanyaan nih yang bisa kalian tebak, yakni :
1). Penyakit apakah yang sebenarnya diderita oleh Carrol?
2). Akankah mereka berdua dipertemukan kembali?
3). Apakah Mom Eliana tetap bersikap dingin pada Justin?
4). Bagaimana kehidupan Carrol setelah Mom Eliana menikah dengan Mr. Eqbal? Akankah berubah atau tetap sama seperti dulu?
5). Dan bagaimana reaksi Zelena ketika Justin telah tiba di Kanada nanti?
Temukan jawabannya hanya di WAR Bab.3 <3 muahahahahhaa =D sok penting -____-
Finally, bye guys :))
I WILL COME BACK FOR WARLIKE`S
With imagination---->
Minah Syalalabibeh
<3 Salam Beliebers <3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar