MiNia Story
^Maaf, Aku Mencintai Kekasihmu.^
^Maaf, Aku Mencintai Kekasihmu.^
How do you feel? Apa yang kamu rasain kalau kamu mencintai seorang cowok yang notabene-nya adalah pacar dari sahabat kamu sendiri? Mereka jadian di depan mata kamu dan berbahagia tanpa tau kalau ada sepotong hati yang telah patah menjadi dua pada saat itu-----hatimu.
Sakit? Pasti.
Cemburu? Itu sih udah nggak bisa disangkal lagi. Secara, setiap makan siang di cafétaria doi selalu barengan sama sahabatmu (yang dimana ada sahabatmu di situlah ada kamu).
Tragisnya, itulah yang terjadi padaku saat ini. Pengen deh rasanya diam-diam ngerebut doi dari sahabat, tapi..........kok, my heart says no yaaaa? Kesannya jahat aja gitu, dan aku nggak tega. Kalau udah gini mendingan mati aja deh mati.
Ewwwww......, apa aku terlihat hopeless? Di dunia ini cowok tercipta, kan, nggak cuma satu. Lagian, aku nggak mungkin mutusin tali persahabatan di antara aku dengan Rashi cuma karena seorang cowok, kan? Two thousand twelve gitu! Kayaknya lebih mudah untuk mencari kecengan baru daripada sahabat yang betul-betul “sahabat”, deh, ya.
Tapi tapi tapiiiii............, nyatanya hingga detik ini aku nggak bisa untuk ngeikhlasin gitu aja dengan apa yang tengah terjadi dihadapanku sekarang. You know what? Faldi nembak Rashi depan hidung aku! Aku tekanin sekali lagi, ya, DEPAN HIDUNG AKU! Right banget, lengkap dengan setangkai bunga mawar dan cokelat di tangannya. Aku shock, guys!
“Ras, to the point aja saya beneran suka sama kamu. Will you be my soulmate? Saya nggak maksa kamu untuk bilang ‘iya’, kok. Saya terima apapun itu jawaban kamu.”
Faldi menggenggam telapak tangan Rashi dan menatap kedua manik matanya lekat-lekat. Apa yang dilakukan Faldi itu sukses menarik pusat perhatian di cafétaria. Suasana cafétaria yang semula riuh pun mendadak hening. Seluruh pasang mata tertuju pada Rashi begitu juga dengan aku yang -memang- duduk semeja dengannya. Dengan hati berdebar dan jantung berdegup kencang aku menantikan jawaban Rashi, hingga akhirnya.........
“Yeah, I will.”
Finish! For God's sake Ending-nya jleb banget pemirsa. Akhirnya dia nerima Faldi! Aku nggak ngerti kenapa Rashi begitu teganya menganggukkan kepala dan mengatakan “Will” sebagai jawaban disaat sahabatnya sudah tertunduk dengan lemas. Aku rasa dia nggak sadar dan nggak akan pernah sadar kalau jawabannya itu telah mematahkan hati aku, sahabat semasa JHS-nya. Yah, kalau dia menerima Faldi, itu sama aja dengan dia nyakitin perasaanku. Tapi, dalam situasi ini aku nggak bisa menyalahkan Rashi sepenuhnya, karena Rashi, kan, nggak tau kalau aku juga suka dengan Faldi. Tuh, kan! Mendingan aku mati aja deh, mati.
Di tengah kebisuanku, semua orang bertepuk tangan dengan meriah dan menyelamati sepasang kekasih (Rashi dan Faldi) yang baru aja jadian. Kebalikan dari aku, mereka seakan turut berbahagia.
“Party-nya di mana nih, bray?” tanya Aldo disaat menyalami tangan Faldi.
“Datang aja entar malem ke Oracle Club, jam 9.”
“Sip!”
Bahuku semakin turun ketika mendengar percakapan diantara mereka berdua. Memang sudah jadi tradisi di Bulgaria High School, jika ada siswa atau siswi yang menyatakan cintanya di tempat umum a.k.a disaksikan orang banyak, maka mereka wajib mengadakan party -yang biasanya diadakan di sebuah club ternama-. Tentunya dengan mengundang seluruh pasang mata yang melihat adegan penembakan tersebut. Aku nggak tau sejak kapan tradisi aneh itu berlangsung, yang jelas aku nggak setuju kalau tradisi itu dilakukan oleh Faldi. For God's sake Aku nggak relaaaaaaaaaa...........
“Shen!”
“Eh,” Spontan aku membuka mata ketika merasakan sentuhan halus di pundakku. Aku menengadah, menatap Rashi yang memandangku dengan ngeri. Why?
“Lo kenapa, sih? Itu steak kenapa di cabik-cabik gitu coba? Lo nggak lagi sakit, kan, Dear?” cecarnya heran bercampur khawatir.
Aku mendelik ke arahnya. Steak? Di cabik-cabik? Ehmagod! Cepat-cepat aku menunduk lalu menatap nanar pada steak barbeque milikku yang sudah hancur nggak berbentuk lagi di atas piring. Efek patah hati yang luar biasa, sepertinya.
“Kenapa, hmh?” Rashi mengangkat salah satu alisnya.
“ELO NYADAR NGGAK SIH?! GUE TUH KESEL SAMA LO! DENGAN LO NERIMA FALDI LO ITU UDAH NGERENGGUT KEBAHAGIAAN GUE!”
Rasanya pengen banget teriak gitu depan wajahnya Rashi. Tapi, aku sadar diri dan nggak mungkin se-frontal itu lah. So, yang kulakukan hanya tertawa dengan hambar, “Hahaha.... Nggak kok, Ras. Lagi pengen aja.”
“Kepengen yang aneh,” gumam Rashi pelan. “Eh, tapi entar malem lo dateng, kan, ke Oracle Club?!” sambungnya antusias.
Ehmagod! Demi apa, deh? Aku nggak bisa ngebayangin gimana suasana party-nya Faldi dan Rashi yang berlangsung malam nanti. How not, coba? Biasanya sepasang kekasih yang baru jadian itu akan menjadi King and Queen di party tersebut. Dan, aku nggak sanggup untuk melihat kemesraan mereka berdua. Aku nggak mau kalau entar pingsan di tempat, ah Gaaaaad seriusan deh!
“Shen!” Lagi-lagi Rashi berseru mengagetkanku.
“Ah, iya?”
Melihat tampangku yang superbengong dia pun mendengus kesal. “Oh my Dear Shenaaaaaa.......... Lo tuh ngelamun mulu, yah! Gimana? You're going to come right? Gue bakalan ngejadiin lo tamu spesial entar malam.”
“Nggggg........, gue-----”
“Dateng aja mending! Bukannya kamu itu sahabatnya Rashi, ya?” celetuk Faldi yang ngomong cuma untuk ikut-ikutan mendukung pacarnya doang. Sial!
Aku hanya dapat tersenyum kecut ke arah mereka berdua. Sahabat sih sahabat, tapi nggak harus sampai menderita batin di atas kebahagiaan Rashi juga kali yaaaa! batinku misuh-misuh.
Sejenak aku menghirup almond latte milikku yang berubah rasa menjadi pahit (the effects of a broken heart, kurasa).
Lalu, sambil menaruh kembali cangkirnya ke atas tatakan aku pun menjawab pelan, “I dunno. See later deh ya.”
*
Faldi Anggara Putra. Siapa sih yang nggak kenal sama si cowok bertampang manis itu? I mean, selain punya tampang semanis madu, doi itu berdedikasi banget di BHS. How come, gitu? Doi kan selalu terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk ajang Olimpiade Matematika or Sains, yaaaa.......singkat katanya sih doi itu pinter, gals! Doi juga kapten futsal di BHS, dan mantan ketua osis pula. So, aku pikir LOL aja gitu kalau misalkan ada murid (terutama siswi deh!) Bulgaria High School yang nggak kenal siapa itu FAL-DI.
Dan, seperti yang aku bilang di awal, dengan kulit sawo mateng-nya tuh cowok terlihat manis dan “laki” banget. Senyumnya yang cool selalu sukses ngebuat cewek kelepek-kelepek hingga akhirnya diam membeku di tempat. Well, mungkin menurut kalian pendeskripsian aku tentang Faldi di atas terkesan hiperbolis, too much or something yang sejenisnya, whatever I don't care cause this is fact! Aku sama sekali nggak mengada-ada, dan hanya bercerita apa adanya, kok. So, kalau udah gitu siapa coba yang bisa nolak pesonanya Faldi? Aku sendiri pun nggak bisa!
Aku suka sama doi sejaaaaaaaak..........., Ngngngggg....... sejak kapan, ya? Oh ya, sejak kelas 11! Right, awal kelas 11 lebih tepatnya.
Waktu itu, Bulgaria High School sedang mengadakan acara MOS untuk menyambut kedatangan siswa-siswi baru. Dan, selayaknya MOS pada umumnya setiap ekstrakurikuler wajib menampilkan aksi terbaik mereka guna mempromosikannya dihadapan para murid baru. Kali aja ada yang tertarik untuk gabung, ya, kan?
Nah, entah kebetulan atau emang takdir, waktu Faldi perform dengan squad-nya aku memutuskan untuk keluar dari kelas. Niatku yang awalnya pengen ke toilet mendadak berubah haluan lantaran mataku lebih dulu menangkap sosok Faldi yang berlari mengejar bola. So waw!
Kicking, sweeping, passing, shooting, semmmmmmua yang Faldi lakukan di lapangan futsal terlihat awesome banget di mata aku. Gila, yah! Bahkan, aku sampai nggak berkedip melihatnya. Serius! Mungkin kalian nggak percaya ini, tapi itu adalah untuk yang pertama kalinya aku tersenyum ketika melihat seorang cowok. Falling in love at the first sight, maybe? Kurasa, sih, dan sialnya aku nggak nyangka ternyata Rashi (sahabatku sejak SMP) juga jatuh hati dengan Faldi. Oke, aku bodoh. Seharusnya aku nggak perlu kaget lagi dengan hal itu. Seperti yang kubilang di awal; siapa sih yang bisa nolak pesonanya Faldi? I feel, nggak ada kali ya.
Tapi, kenapa harus Rashi, coba? Ah Gaaaaad masa aku harus saingan sama sahabatku sendiri, sih?! batinku protes waktu itu.
Aku Vs Rashi? Jelas bagusan aku kemana-mana lha! Aku berkulit putih dengan rambut lurus menjuntai melewati bahu, berbanding terbalik dengan Rashi yang berkulit lebih gelap dengan rambut pendek ala-ala Jessie J gitu. See? Dari segi fisik jelas lebih menarik aku, kan? Secara akademik aku pun berada jauh di atas Rashi. Peringkatku di kelas nggak pernah out dari 5 besar. Sedangkan Rashi? Boro-boro 5 besar deh, 10 besar aja dia nggak termasuk.
Tapi, just in case---mungkin emang Rashi lebih beruntung dibandingkan aku.
Harus kuakui aku termasuk orang yang kurang suka berorganisasi, aku lebih senang menyendiri. Beda dengan Rashi yang menekuni berbagai macam jenis ekstrakurikuler, hingga membuatnya terkenal or populer seperti sekarang.
Salah satunya adalah cheerleader. Ya, di sekolah Rashi adalah anggota cheers. Kepopulerannya semakin meningkat ketika ia diangkat menjadi captain cheerleader BHS. CAP-TAIN! Jabatan yang membuatnya terlihat sangat disegani melebihi ketua osis. Dan, yang aku tau, sih, cheerleader BHS itu nggak hanya perform di setiap pertandingan basket. Tapi, futsal juga! Mungkin, dari situlah awal mereka bisa deket. I dunno, but -sekali lagi- KENAPA HARUS RASHI GAAAAAAD?! Aku lebih bisa nerima kalau Faldi jadian dengan Meyta (anak modern dance) atau mungkin dengan Maybelline si cewek Inggris yang -sok- fashionable atau siapapun itu deh yang penting bukan dengan orang terdekatku---Rashi.
Aku nggak mau karena buatku ini rasanya menyakitkan. Oh no, tapi SANGAT SANGAT SANGAT menyakitkan!
“Shena!”
Ketika aku tengah melintas di depan pintu cafétaria seseorang menyerukan namaku dengan lantang, dan dari suaranya aku bisa menebak siapa dia.
My close friend a.k.a Rashi! Dengan setengah ragu setengah malas aku pun menoleh.
“Ya, whats up, Rash?”
Dari dalam cafétaria Rashi tersenyum, lalu bangkit dari tempat duduknya dengan meninggalkan Faldi seorang diri di sana. Sial! Kalau tau dia bareng sama Faldi nggak bakal deh aku mau noleh.
Setibanya di hadapanku Rashi pun menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tatapan yang ia berikan seolah-olah mengintimidasi aku. Ada apaan sih?
“Lo,” Dia mengacungkan telunjuknya di depan wajahku. Nggak ada reaksi yang kuberikan selain mengangkat alis. Why?
“Tadi malem kenapa lo nggak dateng ke acara party gue, hah?!” tanyanya to the point. Oh, itu.
“I'm so sorry,” kataku sedikit meringis. “Ngggg......., my grandmother was hospitalized. Jantungnya kumat. Berhubung orang tua gue lagi di Luar Kota, ya gue deh yang mesti ngebawa grandma ke rumah sakit.” jawabku berusaha santai.
Rashi memandangku terkejut. Dengan kuat dicengkram-nya kedua bahuku hingga aku harus menggigit bibir demi menahan rasa ngilu dibagian sana (bahu.red). “Nenek lo sakit, Shen? Heart disease? Tapi sekarang udah mendingan, kan?” cecarnya terdengar khawatir. Aku mengangguk dua kali.
Perlahan Rashi menghembuskan napas dan tersenyum lega. “Get well son aja deh buat nenek lo. Sorry yah, gue nggak tau.”
“I...iya, no prob, Dear. Nggak masalah, kok.” balasku agak kikuk. Dalam hati aku mengucap maaf beribu maaf. My grandma sakit? Itu adalah sebuah kebohongan, hanya alasan yang kubuat-buat. For God's sake aku nggak bermaksud mendoakan nenekku sakit apalagi sampai jantungan, kok. Serius! Aku terpaksa mengatakan itu karena................
The first, seperti yang kubilang di awal, aku nggak mau menampakkan wajahku di Oracle Club! Datang ke sana lalu melihat kemesraan Rashi dan Faldi yang bisa membuatku berniat untuk menggantungkan diri di pohon semangka, itu? Sorry ya, NOT WANT!
And the second, setelah nggak datang ke acaranya aku nggak mungkin bilang kayak gini ke Rashi, kan; “Gue emang sengaja nggak dateng ke party lo, karena gue nggak suka lihat lo jadian dengan Faldi! Dasar lo tukang rebut gebetan orang!”
Gila, itu sih namanya kelewat jujur! Trus, kalau misalkan aku bilang aku ketiduran, Rashi juga nggak mungkin percaya. Karena dia tau aku selalu tidur di atas jam 12 malam. So, I dont have any other reason!
“Eh, Shen! Lo dengerin omongan gue barusan nggak, sih?!” Rashi menyenggol lenganku cukup keras.
Spontan aku menolehkan kepala, “Ah iya tadi lo ngomong apaan?” tanyaku polos. Berani jamin deh wajahku pasti terlihat tablo banget sekarang. Gimana enggak? Lagi dan lagi aku ngelamun. Ngelamunin hal yang seharusnya nggak perlu untuk aku lamunin. Ugh, berasa lemot deh!
“Yeeeeee...... Kebiasaan bengong sih lo! Tadi tuh gue nanya, seharian ini lo kemana aja, sih? Mulai dari the first break tadi gue nggak ada ngelihat lo di cafétaria.”
“Oh, itu. Kebetulan hari ini mood-nya lagi pengen nongkrong di perpus aja.”
Rashi memutar kedua bola matanya yang sipit. “Tumben!” cibirnya.
“Sekarang lo ikut makan siang bareng gue dan Faldi, yah?”
“Oh, no! Enggak deh, makasih. Makasiiiih banget! Hari ini gue lagi carb diet.” tolakku cepat. Alasan yang masuk akal kurasa, karena semalam Rashi bilang pipiku terlihat lebih chubby dari biasanya. Untung cuma di bagian pipi! Nggak nyampe lengan, perut, kaki, paha------okey for now ini bukanlah bahasan yang tepat.
Sesaat Rashi mengernyitkan alis, lalu tertawa dengan kencang. “Oh my dear, Shenaaaaaaa....... Tenang aja lagi! Sepotong lasagna dan secangkir chamomile tea nggak akan ngebuat lemak ditubuh lo bertambah, kok! Untuk kali ini menunya nothing sandwich. Demi deh!” kata Rashi yakin.
“Tapi,”
“Udah ayoooook!” paksanya menggamit lenganku lalu menariknya masuk ke dalam cafétaria. Aku hanya bisa pasrah, dan berharap nggak akan ada adegan-adegan antara Rashi-Faldi yang membuatku berniat untuk menggantungkan diri di pohon strawberry nantinya. Ah Gaaaaad......, cabut nyawa gue sekarang deh mending!
Di sebuah meja bagian pojok kanan cafétaria, aku duduk manis sambil bertopang dagu. Termenung.
Entah kenapa aku selalu kehilangan semangat kalau udah berada di tengah-tengah Rashi dan juga Faldi. Semangat yang aku punya seakan lenyap gitu aja ditelan kemesraan mereka berdua. Yah kayak sekarang ini nih! Ugh, nyebelin nggak sih?!
“Shen, seingat gue dari kemarin lo belum ada ngucapin selamat atas hubungan gue dengan Faldi, deh. Lo kenapa, sih? Lo nggak seneng yah ngeliat gue jadian sama Faldi?”
Pertanyaan yang berakhir dengan sebuah tudingan itu sontak membuatku mengalihkan pandangan dari luar jendela cafétaria ke wajah si pemilik suara----Rashi.
Kulihat dia tengah menyesap vanilla yang ada dihadapannya beberapa saat lalu meletakkan cangkirnya kembali ke tatakan dengan gerakan yang santai.
Dia bilang apa barusan? Aku nggak suka kalau mereka jadian? Kok, dia bisa tau, sih? Dengan sedikit gelagapan aku pun langsung menyangkal -tentunya- tuduhan yang dilayangkan Rashi tersebut. “Ah senang kok senang! Selamat yah, Rash? Longlast sama Faldi. Sorry, kemarin gue lupa.”
“Oh, gue pikir. Okay, thank you yah Shen. Gue juga berharapnya gitu,” Rashi tersenyum simpul sebelum akhirnya melemparkan tatapan mesranya pada Faldi. “Ya, kan, prince?” sambung gadis berambut sebahu itu sambil bergelayut manja di lengan si cowok yang dia sebut “Prince” tadi.
See? Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi juga, guys!
Yang bikin kesel itu Faldi nggak hanya tinggal diam. Dia berdehem pelan seraya mengusap-usap puncak kepala Rashi dengan begitu lembut. Great! Adegan yang nge-JLEB banget dan rasanya tuh aku pengeeeeen.........., pengen-pengen-pengen NELEN MONAS! Iya, tugu yang di atasnya ada emasnya itu lho! Errrrrrrrrgggghhh........
Tapi nyatanya aku cuma bisa diam, membuang wajah dari mereka tanpa harus melihat adegan yang emang nggak seharusnya aku lihat.
Secangkir chamomile tea yang sedari tadi menganggur di atas meja perlahan-lahan ku angkat lalu kuteguk satu kali. Damn!
You know what, guys? Bahkan secangkir chamomile tea yang katanya bagus untuk rileksasi pun nggak bisa memberikan sedikit ketenangan untukku saat ini. Ah Gaaaaad......., perfect banget deh sialnya!
*
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari aku selalu berusaha untuk melupakan Faldi. Aku selalu mencoba untuk mengubur dalam-dalam ‘something feeling’ yang aku punya, karena aku sadar Faldi udah bukan milik umum lagi.
Sekarang dia udah ada yang punya, sahabat aku sendiri, Rashi!
Aku pikir aku bisa. Aku pikir aku mampu. Aku pikir aku sanggup. Tapi, kenyataannya bukannya mati perasaan ini justru semakin tumbuh dengan subur.
Malahan aku punya ‘bad intentions’ yaitu ngerebut Faldi diam-diam dari Rashi. Yah, istilahnya nusuk dari belakang gitu deh! Dosa nggak, yah, kira-kira?
Sore ini aku tengah melamun di hall futsal. Perlu kalian tau, aku ikutan ekskul futsal ini kurang lebih setahun yang lalu. Setelah pembukaan MOS berakhir, sejak aku mengalami falling in love sama si Faldi-Faldi itu! Iya, demi dia doang aku rela keluar dari ekskul fotografi dan beralih ke futsal. Yaaaaa...., meski aku buta banget dalam olahraga yang satu itu, tapi tekad aku udah bulat banget.
Awalnya Mama dan Papa shock waktu tau anak gadisnya ikutan futsal. Mereka bilang; “Kamu ikut ekskul futsal? Nggak salah, ha?! You're kidding, right? Shena, futsal itu kan olahraga cowok!”
“Mom, Dad. I'm serious. No kidding.” jawabku penuh penekanan. Lagian negara juga nggak ngelarang cewek untuk ikutan futsal, kan?
Akhirnya berkat gelora cinta yang membara aku pun berhasil meyakinkan Mama dan Papa bahwa futsal itu nggak haram untuk cewek dan aku juga nggak akan berubah jadi cowok cuma karena ikutan futsal.
Well, aku emang dapat izin, tapi sialnya setengah tahun aku join di futsal BHS tetep aja aku nggak bisa deket-deket sama yang namanya Faldi.
He'emph! Saking bodohnya aku dalam masalah cinta aku nggak tau mesti mulai PDKT darimana. Kalau dari Papua kan kejauhan, guys?
So, yang aku lakukan hanyalah mengintai Faldi dari jarak 30 meter.
Berhubung futsal field putra dan putri dipisah, aku jadi lebih leluasa merhatiin doi tanpa harus takut ke-gap oleh siapapun. Ya meski akibatnya nggak jarang aku harus mendengarkan wejangan gratis dari Mr. Zayn -coach kami- karena pandanganku yang nggak fokus ketika latihan. Dia bilang aku nggak serius dalam mengikuti ekskul futsal, dan aku nggak pantas masuk team inti, aku hanya pantas duduk dibangku cadangan. Whatever kata dia, sih, selama aku nggak dikeluarkan dari ekskul, mau inti or cadangan aku nggak masalah, kok.
Okey, we're back to the present.
Saat ini hall futsal terlihat lengang. Sepi. Hanya ada aku sendiri disini. Ketika aku melirik wirstwatch baby blue milikku, barulah aku sadar. Pantes aja hall sepi, ternyata udah hampir jam 6! Mengingat bentar lagi senja, aku pun berlari-lari kecil meninggalkan hall futsal menuju ke depan gerbang sekolah, tempat dimana -biasanya- Mang Didin (supir pribadi keluargaku) menjemputku.
“Kok, Mang Didin belum datang, sih?!” rutukku pada diri sendiri. Kepalaku celingak-celinguk memerhatikan mobil yang lalu-lalang di depan jalan raya gerbang BHS. Berharap ada mobil ferrari putih jemputanku di antara mobil-mobil yang lewat. Tapi nyatanya sampai leherku pegel pun nggak nampak sosok Mang Didin dengan ferrari putihnya. Sial!
Aku mendengus kesal. Bersamaan dengan itu smartphone milikku pun bergetar, menandakan 1 new message yang dengan cepat langsung kubaca isinya.
Sorry non, hari ini mang didin gak bsa dtang ontaim. mobil'x mndadak mogok d'tngah jlan. Ini jga mamang lagi d'bngkel. Weit e minet ya non =D
“Wait a minute” dia bilang?! Wait a minute? Hey, aku bahkan udah hampir setengah jam yah berdiri di sini!
Dengan hembusan napas kasar kumasukkan kembali ponselku kedalam tas. There was no choice sekarang! Okey, mau nggak mau ikhals nggak ikhlas terpaksa aku pulang naik taksi, deh! Tapi, jam segini emangnya masih ada taksi yang lewat? Ah Gaaaaaad......., mana BHS jauh dari halte lagi!
Di tengah rasa kalut yang menyerang aku dikagetkan oleh deru motor Cagiva Schiranna yang dari kejauhan melaju dengan kencang hingga akhirnya berhenti tepat dihadapanku. Perlahan aku mundur dengan dahi mengerucut. Mataku menyipit menunggu si pengendara membuka helm full face-nya. Siapa nih? batinku bertanya-tanya.
Ketika helm sudah terlepas dari kepalanya, mulutku pun menganga lebar. Aku speechless mendapati sosok pemuda yang masih bertengger manis di atas motor besarnya. FALDI?! Oh my......., beneran Faldi?! Mata aku nggak lagi rabun senja, kan?
“Hey! Kok, bengong?” tegurnya menjentikkan jari di depan wajahku.
Aku tersentak malu dan refleks tertawa cengengesan.
“Eh, nggak kok nggak. Siapa yang bengong sih? Hehe~”
“Ya kamu lah.” Faldi menyetandar motornya, lalu merapikan rambut klimisnya yang berantakan melalui kaca spion. “Ngggggg......., kamu sahabatnya Rashi, kan? Kalau nggak salah berarti bener yang namanya Shena itu, yah?” tanyanya kemudian.
“He'emph,” anggukku pelan. Bersamaan dengan itu Faldi memfokuskan pandangannya ke arahku. Ditatapnya aku dengan begitu seksama, nyaris dari atas sampai bawah. Seperti meneliti. Tatapannya seakan memberitahuku bahwa ada yang aneh dengan apa yang melekat di tubuhku saat ini.
Ditatap se-begitu-nya jelas aku risih. Aku pun ikut memandangi tubuhku sama seperti apa yang Faldi lakukan. Kuperhatikan baby tee biru muda, not-too-really short pants white, hingga sepatu Nike yang kukenakan dannnnn.........., semuanya terlihat biasa aja, kok. Nggak ada yang aneh!
“Lo kenapa sih? Kok, mandangin guenya begitu amat? Something is wrong?” tanyaku akhirnya.
"Nothing. Tapi, saya agak heran aja ngelihat kamu. Kamu habis dari ekskul, kan?” Aku mengangguk polos. So?
“Ekskul apa sih yang seragamnya kayak gitu?” tanyanya lagi dengan alis terangkat tinggi. Oh!
“Futsal. Tapi, seragam gue lagi di laundry, jadi pakaiannya ya gini deh!”
“Futsal?! Cewek ikutan futsal?! Waw!” decaknya berlebihan. Kini giliran aku yang mengangkat alis. Apa banget deh? Too much!
“Tapi, kok saya nggak pernah lihat kamu, yah? Padahal, kan, saya juga ikutan futsal.” sambungnya masih dengan raut wajah takjub.
Aku mengangkat bahu, “Yaiyalah! Mana pernah sih lo perhatiin gue?!” sungutku tak bersuara. Just in heart, kok. Kalau kenyataannya sih mana berani aku blak-blakkan gitu.
“Maybe karena ruang latihan kita terpisah kali yaaaa?” jawabku sekenanya.
Faldi manggut. “Ya, mungkin juga sih. Trus, sekarang kamu ngapain di sini?”
“Nongkrong.” ceplosku asal.
“Serius!” Dia memutar kedua bola matanya dengan kesal.
“Ya emang lo pikir gue lagi ngapain, deh? Gue lagi nunggu jemputan masbro.”
“Jadi, jemputan kamu belum datang?” Kali ini dia bertanya sambil mengenakan helm full face-nya.
Aku menggeleng satu kali. “Lebih tepatnya sih nggak akan datang.”
“Ya udah ikut saya aja.” tandas Faldi seraya menghidupkan mesin Cagiva merahnya.
Mataku melebar seketika. Faldi mau nganterin aku pulang?! Ah Gaaaaad....., aku nggak lagi mimpi, kan?! Atau mungkin aku yang salah denger?
“Yeeee....., malah bengong! Ayo buruan naik entar keburu senja.” perintahnya tiba-tiba seakan menjawab pertanyaan yang menggantung dihatiku.
Dengan ragu ku cengkram pundaknya guna membantuku naik ke boncengan Cagiva-nya yang memang lebih tinggi dari motor biasa.
“Pegangan!” suruhnya.
“Ogah!” tolakku munafik. Maksudnya, sok-sokan nolak padahal dalam hati sih pengen. Hehe~
“Okey kalau nggak mau,” Tanpa aba-aba dia pun meng-gas motornya hingga aku terdorong ke depan dan refleks melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya.
Oke, ini adegan emang sinetron banget! Tapi, aku nggak nyangka ternyata rasanya itu JAUH lebih deg-degan kalau kita emang beneran mengalaminya sendiri.
Aku sampai speechless, nggak bisa ngomong atau bahkan marah meski kudengar Faldi menertawakan kekagetanku itu.
*
Well, sejak sore itu -saat dimana Faldi mengantarkanku pulang- hubungan di antara aku dengan Faldi jadi semakin dekat. Aku nggak hanya menjadi teman ngobrolnya disaat kami tengah ekskul futsal, tapi juga sewaktu istirahat ketika Rashi sibuk dengan persiapan lomba cheers-nya hingga nggak punya waktu luang untuk lunch di cafétaria.
Entah dewi fortuna dan dewa amor emang lagi bersatu lalu berpihak di aku or what, aku ngerasa timing-nya tuh paaaaas banget!
Bayangin aja, aku deket disaat hubungan Faldi lagi renggang-renggangnya dengan Rashi.
Malahan beberapa hari yang lalu Faldi cerita kalau hubungannya sama Rashi udah nggak se-comfort dulu lagi.
Mereka sering berantem, karena Rashi terlalu sibuk dengan dunia cheers-nya. Menurut Faldi, waktu captain cheerleader BHS itu dihabiskan cuma untuk squad-nya yang akhir bulan ini memang mau mengikuti lomba ICC. Komunikasi diantara mereka juga udah nggak se-intens beberapa bulan yang lalu. Malahan Faldi nggak peduli kalau emang nantinya diantara mereka harus ada kata “putus”.
Nggak mau munafik, sih, aku seneng dengan keadaan ini, bahkan aku menikmatinya.
Eummmm....., maksudku TERLALU menikmati hingga lupa kalau Faldi MASIH milik Rashi.
Kalian tau? Disaat seperti inilah statusku sebagai seorang sahabat dipertanyakan.
Jam menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit ketika aku tengah menginjakkan kaki dikoridor kelas. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Kelas masih sepi. Hanya ada 2-3 orang yang duduk dibangkunya masing-masing. Kuhampiri mejaku dan mataku membola ketika melihat secarik kertas berwarna merah hati yang ditindih oleh setangkai bunga mawar putih diatasnya.
“Ini buat gue?” tanyaku pada siapa aja yang mau menjawab.
Dora, gadis gendut yang hobby-nya ngemil mengangguk mengiyakan.
“Dari siapa deh?” tanyaku lagi.
“Dunno. Waktu gue dateng, tuh kertas dan bunga emang udah ada di atas meja lo. So, itu artinya emang buat lo, kan?” jelasnya masa bodo.
Aku memutar kedua bola mata. Plissdeya! Kalau itu mah nenek-nenek pake tongkat juga tau. Aku pikir tadinya dia lihat siapa yang naruh ini semua.
Kuambil lalu kubolak-balik kertas yang terlipat dua itu sesaat.
Finally, didorong rasa penasaran tingkat monas, perlahan-lahan kubuka lipatan kertasnya.
“S for Smile
H for Happy
E for Elegant
N for Nobody
A for Alluring”
Dahiku mengernyit, membaca baris demi baris tulisan tangan yangggg........okey, kuakui rapi. Tapi, apa maksudnya deh?
Senyum. Bahagia. Anggun. Tak seorangpun. Menarik.
Lamat-lamat kuulangi lagi dan kerutan di dahiku semakin bertambah jumlahnya. Apaan sih?
“The meaning is senyuman bahagia dibibirmu terlihat anggun sehingga tak seorangpun yang tidak tertarik ketika melihatmu tersenyum, SHENA.” lanjutku membaca baris terakhir isi dari kertas tersebut.
“Secret admirer?” bisikku kemudian.
Sebodo teuing ah! Tanpa pikir panjang kuletakkan kembali bunga dan kertasnya di tempat semula. Well, -nggak memungkiri- meski ada sekelumit rasa penasaran, kuacuhkan aja kertas merah hati yang nggak aku tau siapa pengirimnya itu.
Mungkin orang iseng, pikirku sembari berjalan keluar kelas.
Kuseret kedua kakiku menuju salah satu koridor BHS (koridor C tepatnya) tempat dimana loker para murid berjejer dengan rapi.
Emang udah jadi kebiasaan, setiap pagi aku selalu mengecek keadaan loker-ku. Entah itu untuk menaruh sesuatu atau malah mengambil barangku yang ketinggalan.
Dan, kali ini aku mau mengambil buku tugas Bahasa-ku yang minggu lalu emang sengaja kutinggal disana.
Lagi, aku terkejut. Lokerku nggak terkunci (ada yang membobol sepertinya) dan aku menemukan selembar kertas berwarna senada a.k.a merah hati menempel tepat di bagian dalam pintu lokerku. Kerjaan siapa, sih?!
Kutarik paksa kertas tersebut, lantas kubaca isinya dengan tidak sabaran.
“Dirimu bagaikan mutiara. Cantik, berharga, tapi tersembunyi di dalam kerang.”
Apaan coba?!
Meski rasa penasaranku kian bertambah, aku berusaha untuk tidak memedulikannya.
Kubuang aja kertas itu ke dalam bak sampah yang kebetulan ada didekatku.
Cepat-cepat kuambil buku Bahasa-ku dari dalam loker, dan kemudian menguncinya rapat-rapat.
Kulirik Swacth soft pink yang melingkar dipergelangan tanganku ---berhubung tadi berangkatnya buru-buru--- masih ada waktu kurang dari 10 menit untuk breakfast di cafétaria.
Setibanya aku di cafétaria, aunty Angel (pengurus cafétaria BHS) tersenyum hangat menyambutku.
“Shena yah?"
“Iya, mbak.”
“Nih,”
Dari balik konter dia menyerahkan nampan yang berisikan menu breakfast yang kuharap-nothing-salad-didalamnya.
“Thank you,” ucapku sebelum berlalu pergi.
Kuamati seluruh penjuru cafétaria, nyaris nggak ada tempat kosong yang bisa kududuki. Gini nih ribetnya kalau nggak ada Rashi! sungutku pada diri sendiri. Kalau ada Rashi, kan, dia yang cariin aku tempat duduk.
Tapi, sayangnya Rashi nggak bisa menemaniku sarapan pagi ini, karena entar siang dia mau mengadakan gladi resik dengan squad-nya. Yaaaaaa....., you know lah, namanya cheerleader walaupun perform-nya pukul 1 siang juga tetep aja mereka kudu stand by -paling nggak- 2 jam sebelum tampil.
Beruntung sepasang cowok dan cewek baru aja bangkit dari salah satu meja dibagian pojok cafétaria. Bergegas aku menuju kesana. Walaupun tempatnya nggak strategis, yang penting bisa dipakai buat makan.
Sandwich mentega isi telur, baked lasagna, carrot coconut cookies, chocolate milk.
Kuangkat satu per satu menu breakfast-ku dari atas nampan. Namun, pergerakan tanganku terhenti ketika aku mengangkat sandwich-ku. Lagi-lagi aku menemukan sepucuk kertas berwarna merah hati. Kali ini dia tersembunyi dibalik piring sandwich.
“Jika kamu mau tahu siapa aku. Ikuti kata petunjuknya.” Alisku menyatu disaat membaca isi dari kertas yang tengah kugenggam saat ini. Sambungan yang tadi rupanya.
Tapiiiii.........,
Aneh, kok nampannya bisa pas gini, yah? Padahal nampan di cafétaria kan nggak dicantumin nama? Kok bisa nggak ketuker sama anak-anak yang lain, sih?
Oh, curiga dia -si pemilik kertas- berkongsi dengan aunty Angel lagi! Pantesan aja waktu ngasih nampan tadi, aunty Angel menanyakan nama aku dulu. Tumben-tumbenan aja gitu! Biasanya juga enggak.
Untuk beberapa detik aku menggigit kecil bibirku sambil terus memandang ‘curious’ pada si kertas merah hati.
Kertas yang pertama bisa aku tahan.
Kertas yang kedua masih aku tahan.
Dan untuk kertas yang ketiga ini, aku udah nggak bisa menahan rasa penasaranku lagi.
Hahhhhh....... Yang punya nih kertas merah hati niat banget deh ngerjainnya!
Emang sih, awalnya aku pikir cuma orang iseng yaaa......, tapi kalau ceritanya kayak gini sih nggak iseng namanya. Dia niat banget ngerjain aku. Lokasi-lokasinya itu lho, kok bisa consecutive gini, sih?
Kelas, loker, cafétaria. 3 tempat yang selalu aku kunjungin secara berurutan di waktu pagi. Oh my......., kayaknya nih orang tau banget tentang aku deh.
See? Wajarkan kalau aku penasaran?
Berhubung mood sarapanku tiba-tiba lenyap, aku pun memutuskan untuk mencari tau siapa si pemilik kertas merah hati ini.
“Pertama-tama, tundukkan kepalamu.”
Setibanya di luar cafétaria, aku kembali membaca kertas itu dengan lirih.
Why? Kenapa harus tundukkan kepala coba? Kenapa nggak merem aja sekalian?
It's okey, ikuti kata petunjuk kalau emang mau selamat. Ya, kan? Pegel, pegel deh.
“Jalan lurus. Belok kanan. Lurus lagi. Belok kiri. Lurus.” Dengan kepala yang terus menunduk, kuikuti setiap kata petunjuknya. No matter dengan tatapan aneh orang-orang yang -mungkin- mengira kalau aku lagi cari duit yang kececer.
“Jika sudah melewati pintu toilet,” Aku menoleh ke belakang guna memastikan bahwa toilet sudah kelewati atau belum. Oh, sudah.
“.....,maju 3 langkah.”
Satu.
Dua.
Tiga.
Aku berhenti melangkah. Nggak sengaja aku mendongak dan melihat ke arah papan bermaterial kayu yang tertera di atas pintu.
Ruang serba guna?
Taplak! Kenapa nggak ditulis gini aja sih, “Jika kamu mau tahu siapa aku, temui aku di ruang serba guna.” kan lebih simple dan nggak ngerepotin gini! batinku mencak-mencak.
Okey, sabar Shena sabar. Orang cantik kudu sabar.
Kembali aku menunduk dan membaca petunjuk yang selanjutnya. Please, jangan yang aneh-aneh.
“Buka pintunya,” bacaku dalam hati.
Duh, kok aku jadi deg-degan gini sih?
Kubiarkan tanganku menempel di gagang pintu untuk beberapa detik sebelum akhirnya dia bergerak memutar dengan sendirinya.
“.......dan sekarang angkat kepalamu.”
Eh, udah kebuka emang?
Perlahan-lahan aku mengangkat wajah, dan.............,
“It's me, barbie.”
DEGH!
Tepat ketika aku menengadah, seikat mawar putih tersodor dihadapanku. Diberikan oleh sosok manis yang selama ini aku idam-idamkan.
Sosok yang selama ini mencuri perhatianku.
Sosok yang selama ini menempati ruang kosong dihatiku.
Sosoknya yang selama ini kunanti-nantikan.
Ya, si pemilik kertas merah hati itu adalah Faldi. Sosok arjuna yang menguasai hati, jiwa, dan juga otak kananku.
Aku speechless. Terdiam membisu hingga beberapa saat.
Sekarang, aku bener-bener nggak tau mau ngomong apa. Serius!
“Hey! Kok diem?”
Aku tersenyum kikuk. Debaran dihatiku makin terasa apalagi setelah mengetahui bahwa Faldi-lah pelakunya.
“Faldi, jadi lo yang----”
“Ya, saya yang naruh kertas merah hati itu di atas meja, loker, juga nampan kamu, Shen. Kenapa? Kamu kaget, ya?” selanya memotong ucapanku.
“Bukan kaget lagi, tapiiiiiiii......... Gue beneran nggak nyangka, deh! Lo ngelakuin ini karena------”
“Karena saya jatuh cinta sama kamu.” potongnya lagi seraya menggenggam telapak tanganku yang mulai berkeringat dingin. “Saya nggak salah kan, Shen? Keadaan yang ngebuat saya jatuh cinta sama kamu. Disaat hubungan saya dengan Rashi dalam masa kritis, tiba-tiba kamu datang dan memberikan saya suntikan untuk secercah harapan yang baru. Kamu selalu ada buat saya hingga akhirnya saya berpikir kamu-lah yang selama ini saya cari.”
Aku makin speechless. Nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain diam sambil menggigit kecil bagian dalam bibirku.
Haduuuuuh......, kenapa suasananya jadi serius gini,sih?
Sejenak Faldi menarik napas lalu kembali bersuara dengan lembut, “Kamu tau? Kedekatan yang terjadi di antara kita akhir-akhir ini ngebuat saya berpikir lebih jauh tentang hubungan kita. Well, saya tau kamu pasti mikir kalau ini terlalu cepat untuk disebut cinta. Saya pun ngerasa gitu. Tapi, please, beri saya kesempatan untuk membuktikan rasa ini ke kamu, Shen. Kasih saya waktu untuk ngebuktiin kalau saya beneran jatuh cinta sama kamu.”
Aku menatap sepasang bola mata milik Faldi lekat-lekat. Mencari kesungguhan disana, dan aku menemukannya.
Apa sebegitu nggak tertolong lagi hubungan dia dengan Rashi, hingga dia lebih memilih aku? Disaat dia masih berstatus sebagai pacarnya Rashi lho ini.
“Tapi lo sama Rashi kan belum putus, Fal.” kataku terkesan menimbang-nimbang tawarannya.
Faldi menghela napas panjang, “Ya emang belum, tapi akan segera putus.” jawabnya meyakinkanku.
Lagi, aku memfokuskan pandanganku di satu titik. Di kedua manik matanya yang hitam guna membaca kilat kejujuran atau malah kebohongan yang terpancar di sana. Dannnnnnn......., Faldi jujur!
Aku rasa dia nggak lagi main-main dengan ucapannya.
Tanpa sadar aku mendesah ringan, lalu melepaskan genggaman hangat Faldi dari telapak tanganku.
“Jujur, jujur banget.” desisku akhirnya.
Faldi mendelik, menantikan aku yang kembali diam. Terpejam sambil menarik napas dalam-dalam. “Sebenernyaaaa......., sebenernya gue juga suka sama lo. Dari dulu, Fal. Sebelum lo nembak Rashi dan akhirnya jadian dengan dia. Apa lo tau? Gue bahkan ikut ekskul futsal juga demi lo. Gue pengen ngedeketin lo tapi gue nggak bisa.”
“Eh,” Refleks aku menutup mulut dengan sebelah tangan setelah sadar bahwa apa yang aku bilang tadi terlampau jujur. Mampus! Kebongkar, kan? Ah mati deh mati.
“Gad!” Faldi berseru tiba-tiba. “Saya sudah nyakitin perasaan kamu. Kemarin saya nembak Rashi depan kamu! Ya ampun Shena, kenapa kamu nggak bilang dari awal, sih, kalau kamu suka sama saya?!”
“Gue nggak bisa! Gue nggak tau gimana caranya untuk nunjukkin perasaan gue yang sebenernya ke lo. Gue bukan Rashi yang dengan mudahnya narik perhatian lo, Fal. Gue cuma Shena yang pengecut. Shena yang-----”
“Ssshhhtttt.....”
Ocehanku terhenti disaat aku merasakan telunjuk Faldi yang menempel tepat dibibirku.
Dia menggeleng kecil. “You're not a loser, Dear. Kamu cuma takut untuk ngungkapin apa yang tersimpan dihati kecil kamu. Dan sekarang, semuanya kan sudah terungkap. Tunggu apa lagi? Terima dong bunganya.”
Untuk yang kesekian kalinya Faldi menyodorkan seikat mawar putih itu kehadapanku.
Entah setan mana yang menguasai kedua tanganku hingga dengan gerakan malu-malu-tapi-mau kuterima bunga pemberiannya tersebut.
Okey, aku nggak tau kalau ternyata apa yang kulakukan sekarang adalah awal dari sebuah bahaya. Dan bodohnya aku nggak mikir sampai ke situ.
“Thanks, Fal. Gue suka mawar putih." kataku tersenyum kecil.
“Ohya? Gue juga suka mawar putih.” Terdengar suara sinis seorang perempuan yang menyahut dari belakang.
“Rashi?!” Dan tepat ketika Faldi menyebut nama sahabatku itu, aku pun membalikkan badan. Sadar akan hadirnya sosok Rashi yang berdiri di ambang pintu, bunga yang kugenggam terlepas dan jatuh begitu aja ke lantai.
Rashi menatapku tajam. Aku menggeleng dengan wajah pucat, sementara Faldi berdiri santai seolah-olah ‘everything's gonna be alright’ , nggak terjadi sesuatu yang membahayakan saat ini.
“Rash, ini nggak seperti yang lo----”
“Terusin gih! Gue cuma mau ngambil pom-pom gue yang ketinggalan, kok.” selanya ketus seraya berlalu pergi setelah mendapatkan pom-pomnya yang tertinggal di pojok ruangan.
“RASHI!” Aku berteriak dan berusaha mengejar Rashi meski I-know-very-very-know apa yang kulakukan ini hanyalah sia-sia.
*
“Shena-Maessa-Wijaya!” Dengan tegas dan penuh penekanan Rashi menyebutkan nama lengkapku. Ini adalah untuk yang pertama kalinya Rashi mau berbicara lagi denganku semenjak insiden di ruang serba guna beberapa hari yang lalu.
Seperti yang sudah kubilang di awal, dengan mengejar Rashi waktu itu nggak akan berpengaruh apa-apa untuk hubungan persahabatan kami. Rashi tetap menjauhiku, dan parahnya dia nggak mau satu kelas lagi denganku. Setiap ada kelas yang mengharuskan aku dan dia bertemu, Rashi lebih memilih absen atau malah keluar dari kelas secara terang-terangan. Oke, aku tahu dan aku sadar banget kalau semua ini emang salahku. Kalau aku ada diposisi Rashi aku pun akan ngelakuin hal yang sama. Tapi, apa nggak bisa dia ngedengerin at-least-sedikit-aja penjelasan dari aku dulu? Toh, waktu itu aku juga nggak nerima Faldi, kan? Aku cuma berterus terang, itu pun nggak sengaja. Catet! NGGAK-SENGAJA!
Ah Gaaaaaaad........., rasa bersalahku makin bertambah besar disaat aku mencuri dengar percakapan Rashi-Faldi di salah satu lorong BHS.
Waktu itu..........,
“Gue nggak mau kalau kita putus. Denger yah, Fal!” Rashi mengacungkan telunjuknya di depan wajah Faldi, “Lo nggak bisa mutusin hubungan kita secara sepihak gini. Gue nggak terima.”
“Suit yourself, okey?! Terserah kamu mau ngomong apa saya nggak peduli. Intinya, saya tetep pengen putus! Dan kamu,” Kini gantian Faldi yang menunjuk wajah Rashi dengan telunjuk kanannya. “Mulai detik ini jangan pernah ganggu hidup saya lagi! Pacaran aja kamu sana sama pom-pom!” tandas Faldi seraya melemparkan pom-pom warna-warni ke wajah Rashi. Pom-pom yang selalu setia menemani Rashi disaat latihan cheers.
“Faldi! Lo kenapa sih?! Apa karena Shena lo jadi berubah kayak gini?!”
“Jangan sangkut-pautkan semua hal dengan Shena yah! Shena itu sahabat kamu! Saya berubah karena cheerleader, kesibukan kamu----”
“Dan juga karena kedekatan lo dengan Shena! Iya, kan?!” sambar Rashi dengan nada naik satu oktaf. “Asal lo tau ya, sekarang Shena bukan lagi sahabat gue! She's just a ex-close-friend, you know?! EX!”
Aku bergidik kaget ketika mendengar Rashi yang berteriak seperti itu. Niatku yang ingin melewati koridor yang mereka pijak pun terpaksa kuurangkan. Kok, Rashi tega yah ngomong gitu? batinku miris.
Dari balik dinding kulihat Faldi tersenyum miring. “Who cares, hmh? Mau kamu masih sahabatan atau nggak dengan Shena itu bukan urusan saya! I. Dont. Care.” balasnya sebelum berlalu meninggalkan Rashi.
“Faldi! Lo mau kemana?! FALDI!” Nggak lantas diam atau mengalah, Rashi pun berteriak nyaring banget. “HEY! YOU KNOW ME SO WELL. BUT HER? LIHAT AJA YA GUE BAKAL BUAT PERHITUNGAN SAMA DIA!”
Pada waktu itu koridor sepi. Dengan jelas aku bisa mendengar teriakan Rashi.
Well, nggak perlu dijelaskan siapa “Her” yang dimaksud oleh Rashi, karena aku sendiri udah tau, kok. “Her” is me. Yah, aku!
Namun, perhitungan bagaimanakah yang dimaksud Rashi masih menjadi tanda tanya besar dibenakku. Bahkan sampai detik ini, ketika Rashi mengintrogasiku di salah satu tempat nongkrong yang berlokasi di luar area BHS.
Tempatnya sih nyaman, penuh pepohonan, yaaaaaa......., sejuk. Tapi, kalau melihat Rashi yang menatapku dengan sinis, serta-merta hawanya pun berubah jadi panas. Sepanas hati Rashi yang menaruh rasa benci padaku, maybe. Entahlah.
Aku masih diam bergeming disebuah meja berpayung, sampai akhirnya Rashi mendekatiku dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. “Apa begitu sikap seorang sahabat, Shena?” tanyanya dingin. Sepasang bola matanya menumbuk tepat dikedua manik mataku hingga membuat nyaliku ciut lantas menekuk wajahku dalam-dalam, “Maafin gue Rash,”
“Seorang sahabat nggak akan sanggup untuk mengkhianati sahabatnya sendiri. Lo tau? Dia nggak akan nusuk sahabatnya dari belakang!”
“Rash, gue----”
“Apa maksud lo ngedeketin Faldi dibelakang gue, hah?! Sementara lo sendiri tau kan kalau Faldi itu MASIH pacar gue?” potong Rashi sengaja memberikan penekanan pada kata 'MASIH'.
“Dan gue curiga selama ini lo emang ada affair sama Faldi. Ngaku aja deh lo!” sambungnya tetap dengan nada yang sama. Sinis, dingin, dan terselip sebuah amarah disana.
Masih dengan kepala tertunduk penuh, kuselipkan helaian rambut yang menutup wajahku ke belakang telinga. Sabar ya Shena sabar. Dalam hati aku mensugesti diriku sendiri. Aku harus menerimanya dengan lapang, meski apa yang Rashi tuduhkan itu nggak semuanya bener!
Well, aku emang ngedeketin Faldi dibelakang dia. Tapi, for God's sake aku sama sekali nggak ada affair dengan Faldi. Beneran! Aku nggak akan sampai hati untuk menikam Rashi di belakang.
“Rash,” Setelah diantara kami saling diam, aku pun mulai mengangkat suara. “Gue nggak seburuk yang lo pikir. Oke, gue akuin gue emang suka sama Faldi. Dari dulu, bahkan sebelum lo jadian dengan dia. Tapi, cuma sebatas itu doang, kok. Beneran! Gue nggak sanggup untuk nikam, nusuk, atau malah ngerebut Faldi dari lo. Lo sahabat gue.” Sedikit demi sedikit wajahku mulai terangkat, dan kuberanikan diri untuk menatap Rashi.
Gadis berlesung pipi itu tersenyum miring seraya mengibaskan sebelah tangannya dihadapanku, “That was yesterday, Dear. Sekarang, lo nggak lebih dari my EX-close-friend!”
“Tapi, kan gue masih----”
“Dan satu hal yang harus lo tau, ya, Shen. Seorang pengkhianat kayak lo itu nggak pantes disebut sebagai sahabat!” tandas Rashi lantas membalikkan badan.
Nggak, ini nggak boleh berakhir!
Sebelum Rashi benar-benar melangkah meninggalkanku, dengan sigap aku pun berhasil mengunci salah satu pergelangan tangannya yang bebas.
Rashi mencoba berontak tapi genggamanku terlampau kuat untuk dilepas.
Kubalikkan lagi badannya hingga menghadapku, dan aku pun mulai memohon-mohon.
“Please, Rash. Jangan putusin tali persahabatan diantara kita. Gue rela ngelakuin apapun itu untuk menebus kesalahan gue. Bahkan, lo suruh gue sujud di kaki lo sekarang pun gue ikhlas.” kataku sungguh-sungguh.
Bukannya apa sih, tapi Rashi satu-satunya sahabat yang aku punya, dan aku nggak mau kalau harus kehilangan dia hanya karena rebutan cowok. Meskipun cowok itu sudah aku taksir sejak lama.
Sejenak Rashi menatap mataku yang mulai berkaca-kaca. Lalu, detik selanjutnya dia pun tersenyum misterius. “Oke, syaratnya cuma dua.”
Seketika bibirku membentuk sebuah lengkungan lebar pertanda lega atas pertimbangan yang Rashi berikan.
“The first, besok lo harus minta maaf di tengah-tengah lapangan, di depan orang banyak, bukti kalau lo emang bener-bener nyesel atas perbuatan lo itu. And the secoooond........,” Rashi menggantung kalimatnya beberapa saat, hingga akhirnya dia berujar dengan tegas. “Jauhin Faldi kalau lo emang masih mau jadi sahabat gue!”
What?!
*
Finally, sesuai dengan syarat yang diajukan Rashi, aku pun mulai ngejauh dari Faldi.
Susah sih, sebenernya.
Aku harus bersikap acuh sementara hati aku sejujurnya butuh.
Ya, aku membutuhkan sosok dia yang belakangan ini menemaniku di kala ekskul futsal. Ketika kami menghabiskan waktu istirahat bersama di cafétaria, dannnn.........., satu hal yang nggak bisa dan nggak akan pernah bisa aku lupa adalah insiden di ruang serba guna tempo hari itu.
Hellllooooooow..........., siapa juga sih yang nggak seneng kalau cintanya bertepuk tangan? Kecuali tuh orang munafik, maybe.
Namun, setelah aku pikir-pikir untuk sebuah persahabatan, aku rasa ini adil.
Karena kejujuranku Rashi putus dengan Faldi. Lalu, setelah mereka putus, walau-aku-emang-suka masa iya aku tega nerima Faldi? So, mungkin emang sebaiknya kalau diantara kami nggak ada yang pacaran dengan makhluk yang bernama Faldi Anggara Putra. Demi persahabatan.
Keesokan harinya.........
Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, -aku bahkan baru datang- tapi hall utama BHS telah dipadati oleh puluhan murid yang kebanyakan dari mereka adalah anggota cheers.
Oh, aku jadi teringat dengan janjiku kemarin.
Ternyata, Rashi benar-benar mengumpulkan orang banyak untuk menyaksikan permohonan maafku.
Dari jarak sekitar 2 meter, aku lihat Rashi yang mengangkat alis ketika sepasang indera penglihatannya menangkap kedatanganku. Sorot matanya seolah mengatakan -tunggu-apa-lagi?-ini-saatnya-lo-minta-maaf-Shena.
Aku mengangguk paham. Dengan ragu aku pun melangkah menuju ke tengah-tengah hall.
Jujur nih ya, jujuuuuuur banget. Sebenernya aku tengsin untuk minta maaf di depan kerumunan orang banyak seperti ini. Seakan-akan kesalahanku pada Rashi itu adalah kesalahan besar yang memang seharusnya diakuin di depan orang banyak. Seperti aku tengah membom suatu negara, hingga mengakibatkan ribuan penduduk meninggal? Ah!
Aku menghembuskan napas dengan berat.
Tiba-tiba aja aku nervous. Ditatap lekat-lekat oleh puluhan pasang mata membuatku bener-bener gugup.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Aku masih diam bergeming ditengah-tengah kerumunan orang yang tau-tau sudah membentuk sebuah lingkaran besar.
Sampai akhirnya Rashi berdehem dan menatapku dengan artian -come-on- Shena!-sikap-diem-lo-itu-cuma-ngebuang-buang-waktu- tau.
Oke, Fine!
Dengan kepala yang tunduk-tengadah aku menarik napas, mengambil ancang-ancang sebelum membuka suara.
“Rashi. Gue minta maaf,”
Pause.
Perlahan-lahan aku mengangkat wajah, sengaja menatap Rashi agar dia bisa melihat sorot mataku yang penuh penyesalan.
“Gue minta maaf, karena diam-diam gue udah mencintai kekasih lo. Lo mau maafin gue, kan?”
“Woooooooooo..........”
Sungguh, reaksi yang nggak pernah aku duga. Tepat ketika aku merampungkan kalimatku, semua orang yang berada di hall serentak menyorakiku. Nggak cuma itu, mereka juga melempariku dengan tomat yang mereka sembunyikan dibalik punggung.
Aku terkejut! Terlebih-lebih ketika mengetahui Rashi yang juga ikut ambil bagian disaat melempariku dengan tomat. Sikapnya seperti memberitahuku jika dialah Sang sutradara disini.
Satu per satu tomat segar mendarat dengan mulus di tubuhku hingga mengotori seragam yang kukenakan.
Namun anehnya, meski udah diperlakukan seperti itu, aku sama sekali nggak memberikan perlawanan. Bahkan, aku nggak nangis walaupun -jujur- sebenarnya hati aku sakit. Sakit banget! Siapa juga yang nggak sakit hati kalau diperlakukan dengan rendah seperti ini? Harga diriku seakan diinjak. But, I can't doing anything. Demi! Aku hanya bisa diam mematung sampai akhirnya seseorang datang dan menghentikan semuanya.
“Berhenti atau saya aduin kalian ke kepala sekolah?!” teriaknya dengan lantang.
Bagaikan ‘batu magnet’ hadirnya orang itu mampu menarik perhatian ‘besi-besi’ yang ada disekitarnya.
Yah, tanpa dikomando semua pasang mata kini tertuju padanya.
Dia adalah Faldi. Sosok yang -harus kuakui- hadirnya saat ini bagaikan pahlawan untukku.
Mengingat posisi Faldi yang menjabat sebagai the-most-wanted-boy di BHS, nggak heran kalau anak-anak itu langsung patuh dalam sekali suruh.
Selepas mereka (termasuk Rashi) menghentikan aksinya, Faldi pun lantas bergerak menghampiriku.
“Saya bantu bersihin, yah? Kamu berantakan banget.” Faldi merogoh isi saku celananya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dari dalam sana.
“Nggak perlu!” jawabku ketus. Bukannya seneng or-at least-say-thanks malah kutepis tangannya dengan kasar hingga sapu tangan yang dia genggam jatuh gitu aja di atas tanah.
“Sorry, Fal. Gue udah terlanjur janji dengan Rashi untuk ngejauhin lo.” batinku yang bertolak belakang dengan sikapku.
Kuacuhkan kebaikan Faldi, dan kuhampiri Rashi dengan penampilanku yang benar-benar kacau, berantakan, seperti mandi tomat. Untuk saat ini aku nggak peduli dengan tatapan jijik dari orang-orang yang kulewati. Aku udah nggak peduli kalau emang image-ku yang terkenal “masabodo” harus hancur detik ini juga. Aku-nggak-peduli, sama sekali.
Tepat selangkah dihadapan Rashi aku pun berhenti. Kutatap kedua matanya yang sinis lekat-lekat, lalu aku menebar senyuman tanggung.
“Ini untuk yang kesekian kalinya gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf sama lo, Rash. Seharusnya sih, sekarang lo bisa maafin gue. Toh, lo juga udah buat perhitungan ke gue, kan?” kataku yang mendadak ingat dengan perhitungan yang Rashi rencanakan tempo hari. Mungkin ini maksudnya. Rashi memberiku perhitungan dengan cara mempermalukanku di depan orang banyak. Nevermind, aku terima ini sebagai resiko.
“Tapi, kalau lo emang TETEP nggak bisa maafin gue,” lanjutku masih dari jarak satu langkah dihadapan Rashi. “nggak masalah. Karena, sekarang gue sadar, gue emang nggak pantes untuk dimaafin.”
Rashi yang semula membuang wajah buru-buru mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya sedikit melebar, seolah-olah dia terkejut dengan kata “nggak masalah” yang baru aja keluar dari bibirku. Raut wajah yang bisa kubaca, meski mati-matian ia berusaha untuk menutupinya.
“Dan, satu hal yang harus lo inget. Mau seberapa banyakpun itu kata EX yang keluar dari mulut lo,” Lagi aku terdiam. Menarik napas pendek sambil kuberanikan diri untuk menggenggam tangan Rashi yang menjuntai bebas disamping tubuhnya.
“Lo tetep sahabat gue. Sampai kapanpun.” sambungku tersenyum kecil diujung kalimat. Kecil tapi aku harap Rashi bisa membaca ketulusan yang tersirat didalamnya.
Finish! Aku rasa nggak ada lagi yang perlu diomongin.
Perlahan tapi pasti, aku pun melepaskan genggaman tanganku dari Rashi lantas melangkahkan kaki menjauh dari hall.
Okey! Aku nyerah. Aku emang nggak bisa mempertahankan persahabatanku dengan Rashi. Aku nggak bisa melewati ujian ini, dan mungkin emang udah saatnya persahabatan di antara kami harus berakhir. Yaaaaaa......., meskipun dengan cara yang NGGAK BANGET.
*
Semua yang terjadi saat ini sepertinya udah digariskan oleh Tuhan.
Di suatu malam -dimana paginya Rashi melempariku dengan tomat- Mama datang dengan membawa sebuah kabar yang aku nggak tau mesti senang atau sedih mendengarnya. Ngggggg.........,
Papa pindah tugas ke Aussie. Right, banget! Otomatis aku harus ikut pindahan bareng Papa dan Mama.
Disatu sisi aku senang, karena mulai besok aku nggak akan menampakkan wajahku lagi didepan anak-anak cheers yang udah mempermalukan aku, dan mungkin di Aussie nanti aku bisa menemukan sosok sahabat pengganti Rashi (ya walaupun I think nggak akan ada sosok yang sama persis dengan Rashi, sih).
Tapi, disisi lain aku juga ngerasa sedih. Kalau aku meninggalkan BHS, itu artinya sama aja dengan aku meninggalkan Faldi. You know lah guys, aku kan masih ada feelings of love sama dia. Terus terang, sikap pahlawannya pagi tadi malah membuatku semakin simpatik dengan Faldi.
Lalu, sekarang aku harus gimana? Ah Gaaaaad........., help me kek!
“Shena, apa kamu berubah pikiran?” Besoknya Mama mengejutkanku dengan pertanyaannya.
Hey! Saat ini aku bahkan udah siap dengan koperku, yah! Masa iya aku berubah pikiran, sih?
Aku yang tengah mematut diri di depan cermin menoleh sekilas, “Enggak, kenapa memangnya?”
“Mama tau kamu lagi bimbang. Kalau kamu mau, kamu bisa tetap tinggal disini dan menetap di rumah Tante Gina untuk sementara waktu. Yaaaa..., sampai masa kerja Papa di Aussie selesai.”
“Enggak, Ma.” Aku menggeleng tegas. “Aku mau ikut Mama dan Papa aja pindah ke Aussie. Lagian, aku juga nggak bisa hidup jauh-jauh dari kalian.” kataku beralasan.
Dari balik pintu kamarku, Mama menyunggingkan senyuman tipisnya. “Yaudah, cepetan siap-siap yah? Mama tunggu di bawah.”
“Sip!” balasku mengangkat jempol.
Secepat ini? Secepat ini kah aku harus meninggalkan BHS beserta dengan Rashi dan juga Faldi?
Dengan berat hati aku memasukkan satu per satu koperku ke dalam bagasi mobil.
Nggak banyak, karena yang kubawa hanyalah pakaian dan barang-barang kecil. Sementara perabotan-perabotan yang lain akan dikirim menyusul nanti sesampainya kami di Aussie.
Atas permintaan Papa, Mang Udin melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Papa bilang dia nggak mau kalau ketinggalan pesawat. Maklum, dapet jadwal penerbangan pagi, sih.
Sebelum menuju Airport, sengaja aku meminta Mang Udin untuk mengantarkanku ke rumah Rashi.
Untungnya Papa dan Mama nggak banyak nanya. Mereka hanya bilang “iya” asalkan aku nggak lama-lama.
“Sebentar yah, Ma, Pa? Ada yang mau dianter doang, kok.”
Setibanya di depan rumah Rashi, aku pun segera keluar dari mobil.
Papa hanya menganggukkan kepalanya berbeda dengan Mama yang sempat menanyakan “Nganter apa sih, Shen?” dari balik kaca jendela mobil.
“Surat perpisahan. Dia kan nggak tau kalau aku mau pindah.”
“Kenapa nggak langsung kamu samperin aja dia di sekolah? Sekalian pamitan sama teman-temanmu yang lain juga. Kita masih punya waktu..........,” Mama melirik jam tangan bertahtakan Diamond kebanggaannya sesaat, “kurang lebih 30 menit sebelum pesawat take off, kok.” lanjutnya memberikan saran.
Aku mengibaskan sebelah tanganku dengan cepat, “Ah, udahlah nggak usah. Temen-temen lagi belajar jam segini.”
Meski kulihat Mama mengerutkan kening, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya.
Jam segini rumah Rashi terlihat sepi.
Mama dan Papanya sudah berangkat ke kantor, cuma ada Bik Sum yang tampak sedang menyirami tanaman di depan rumah.
“Pagi, non Shena.” sapa Bik Sum ramah. Ketika melihat kedatanganku, dia langsung mematikan selang airnya lalu kemudian bergegas menghampiriku.
“Pagi, Bik Sum.” balasku mengulas senyum. “Sorry, ganggu. Shena cuma mau nitip ini. Buat Rashi.”
Tanganku terulur maju, memberikan sepucuk kertas berwarna soft blue yang dilapisi amplop putih diluarnya.
Bik Sum menerimanya dengan ragu. Mungkin, karena heran juga kali yaaaa......, dunno.
“Thanks sebelumnya, yah, Bik. Shena balik dulu. Assalamualaikum,” pamitku lantas kembali ke dalam mobil. Lamat-lamat aku bisa mendengar Bik Sum yang membalas salamku -masih- dengan raut bingungnya.
“Sudah?” tanya Mama lagi.
Aku mengangguk satu kali, pengganti kata “sudah” yang berat untuk kuucapkan. Sudah sama artinya dengan siap. Sedangkan aku belum siap meninggalkan Indonesia terlebih-lebih lagi Rashi. Tapi, seperti yang aku tau hidup penuh pilihan. Dan, ini adalah keputusanku. Keputusan yang aku harap nggak akan salah.
Aku menatap ke luar jendela untuk yang kesekian kalinya. Untuk beberapa lama aku tertegun, berusaha merekam tempat tinggal Rashi beserta semua kenangan yang pernah terjadi didalamnya.
Saat dimana kami bermain bersama, belajar bareng, atau bahkan saat dimana Rashi merebut dan “memutilasi” boneka barbie milikku oleh-oleh Papa dari New York. Semua pernah terjadi di dalam sana, dan sekarang aku merindukannya. Harus kuakui, aku merindukan kebersamaanku dengan Rashi.
Setetes cairan hangat membasahi pipiku tepat ketika Mang Udin menginjak pedal gas pada mobil. Perlahan-lahan alphard putih yang kutumpangi pun bergerak meninggalkan area kompleks perumahan Rashi. Jauh, semakin jauh. Hingga akhirnya rumah ber-cat golden itu berubah menjadi satu titik kecil yang nggak kasat mata.
*
Soekarno-Hatta International Airport pukul 10 pagi.
Jangan tanya kenapa aku masih berada di Airport ditengah hari bolong begini? Aku sendiri juga nggak tau.
Tapi, dari pengumuman yang aku dengar tadi sih, pesawat untuk penerbangan Jakarta-Aussie mengalami sedikit kesalahan tekhnis. Sehingga mengharuskan kami menunggu barang 1 jam lagi.
Beberapa menit yang lalu Papa baru aja menyelesaikan proses scan barang di bagian bagasi sekaligus check-in.
Dan, sekarang kami tinggal menunggu kedatangan pesawat di boarding room.
Seperti yang semua orang tau, menunggu itu adalah suatu hal yang membosankan. Aku nggak bisa menikmati waktu menunggu-ku seperti Mama yang asyik baca majalah atau Papa yang sibuk dengan korannya.
Okey, aku pikir secangkir french vanilla bisa membuatku betah untuk menunggu keberangkatanku yang ditunda 1 jam lagi.
Selepas mendapatkan izin dari Mama dan Papa aku pun segera keluar dari boarding room menuju starbucks terdekat.
Kususuri setiap lobi penerbangan hingga akhirnya di salah satu lobi tiba-tiba kudengar seseorang yang memanggil namaku dengan nyaring.
“SHENA!” Refleks aku celingukan mencari-cari si sumber suara yang menyerukan namaku tadi.
Sejurus kemudian dari ujung lobi mataku menangkap dua sosok yang nggak asing lagi dan amat-sangat-begitu kukenali.
Ya, mereka adalah Rashi dan Faldi.
Kontan kedua mataku membulat penuh dan mulutku menganga disaat melihat mereka yang berlari-lari kecil menghampiriku. Sumpah! Ini lebih dari kaget.
“Shena!” Tiba dihadapanku Rashi langsung menubruk tubuhku hingga aku nyaris terhuyung ke belakang. Yang ngebuat aku makin kaget adalah disaat mengetahui kalau Rashi nangis. Iya, dia nangis! Aku bisa ngerasain air matanya yang tumpah dibahuku.
Aku mendelik ke arah Faldi, dan cowok itu cuma tersenyum mengangkat bahu.
“Rash, Rash lo kenapa?” tanyaku sambil mengusap bahunya yang terguncang. Rashi diam, nggak jawab apa-apa. Dia terlalu fokus dengan tangisannya. Selang beberapa menit kemudian, setelah rada tenangan, barulah Rashi merenggangkan pelukannya.
“Gue udah baca surat lo. Lo jangan tinggalin gue, Shen! Please, gue minta maaf. Gue yang salah. Gue udah keterlaluan sama lo.”
Sedikit demi sedikit aku mulai ngerti dengan maksud Rashi, yaaaaa......, walaupun aku masih nggak nyangka kalau ternyata suratku bisa merubah pendirian Rashi yang kemarin keukeuh menganggap aku sebagai EX-close-friend-nya dia.
Aku tersenyum sembari menyeka butiran air mata yang meninggalkan jejak basah di pipi Rashi. “Gue udah maafin lo, Rash.” kataku tulus.
Namun, Rashi menggeleng seakan kurang yakin dengan jawabanku.
“Sekedar kata maaf yang keluar dari mulut lo itu nggak cukup buat gue. Gue udah mempermalukan lo didepan anak-anak kemarin. Sekarang, lo harus ngelakuin hal yang sama seperti apa yang udah gue lakuin ke elo, Shen.” Dikeluarkannya sesuatu dari dalam tas jinjingnya yang ternyata adalah.........., tomat?!
Aku menatap Rashi nggak percaya. “Elo nyuruh gue untuk.....,”
“Ya, lo boleh ngelempar tomat ini ke tubuh atau bahkan muka gue, terserah lo. Biar kita impas.” jawabnya mantap.
Dengan ragu aku menerima tomat dari tangan Rashi. Kutimang-timang buah berwarna oranye itu sejenak, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melemparkannya atau enggak.
Iseng aku melirik ke arah Faldi. Kalau tadi dia tersenyum, sekarang dia mengatupkan bibirnya sambil menggeleng kecil. Gerak tubuh yang bisa aku pahami.
“Cepetan, Shen!” desak Rashi.
“Enggak,” Dengan gerakan ekstra kilat kusimpan tomat pemberian Rashi ke dalam tas selempangku. Lalu, kupeluk dia dengan seulas senyuman di bibir. “Lo masih sahabat gue.” bisikku pelan.
Rashi kembali diam. Untuk yang kedua kalinya aku merasakan basah dibahuku.
“Maafin gue,”
“Udah nggak usah diulang-ulang. Gue udah maafin lo, kok.”
“Sekarang, hapus air mata lo, deh! Lo jelek kalau lagi nangis, beneran!” godaku menjulurkan lidah.
“Tadinya gue pikir pesawat lo udah take off, makanya gue nangis.”
“Ya harusnya sih, emang gitu. Tapi, karena ada kesalahan teknis, penerbangannya ditunda 1 jam lagi.”
“So, lo beneran jadi pindah ke Aussie, Shen?!” tanyanya histeris.
“Menurut lo, gue lagi bercanda gitu? Ya jadilah! Gue nggak bisa ngebatalin keberangkatan gue gitu aja. Gue udah check-in dan bahkan barang-barang gue pun udah masuk bagasi. Elo pikir ini sinetron yang keberangkatannya bisa dibatalin tiba-tiba?” sahutku memutar bola mata.
Rashi mengerucutkan bibirnya. “Trus, gimana dengan Faldi? Apa lo tega ninggalin dia ke Aussie?”
Faldi yang tadinya cuma diam mendadak jadi salah tingkah saat Rashi menyebut-nyebut namanya.
“Kenapa nggak tega? Toh, Faldi bukan siapa-siapa gue.”
“Lho? Dia kan cinta sama lo, Shen.”
“Tapi, gue enggak.”
“Nggak usah munafik, please! Gue tau lo juga cinta sama dia. Lagian kalian cocok, kok.” goda Rashi lagi.
Damn, ih! Kali ini bukan cuma Faldi yang salah tingkah, aku bahkan bisa ngerasain pipiku yang menghangat tiba-tiba.
“Apaan sih, lo?!”
“Gue udah ngerestuin lo kali. Udah jadian aja mending.”
Great! Semakin Rashi menggodaku semakin pipiku memerah menahan malu. “Ish, elo tuh ya resek banget!”
“Ciiiiieeeeee yang blushing.”
“Iiiiiiiiiiiih..........,” Aku berniat meninju lengan Rashi, tapi dia malah keburu berlari menghindariku. Well, dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya kukejar sahabatku itu. Kami pun bermain kejar-kejaran di area lobi penerbangan.
Mungkin, menurut kalian ini terlalu kekanak-kanakkan. Tapi, aku menikmatinya.
Dari kejauhan, nggak sengaja pandanganku menumbuk pada sosok Faldi yang tersenyum senang ketika melihat kami kembali akur.
Good! Dia harus tau kalau persahabatan yang sebenernya itu yah kayak gini.
Meski bertengkar masih bisa baikan, karena bagi sahabat nggak ada kata terlambat untuk meminta maaf dan nggak ada kata terpaksa untuk memberikan maaf. Walau-sebesar-apapun-itu-salahnya.
---OoO---
Gue Rashi Pradokso. Kapten cheerleader di Bignius High School.
Shena itu adalah sahabat gue.
Persahabatan kami berlangsung sejak kelas 7 JHS. Layaknya persahabatan pada umumnya, dimana ada Shena disitu ada gue. Namun, sesuatu terjadi ketika sosok Faldi Anggara Putra hadir di tengah-tengah kami. Dia nembak gue, berhubung gue jomblo dan penganut asas “popular boy to populer girl” (in this case---Faldi adalah kapten futsal, sementara gue kapten cheerleader) maka -tanpa banyak mikir- gue terima deh cintanya si Faldi.
Well, dari awal sih gue ngerasa kalau sikap Shena berubah semenjak gue resmi jadian dengan Faldi. It's true, kali! Banyak buktinya, kok.
Yang pertama dia nggak datang ke Oracle Club, trus dia telat ngucapin “congrats” ke gue, dan yang ngebuat gue semakin bingung dengan perubahan dia adalah ketika dia nolak setiap ajakan gue ke cafétaria dengan segudang macam alasan.
Try you think, deh!
Selama bertahun-tahun dia ngehabisin waktunya di cafétaria bareng gue, and suddenly nggak-ada-angin-nggak-ada-hujan dia nolak ajakan gue gitu aja. See? Bertahun-tahun lho!
Sempat terlintas dibenak gue kalau Shena cemburu. Tapi, Shena terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Sehingga dia selalu berhasil ngeyakinin gue bahwa “everythings okey” setiap kali gue nanyain perihal tersebut. Yah, dia mengaku nggak masalah dengan hubungan yang terjalin diantara gue dan juga Faldi. But, who knows?
Ternyata tabir-lah yang mengungkap semuanya.
Pagi itu squad gue mau mengadakan gladi resik untuk lomba ICC akhir bulan. Sialnya, pom-pom gue ketinggalan di ruang serba guna. Gue yang semula sudah berada di tempat gladi resik kudu balik lagi ke sekolah untuk mengambil pom-pom tersebut.
Dan bla-bla-bla, yah you know lah.... Nggak perlu gue ulang, kalian juga udah tau ceritanya, kan?
Right! Gue ngelihat Shena menerima seikat mawar putih dari tangan Faldi. Ah ma gaaaaaaad.......!
Sekali lagi, try you think, deh!
Sahabat mana sih yang nggak sakit hati disaat mengetahui kalau sahabatnya main belakang?! Walaupun Shena berusaha menjelaskan kalau dia nggak ada hubungan apa-apa dengan Faldi, gue nggak bisa percaya itu.
Kemarahan gue semakin bertambah ketika Faldi mutusin gue secara sepihak dan terang-terangan bilang kalau dia jatuh cinta beneran sama Shena. Jatuh-cinta-beneran means dia lebih milih Shena daripada gue! Ugh!
Sakit hati yang berlipat-lipat ngebuat gue berbuat diluar batas pada Shena.
Gue mempermalukan dia di depan umum, dan anehnya dia nggak marah sama sekali.
Dia malah tersenyum dan menjabat tangan gue dengan tulus. Satu kalimat yang menohok tepat dihati gue adalah ketika dia bilang, “Dan, satu hal yang harus lo inget. Mau seberapa banyakpun itu kata EX yang keluar dari mulut lo, lo tetep sahabat gue. Sampai kapanpun.”
For God's sake kalimat terakhir yang Shena lontarkan itu masih terngiang-ngiang di telinga gue hingga malam harinya.
Gue nggak bisa tidur dan kepikiran terus dengan pernyataan Shena. Ditambah lagi dengan pengakuan Faldi yang berbunyi, “Saya berubah karena cheerleader. Kesibukan kamu!”
Dalam hati gue bertanya; Benarkah itu? Benarkah Faldi berubah karena kesibukan gue yang akhir-akhir ini makin aktif di cheerleader?
Hahhhhhhh..... Kok, jadi gue yang ngerasa bersalah, ya?
Sedikit demi sedikit gue mulai menyesal atas apa yang udah gue lakuin ke Shena. Lagian, setelah dipikir-pikir kesalahan nggak sepenuhnya milik Shena, kok. Baik gue maupun Faldi juga bersalah dalam kasus ini. Yaaaaa..., biarpun nasi udah jadi bubur bukan berarti dia nggak bisa dimakan, kan?
Gue rasa gue pasti bisa memperbaiki keadaan, meski untuk itu gue harus menjilat ludah gue sendiri.
*
Besoknya, gue nggak menemukan Shena di setiap sudut sekolah. Baik itu di kelas, perpus, cafétaria, lab room ataupun taman. Gue pikir dia emang absen. Entah itu izin, sakit, or something yang sejenisnya---dunno.
Gue nggak tau kalau ternyata hari itu Shena justru lagi sibuk dengan kepindahannya ke Aussie.
Dan, gue baru tau yang sebenarnya ketika gue memutuskan untuk izin pulang ke rumah. Sekitar pukul 09:30 waktu istirahat pertama, gue izin pulang dengan alasan ngambil seragam olahraga gue yang ketinggalan (bukan alasan lagi, tapi emang bener sih!).
Dan untungnya, Ms. Franda si guru piket mengizinkan gue tanpa banyak tanya.
Lalu, setibanya di rumah --baru juga gue nyampe gerbang-- Bik Sum udah teriak-teriak aja nyamperin gue. Apa banget coba?
Gue nggak tahan untuk nggak mengangkat alis ketika dia menyodorkan sebuah amplop ke hadapan gue. “Dari non Shena,” katanya singkat.
Disaat mendengar Bik Sum menyebut nama “Shena”, tiba-tiba aja gue ngerasain jantung gue yang berdegup kencang. Well, tanpa banyak tanya gue terima dan segera gue buka lipatannya dengan cepat.
Sepucuk kertas berwarna soft blue -warna favorite gue- yang berisi:
Dear Rashi,
Ini gue, Shena SAHABAT lo :)
Haha~ konyol yah? Lo udah mati-matian bilang kalau gue cuma EX-close-friend lo, sementara gue dengan nyolotnya bilang kalau gue MASIH sahabat lo. Yaaa...., ibarat kata orang yang udah diputusin, tapi masih ngotot pengen balikan gitu deh -___-
Rash,
Nggggg......., lo tau nggak?
Besok gue mau ke Aussie lho~
Bukan! Bukan untuk jalan-jalan atau sekedar nemenin Papa ketemu relasi bisnisnya doang, tapiiiiii......, gue emang pengen stay disana.
Iyah, S to the T to the A to the Y equal to STAY!
Lo pasti excited banget kan pas tau kalau gue mau pindah ke Aussie? Ya secara gitu...., mulai besok lo nggak akan ngelihat wajah pengkhianat macam gue berkeliaran di BHS lagi.
Haha~
Eh btw-btw penting nggak sih gue ngasih tau ini ke lo? Penting aja kali yaaaa....,
Lo kan sahabat gue :)
Lo tau apa itu sahabat, kan?
Sahabat itu seperti elo ama gue.
Dikala susah dibutuhkan.
Disaat senang diperlukan.
Lo masih inget nggak? Dulu waktu jam pelajaran matematika, lo dihukum berdiri di luar kelas karena lo lupa ngerjain tugas. Sebagai sahabat yang baik, gue pun sengaja menyembunyikan buku tugas gue dikolong meja, dan ngaku-ngaku ke Mr. Pram kalau gue juga sama kayak lo----lupa ngerjain. Nggak ada maksud lain kecuali gue pengen nemenin lo berdiri di luar kelas. Just it! Bagi gue, lo susah gue juga ikut ngerasa susah, karena lo sahabat gue.
Trus, waktu pertama kali lo menang ICC, lo tau nggak? Gue sennnnnnneng banget! How not gitu? Gue orang pertama yang lo cari dan lo peluk pada waktu itu. Bahkan lo mengabaikan Axel yang (dulu) notabene-nya adalah pacar lo sendiri! Duh, berasa jadi orang penting dihidup lo deh gue.
Lo tau apa itu sahabat, kan?
Sahabat itu seperti elo ama gue.
Hadirnya bukan hanya untuk berbagi,
Tetapi juga saling melindungi.
Gue masih inget banget! Dulu jamannya putih-biru lo itu tomboy, nggak se-feminim sekarang. Nggak sedikit anak-anak cowok yang takut ngedeketin gue karena tampang sangar lo yang selalu ada di samping gue.
Tapi, gue suka itu :) at least berkat lo, gue nggak pernah jadi korban kejailan mereka.
Eummmm....., tomboy bukan berarti nggak pernah naksir cowok, kan? Haha~ lo suka curhat ke gue tentang cowok yang lo taksir, beda dengan gue yang lebih “introvert” kalau soal itu.
Yaaaa....., gue lebih senang curhat ke diary, lebih aman sih menurut gue. Eits, bukan berarti gue nggak percaya ama lo yaaa~ terkadang gue bingung aja mesti memulai curhatan darimana.
Tapi, ini adil, kan?
Lo tempat gue “berlindung” sementara gue tempat lo “berkeluh kesah”.
Dan....,
Lo tau apa itu sahabat, kan?
Sahabat itu seperti lo ama gue.
Meski bertengkar masih bisa baikan. karena bagi sahabat nggak ada kata terlambat untuk meminta maaf,
Dan, nggak ada kata terpaksa untuk memberikan maaf.
Gue pamit yaaaa :) sorry, kalau gue perginya mendadak.
NB: Kalau lo mau nganter kepergian gue, lo bisa dateng ke Soekarno-Hatta International Airport.
With love~
Shena
Selesai membaca surat tersebut, tangis gue tumpah detik itu juga.
Seperti sebuah sorot film yang berputar, kenangan beberapa tahun silam antara gue dan Shena kembali berkelebat. Memaksa gue untuk mengingatnya.
Mereka muncul satu per satu hingga meninggalkan penyesalan hebat di hati gue.
Nggak, kali ini gue nggak boleh terlambat.
Segera gue memasuki Swift merah yang masih terparkir rapi disamping tubuh gue, lantas tancap gas. Gue udah nggak peduli meski Bik Sum teriak-teriak menanyakan ke mana arah tujuan gue. Gue kudu cepet!
Sebelum menuju Airport yang dituliskan Shena di kertas, gue putar arah dulu ke BHS. Gue mesti jemput Faldi . Dia juga harus tau ini. At least dia bisa mengantar keberangkatan orang yang dia cintai itu ke Aussie---meski gue nggak pengen Shena beneran pindah.
“Kamu mau ngajak saya ke mana, sih?” tanya Faldi setelah masuk ke dalam mobil. Raut wajahnya yang bingung terlihat kentara banget.
“Bandara. Shena mau berangkat ke Aussie,” jawab gue tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan besar kota Jakarta.
“Oh, cuma berangkat ini.” responnya santai.
Gue menggeleng cepet, “Nggak, Fal. Dia mau pindah.”
“What?!” Faldi melotot nggak percaya. Sampai di Airport dia tetep menanyakan kebenaran berita tersebut. Berulang-ulang kali dia nanya, “Kamu beneran, Rash?” Dan berulang-ulang kali juga gue mengangguk dengan kesal.
Please deh ya, diem kek! Kita belum ketemu sama Shena lho ini! batin gue menggeram sebal.
Setengah berlari kecil gue menyusuri setiap lorong Airport. Dari satu lobi ke lobi yang lain, tapi tetep aja gue nggak menemukan sosok cewek berponi itu. Okey, gue lupa suratnya dikasihkan Shena hampir satu jam yang lalu. Bisa aja, kan, pesawat Shena udah take off? Satu jam yang lalu gitu!
Tiba di salah satu lobi penerbangan, gue berhenti sebentar, memutar mata ke seluruh sudut Airport, hingga akhirnya kedua mata gue menangkap sesosok cewek yang amat gue kenal, keluar dari pintu boarding room. Mata gue berbinar seketika.
Shena!
Yah, dia beneran Shena.
Dan bla-bla-bla, seperti yang udah kalian baca, ending-nya gue baikan dengan Shena.
Yaaaa..., meskipun dia tetep memutuskan untuk pindah ke Aussie, no prob. Jarak yang terbentang bukanlah penghalang untuk menjalin sebuah persahabatan, kan?
Sementara Faldi, ngggg....., gue udah mengikhlaskan dia untuk Shena. Gue rasa, Faldi lebih pantas berada di sisi Shena. Lagipula, setelah dipikir-pikir omongan Faldi tempo hari ada benernya juga. Semenjak menghadapi ICC gue emang terlalu over mendedikasikan waktu gue demi cheers.
Dipikiran gue cuma ada cheers, cheers, dan cheers! So, untuk saat ini kayaknya emang lebih baik kalau gue pacaran sama pom-pom dulu kali yaaaa....., bhahahaaha~
----o0o----
Saya Faldi Anggara Putra. Kapten futsal di BHS sekaligus pacar....., okey ralat maksud saya EX-boyfriend-nya Rashi.
Awalnya, sih, hubungan di antara saya dan Rashi baik-baik aja. Tapi, masuk dibulan ke-2 hubungan kami sudah nggak bisa dikategorikan “baik-baik aja” lagi.
Rashi mulai berubah, dia lebih peduli cheerleader dibandingkan saya. Fine, saya nggak masalah dan mencoba untuk maklum kalau emang Rashi mau fokus ke cheers---karena dia dan squad-nya memang mau menghadapi lomba ICC akhir bulan ini, tapi bukan berarti dia harus mengabaikan saya, kan?! Semua waktu yang dia punya dihabiskan hanya untuk toe touch, back tuck, elevator, handspring, high-V, and etch yang saya nggak begitu tahu apa namanya.
Dan, itu se-penuh-nya! Bahkan untuk sekedar makan siang bareng saya di cafétaria aja dia nggak ada waktu.
Kesibukan Rashi itu jualah yang akhirnya memperkenalkan saya dengan seorang gadis bernama Shena Maessa Wijaya.
Dari awal saya sudah tahu kalau Shena itu adalah sahabatnya Rashi. Tapi, yang saya nggak tahu dan sukses bikin saya kaget adalah dia satu ekskul dengan saya. Yah, futsal!
Saya sempet nggak percaya itu, karena wajahnya memang nggak pernah berkeliaran di sekitar saya. Tapi, peristiwa di suatu sore ketika saya mengantarkannya pulang berhasil meyakinkan saya kalau dia memang join di futsal BHS.
Semakin dekat lomba ICC maka semakin pula Rashi disibukkan olehnya. Dan, dampaknya saya pun jadi dekat dengan Shena. Kemana-mana kami selalu berdua, karena Rashi nggak pernah ada waktu untuk saya. Saya pikir, jangan salahkan saya kalau akhirnya saya jatuh cinta dengan Shena.
Secara nggak langsung dia yang sudah membuat saya menjauh.
Dan puncaknya adalah ketika saya menyatakan cinta saya pada Shena di ruang serba guna. Tiba-tiba Rashi datang dan melihat semuanya. Saya sih bersikap biasa aja, nggak ngerasa seperti orang yang ke-gap selingkuh. Justru ini yang saya mau, Rashi datang dan menyadari kalau saya sudah nggak mencintai dia lagi.
Okey, saya akuin salah saya disini adalah mencintai Shena yang notabene-nya adalah sahabat Rashi. Tapi, bukankah cinta itu buta? Hadirnya tanpa permisi dan nggak pandang tempat. Yaaaa...., seperti yang saya rasakan, tahu-tahu dia tumbuh dan bersemi gitu aja.
Singkat cerita, sejak insiden itu pula Shena mulai menjauhi saya. Dia lebih memilih untuk tetap menjadi sahabat Rashi ketimbang pacar saya---padahal jelas-jelas dia juga menaruh rasa yang sama terhadap saya, terbukti dengan pengakuannya di ruang serba guna pada waktu itu.
Okey, walau berat saya hargai keputusan Shena.
Namun, meskipun Shena nggak menerima cinta saya, perasaan saya tetap sama dan nggak berubah setitik pun. Saya mencinta dia. Yaaaa...., nggak munafik sedikit sakit hati, sih, ketika insiden “lempar tomat”, dia mengabaikan pertolongan saya.
Pada hari itu saya nggak habis pikir kenapa Rashi tega mempermalukan Shena di hadapan anak-anak cheers didikannya? Padahal Shena sudah menuruti kemauan Rashi dengan cara meminta maaf di depan umum. Tapi, mungkin menurut Rashi itu masih kurang.
Okey, saya coba untuk ber-positive thinking dan nggak hanya menilai di satu sisi. Mengenai insiden “lempar tomat”, saya rasa Rashi terlalu dikuasai amarah hingga pintu nuraninya tertutup dan dia nggak bisa berpikir dengan akal sehat. Jauh di lubuk hatinya dia masih menganggap Shena sahabat, kok, saya yakin itu. Karena yang saya tahu, mereka nggak bersahabat selama 5 bulan, tapi 5 tahun! 5 tahun bersama-sama itu bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan. Rashi nggak mungkin melupakan Shena semudah itu. Sekarang, dia hanya butuh waktu untuk meredam emosinya.
*
Esok harinya saya kaget dengan kabar kepindahan Shena ke Aussie. Saya diberitahu oleh Rashi. Awalnya Rashi meminta saya untuk menemuinya ke depan gerbang BHS. Padahal waktu itu saya lagi menghadiri kelas seni! Terpaksa saya pun bolos dengan izin ke toilet.
Dengan mengendarai mobilnya, Rashi mengajak saya ke Airport.
Gurat-gurat penyesalan tercetak jelas di wajah oval-nya.
Dia nggak bisa mengendalikan kemudi dengan tenang hingga setibanya kami di Airport.
Suasana di dalam Airport hari itu tampaknya nggak begitu ramai. Dengan leluasa Rashi berjalan lebih dulu di depan. Langkah panjangnya membuat saya tertinggal jauh di belakang.
Kemudian, tiba disalah satu lobi penerbangan, Rashi menghentikan langkah kakinya. Sepasang matanya menyapu ke seluruh sudut Airport hingga akhirnya dia berhasil menemukan sosok yang ia cari.
Shena! Dia menemukan Shena disana.
Segera Rashi berteriak, lalu berlari menghampiri Shena.
Dari jarak 10 langkah dibelakang Rashi, saya lihat mereka berdua saling menatap nggak percaya sebelum akhirnya tenggelam dalam sebuah pelukan.
Saya cuma diam sambil sesekali mencuri dengar percakapan di antara mereka berdua.
Senyum terus mengembang di bibir saya sampai akhirnya saya dengar Rashi bilang, “Trus, gimana dengan Faldi? Apa lo tega ninggalin dia ke Aussie?”
Detik itu juga saya merasakan sesuatu menggelitik perut saya. Membuat saya menahan senyum dan refleks menggaruk tengkuk saya yang nggak gatal sama sekali. Salah tingkah, mungkin.
Shena pun terlihat sama salah tingkahnya dengan saya.
Dia menjerit hendak memukul Rashi, tapi lebih dulu Rashi berlari menjauhi Shena. Dan, aksi kejar-kejaran pun sudah nggak bisa dihindarkan lagi.
See? Seperti yang saya bilang di awal, Rashi nggak mungkin bisa melupakan Shena secepat itu. Dia hanya butuh waktu untuk meredam emosinya.
Sekarang mereka kembali bersahabat seperti biasa, dan tentunya saya senang melihat itu. Yaaa...., walaupun Shena nggak bisa membatalkan kepindahannya ke Aussie, nevermind. Saya akan menunggu kepulangan Shena di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar