»Potongan Part.4
Singkat. Cukup menyanyikannya 1 bait, Mom Pattie sudah dapat mendengar dengkuran halus Justin.
Putranya itu tertidur tepat dibait terakhir.
“Good nite and have a nice dream Biebs.”
Mom Pattie tersenyum simpul, lantas mematikan sambungan teleponnya.
Sebelum benar-benar meninggalkan balkon kamarnya, tiba-tiba saja kedua mata Mom Pattie menangkap sebuah bintang yang paling bersinar!
Besar dan cahayanya pun lebih terang dari yang lain.
Didalamnya terlukis wajah Justin yang sedang tersenyum manis kearahnya. Teramat indah!
Bersamaan dengan itu setetes air bening pun meluncur bebas dari ujung sepasang mata bening milik Mom Pattie. Ah, ini membuatnya semakin merindukan sosok Justin, satu-satunya bintang dihatinya.
++++
BAB.2
<3 The Girl is She <3
(Part.5)
Cinta yang belum matang berkata:
“Aku cinta kamu karena aku butuh kamu”.
Cinta yang sudah matang berkata:
“Aku butuh kamu karena aku cinta kamu”.
***
Sore hari in Canada City.
Hujan yang mengguyur Negara dengan julukan seribu danau itu sudah berlangsung sejak tengah hari tadi.
Tepat ketika Zelena mendapatkan telepon dari Nick untuk segera menemuinya disebuah kedai kopi dipinggiran Kota.
Entahlah, gadis itu sendiri kurang mengerti dengan maksud Nick? Apakah ada hal penting yang ingin ia sampaikan?
Nick adalah salah satu teman akrabnya sewaktu ia duduk dibangku sekolah menengah. Rocky High School nama lembaga sekolah mereka dulu.
Parasnya tampan dan sikapnya sangat dewasa. Jika dibandingkan dengan Justin, tentu Zelena akan terlihat lebih cocok jika disandingkan dengan pemuda itu!
Zelena duduk mematung disalah satu meja yang terdapat dikedai kopi, sebuah tempat nongkrong yang sesuai dengan perintah Nick ditelepon barusan.
Didekapnya mantelnya erat-erat sambil sesekali menyesap secangkir besar hot chapuccino pesanannya.
Huh! Cuaca sungguh tak bersahabat.
Langit masih bergemuruh, dan tetesan air beningnya semakin datang berbondong-bondong membasahi jalanan beraspal yang melintang didepan kedai.
Beruntung Zelena datang lebih cepat. At least, ia tiba dilokasi lebih dulu sebelum hujan menambah volume rintikannya. Syukurlah!
Dan kini dihadapannya nampak Nick yang tengah tersenyum hangat.
Eummm....bukan tersenyum hangat, melainkan tersenyum penuh arti!
Arti yang tersembunyi? Maybe, entahlah.
Sunyi ditambah sepi sama dengan hening. Zelena masih membungkam mulutnya, tidak ingin memulai topik pembicaraan terlebih dulu. Lagipula, bukankah Nick yang mengajaknya kemari? Itu artinya pemuda itu yang ada perlu dengannya. So, biarlah Nick yang memulai obrolan di sore ini.
Sementara Nick hanya duduk bergeming dibangkunya.
Bingung sekaligus kikuk hendak mengatakan apa? Karena terus terang ia mengajak Zelena kesini karena ingin membicarakan sesuatu yang khusus kepada gadis itu. Special, tentang hati.
Suasana Coffe Break Cafe yang lengang pun menambah kecanggungan diantara mereka.
“Nick..”
“Zell..”
Dengan kompaknya masing-masing dari mereka memanggil nama lawan jenis. Niat hati yang tadinya ingin mencairkan keadaan, eh malah sebaliknya.
“Kau duluan..”
“Kau duluan..”
Lagi-lagi mereka mengucapkannya dengan serempak.
Nampak Nick yang salah tingkah, berbanding terbalik dengan Zelena yang santai-santai saja. Walaupun tak dapat dipungkiri ada sedikit getaran-getaran nikmat yang terasa direlung hatinya.
Maklum, bagaimanapun dulu Zelena pernah menyimpan rasa yang lebih terhadap Nick, tapi sayangnya pemuda itu sudah mempunyai kekasih.
Dan dengar-dengar hubungan mereka (Nick & kekasihnya) putus ketika Zelena menjadi milik Justin.
Untuk beberapa menit mereka tertawa cekikikan, hingga akhirnya Nick pun mempersilahkan Zelena agar berbicara terlebih dulu.
“Ladies first..”
Zelena tersenyum simpul, lalu segera mengambil ancang-ancang untuk membuka suaranya. “It's okey! Ada hal penting apa sehingga kau membawaku kemari? Apa ada yang bisa aku bantu?” tawarnya to the point.
“Eummm, aku ingin berbicara 4 mata denganmu.”
Zelena memicingkan matanya.
4 mata? Nick pikir ada berapa pasang mata dimeja ini?
Lehernya celingukan kekiri dan kekanan, namun kenyataan juga mengatakan bahwa hanya ada dirinya dan Nick saja dimeja yang sekarang mereka tempati.
“Maksudmu? Bukankah memang hanya ada 4 mata dimeja ini? Ayo bicaralah, waktuku tidak banyak.”
“Well, sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu, tapi----”
“Tak perlu basa-basi Nick! Katakanlah apa yang memang ingin kau katakan.” potong Zelena ½ mendesak.
Nick menghela nafas panjang. Sepertinya Zelena memang tidak mempunyai banyak waktu hari ini. Baiklah, dengan keberanian yang tersisa Nick pun akhirnya mengungkapkan maksud dari ajakan pertemuannya saat ini.
“Aku mencintaimu Zelly, apa kau bersedia untuk menjadi kekasihku?” ucapnya blak-blakan. Kali ini to the point, tanpa basa-basi atau malah kata-kata manis berbau puitis barang sepatah katapun. Sebuket mawar yang semula disembunyikan Nick dikolong meja ikut disodorkannya tepat dihadapan Zelena.
Klise, tapi tetap saja Nick kesusahan untuk mengucapkannya. Entah karena apa?
Sementara didepannya, Zelena juga merasakan hal yang sama seperti Nick. Ia sangat terkejut. Sekuat hati ia menahan rasa gugup yang menguasai hatinya secara tiba-tiba. Tidak! Ini tidak boleh!
Zelena tidak boleh untuk jatuh cinta lagi, karena bagaimanapun ia sudah mempunyai Justin. Tapi, ia juga tidak bisa membohongi batinnya bahwa perasaan itu masih ada. Tersimpan rapi diseperempat hatinya. Lantas, haruskah ia mengkhianati cinta Justin?
“Kau membuatku bingung Nick.” ujarnya tanpa menerima mawar merah yang seharusnya sudah menjadi miliknya, utuh.
Pemuda itu mendongak. Tidak mau menjawab sebelum Zelena menyelesaikan ucapannya.
“Dulu aku pun memiliki rasa yang sama sepertimu. Tapi itu DULU! 3 tahun yang lalu, sebelum aku menjadi milik Justin. Dan sekarang apa pantas jika aku menyakiti salah satu diantara kalian?”
“Aku tahu, aku terlambat. Tapi aku benar-benar mencintaimu Zelly! Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu. Aku juga tidak peduli, jika aku harus menjadi orang ketiga diantara kalian. Aku sanggup dan aku tidak akan sakit hati.” tuturnya melepas ikatan mawar yang ada ditangannya seraya menggenggam lembut telapak tangan Zelena.
Wanita itu menggigit kecil bibir bawahnya sembari melemparkan pandangannya keluar cafe.
Hujan sudah mulai reda, yang tersisa hanyalah rintik-rintik kecil lengkap dengan awan hitamnya.
Zelena resah. Disaat hujan berakhir, badai malah menerpa hati kecilnya.
Sekarang haruskah ia menghindar? Atau malah hanyut sekalian bersama dengan badai itu?
Masih ditempat yang sama.
Seorang wanita tengah mengayunkan kakinya secepat kilat.
Menerobos sisa-sisa hujan yang walaupun hanya berupa tetesan kecil, tapi cukup membuat baju basah jika berjalan dengan gaya siput (lamban.red).
“Huh, dingin sekali.” gumamnya sambil mengosok-gosokkan kedua belah tangannya, sekedar menghangatkan.
Ah, kebetulan! Tanpa direncanakan, tahu-tahu ia sudah berdiri saja didepan kedai kopi. Mungkin secangkir hot mocha akan sedikit membantu untuk menghangatkan tubuhku, pikirnya dalam hati.
Agak tergesa-gesa ia mendekati pintu masuk dikedai itu. Namun, tiba-tiba saja langkah panjangnya terhenti ketika melihat dua wujud manusia yang amat dikenalnya sedang duduk bercengkrama didalam cafe.
“Zelena and Nick? Apa yang mereka lakukan disini?” pikirnya dalam diam.
Wanita itu merapatkan tubuhnya kesamping pintu masuk yang terbuat dari kaca tembus pandang.
Matanya semakin membulat tatkala diperlihatkan dengan adegan “panas” yang terjadi diantara mereka (Zelena & Nick).
Tidak terlalu panas sih, karena hanya sebatas kissing.
Tapi jika mengingat Zelena yang sudah mempunyai kekasih, tentu itu menjadi suatu hal yang panas.
Ya! Bisa menjadi “api” didalam hubungan asmaranya bersama dengan Justin.
“Kau tidak berubah Zelly! Kau boleh menyakiti semua hati pria didunia, tetapi tidak dengan Justin! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu! Dasar pengkhianat!”
Wanita itu adalah Elena. Tangannya mengepal menahan amarah. Ia terkejut dan sangat menyayangkan wanita pilihan mantan kekasihnya tersebut. Ia pikir Zelena tidak akan pernah berlaku seperti itu, tapi ternyata...? Ia justru jauh lebih buruk dari Elena!
Okay, ini bukan waktunya untuk membicarakan keburukan Zelena, karena ada sesuatu hal yang jauh lebih penting dari ini!
Dengan sigap Elena mengeluarkan I-Phone miliknya dari saku mantel.
Dimasukinya menu camera, lalu....?
CEKLEK....!
Sekali jepret terciptalah hasil yang lumayan.
Cukup jelas untuk mempertegas hubungan terlarang diantara mereka berdua.
“Not bad!” gumam Elena memandangi hasil jepretannya.
Beruntung adegan itu berlangsung lumayan lama, yah sekitar 3-4 menit. Waktu yang singkat untuk menghancurkan hidup Zelena!
“Lihat pembalasanku Zelly.” bisiknya tersenyum miring. Lalu kembali melangkah, masuk kedalam cafe.
Zelena melepaskan bibirnya yang menempel sekian lama dibibir Nick. Good! Ia tersenyum manis menatap pria yang kini telah resmi menjadi selingkuhannya itu.
What?! Selingkuhan?! Zelena menggeleng pelan.
Sepercik rasa menyesal menyelinap masuk dilubuk hatinya yang terdalam, berkumpul dengan perasaan lega karena ia telah berhasil mendapatkan cinta lamanya yang mulai bersemi kembali.
Apakah pilihanku salah? Apa resikonya nanti sangat berbahaya? Well, aku rasa pilihanku tidak begitu buruk! Aku bisa menikmati seminggu penuh bersama dengan Nick, walau tanpa Justin disisiku. Huh! Siapa suruh dia berlibur diam-diam dan tidak mengajakku? Zelena terus menggerutu didalam hati. Mengutuk keputusan Justin sekaligus memberikan Nick sedikit waktu untuk menikmati kopi hitam pesanannya yang belum disentuh sama sekali.
Hingga akhirnya teguran halus seseorang sukses membuyarkan lamunan wanita itu.
“Hai Zelena! Kebetulan sekali kita bertemu disini. Sedang apa kau?” sapa seorang teman wanitanya dengan nada yang riang. Seperti tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal sehari saja ia segan.
Zelena mengangkat wajahnya. Matanya terbelalak ketika mendapati wujud Elena yang memamerkan senyuman sinis kearahnya.
“Ka-kau? Sejak kapan kau ada disini?!” ½ tertahan Zelena menanyakannya. Yang ditanya hanya tersenyum kecil, lalu melirik kearah Nick yang terlihat mengerutkan alis, bingung dengan ekspresi keterkejutan kekasih barunya itu. Sekedar menyapa, apa itu salah?
“Oh maaf, sepertinya aku sudah mengganggu acara kalian. Silahkan diteruskan, permisi.” pamit Elena sengaja. Baginya, suatu kepuasan tersendiri jika ia dapat melihat wajah pesaingnya yang semakin keki.
Tanpa membuang banyak waktu lagi Elena pun melangkah pergi, tapi berhenti sebentar tepat disamping kursi Zelena untuk membungkukkan sedikit badannya. Lalu,“Temui aku diluar.” bisiknya tak kentara. Kembali mengayunkan kakinya meninggalkan Zelena beserta dengan bibirnya yang mengatup rapat menahan amarah yang bergejolak.
“Siapa dia?” Akhirnya Nick pun membuka suaranya. Sambil meletakkan cangkir kopi yang sudah kosong, Nick menatap Zelena tajam, tepat dikedua manik matanya yang berwarna dark brown.
“Eummmm~ dia hanya teman kuliahku.” Zelena berdalih dan dibalas dengan anggukan kepala oleh Nick. Walaupun sedikit lega, tapi dalam hati Zelena sangat yakin jikalau Nick mengangguk tidak ikhlas. Karena, kilatan curiga terpancar jelas disepasang mata elangnya.
Hah! Zelena mendesah berat. Diliriknya pintu masuk yang terpampang jelas didepan wajahnya.
Benar saja, wanita itu benar-benar menunggunya diluar.
Apa yang ingin dikatakannya? Jangan bilang kalau Elena mengetahui hubungan gelap antara aku dengan Nick?! Dia pasti akan memberitahunya pada Justin! Hah, ini tidak boleh terjadi! Aku harus mencegahnya! batin Zelena berapi-api.
“Ahya Nick, hampir saja aku lupa! Hari ini aku akan mengikuti casting di SO, jadi aku tidak bisa bersantai-santai lebih lama lagi denganmu. Aku harus pergi sekarang! See you and bye.”
Lagi-lagi Zelena bersilat lidah! Dengan sigap ia pun meraih tas selempangnya yang terpajang rapi diatas meja cafe. Melangkah keluar setelah melemparkan sepotong senyum perpisahan kearah Nick. Yah! Hanya sebuah senyuman tanpa ada kecupan barang dikening sekalipun. Saat ini ia harus pandai menjaga sikap, karena ada Elena yang memantau gerak-geriknya didepan pintu kedai.
Salah sedikit saja, maka hancurlah semua harapannya.
Zelena mendorong kedepan pintu masuk yang terdapat di Coffe Break Cafe, bersamaan dengan itu sebuah lcd handphone pun disodorkan paksa kehadapan wajahnya.
Layar ponsel berbentuk persegi panjang tersebut mencetak jelas wajah dirinya dan seorang pria.
Gambar itu?! Sontak Zelena menutup mulutnya dengan sebelah tangan, dan untuk yang kesekian kalinya matanya pun membulat penuh.
SREKKKKK...!
Elena menarik kembali ponselnya tepat ketika Zelena ingin merampasnya.
“Tidak semudah itu Zelly.” ucapnya pelan. Terdengar lirih namun tajam dan nyelekit. Siapapun yang mendengar pasti akan kesal dibuatnya.
“Sabar Zelly sabar.” Zelena mensugesti dirinya dalam hati sembari mengelus pelan dadanya. Ia tahu dan ia sadar bersikap bodoh hanya akan memperkeruh keadaan, oleh sebab itu Zelena pun menggunakan taktik “lemah-lembut” dalam menghadapi Elena.
“Kali ini aku memohon padamu Elena, hapus gambar itu untukku! Please, aku mohon.”
Raut memelas Zelena tak lantas membuat Elena kasihan padanya. Justru sebaliknya, wanita itu semakin mengembangkan senyum kemenangannya atas kekalahan yang harus diterima sahabatnya (dulu) tersebut.
“Itu mudah Zelly,” Masih tersenyum mengejek Elena menimang-nimang ponselnya. Berhenti sebentar, kemudian, “Berikan aku 1.000.000$ maka sekarang juga aku akan menghapus foto menjijikkan ini.” ucapnya memberikan penawaran.
Walaupun terkesan memeras, tapi untuk ukuran artis sekaliber Zelena tentu 1.000.000$ bukanlah jumlah yang banyak.
Itulah pemikiran Elena, pemikiran orang awam yang menganggap kehidupan selebriti jauh dari kata “Hutang”. Padahal faktanya, semua fasilitas yang serba `wah` itu tak jarang mereka dapatkan dengan cara kredit.
Yah! Tentu saja Elena tidak mengetahui tunggakan-tunggakan kartu kredit Zelena yang belum lunas.
“Satu juta dolar?! Kau pikir aku bank?!” serunya dengan nada yang tinggi.
Kontan tawa Elena pun meledak, ia pikir Zelena tengah melawak, padahal jelas-jelas wajahnya nampak merah padam menahan kekesalan yang kian membuncah.
Sepersekian detik kemudian, tawanya terhenti, berubah menjadi seulas senyuman miring. “Kalau kau tidak mau, ya sudah! Aku tidak akan memaksa. Do you know Zelly? Kalau aku mau, aku bisa saja menjual foto ini kepada paparazzi. Pastinya uang yang kudapatkan lebih dari 1.000.000$, dan nilai plus nya image mu dimata Zelenation akan buruk dalam sekejap! Atau kau mau aku membeberkannya secara langsung kepada Justin? Ow... Itu lebih bagus! Dia pasti akan terkejut dan langsung memutuskan hubungan kalian secara sepihak pada hari itu juga. Tapi aku rasa tidak hanya itu, mungkin dia akan menamparmu lalu-------”
“Baiklah!” sambar Zelena yang mulai terpojok. Sekarang tidak ada pilihan lain selain SETUJU! Mau tidak mau ia harus rela merogoh koceknya sebesar 1.000.000$ demi kelancaran karir dan percintaannya.
“Nanti sore aku akan mengirimkan uangnya ke nomer rekeningmu. Sekarang cepat delete foto itu dari handphonemu!” suruh Zelena.
“What?! Apa kau bilang?! Bagaimana mungkin aku melakukan itu sementara uangnya belum ada ditanganku? Ingat yah Zelly, aku bukan wanita bodoh sepertimu! Sekarang begini saja, ada uang maka foto ini pun hilang. Bagaimana?”
Ck..! Zelena mendecak kesal. Baginya, ini bukan hanya pemerasan, tetapi juga pemaksaan! Bagaimana mungkin dia memberikan Elena uang? Sementara untuk membayar segelas hot chapuccino tadi saja biayanya harus ditanggung oleh Nick.
Namun, karena keadaannya genting, dengan terpaksa Zelena pun mengeluarkan kartu ATM cadangan dari dalam tas kecilnya.
“Aku tidak membawa uang cash, jadi ambillah kartu ATM ini.” ucap Zelena seraya menyodorkan kartu itu ketangan Elena.
Elena menerimanya, bersamaan dengan itu Zelena pun merampas paksa I-Phone yang menjadi penyebab hilangnya uang senilai 1.000.000$ dolar miliknya.
“Jumlah uang yang ada dikartu ATM itu setara dengan apa yang kau inginkan. Malah lebihan beberapa ratus dolar! Biarkan ponsel ini untukku, karena dengan uang itu kau bisa membeli ponsel yang lebih canggih dari yang ini.” lanjutnya menjawab keheranan Elena.
PRANGGGGG....!
Telepon genggam itu dihempaskannya keatas jalanan beraspal didepan kedai kopi.
Cassing penutup belakangnya terbuka dan baterainya pun tercecer entah kemana?
Layarnya sedikit retak, seolah-olah menunjukkan betapa kerasnya hempasan yang dilakukan Zelena terhadap benda itu.
Seakan kurang puas, Zelena pun mencabut memory card-nya dan mematahnya menjadi dua bagian. Selesai! Dengan begitu data-data nya akan hilang berikut foto tersebut.
“Kau pikir aku bodoh? Sayang sekali Elena, saat ini kau GAGAL menghancurkan hubunganku dengan Justin! Thanks untuk kerjasamanya.” ucap Zelena dingin. Memberikan penekanan dikata-kata “GAGAL”, seakan-akan mengejek balik Elena.
Elena pun tak mau ambil pusing, ia hanya memperlihatkan senyuman tipisnya.
Sebuah lengkungan yang mengandung arti, bukan-masalah-toh-aku-bisa-mencobanya-lagi-lain-kali.
“Kau memang bodoh Zelly! Buktinya kau tidak menyuruhku untuk menutup mulut dan merahasiakan semua ini.” Elena mendengus, pandangannya masih terarah tajam kesatu titik, yakni swift merah marun yang Zelena kendarai. Alat transportasi roda empat yang akhirnya menghilang disalah satu tikungan jalan raya.
“Lihat saja nanti! Bagaimanapun caranya aku akan memberitahu ini kepada Justin!” ucapnya mantap. Berlalu meninggalkan keheningan Coffe Break Cafe yang --walaupun sudah hampir senja-- masih setia ditemani percikan air langit.
***
Cake Shop. Toko kue terbesar di Desa RainVill itu selalu ramai pengunjung, seolah tak pernah sepi apalagi dihari libur seperti ini.
Letaknya yang strategis serta jam buka yang lebih dari 10 jam penuh itulah yang menjadi nilai plus tersendiri bagi Cake Shop, usaha toko kue yang dirintis Ibunda Carrol semenjak sang suami berpulang kepangkuan-NYA.
Jam besar yang tertempel didinding pantry Cake Shop berdentang 6 kali, bersamaan dengan itu Mom Eliana pun mematikan suhu oven besar yang menampung beberapa loyang kue brownies, pesanan seorang pelanggan yang akan mengadakan birthday party untuk anaknya --mungkin--.
Setelah merasa semua pekerjaannya beres, Mom Eliana pun merapikan ruangan kecil itu.
Lalu, bergegas pergi karena jam kerjanya akan segera digantikan oleh Bibi Judith, satu-satunya pekerja tetap di Cake Shop.
Disaat Mom Eliana ingin keluar, tiba-tiba Bibi Judith masuk dan menahan salah satu lengannya untuk tidak pergi.
“Tunggu sebentar Eli!”
Kontan Mom Eliana pun menoleh sambil mengangkat salah satu alisnya, “Ada apa lagi? Aku harus segera pulang Judy, karena aku belum memasak makan malam untuk Carry dan teman barunya.”
“Maaf kalau aku memaksa, tapi ada seorang pria yang ingin bertemu denganmu Eli. Sepertinya dia pria yang baik. Dia bilang, dia menyukaimu dan ingin menjalin hubungan yang seri----”
“Berhentilah mencarikan jodoh untukku Judith! Sudah ku bilang kan? Aku bukan lagi remaja seusia anakku Carry! Umurku sudah hampir ½ abad, dan kalau memang ada seorang pria yang menyukaiku aku pasti akan menerimanya asalkan dia mau menjalin hubungan yang serius denganku. Tidak main-main atau hanya sekedar kumpul kebo seperti calon suami pilihanmu yang sudah-sudah!” sela Mom Eliana panjang lebar. Cara bicaranya tenang namun terkesan tegas.
Bibi Judith pun mengelengkan kepalanya pelan, entah karena apa?
“Temuilah dulu, kasihan dia yang sudah menunggumu sejak tadi siang! Percayalah, kali ini aku tidak main-main.” ucapnya mantap.
“Mencoba tidak ada salahnya kan Eli? Kalau kau berminat, temui dia direstaurant depan Cake Shop. Hanya perlu berjalan kaki sedikit untuk berlari menggapai impianmu” lanjutnya seraya berlalu pergi meninggalkan pantry.
`Hanya perlu berjalan kaki sedikit untuk berlari menggapai impianmu?` Apa maksudnya?
Mom Eliana mengernyitkan dahi.
Kalimat terakhir yang dilontarkan Bibi Judith tadi, tiba-tiba saja meninggalkan keheranan besar dibenaknya.
Menemui pria itu? Untuk apa? Eummm~ tapi perkataan Bibi Judith ada benarnya juga. Apa salahnya jika ia mencoba?
Tanpa pikir panjang lagi Mom Eliana pun meraih tas jinjingnya, lalu segera beranjak menuju restaurant yang dimaksud Bibi Judith dipesannya tadi.
“Restaurant La`Fonte”. Rumah makan paling terkenal didesa RainVill yang khusus menyajikan makanan khas Italia itu kini telah berada dihadapan Mom Eliana.
½ bergetar tangannya pun mendorong pintu masuk restaurant tersebut.
Pandangannya menyapu diseluruh sudut untuk mencari pria yang dianjurkan oleh Bibi Judith.
Dan fakta mengatakan hanya ada seorang pria direstaurant itu. Apa dia orangnya?
Mom Eliana berusaha menetralisir perasaannya yang tiba-tiba saja mendadak menjadi nervous hingga mengeluarkan tetesan keringat dingin dipelipisnya.
Dengan berat kedua kakinya melangkah menuju meja nomer 2, dimana sudah ada pria berjas hitam yang terduduk manis disana.
Mom Eliana belum tahu dia siapa? Karena posisi pria itu tengah duduk membelakanginya.
“Excusme sir? Apa benar kau pria yang ingin bertemu denganku?” tegur Mom Eliana menyentuh halus pundak pria yang berpakaian layaknya eksekutif muda tersebut.
Refleks ia pun menoleh kebelakang, mencari sumber suara yang telah menegurnya tadi, “Eliana?! Kau Eliana pemilik Cake Shop yang ada didepan itu kan?!” tanyanya heboh.
Mengumbar senyuman lebar yang.....ehem! Manis untuk ukuran pria `berumur` sepertinya.
“Ya! Perkenalkan, namaku Eliana Alamsyah Bowling. Kau bisa memanggilku Eli atau Eliana sekalian.” Ragu-ragu Mom Eliana membalas senyuman pria yang ada dihadapannya. Tangan kanannya bergerak lurus kedepan, menunggu pria itu menjabatnya dengan hangat.
“Perkenalkan Eli, namaku Eqbal Hafi Zein. Panggillah aku sesuka hatimu. Mau Eqbal, Hafi, atau Zein sekalipun, itu tak masalah!” ucapnya seraya menerima uluran tangan Mom Eliana.
Kemudian Mr. Eqbal menyuruh wanita berparas asli Indo itu untuk duduk dihadapannya.
Mereka memesan 2 porsi spaghetti andalan Resto La`Fonte beserta dengan 2 gelas ice lemon tea sebagai pelepas dahaga.
Sambil menyantapnya, mereka pun berbincang ringan. Saling mengenal lebih dalam satu sama lain, bertanya banyak hal. Dan dari situlah Mom Eliana dapat mengetahui bahwa Mr. Eqbal adalah PresDir (Presiden Direktur) International Bakery. Perusahaan roti terbesar asal Arab yang membuka cabangnya diberbagai Negara maju didunia ini. Mengikat kontrak dengan beberapa toko kue, dan salah satunya adalah toko kue milik Mom Eliana sendiri.
Dia duda beranak satu, sama seperti Mom Eliana. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak semata wayangnya, yang kira-kira sekarang berumur 4-5 tahun diatas Carrol.
Semenjak istrinya meninggal dia tak berniat untuk menikah lagi, karena belum menemukan kriteria calon istri yang pas dihatinya.
Hingga akhirnya dia pun telah menemukan calon istri idamannya! Mr. Eqbal bilang, sudah sejak lama dia menyukai Ibunda Carrol tersebut. Eummm~ tepatnya ketika International Bakery menjalin kerjasama yang baik dengan Cake Shop. Melalui seorang perantara Mr. Eqbal mencari tahu tentang kehidupan Mom Eliana. Dan ternyata perantara itu adalah Bibi Judith! Sahabat sekaligus anak buah Mom Eliana.
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” tanya Mom Eliana disela-sela pembicaraan.
“Aku merasa kurang percaya diri dengan diriku sendiri. Maafkan aku! Sekarang apa kau mau menikah denganku? Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu Eliana.” jawabnya menatap teduh Mom Eliana, tulus.
Mom Eliana terpaku. Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu.
Terus terang sepeninggalan sang suami, baru kali ini Mom Eliana dapat merasakan perasaan itu lagi.
Sensasi merah jambu yang memberikan efek jantung berdebar cepat dan hati berdesir hebat.
Apa aku jatuh cinta? batin Mom Eliana menatap Mr. Eqbal tepat dikedua manik matanya yang berwarna kehijau-hijauan.
Dengan sabar pria berdarah Arab itu menantikan jawaban Mom Eliana.
Hingga akhirnya....?
“Maafkan aku Zein, tapi aku harus mendiskusikan ini dulu dengan putriku. Kau mau memberikanku waktu beberapa hari kan?” ujar Mom Eliana hati-hati.
“Of course! Kau harus membicarakan ini dengan Carrol. Karena aku tahu, kebahagianmu adalah kebahagaian Carrol begitu juga sebaliknya. Kebahagian Carrol adalah kebahagianmu! Bukan begitu?”
Jawaban Mr. Eqbal sukses membuat Mom Eliana terkekeh geli. Sungguh calon suami yang pengertian! pujinya dalam hati.
Ahya, bicara soal Carrol, Mom Eliana pun menepuk pelan jidatnya.
Mengobrol dengan Mr. Eqbal benar-benar membuatnya lupa waktu. Ya! Harus diakui bahwa Mom Eliana merasa nyaman berada didekat Mr. Eqbal seperti saat ini.
“Maaf, aku harus pulang sekarang. Jam segini Carrol pasti belum makan malam!” pamit Mom Eliana menggeser kursinya kebelakang.
“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang. Tapi sebelum itu, aku akan menyuruh pelayan agar membungkuskan makan malam untuk anakmu dulu yah? Bagaimana Eli? Apa kau setuju?”
“Tentu saja! Aku menunggumu diluar.”
Mom Eliana pun berjalan lebih dulu keluar dari restaurant.
Menunggu Mr. Eqbal ditrotoar depan rumah makan khas Itali tersebut.
***
DUG.... DUG.... DUG....!
Seorang gadis manis dengan rambut jatuh terurai tengah mendribble bola basketnya.
Dibelakang rumahnya yang hanya diterangi lampu hias, gadis itu asyik menggeluti kebiasaannya.
Tanpa menghiraukan siapapun termasuk pemuda berkacamata hitam yang ikut menyaksikan permainannya disamping pohon akasia yang besar.
Sebenarnya basket bukanlah hobi dari gadis berpiyama pink tersebut, melainkan hanya kebiasaan disaat badmood melandanya saja.Yah, bisa dikatakan ia melakukan itu untuk sekedar membunuh rasa jenuh.
Setelah puas mendribble bolanya, gadis itu pun mengambil ancang-ancang untuk menembaknya kedalam ring.
HUPPPP...!
Dia melompat sedikit dengan kedua tangan yang memegangi bola. Mendorongnya dengan tenaga penuh, tapi sayangnya tembakannya meleset!
Bolanya membentur ujung ring hingga memantul kearah lain, dan berhasil ditangkap oleh seorang pemuda yang tengah menontonnya tadi.
BUGGGGGG....!
Iyaps! Pemuda itu berhasil men-shoot bolanya hingga masuk tepat kedalam ring. Sungguh lemparan yang mulus! Sangking mulusnya berhasil membuat gadis yang melakonkan sebagai tokoh utama didalam permainan basket itu pun terbelalak, kaget.
“Kau?” Dihampirinya pemuda berkaos ungu itu dengan mata yang memicing.
“Bagaimana bisa kau melakukannya?”
“Insting!” jawabnya enteng.
Gadis itu pun terdiam membisu dengan kening yang mengerut. Masih belum yakin.
“Memangnya kenapa Carr? Apakah bolanya masuk?” tanya sang pemuda berpura-pura tak melihat.
Carrol menoleh kesamping.
Menatap Justin --si pemuda tadi-- dengan senyum yang mengembang.
“Iyaps! Masuk Jax. Kau hebat sekali! Instingmu kuat juga ternyata! Bagaimana bisa? Apakah kau dulu nya juga pemain basket?”
“Oh tidak. Itu hanya kebetulan!”
Carrol mengangguk pelan. Berlagak percaya, padahal dalam hati sulit sekali ia mempercayai alasan Justin tersebut. Mustahil! Kalaupun memang benar begitu, baginya Justin adalah manusia buta yang AJAIB (?).
“Jax, apa kau lapar?” tanya Carrol sambil menggerakkan kedua kakinya untuk menuju teras yang terdapat di belakang rumahnya. Tak lupa ia pun menggenggam telapak tangan Justin dengan maksud menuntunnya agar tidak salah jalan.
Walaupun kini Justin sudah mempunyai tongkat, tetap saja Carrol merasa khawatir padanya.
Justin menggeleng, “Tidak. Memangnya kenapa?” jawabnya balik bertanya.
Mereka berdua sudah tiba diteras dan langsung mendudukkan tubuh masing-masing dikursi jati yang telah tersedia.
Carrol meraih satu botol besar air mineral yang nampak berembun, menganggur diatas meja kecil. Lalu ia pun menuangkan isinya kedalam gelas tinggi sembari menjawab, “Ya kalau kau lapar, aku bisa memasakanmu sesuatu.”
“Tidak perlu Carry. Sebaiknya kita tunggu sampai Ibumu pulang saja! Aku rasa makan bersama seperti kemarin akan lebih menyenangkan.”
Sambil meneguk air minum yang dituangnya tadi, Carrol pun mengangguk, mengamini pendapat Justin.
Lagipula, bukankah selama ini ia selalu makan malam bersama dengan Mom Eliana? Tidak hanya disaat dinner, tetapi lunch and breakfast pun selalu dilakukannya berdua dengan Ibunda tercinta. Tapi, kenapa malam ini Mom pulang telat yah? Tidak biasanya! pikir Carrol bertanya-tanya.
Sejurus kemudian terdengar deru mesin mobil yang berhenti tepat didepan rumah Carrol.
Mom Eliana kah itu? Tapi seingat Carrol, Ibunya tidak membawa mobil hari ini, karena ZaVer baru bisa diambil besok pagi. Lantas mobil siapakah yang kini berhenti didepan rumahnya?
Langsung saja Carrol menggamit lengan Justin dan menyeretnya masuk kedalam rumah.
Alphard hitam mengkilat itu berhenti tepat didepan sebuah rumah sederhana berpagarkan kayu dengan warna cokelat muda.
Eqbal Hafi Zein, si pemilik mobil tersebut turun dari mobilnya untuk membukakan pintu sang calon --belum resmi-- istri, yakni Mom Eliana.
Dengan anggun Mom Eliana menurunkan satu persatu kakinya, keluar dari mobil.
“Thank you Zein. Pertemuan yang sangat menyenangkan!” ujar Mom Eliana tersenyum lebar.
Mr. Eqbal si pria yang dipanggil `Zein` tadi mengangguk senang.
Ia rasa Mom Eliana juga menyukai dirinya, tinggal menunggu keputusan dari sang putri Carrol saja, maka undangan akan disebar secepatnya.
“Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu yah? Sampai jumpa dilain waktu Zein.” pamit Mom Eliana membalikkan badan.
Namun, baru berjalan beberapa langkah ia kembali menoleh tatkala Mr. Eqbal memanggil namanya dengan lantang.
“Eliana!”
“Ya, ada apa?”
“Kau melupakan ini.”
Mr. Eqbal berlari kecil mendekati Mom Eliana dengan tangan yang menenteng sebuah kantong plastik berukuran sedang.
Sementara Mom Eliana menepuk pelan jidatnya ketika melihat apa yang telah dilupakannya itu.
Kemudian dengan senyuman yang mengembang ia pun menerima kresek tersebut dari tangan Mr. Eqbal.
“Ahya thanks yah?” ucap Mom Eliana seraya mencondongkan wajahnya hendak mengecup pipi Mr. Eqbal. Tetapi dengan cepat pria itu menghindar, menarik wajahnya kearah samping sehingga membuat Mom Eliana terkejut dan mendelik agak heran.
“Kenapa?”
“Bukan muhrim.”
Mom Eliana mengangguk paham. Bagaimanapun ia harus mengerti dengan perbedaan keyakinan diantara dirinya dan calon suaminya. Ia yang beragama Yahudi, sementara Mr. Eqbal sendiri beragama Islam, sungguh perbedaan yang kontras!
“Setelah kita menikah baru kau boleh menciumku. Bahkan melakukan yang lebih dari itu juga boleh kok!” lanjut Mr. Eqbal mengerlingkan sebelah matanya. Sontak Mom Eliana pun tersipu malu ketika pria yang berada dihadapannya itu menggodanya dengan nakal.
“Ya sudah kalau begitu aku akan masuk sekarang.”
“Tunggu Eli!” panggil Mr. Eqbal lagi.
“Ada apa? Apa lagi yang tertinggal?”
“Tidak ada. Hanya saja...... Engggg~” Mr. Eqbal menggaruk-garuk ujung telinganya yang tidak bermasalah sama sekali. Sedikit tersenyum, lalu “Sampaikan salamku pada putrimu. Katakan padanya bahwa aku menunggu jawaban dari kalian secepatnya!”
Mom Eliana mengangguk satu kali dan lagi-lagi tersenyum dengan manis. Masih setia menatap punggung Mr. Eqbal yang akhirnya menghilang bersama dengan mobilnya itu, ia pun membatin, “Sekarang aku mengerti dengan maksud Bibi Judith!”
`Hanya perlu berjalan kaki sedikit untuk berlari menggapai impianmu`. Itu artinya dengan menikahi Mr. Eqbal sang PresDir International Bakery, maka Mom Eliana dapat mewujudkan impiannya untuk memperbesar usaha Cake Shop yang tengah dikelolanya.
Ah, tidak! Jika aku memang ingin menikah dengan Mr. Eqbal itu karena aku mencintai dirinya bukan hartanya! batinnya mengangguk mantap.
Disaat perasaan cinta datang dan singgah di hati seseorang, ia sanggup membuat orang itu lupa dengan keadaan sekitar.
Begitu juga dengan apa yang tengah dirasakan oleh Mom Eliana saat ini.
Sebuah lengkungan yang lebar nan menawan pun terpahat jelas dibibirnya.
Seakan mengatakan bahwa bunga-bunga dihati Mom Eliana tengah ikut bermekaran dengan begitu indahnya.
Ya, CINTA! 1 kata yang tersusun dari 2 huruf vokal dan 3 huruf konsonan itulah yang tengah melanda hati Ibu dari satu anak tersebut.
Tanpa sadar ia telah mengabaikan godaan dari cahaya rembulan, colekan dari kerlipan bintang, dan tak hanya itu! Karena ia juga telah mengabaikan tatapan sinis dari `bidadari` cantiknya yang diam-diam mengintip dibalik tirai jendela ruang tamu.
Dengan santai Mom Eliana pun melenggang masuk kedalam pekarangan rumahnya.
Mengunci pagarnya rapat-rapat lalu memutar gagang pintu yang berjarak sekitar 30 cm dari wajahnya.
CKLEKKKK....!
“Siapa dia?”
Baru saja pintu rumah dibuka, Mom Eliana sudah disodorkan pertanyaan oleh anak semata wayangnya.
Carrol, gadis itu tengah duduk dikursi ruang tamu ditemani dengan Justin disampingnya.
Sorot matanya sungguh tak bersahabat, dan Mom Eliana mengerti dengan maksud dari tatapan tersebut.
“Dia hanya rekan kerja.” jawab Mom Eliana ½ berbohong. Tidak sepenuhnya, karena fakta membuktikan bahwa Mr. Eqbal memanglah relasi bisnisnya.
“Kau dan Jaxon belum makan malam kan? Ini, Mom membawakan spaghetti ini untukmu.” sambungnya berusaha mengalihkan pembicaraan. Tangan kanannya pun bergerak kedepan untuk menyerahkan sebuah bungkusan berwarna hitam ketangan Carrol.
CRESSSSSH....!
Dengan kasar Carrol pun menepis kantong kresek itu dari tangan Mom Eliana, sehingga mengakibatkan isinya terjatuh dan tumpah mengotori lantai.
“Carry! What the hell?! Ada apa denganmu dear?!” seru Mom Eliana terbelalak. Justin pun tidak kalah terkejutnya dari Mom Eliana. Bagaimana tidak? Baru kali ini ia melihat sisi lain dari diri Carrol. Sungguh, demi apapun itu Carrol akan terlihat menakutkan jika sedang marah seperti itu. Benar-benar lebih menyeramkan dibanding monster!
Carrol menatap Mom Eliana sinis dengan nafas yang berkejar-kejaran. Sejarah baru, karena untuk pertama kalinya Carrol semarah ini dengan Ibunya. Hanya karena masalah sepele, yakni karena ia melihat Mom Eliana pulang diantar pria lain saja. Just it!
“Siapa pria itu Mom?! Katakan yang sebenarnya atau aku tidak akan mau berbicara lagi denganmu!”
<3 The Girl is She <3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar