Pura Pura Cinta

Senin, 16 Januari 2012

^To You Who Betrayed (Sekuel Of In My Solitude, I'm Still Faithful)^




^To You Who Betrayed (Sekuel Of In My Solitude, I'm Still Faithful)^

“MAAF, tapi saya tidak mencintai anak Bapak.” Dengan hati-hati aku menjawab pinangan sore itu. Pinangan kesekian dari orang kesekian yang kali ini datangnya dari keluarga Gunawan, teman kolega Ayah. Dan jawabanku tetaplah sama, seperti yang sudah-sudah yakni menolak tawaran tersebut.
“Lagipula, saya sudah memiliki kekasih. Untuk saat ini dia memang tidak berada di Indonesia, lebih tepatnya dia tengah mengenyam pendidikan bolanya di Inggris.” kataku menambahkan. Ku tatap wajah mereka satu per satu, dan kutemukan ekspresi keterkejutan disana. Terlebih-lebih lagi Ibu, mata Ibu membola seketika.
“Lho?! Bukannya kamu lajang, ya? Ibumu bilang sejak kamu masih kuliah hingga bekerja sekarang, kamu tidak ada ikatan dengan pria manapun. Tapi, kenapa sekarang kamu malah mengaku sudah punya pacar? Masa iya Ibumu yang berbohong? Bagaimana ini, Rita?” Ibunya Gunawan angkat suara. Berusaha meminta penjelasan pada Ibu atas statement-nya yang tidak kuketahui itu. Ibu pernah bilang bahwa aku tidak ada ikatan dengan pria manapun? Dalam hati aku bertanya, apa maksud Ibu bicara seperti itu pada Ibunya Gunawan? Padahal jelas-jelas sejak dulu aku sudah memberitahunya tentangmu, tentang kita.
“Nggggg.......” Ibu tergugu, bingung hendak menjawab apa. Mulutnya terbuka tapi tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibirnya.
Langsung saja aku menyahut, “Ibu memang tidak mengetahui tentang hubungan kami, Tante. Jadi, saya rasa wajar jika Ibu mengira kalau saya masih lajang.” Kulirik Ibu diakhir kalimat, dan beliau semakin menatapku tidak percaya. Sepasang bola matanya kian melebar, sedikit memancarkan kilatan amarah yang seakan menegaskan bahwa bicaraku tadi itu salah.
Dan selesai sudah. Ketika tak ada lagi yang perlu dibicarakan Gunawan dan kedua orangtuanya pun pamit pulang dengan wajah yang sudah pasti bisa ditebak. Dingin, tak bersahabat. Hanya kata “permisi” yang mereka ucapkan, tanpa salam atau bahkan sekedar ukiran bulan sabit yang tertoreh dengan tipis.

Sepeninggalan Gunawan dan kedua orangtuanya, aku, Ayah, dan juga Ibu masih termangu di ruang tamu. Kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ibu, sudah dapat kupastikan jika dia sebentar lagi akan memarahiku. Kita lihat saja. Aku rasa, dia terdiam itu karena dia perlu sedikit waktu untuk mengatur emosinya. Berbeda sekali dengan Ayah yang terlihat lebih tenang. Aku mengerti dan aku tahu, walau --sebenarnya-- Ayah kecewa dengan keputusanku, tapi dia tetap menghargai perasaanku, anak semata wayangnya. Itulah yang membedakan Ayah dan juga Ibu. Sikap mereka dalam memahamiku. Bukan, bukannya Ibuku tidak paham, tetapi beliau hanya kurang paham. Itu saja.
Di ruang tamu yang cukup besar ini, suasananya masih sama. Sunyi, yang terdengar hanyalah detak jarum jam dinding yang terus memutar. Hingga pada akhirnya Ibu menghela napas panjang, mengambil ancang-ancang sebelum dia membuka suara. “Kamu telah mempermalukan Ibu, Mei.” ucapnya tanpa menatapku. Pandangannya lurus ke arah daun pintu yang terbuka lebar, seolah membiarkan angin sore untuk masuk dan menyapa kami.
“Maaf, Bu. Tapi, Meisya hanya berkata jujur dan apa adanya. Meisya tidak mencintai mas Gunawan, karena Meisya sudah mempunyai calon sendiri. Tolong Bu, hargailah perasaan Meiysa.” jawabku seraya mendongak. Memberanikan diri untuk menatap wajah Ibu. Wajah lembut yang terkadang penuh dengan gurat ketegasan.
“Kalau memang kamu sudah memiliki calon, mbok ya diperkenalkan ke Ayah dan Ibu tho, nduk. Ibu tidak memaksamu untuk menikah secepatnya. Ibu hanya ingin kamu punya pendamping hidup yang pasti. Kamu itu sudah lulus kuliah, dan bahkan mendapatkan pekerjaan. Apalagi sih yang kamu tunggu? Sekedar tunangan saja Ibu sudah senang, kok.” Kali ini suara Ibu terdengar lebih lembut, sarat akan permohonan.
“Iya, Mei. Ibumu benar, ajak calonmu itu kerumah dan perkenalkan pada kami. Ayah penasaran, seperti apa sih kriterianya anak Ayah ini.” timpal Ayah tersenyum padaku.
“Lho? Bukannya Ayah dan Ibu sudah tahu ya siapa orangnya?” jawabku balas bertanya. Mereka saling berpandangan heran, lalu menggeleng serempak.
“Mas Meiga,”
“Meiga?!” Nada suara Ibu naik satu oktaf. Aku mengangguk kecil. Agak takut disaat melihat perubahan diraut wajah Ibu yang sangat drastis.
“Kenapa kamu masih berharap dengan pria itu?! Sedangkan, jelas-jelas dia sudah membohongimu. Kamu sendiri yang bilang pada Ibu, kalau janjinya dia hanya pergi satu tahun, tapi ini sudah hampir tiga tahun, Mei, dan dia belum kembali dari Inggris!”
“Dia masih ada urusan disana, Bu.”
“Hah! Ibu tidak menyangka jika Meiga-lah yang kamu maksud. Ibu pikir, setelah setahun lebih Meiga tidak memberimu kabar, kamu akan melupakannya. Tapi, ternyata Ibu SALAH BESAR. Cintamu yang semu itu semakin tumbuh dan berkembang saja.” Ibu berkata dengan miris.
Aku hanya bisa membisu, mendengarkan setiap rentetan kalimat yang secara tidak langsung telah menyakiti hatiku itu. Yah, aku tahu sesungguhnya Ibu tidak bermaksud mengoyak perasaanku. Karena, selama ini justru dialah yang menemaniku dalam keterpurukan, rindu mendalam akan hadirnya sosokmu. Dan kini, dia berkata seperti itu hanya karena ia sudah bosan! Dia bosan menunggumu, Meig. Hanya aku yang tidak bosan. Aku akan tetap berdiri disini, menantikanmu untuk menjawab kesetiaanku.
“Kenapa kamu malah diam?! Jawab Ibu, Mei! Kenapa kamu masih menggantungkan harapan dengan seorang Meiga, hah?!” cecar Ibu kembali meninggi. Kedua tangannya naik-turun seirama dengan intonasi suaranya.
“Sudah, Bu. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Lagipula, Meisya sudah dewasa. Biarkan dia mengambil keputusannya sendiri.”
Aku -masih- menunduk. Dari ujung mataku, kulihat Ayah yang mengusap bahu Ibu, berusaha menenangkannya. Lalu, sejurus kemudian, Ibu membuang napasnya dengan kasar seraya beranjak dari atas sofa ruang tamu.
“Ibu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,” gumamnya ketika melintas di depanku. Kutatap punggungnya yang menaiki satu per satu anak tangga dengan tatapan kosong, sampai akhirnya sosok Ibu hilang disalah satu belokan.
Ketika itulah Ayah menggeser posisi duduknya, hingga bersisian denganku. Diusapnya puncak kepalaku dengan lembut, gaya yang sangat kebapakan.
“Sejujurnya, Ibumu tidak bermaksud seperti ini, Mei. Dia hanya lelah melihatmu yang terus menunggu, menunggu, dan menunggu. Dia tidak ingin melihatmu sedih, larut dalam ketidakpastian. Kamu percaya itu, kan?”
Perkataan Ayah semakin membuat lidahku kelu dan nyaris saja beku. Ingin berkata “iya” tapi tenggorokanku seakan tercekat. Aku tidak tahu ini kenapa. Yang kutahu, aku tak mampu bersuara lagi, namun untungnya aku masih bisa tersenyum kecil.

*

Malam mulai merangkak naik, ketika aku tengah berdiam diri didepan laptop. Mengetik hasil wawancaraku dengan seorang artis yang tengah naik daun, termasuk suatu hal yang melelahkan jari-jariku. Ya, wartawati adalah pekerjaanku. Aku bekerja untuk sebuah tabloid yang cukup ternama di Indonesia dengan gaji yang lumayan. Sebenarnya, ini bukanlah cita-citaku, tapi aku suka melakukannya. Bagaimana tidak? Dengan menjadi wartawati, otomatis aku bisa mengenal banyak selebriti termasuk idolaku. Asyik, kan? Aku rasa itu hal yang menyenangkan. Tapi, sengsaranya adalah ketika aku harus dikejar deadline dan memburu berita hangat. Tak ada hal yang menyebalkan selain dua itu. Apalagi, pekerja sepertiku selalu dituntut untuk meliput berita ter-update dari berbagai kalangan, tak hanya selebriti saja. Tidak berlebihan jika kukatakan, terkadang kepalaku pun migran dibuatnya.
Sejam kemudian, setelah pekerjaanku selesai, kubiarkan layar laptop menyala begitu saja. Sementara aku belum juga beranjak dari hadapannya.
Aku termangu. Kata-kata Ibu tadi sore masih terngiang jelas ditelingaku.
“Kenapa kamu masih menggantungkan harapan dengan seorang Meiga, hah?!”
“Padahal jelas-jelas dia sudah membohongimu!”
“Ibu pikir setelah sekian lama Meiga tidak memberimu kabar, kamu akan melupakannya. Tapi, ternyata Ibu SALAH BESAR!”
“Ibu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu.”
Rentetan kalimat menyudutkan itu seakan berteriak tepat didaun telingaku, dan nyaris memecahkan genderangnya. Spontan aku menggeleng kuat, “Kenapa sih?! Salah ya kalau aku masih cinta sama kamu? Emangnya salah kalau aku setia? Apa aku udah nggak boleh berharap dengan orang yang nggak ada kabarnya kayak kamu? Aku kan cuma mencoba untuk percaya dengan janji kamu ke aku dulu. Janji kamu setahun yang lalu. Just it! Kenapa nggak ada yang mau ngerti, sih?”
Sedikit demi sedikit air mataku mulai berjatuhan, mengiringi jeritan hati yang tak mampu kuuraikan. Kau tahu? Mengingatmu hanya membuatku menangis. Begitu panjang jalan yang sudah kulalui tanpa hadirmu di sini.
Terhitung sejak tiga tahun silam kau pergi meninggalkanku. Setahun kau tak ada kabar, setahun kita menjalani long distance, dan setahun berikutnya kau kembali menghilang tanpa jejak setelah sempat mengikrarkan sebuah janji yang sama. Janji yang isinya persis seperti ketika kau ucapkan di bukit Love Is M.......DULU! Apa kau mengingatnya? Well, aku rasa kau sudah lupa.
Bedanya, dulu janji itu kau ucapkan di bukit Love Is M secara face to face and from heart to heart. Tapi, terakhir janji itu hanya kau ketik dalam bentuk e-mail.
Masih dalam rangka mengingat masa lalu, tanganku terulur maju. Meraih mouse laptop, lalu menggerakkannya guna mengklik ikon mozilla. Kali ini aku akan mengecek e-mail terakhir yang kau kirimkan dulu.

E-mail itu sudah setahun yang lalu kau kirim, jadi aku harus bersabar untuk mencarinya. Yah, e-mail tersebut pasti sudah tertimbun oleh e-mail-e-mail yang baru masuk.
Akhirnya, setelah cukup lama mengobrak-abrik isi inbox, aku pun berhasil menemukannya.

E-mail darimu yang berbunyi:

Subject: I miss you. Always honey ;)
From: Kmh@mail.com
To: Faithgirl@mail.com

Dear Meisya,
Im fine too honey :) very very fine!
Kamu tau nggak? Aku ngebalas email-mu ini disaat aku lagi duduk-duduk dibalkon apartemen. Yah, aku rasa menunggu matahari terbenam sembari berbalas email denganmu adalah pilihan yang sangat tepat ketika aku sudah lelah dengan aktifitas yang kujalani setengah harian ini. It makes me relax, dear.
Gimana enggak? Asal kamu tahu aja, dari pagi sampai sore begini, aku sibuk latihan dengan klub-ku. Pagi kami nge-gym, dan sorenya kami harus melaksanakan pertandingan uji coba di New Wembley Stadium. Selalu, karena sebentar lagi kami akan mengikuti kompetisi yang cukup bergengsi di Inggris. Doakan aku yah ;)
Well, kuakui ini memang melelahkan, tapi aku juga harus bersyukur karena ini termasuk salah satu impianku. Kamu masih ingat itu kan, Mei?
Eungggg~ bagaimana dengan kegiatanmu seharian ini? Menyenangkan kah? I hope so. Trus, lamaran pekerjaanmu apakah sudah diterima? Disini aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Oh ya, honey. Diwaktu kamu bercerita tentang kesetiaanmu menungguku kembali, aku benar-benar speechlees, nggak menduga akan hal itu.
Oh my honey, 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar lho! Aku sudah mengira kalau kamu menjalin hubungan dengan pria lain disana. Diego, mungkin? Hmmm... Aku nggak marah.
At least, kamu pilih aja salah satu dari sekian banyak arjuna di Indonesia, seperti aku yang memilih salah satu dewi disini, di Kota London.
Hahaaaaa....... Eits, jangan lempar aku pakai panci, ya! Karena, aku cuma bercanda =P lagian mana ada sih bule London yang mau sama cowok item kayak aku.
Dan, kamu bilang kamu merindukanku? Benarkah itu? Yeah, aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi, aku belum bisa pulang, karena musim ini aku sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan salah satu klub di London. Jangan sedih hon, tahun depan aku usahakan untuk bermain di Indonesia.
Yah, aku pasti kembali, Mei. I promise! Smile dong :)
Rinduku cuma untuk kamu, kok. Always.
Udah cukup panjang kan balasannya? Habisnya kamu kemarin marah karena balasanku terlalu singkat =P ya kan? padahalkan aku memang lagi sibuk.
Udah dulu ya? Mataharinya udah mau tenggelam tuh! Kali ini aku nggak mau ketinggalan lihat sunset. Karena indahnya sunset itu sama seperti kamu Mei =D tapi kamu dengan sunset ada bedanya, kok. Kamu tahu nggak apa? Kalau sunset yang kulihat sekarang itu tenggelam dibawah laut. Sedangkan kamunya tenggalam dihati aku ;)
Bye~

Disela-sela tangis aku tertawa kecil ketika membaca ulang e-mail tersebut. Rupanya, kau sudah bisa menggodaku sekarang. Itu adalah e-mail terpanjang sekaligus e-mail terakhir yang kau kirimkan untukku. Aku tidak mengerti Meig, kenapa setelah itu email-ku tidak pernah kau balas lagi? Apakah sebegitu sibuknya kamu sampai-sampai tak sempat membuka e-mail? Menghubungi nomor telepon di apartemenmu pun rasanya percuma. Orang yang mengangkat teleponku itu mengaku bahwa kau sudah leave dari sana. Yang kusesalkan, kau pindah apartemen tanpa pernah memberitahuku. Lagi-lagi komunikasi diantara kita terputus.
Kembali aku menggalau. Menjalani hari-hari tanpa adanya kabar darimu itu sama seperti menjalani hari dengan setengah hati. Hampa selalu menghantuiku.
Kini, hanya satu yang membuatku yakin, yaitu janji. Janjimu untuk kembali akan selalu aku tagih.
“Aku pasti kembali, Meiy.” Itu pula yang membuatku sampai saat ini enggan menerima lamaran dari pemuda manapun. Karena, setengah dari hatiku ada di hatimu. Lagi aku bertanya, apakah setiaku ini salah?
“Mei,” Aku menoleh kaget ketika merasakan sentuhan lembut jemari Ibu dipundakku. Sejak kapan? Sebegitu melamunnya kah aku hingga tak menyadari kehadiran Ibu? batinku tersentak kaget.
“Maafkan Ibu. Ibu tahu apa yang Ibu lakukan tadi itu salah. Jujur, Ibu tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu, nduk. Ibu hanya.....”
“Sudahlah, Bu. Meisya, ngerti kok.” selaku tersenyum sembari memegang lembut punggung tangan Ibu yang masih menempel dipundakku.
Ibu mengangguk kecil, “Ya sudah, Ibu tunggu kamu di ruang makan yah? Kita makan malam sama-sama.”
Lagi, aku tersenyum. Membiarkan Ibu keluar lebih dulu dari kamarku. Setelah sosok Ibu raib, wajahku berpaling dari daun pintu. Untuk yang terakhir kalinya kusempatkan diri menatap layar laptop sebelum akhirnya mematikan gadget pribadiku tersebut.
“Tolong Meig, jangan kecewakan aku dan Ibuku.” gumamku pada diri sendiri.

*

Awal bulan Desember yang cerah ditahun 2011.
Kusambut pagi ini dengan segelas latte hangat yang baru saja diantarkan oleh salah satu OB dikantorku. Boy, dia memang paling tahu kesukaanku.
Ketika aku tengah menyesap minumanku, seseorang membuka pintu ruang kerjaku tanpa mengetuknya terlebih dulu.
“Pagi, mbak bos!” seru seorang pria bertampangkan -mirip- Lucky Perdana, menyapaku. Dia melambaikan tangannya seraya mendudukkan tubuhnya tepat dibangku yang terletak di depan meja kerjaku. Sebut saja ia Syamsir Alam. Tetapi, aku biasa memanggilnya mas Alam, karena faktor umurnya yang lebih tua 3 tahun dariku. Ia adalah fotographer di tabloid kami. Di kantor aku memang cukup dekat dengannya, karena setiap meliput berita dialah yang selalu menjadi partner-ku.
Belum sempat aku membalas sapaannya, dia kembali berkoar, “Cieeeeee..... Si mbak bos! Mentang-mentang bulan lalu dapet bonus, bulan ini tambah rajin aja.”
“Apaan sih, mas? Bukannya mas Alam juga dapet yah? Secara kita satu tim gitu.” tukasku tersenyum kecil. Mengingat bulan lalu aku merasa begitu enjoy dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilimpahkan bosku. Aku tidak pernah dikejar deadline dan setiap berita yang kuliput berdua dengan mas Alam pun selalu menjadi top news yang diposisikan sebagai berita utama di dalam tabloid kami yang akan terbit. Berikut hasil jepretan mas Alam yang hampir disetiap edisinya dipilih sebagai sampul oleh bos.
“Yah, habis kamunya dateng pagi-pagi bener sih! Tumben beudz gitu.” selorohnya benar-benar alay. Aku mengembungkan pipiku, berlagak ngambek padanya. “Emangnya salah ya? Aku kan cuma mau mengawali bulan Desember ini dengan sesuatu yang baru. Salah satunya yah dengan cara datang ke kantor pagi-pagi kayak gini.”
“Ya nggak salah, sih. Yang salah tuh kalau bulan ini kamu masih betah ngejomblo. Mau ngerayain tahun baru bareng siapa coba kalau kamu nggak punya pacar?”
“Kan ada mas Alam,” celetukku asal. Kutatap mas Alam dan tiba-tiba saja dia menggaruk halus tengkuknya yang --aku yakin-- tidak gatal. Ia terlihat seperti salah tingkah, entah karena apa. Karena ucapkanku, kah? Sesaat kami sama-sama terdiam, larut dalam keheningan. Hah! Terus terang aku tidak suka suasana seperti ini, suasana canggung yang membuat semuanya terasa kaku. Lalu, demi menetralisir keadaan, secepatnya aku pun mengalihkan topik pembicaraan.
“Oh ya, mas Alam sudah tahu tugas kita hari ini belum? Kira-kira kita disuruh nge-wawancarain siapa yah mas?” Sekedar basa-basi aku pun bertanya pada mas Alam.
“Sepengamatan aku sih, berita yang lagi hot-hotnya itu sekarang tentang artis yang baru putus trus nyambung lagi itu lho mas Alam! Eungggg~ Raffi-Yuni, ya kan?”
Mas Alam menoleh, “Iya, tapi kali ini bukan berita itu yang harus kita liput. Ada yang lebih hot lagi dibandingkan itu.”
Keningku lantas mengernyit, heran. “Oh ya? Berita tentang siapa, mas?” tanyaku penasaran.
“Tentang pemain sepak bola Indonesia jebolan salah satu klub di Inggris, yang katanya musim depan akan merumput di Tanah Air. Kembalinya doi ke Indonesia tuh nggak hanya membela Timnas untuk pra piala dunia, tapi doi juga akan bergabung dengan salah satu klub di Kota Malang. Eunggg~ nggak cuma itu, kamu juga kudu nge-wawancarain tentang hubungan dia dengan pacarnya. Soalnya nih ya, aku dengar-dengar pacarnya tuh pemain bola, model asal Inggris yang katanya juga akan berkarir di Indonesia. Seru kan, Mei?! Untuk pertanyaan selengkapnya kamu bikin sendiri deh tuh.” tutur mas Alam panjang lebar. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali berpikir, kira-kira siapa yah pemain bola yang dimaksud sama Mas Alam? Rasanya tidak mungkin kalau itu kamu. Iya kan?
Pemain bola itu mengaku sudah punya pacar. Lagipula, memangnya di Indonesia ini hanya kamu saja pemain bola yang bermain di Luar Negeri? Enggak, kan? Refleks aku menggeleng kecil, berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan pahit yang bersarang di benakku.
“Kamu kenapa, Mei?”
“Eh, nggak apa-apa kok, mas.” sahutku cepat. “Eungggg~ ngeliputnya sekarang atau?”
“Sekarang lah! Ayo cepat, entar kita ketinggalan sesi wawancaranya lagi.” Mas Alam mengalungkan kameranya dileher. Sejurus kemudian, dia sudah beranjak menuju pintu keluar di ruang kerjaku. Namun, tepat di ambang pintu mas Alam kembali berbalik. Ia mendecak kesal ketika mendapati aku yang --masih-- duduk membatu dikursi.
Come on, tunggu apalagi?”
“Sebentar mas, aku beresin bekas minum dulu. Mas Alam duluan aja ke parkiran, entar aku nyusul.” jawabku beralasan. Pura-pura aku menyibukkan diri dengan cangkir latte dan tatakannya, mas Alam malah menghampiriku. Ditahannya tanganku yang hendak mengangkat cangkir kosong tersebut. “Udah nggak usah. Biasanya juga OB kan yang ngeberesin? Kita udah telat banget nih!” serunya seraya menyeretku keluar dari ruangan. Aku hanya bisa mendesah, pasrah ketika tangan mas Alam mengunci rapat pergelangan tangan kananku.

Kami berjalan bersisian menuju lantai 3 disebuah mall yang menjadi tempat diadakannya konfrensi pers oleh pemain sepak bola itu. Selama perjalanan dari kantor menuju kesini, entah mengapa aku dirundung was-was. Perasaan gelisah selalu mengikuti langkah kakiku. Pun dalam hati aku terus bertanya, mencoba menerka-nerka seperti apakah sosok yang sebentar lagi akan kuwawancarai itu? Mungkinkah dia kamu?
Lagi aku menggeleng keras sambil menggigit kecil bibir bawahku. Kututup kedua mataku rapat-rapat, berusaha menghapus hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Enggak, nggak mungkin pemain sepak bola yang dimaksud mas Alam itu mas Meiga! mas Meiga berjanji kembali untuk aku, bukan untuk bola! Dan dia juga nggak mungkin punya pacar selain aku, apalagi seorang bule! Iya kan?! Kamu nggak mungkin nge-khianatin aku kan, Meig?! Hah! Calm down Meisya, dia bukan mas Meiga.
“Kamu kenapa sih? Kok, aneh gitu?” teguran halus mas Alam yang tiba-tiba itu sukses membuatku menoleh kaget ke arahnya.
“Ah, apanya yang aneh mas?” ucapku balik bertanya, terkesan bodoh memang.
Mas Alam mendecak pelan, “Kamu tahu nggak? Tadi tuh kamu komat-kamit nggak jelas udah kayak dukun yang lagi baca mantra! Masih nggak nyadar juga?” selorohnya gemas. “Kenapa sih? Kamu lagi nggak sakit, kan?” Mas Alam melarikan tangannya ke dahiku. Lalu menariknya lagi setelah sempat menempalkan disana beberapa lama. “Nggak panas,” komentarnya.
“Emang! Yang bilang sakit juga siapa? Nih ya mas, tadi tuh aku cuma lagi nyusun daftar pertanyaan aja. Kebetulan note-nya nggak kebawa, jadi pertanyaannya aku hafalin deh.” jawabku menyeringai kikuk. Berlagak santai, meski sebenarnya aku gugup.
Tiba dilantai 3, mas Alam pun pamit ke toilet sebentar. Ia meninggalkanku di tengah kerumunan para pencari berita yang sama-sama tengah menunggu hadirnya si narasumber. Aku mengambil tempat di salah satu kursi di barisan paling depan. Kursi yang memang khusus disediakan untuk para wartawan.
Sembari menunggu kedatangan si pemain sepak bola itu, aku pun menyibukkan diri dengan ponselku. Mengecek akun twitter-ku yang memang jarang sekali aku buka. Yah, bisa dikatakan sebulan sekali baru aku membukanya. Bahkan, pernah sebulanan penuh aku tidak ada meng-update apa-apa. Dan kali ini, aku rasa sudah seharusnya aku meng-update tweet-ku.
“I dont know why? Tiba-tiba aja jadi deg-degan.” Itulah yang aku tulis diakun twitter-ku. Tak lama setelah itu, orang yang ditunggu para wartawan pun tiba. Buru-buru aku log out dari twitter, lalu menyimpan ponselku itu kedalam tas. Pandanganku belum terarah ke depan, karena aku sibuk celingak-celinguk mencari mas Alam. Fotographer-ku itu belum juga kembali dari toilet.
“Maaf telah membuat kalian menunggu lama,”
Suara itu?! Refleks aku memalingkan wajah. Menatap lurus ke depan, ke arah dimana kulihat kau tengah duduk dengan didampingi seorang perempuan berwajah Indo.
Kukerjapkan mata beberapa saat, berharap penglihatanku itu salah. Okay, kalau penglihatanku memang benar semoga apa yang kulihat kini hanyalah siluetmu saja bukan wujud aslimu. Namun, sayangnya kenyataan malah berkata lain. Dia bilang, this is real! Yang duduk dihadapanku sekarang memang sosokmu bukan sekedar bayanganmu.
“Meiga?” bisikku, nyaris tak bersuara.
“Meisya?” Kulihat mulutmu ikut bergerak, memanggil namaku, tapi tak ada seoktaf pun nada yang kudengar. Dan sama sepertiku kau juga membulatkan mata, sangat terkejut.
Untuk waktu yang cukup lama kita saling menatap tidak percaya. Dunia seakan berhenti berputar dan waktu pun juga ikut berhenti berdetak. Tahukah kamu? Tatapanmu membuat napasku tertahan. Dadaku sesak akibat terlalu lama membendung tangis. Tangis yang aku sendiri tidak tahu apa namanya. Apakah aku menangis bahagia karena akhirnya kau menepati janjimu untuk kembali? Ataukah aku menangis sedih karena melihatmu dengan wanita itu? Wanita yang katanya adalah kekasihmu selama di Inggris.
Ah, rasanya aku sudah tidak tahan lagi berada disini. Mendapati kenyataan bahwa pemain sepak bola yang akan kuwawancarai tersebut adalah dirimu itu SAKIT. Teramat sakit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Rasanya sama saja seperti menusukkan ribuan belati ke jantung ini.
Tanpa pikir panjang lagi, aku pun langsung bangkit dari tempat dudukku seraya bergegas pergi. Tatapan bingung dari para rekan yang seprofesi denganku tidak kuhiraukan. Pun teriakan seseorang yang aku yakin dari mas Alam itu sama sekali tidak kuindahkan.
“Meisya! Meisya, kamu mau kemana?!” teriaknya berusaha mengejarku.
Aku tidak mau menggubris. Kakiku terus berlari sekencang mungkin hingga tanpa sadar aku sudah berada di area parkir mall. Sesaat aku merasa seperti orang yang bodoh. Aku lupa! Aku kesini kan bersama dengan mas Alam, itu pun menggunakan mobil Jeep-nya. Sekarang bagaimana bisa aku pergi dari mall ini? Aku tidak mungkin kembali lagi ke dalam, karena mas Alam pasti akan memborongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa atau lebih tepatnya tidak sanggup untukku jawab. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang hubunganku denganmu. Lalu, bagaimana ini?
Beruntung ada sebuah taksi biru yang melintas didepanku. Buru-buru aku melambaikan tangan, “Pak, stop Pak!”

Taksi biru ini mengantarkanku kesebuah tempat yang sangat berkesan untukku. Tempat favorit sekaligus tempat yang nantinya --mungkin-- tidak akan pernah kukunjungi lagi.
Yah, Love is M. Kau masih ingat tempat ini, kan?
Dengan langkah gontai, kudaki bukit tersebut untuk mencapai puncaknya. Kuseret kedua kakiku dengan sangat tak bersemangat. Padahal tingginya hanya beberapa meter, tapi aku merasa seperti berkilo-kilo meter. Langkahku benar-benar berat, mungkin ini efek dari beban yang ada dihatiku? Entahlah!
Setibanya diatas bukit, aku pun merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, menghirup udara bebas sebelum aku mengambil ancang-ancang untuk berteriak.
“KAMU JAHAT! KAMU TEGA! KAMU BENER-BENER NGGAK PUNYA PERASAAN! AKU BENCI SAMA KAMU! ARRRGGGGHHHHHH.....”
Selesai berteriak tubuhku pun merosot. Aku terduduk lemah dibawah rerumputan yang agak basah, akibat hujan semalam. Tangis yang sedari tadi aku tahan akhirnya tumpah juga. Pertahankanku ambruk. Aku menangis sejadi-jadinya.
Kupikir setelah tangisku reda nanti semuanya akan baik-baik saja, tapi nyatanya menangis pun tak menjadikan hati ini lebih tenang, justru semuanya terasa lebih menyesakkan.
“Ibu benar. Setiaku sia-sia,” lirihku tersenyum kecut.

*

‘Tok.... Tok.... Tok....’
Dari bawah selimut tebalku, aku masih bisa mendengar ketukan pintu yang berasal dari luar kamarku itu disusul dengan sebuah teriakan yang cukup keras. “Mei, buka pintunya. Ibu tahu kamu belum tidur.”
Ibu? Aku membatin dalam hati. Segera ku usap lelehan air mata yang sejak di bukit Love Is M tadi hingga setibanya dirumah kini terus menganak-sungai dipipiku. Setelah menyingkirkan selimut polkadotku dari tubuh, aku pun bergerak menuju daun pintu.
Dan ketika pintunya terbuka, Ibu tersenyum padaku. Tatapan hangatnya menghujam tepat dikedua bola mataku. Membuatku ingin kembali menangis, menyesal karena tidak pernah mendengarkan apa katanya tentang dirimu. Bagaimana tidak? Kemungkinan-kemungkinan yang dulu dikhawatirkan Ibu, benar-benar terjadi sekarang.
“Boleh Ibu masuk?”
Aku mengangguk, tentu. Bersamaan dengan itu Ibu pun melenggang masuk ke dalam kamarku dan kuikuti langkah kecilnya di belakang.
“Tadi sore Alam kesini, dia nyariin kamu.” Ibu berhenti ditepi ranjang, duduk menghadap ke daun jendela. Lagi, aku mengikutinya. “Trus, Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang, kamunya belum pulang. Ibu tidak berbohong, kan?”"
“Hmm,” dehemku ringan. Syukurlah kalau begitu.
“Ibu lihat Alam sangat mengkhawatirkanmu, Mei. Memangnya tadi kamu kemana? Tidak biasanya kamu pulang malam begini,” Buru-buru aku bangun dari atas ranjang, mendekati meja kerjaku guna mengambil tas tangan yang memang kuletakkan disitu. Lalu, tanganku segera merogoh ke dalamnya, mengambil ponselku yang sejak di bukit tadi tersimpan jauh dalam tas dengan modus silent.
Aku terkejut melihat 20 missed call dan 5 message dari satu nomer yang sama. Mas Alam, dia benar-benar mengkhawatirkanku.
“Nggak kemana-mana kok, Bu. Di kantor aja,”
“Jangan bohong kamu! Kamu tidak pandai berbohong didepan Ibu, Meisya.” sela Ibu cepat. Kulirik Ibu melalui pundak, tampak ia yang menatapku lekat-lekat. Ah, aku tidak suka tatapan itu! Tatapan tegas yang memaksaku untuk berkata jujur.
Well, tadi Meisya jalan-jalan sebentar. Kelamaan di kantor juga bikin penat.”
“Apanya yang penat? Hati kamu?” sahut Ibu menohok tepat dijantungku. Kurasakan langkahnya yang kian mendekat, menghampiriku yang masih berdiri mematung di depan meja kerjaku.
“Ibu sudah tahu semuanya. Ibu baru saja melihat beritanya tadi sore, diacara infotainment.”
“......” Aku terdiam seribu bahasa. Kurasakan cairan hangat mulai mengumpul dipelupuk mataku -lagi-, sukses mengaburkan pandanganku. Pun ingatanku kembali berputar pada kejadian tadi siang. Dimana untuk yang pertama kalinya aku melihat kau duduk bersisian dengan wanita lain. Catat, WANITA LAIN yang itu artinya bukan diriku, KEKASIHMU. Seharusnya kau sadar dan ingat, jika sampai saat ini belum ada kata putus diantara kita berdua. Status kita masih berpacaran, tapi kenapa kau malah tega menduakan aku, hah?!
“Mei,” Ibu menyentuh lembut pundakku yang masih berdiri memunggunginya. “Setia itu tidak salah, sama sekali tidak. Yang salah adalah kalau kamu terus-terusan mematung disatu pintu yang tidak pasti, hingga mengabaikan pintu-pintu lain yang terbuka meski hanya sementara.” lanjutnya penuh makna.
Tak kuasa lagi menahan tangis aku pun berbalik dan menghambur kepelukan Ibu. Air mataku tumpah dibahunya. “Ibuuuuuuuu,”
“Sudah, sudah.” kata Ibu menenangkanku. Diusapnya bahuku yang berguncang hebat dengan gerakan yang teratur. Dalam peluknya kini aku merasa tenang, perasaanku menjadi sedikit lebih lega. Yah, at least dalam kesendirianku ini aku tidak benar-benar sendiri. Masih ada Ibu yang setia berdiri disampingku.
Lama kami berpelukan, hingga akhirnya dering ponselku yang berbunyi nyaring menyudahi semuanya. Kuraih ponselku itu dan membawanya ke tepi jendela, agak menjauh dari Ibu.
“Iya, ada apa mas?” ucapku setelah menekan tombol hijau.
“Meisya, kamu kenapa? Kok, tadi belum wawancara udah langsung balik, sih?! Kamu baik-baik aja kan?!” Si penelepon langsung menyerbuku dengan beberapa pertanyaan. Terdengar nada panik diseberang sana yang membuatku sedikit merasa diperhatikan.
“Aku baik-baik aja kok, mas. Tadi buru-buru karena ada sedikit urusan. Dapet telepon dari someone gitu,” jawabku memberikan alasan. Diseberang sana Mas Alam --si penelepon-- pun mendesah lega.
“Bos marah banget yah?”
“Banget! Besok siang kita disuruh wawancara ulang, tuh. Eksklusif katanya! Cuma kamu, aku, Meiga dan juga pacarnya. Langsung di Four Season Café jam 11 siang, jangan sampai nggak dateng yah! Okey? Selamat malam.”
“Tapi, mas........”
‘Tut... Tut... Tutttttt....’
Telepon langsung diputus sepihak oleh Mas Alam. Dengan sedikit kesal kutaruh kembali ponselku itu ke tempat asalnya--meja kerja.
“Siapa?”
“Mas Alam.”
“Oh,” Ibu menganggukkan kepalanya tanpa banyak bertanya. Sementara aku hanya mampu menarik napas dengan berat. Rasanya aku tidak sanggup membayangkan bagaimanakah suasana wawancaraku denganmu yang berlangsung besok. Berjalan dengan lancar, kah? Atau......... Entahlah!


Bersambung........

Eits, sebelum keluar tinggalkan jejak dulu yah cemans-cemans J
*

Mobil Swift merah milikku masuk dan berhenti di area parkir Four Season Café tepat ketika jam di tanganku menunjukkan pukul 11 lewat 10 menit. Macet dijalanan tadi membuatku terlambat datang kesini. Segera aku mengunci mobil lalu melangkah masuk dengan tergesa-gesa.
Sesampainya didalam Café, kuedarkan pandanganku keseluruh sudut guna mencari keberadaan mas Alam. Dan untungnya siang ini café tidak terlalu ramai, jadi dengan mudah aku bisa melihat lambaian tangan mas Alam yang duduk disalah satu meja café.
“Sorry, saya terlambat.” kataku seraya menempatkan diri disamping mas Alam. Sebuah kursi yang berhadapan tepat didepanmu. Awal yang buruk, kurasa.
“Nggak masalah. Walaupun kamu datangnya nggak on time, seenggaknya yah in time lah.” seloroh Mas Alam tersenyum hangat.
“Nah, Meiga, perkenalkan dia ini Meisya. Dia yang akan mewawancari kamu.” Mas Alam menatapmu, lalu tak lama kemudian ia beralih menatapku. “Meisya, dia yang namanya Kurnia Meiga dan itu pacarnya yang bernama Clara Millane. Clara belum bisa berbahasa Indonesia, jadi pertanyaannya biar di-translate ke bahasa Inggris yah?” Mas Alam sedikit memberikan instruksi yang kujawab dengan anggukkan kepala saja.
Kau tersenyum padaku. Untuk yang pertama kalinya dalam-tiga-tahun terakhir, akhirnya aku bisa melihat senyummu lagi dari jarak yang sedekat ini.
Kerinduanku membuncah seketika. Ingin rasanya aku mendekapmu, menumpahkan rasa rindu yang terpendam didada bidangmu, tapi apalah daya aku tidak sanggup. Kenyataan melarangku untuk melakukannya.
“Meiga,” Kau mengulurkan tanganmu. Kemudian, dengan agak ragu dan kikuk, aku pun menjabatnya. “Meisya.”
Kuperhatikan wajahmu lekat-lekat, tidak ada yang berubah dari parasmu. Kau masih Meiga yang dulu. Hanya saja, kau kembali dengan membawa hati yang baru, dan itu bukan aku. Ah, sadar akan hal itu cepat-cepat aku menarik tanganku dari genggamanmu.
“My name is Clara Millane. Whats your name?” Kekasihmu tersenyum ramah, ikut menyodorkan tangan ke arahku. Kuakui, dia cantik. Tinggi semampai sama sepertimu. Postur tubuhnya sangat cocok jika disandingkan denganmu.
“Meisya Putri Arifin. You can call me Meisya. Nice to meet you Clara,” jawabku ikut tersenyum. Meski aku yakin senyumku terlihat sangat dipaksakan sekarang.
“Okey, sebelum wawancaranya kita mulai, sebaiknya kamu pesan minum dulu, deh. Mau pesan minum apa?” tanya mas Alam padaku. Aku menggeleng pelan, “Nggak usah, mas. Aku nggak haus, kok. Mending wawancaranya kita mulai sekarang aja. Bukannya lebih cepat lebih baik? Lagian hari ini aku ada acara, jadi mesti pulang cepat.” tolakku sengaja menatapmu. Kulihat kau langsung mengalihkan pandanganmu buru-buru, tak mau menatap kedua mataku. Entahlah, apakah kini kau merasa bersalah?
Langsung saja ku keluarkan tape recorder dari dalam tas guna merekam sesi wawancara diantara kita. Untungnya, aku bisa melewati semuanya dengan tenang. Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulutku dengan begitu lancar. Dan kau pun terlihat santai. Menjawab semuanya tanpa ada beban, seolah kita baru kenal dan diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Sedangkan mas Alam sendiri, dia hanya duduk anteng dikursinya. Sesekali kulihat dia mengambil gambarmu dan kekasihmu, lalu kembali duduk dan mendengarkan.
“Oke. Sekarang, saya akan bertanya dengan Clara. Eunggg~ Clara, how long have you and Meiga dating?
Not long, only three months” jawabnya menatapmu. Kau pun balas menatapnya dengan mesra. Cih! Aku membuang muka, tak ingin melihat sesuatu yang malah membuatku semakin sakit. KAU dan DIA.
Okay, tiga bulan bukanlah waktu yang lama. Ibarat kata hubungan yang baru seumur jagung. Bisa terjadi apa saja diumur semuda itu termasuk..........putus? Ah, bicara apa aku! Buru-buru aku menggeleng, berusaha untuk kembali fokus dengan pertanyaan yang tertera di note kecilku.
“Where the first time you meet?”
“At a celebration event. While he was celebrating the victory with his club. While the people were talking about him. At first we didn't know each other.” Aku mendengus. Jawaban Clara --secara tidak langsung-- membuatku berpikir bahwa dia hanya mencintai ketenaranmu saja. Entahlah, mungkin aku berpikir buruk seperti itu hanya karena aku iri padanya. Aku masih tidak rela jika dia yang menggantikan posisiku dihatimu. Yah, maybe, aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja pikiran itu muncul dibenakku.
Aku menekan tombol pause ketika Clara izin ke toilet sebentar. Untuk beberapa saat wawancara dihentikan.
Bertiga aku, kamu, dan mas Alam duduk dalam diam. Teramat tenang, hingga terkadang mas Alam harus melemparkan pertanyaan yang tidak ada dalam daftar demi mencairkan keadaan. Sialnya adalah ketika ponsel mas Alam bergetar. Ada panggilan masuk yang membuatnya menarik diri dari kita.
“Bentar yah?” Sejurus kemudian mas Alam menjauh.
Kini, hanya ada aku dan kamu dimeja ini. Rasanya canggung. Kita seperti orang yang tidak pernah kenal. Kau tahu? Duduk semeja dengan orang asing tentu bukanlah hal yang menyenangkan.
Kuketuk-ketukkan jariku diatas meja sehingga menimbulkan bunyi kecil yang setidaknya dapat mengurangi suasana hening yang menyelimuti kita. Dapat kurasakan, kau menatapku lama sekali. Sadar akan hal itu, akupun tidak berani mendongak. Bukannya takut, aku hanya tidak ingin kerinduan didadaku melompat keluar jika nantinya aku menatap mata elangmu. Lagipula, bukankah yang salah itu kau? Untuk apa aku takut?
“Mei,” Kau memanggilku pelan, teramat pelan hingga aku mendengarnya seperti sebuah bisikan. Bisikanmu yang memang aku rindukan. Bukan sekedar hanya, tapi sangat sangat sangat kurindukan. Kesal tidak mendapatkan respon apa-apa, kau pun dengan beraninya menyentuh telapak tanganku yang sibuk mengetuk-ngetuk meja café.
Refleks aku mendongak dengan napas yang mendadak tertahan. Harus kuakui, sudah lama aku menginginkan sentuhanmu, aku merindukannya, tapi bukan disaat seperti ini. Disaat hatimu bukan lagi untuk aku. Disaat ragamu sudah menjadi milik yang lain.
“Maafin aku Mei,” bisikmu diiringi seulas senyuman yang tulus.
“........”
“Aku mohon, lupakanlah aku.”
LUPAKAN?! Lupakan kamu bilang?! Sekedar menyuruh itu memang mudah, Meig. Tapi kalau dirimu sendiri yang harus melakukannya, apa kamu bisa? Sekuat tenaga aku menarik napas, meski tenggorokanku kini tercekat. Namun, sayang sia-sia. Bibirku mulai bergetar, pertanda tembok pertahankanku yang akan jebol sebentar lagi.
“Kamu jahat!” teriakku pelan. Tegas namun tak mampu menutupi getaran yang ada. Bersamaan dengan itu kutarik tanganku dengan kasar seraya bangkit dari tempat duduk. Lalu, detik selanjutnya aku pun sudah berlari kecil menuju pintu keluar café dengan --tanpa sengaja-- meninggalkan tape recorder dan note kecilku diatas meja café.
Dari arah yang berlawanan seseorang mencekal lenganku. Ketika aku menoleh sekilas, ternyata mas Alam-lah si pelakunya.
“Kamu mau kemana? Wawancaranya belum selesai.”
“......” Aku diam, tak bisa menjawab. Kutundukkan wajahku dalam-dalam agar mas Alam tak dapat melihat bulir-bulir bening yang menetes perlahan namun pasti dikedua belah pipiku.
“Kamu nangis yah?” tanya mas Alam lagi. Entah dia hanya menebak atau memang sangat terlihat kentara sekali dari bibirku yang bergetar bahwa aku tengah menangis, aku tidak tahu.
Aku menggeleng lemah, “Lepasin aku mas,” kataku pelan.
Wajahku mendongak sedikit. Tahu aku benar-benar menangis, dahi mas Alam semakin mengernyit heran. “Mei, kamu kenapa sih sebenernya?”
“Aku bilang lepas!” seruku seraya menaikkan nada bicaraku satu oktaf. Akhirnya, dengan berat hati mas Alam pun melepaskan tangannya dari lenganku. Dan aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini, buru-buru aku berlari kecil menuju Swift merahku yang terpakir rapi dibawah pohon palem, lantas melajukannya dengan kecepatan sedang.

*

Sejak insiden itu, terhitung sudah hampir seminggu ini aku membolos dari pekerjaan. Aku pasrah dengan apapun keputusan pimpinanku. Seandainya nanti aku dipecat pun, aku sudah siap. Bahkan sangking siapnya, kini aku telah membuat surat lamaran kerja baru dengan jabatan yang sama seperti di kantorku yang sekarang. Yah, sekedar berjaga-jaga.
Disaat aku tengah bergelut dengan laptop-ku guna membuat surat lamaran kerja itu, tiba-tiba saja Ibu datang menghampiriku. Dia bilang, di luar ada mas Alam. Kontan alisku terangkat sebelah, mempertanyakan maksud kedatangan teman kantorku itu ke rumah. Ya meskipun agak bingung, tapi toh akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya juga.
Setibanya di beranda, aku tersenyum hangat ketika mendapati mas Alam yang berdiri menyender disalah satu pilar penyangga teras. Raut wajahnya nampak kuyu, gurat-gurat kelelahan terlihat jelas disana, sepertinya sih dia kurang tidur.
“Assalamualaikum, Mei.”
“Walaikumsalam. Ayo masuk, mas.” suruhku mempersilahkan.
“Nggak usah, Mei. Diluar aja nggak apa-apa, kok.” tolaknya dengan senyuman yang mengembang lebar. Aku mengangguk tidak masalah dan kemudian menyuruhnya duduk dikursi teras sembari menunggu aku yang pamit ke dalam rumah sebentar untuk membuatkan minum.
Tak lama kemudian, aku pun kembali dengan membawa serta nampan yang berisikan secangkir teh hangat lengkap dengan sepiring kecil brownies disampingnya. Kuletakkan kudapan tersebut dihadapan Mas Alam yang sedari tadi tersenyum memperhatikanku.
“Silakan diminum dulu tehnya, Mas. Kuenya juga dirasain. Itu brownies bikinan aku sendiri lho!” kataku seraya menempatkan diri di kursi yang berhadapan langsung dengan mas Alam. Dia mengangguk satu kali sambil mengangkat cangkir teh dari atas tatakannya.
“Nggggg~ Tumben Mas Alam pagi-pagi udah main ke rumah. Ada apa yah, mas? Kok, nggak kerja?” tanyaku disela-sela aktifitas mas Alam yang tengah menyeruput minumannya.
“Aku izin tadi. Dan lagian, aku cuma pengen tahu keadaan kamu aja. Udah hampir seminggu nggak masuk kantor.” Mas Alam menghela napas panjang, lalu menatapku lekat-lekat. “Sebenernya kamu kenapa sih, Mei? Semenjak ketemu dengan si Meiga-Meiga itu kamu mendadak aneh. Sering kelihatan murung, nggak bisa fokus, dan satu yang paling aku nggak ngerti; sudah dua kali kita mau ngewawancara si Meiga, dan dua kali itu juga kamu malah main kabur-kaburan. Kenapa, Mei? Kamu ada masalah sama dia? Ya, maksud aku mungkin kalian sudah pernah kenal sebelumnya. Iya, gitu?” lanjut Mas Alam mengintrogasi diriku panjang lebar. Tatapan menyelidik dan juga perkiraannya yang tepat sasaran itu membuatku tak mampu berkutik lagi. Tersudut, tak sanggup untuk mengelak.
Aku menggigit kecil bibir bawahku dengan wajah yang mulai memucat. Bingung hendak menjawab apa, karena yang ku tahu mas Alam bukan hanya meminta jawaban tapi juga penjelasan. Dan terlalu susah untukku menjelaskan ini semua, pasalnya menceritakan kembali apa yang sebenarnya terjadi diantara aku dan kamu itu rasanya seperti mengoyak luka yang masih basah. Perih! Teramat perih, mengingat aku yang kini tengah berusaha untuk melupakanmu. Melupakan hubungan yang pernah terjalin diantara kita. Lalu, kalau aku disuruh untuk kembali mengingatnya, sama saja bohong! Sementara aku, sedikit demi sedikit, kini sudah mulai bisa melupakanmu. Merelakan semua yang telah lalu.
“Dia, dia.......”
“Dia masa lalu kamu?” potong Mas Alam cepat. Serta-merta sepasang mata milikku membulat penuh. Ekspresi keterkejutan yang cukup meyakinkan mas Alam jika tebakannya itu memang benar.
Lagi, dia menghembuskan napas dengan pelan. “Jadi, benar kamu ada masalah dengan dia? Kenapa nggak langsung diselesaikan aja, sih? Biar semuanya cepat clear. Jangan menghindar dari masalah deh, Mei. Itu bukan pilihan yang tepat.”
“Iya, aku tahu mas. Tapi, bisa kan kita nggak usah bahas itu dulu? Aku udah nggak mau ngomongin itu lagi.” tandasku tanpa menatap kearahnya. Kualihkan pandanganku ke mana saja asal tidak melihat wajah mas Alam. Rasanya kesal juga diselediki seperti ini, karena aku pikir ini adalah urusan kita berdua dan mas Alam tidak berhak untuk mencampurinya.
Well, ini emang masalah pribadi kamu dan kamu berhak memutuskan untuk membaginya ke aku atau enggak.” Mas Alam terdiam sejenak, menarik napas panjang. Terlihat dari ujung mataku, pandangannya berubah menjadi agak sayu sekarang. “Maaf, kalau kamu nggak suka aku ikut campur. Tapi, jujur, aku nggak bermaksud bikin kamu marah.” sambungnya pelan, membuatku terenyuh dan berpikir; Apaan sih? Masa diginiin aja udah marah? Sensitif banget.
Segera aku pun menyahut, “Nggak apa-apa kok, mas. Lagian, aku juga nggak marah, kok.” sangkalku tersenyum meyakinkan.
Mas Alam pun mengangguk percaya. Sesaat dia terdiam lagi. Mas Alam seperti mencari-cari topik pembicaraan baru. Yang pas, yang tidak membuat mood-ku hancur. Cukup lama juga dia membisu, hingga akhirnya ia kembali membuka obrolan.
“Oh ya. Kapan kamu mau masuk kerja? Ini udah hampir seminggu lho! Nggak ada kamu di kantor mah sepi. Kalau kerja mesti nggak ada temennya.”
Aku terkekeh mendengarkan penuturannya yang secara tidak langsung mengungkapkan bahwa dia merindukanku. Entah mengapa ada perasaan aneh yang perlahan-lahan menyusup didalam dadaku. Perasaan senang yang menggelitik ketika tahu dia membutuhkan kehadiranku.
“Nggak tahu deh, mas. Sekarang aku lagi nunggu surat pemecatan dari Bos aja.”
“Hussstttt! Ngomong apa sih kamu? Kamu tuh masih bagian dari perusahaan tahu! Nggak ada tuh pecat-pecatan.” sahut mas Alam sedikit sewot.
“Enggak lah, mas. Karyawan yang nggak bertanggung jawab kayak aku pantasnya memang dipecat. Aku udah bolos hampir seminggu. Pasti besok surat pemecatannya diantar ke rumah, deh.”
“Nggak mungkin! Secara, selama kamu nggak masuk kerja keterangannya dibuku absen kantor tuh kamu sakit, nggak ada tuh kata-kata bolos.”
“Hah?! Kok bisa?!” tanyaku terlonjak kaget.
“Bisalah! Aku tuh yang buat surat keterangannya. Untungnya sih Bos percaya-percaya aja kalau kamu sakit.”
Pengakuan mas Alam membuatku termangu. Kenapa dia mau melakukan ini untuk aku? Selama aku tidak masuk kantor, pasti dia kewalahan dengan tugas-tugas yang mau tidak mau harus dikerjakannya seorang diri. Mungkin itu juga yang membuatnya nampak lebih kuyu dari biasanya.
Ah, dia begitu baik terhadap partner-nya, aku. Ngggg~ bukan hanya begitu, tapi sangat teramat baik.
“Mei, Besok kamu masuk yah? Masa sakit lama bener! Entar bos keburu curiga lagi.” celetuk mas Alam mengagetkanku.
Refleks aku menoleh, dan mengangguk dengan cepat. “Ah, iya Mas, iya. Makasih atas bantuannya.” kataku gugup. Hoh! Sejak kapan aku jadi salah tingkah begini didepan Mas Alam? Ini tidak seperti biasanya, batinku aneh.
“Nggak masalah. Oh iya, kemarin tabloidnya udah terbit. Nih,” Mas Alam mengeluarkan bundelan tabloid dari dalam tas kerjanya. Aku melongo, “Oh ya?! Kok bisa terbit sih, Mas? Bukannya wawancaranya kemarin belum selesai?”
“Kalau pimpinan redaksi mah nggak peduli mau wawancaranya sudah selesai atau enggak, yang penting kalau waktunya deadline laporan harus sudah ada dimeja kerja dia. Dalam keadaan perfect! Ya, karena kemarin kamunya kabur, terpaksa deh aku yang nyempurnain hasil wawancaranya. Lagipula, kebetulan semalem tape recorder sama note kecil kamu ketinggalan di meja café. Jadi, cukup mempermudah aku lah.”
Dan lagi, untuk yang kesekian kalinya aku merasa tersanjung dengan kebaikan Mas Alam. Terus terang aku jadi merasa tidak enak.
“Terima kasih banyak yah, Mas. Kayaknya aku perlu banyak belajar bertanggung jawab dari mas Alam, nih!” ujarku menggodanya.
Mas Alam tertawa ringan sambil mengibaskan sebelah tangannya di depanku. “Nggak usah berlebihan. Biasa aja. Aku ikhlas kok nolongnya,”
“Demi aku?”
“Ya demi perusahaan lah!” jawab mas Alam sukses membuat kedua pipiku mengembung seketika, aku merajuk. Lalu, dia tertawa. “Demi kamu juga deng!” sambungnya, mengacak-acak puncak kepalaku.
Aku tertegun merasakan sentuhannya. Bagaimana tidak? Mas Alam adalah pemuda kedua --setelah kau-- yang pernah menyentuh mahkotaku, rambut panjangku. Tidak ada pemuda lain, kecuali kalian berdua yang pernah menyentuhnya. Ya, baru kalian. Lalu, apakah itu artinya mas Alam adalah sosok kedua yang diberikan Tuhan sebagai pengganti dirimu dihatiku? Maksudku, apakah dia yang akan menggantikan hadirmu -yang-dulu-pernah-ada dihidupku? Ah, aku tidak ingin berharap lebih, karena belum tentu dia menyukaiku. Iya kan?

*

Hari terakhir dibulan Desember. Itu artinya sudah dua minggu lebih aku berusaha melupakan bayang-bayangmu yang terkadang masih saja menari dengan indah dibenakku.
Berhasilkah aku? Sedikit. Yah, setidaknya frekuensi menangisku berkurang. Yang dulunya setiap hari hampir-tidak-pernah-tidak meneteskan air mata, kini dalam seminggu bisa dihitung menggunakan jari. Aku tengah mencoba untuk fokus dengan kehidupanku yang sekarang, membiasakan diri hidup tanpa dirimu lagi, memulai semuanya dari awal. Aku tahu itu susah dan butuh waktu, but I can do it! Bukankah semuanya akan berjalan dengan lancar selagi ada tekad dan kemauan yang kuat? Sekarang aku hanya perlu bangkit, berlari menjauh dari keterpurukan. Lagipula ini hanya masalah cinta, dear! Tak akan pernah kubiarkan pengkhianatanmu membunuh diriku secara perlahan.

Oh ya, tahukah kamu? Beberapa hari yang lalu Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku pikir ada suatu hal penting yang ingin ia sampaikan, oleh sebab itu aku bergegas membukakan pintu. Tapi, nyatanya dia hanya memberitahukan padaku tentang gosip yang baru-baru ini beredar di infotainment.
Gosip mengenai kau dan kekasih barumu yang katanya........putus? Benarkah itu? Aku juga tidak tahu. Infotainment bilang, Clara Millane telah berselingkuh dengan salah satu artis, lebih spesifik-nya adalah bintang film kawakan.
Pada saat itu, dengan berapi-api Ibu mengatakan bahwa itu adalah KARMA, akibat dari pengkhianatan yang kau lakukan padaku.
Aku hanya mendecak kesal, tak ingin membahasnya lagi. “Sudahlah, Bu. Mungkin itu cuma gosip. Biasalah, kalau artis pendatang baru mesti cari sensasi! Biar cepat naik daun, kali.” Seperti itulah komentarku kemarin, bersikap seakan tidak peduli dengan berita kurang enak yang menimpa kalian. Padahal dalam hati, aku mulai berpendapat; kalau benar Clara selingkuh, besar kemungkinan dia tidak mencintaimu dengan tulus. Dia hanya menumpang ketenaranmu saja, lalu setelah menemukan seseorang yang jauh-lebih-terkenal daripada kau, dia pun berpaling meninggalkanmu. Yah, menurutku didunia hiburan hal seperti itu sudah biasa terjadi, demi mendongkrak popularitas.
Sebenarnya di kantor pun ramai membicarakan gosip tersebut. Dan bos juga menyuruhku untuk mencari tahu kebenarannya, tapi aku menolak. Aku lebih memilih untuk meliput berita lain, meski akhirnya berimbas buruk pada honor yang kudapat. Tak apa, aku pikir untuk beberapa waktu menghindar lebih baik. Yak! Cukup, tidak perlu dibahas terlalu panjang.

‘Drrttttt..... Drrrttttt...... Drrrtttt......’

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika handphone-ku bergetar menandakan adanya sebuah pesan masuk.
Dengan masih mengenakan baju mandi, dan handuk yang melilit dirambut, aku pun membuka isi pesan singkat tersebut.

Malam ini kamu ada acara nggak? Gimana kalau ngerayain malam tahun barunya bareng aku aja? Tapi sebelumnya, kita dinner dulu di Twenty Night Café ;) aku yang traktir deh! Gimana, Mei? Bisa nggak?

Sender: (+62858715*****)
Sent: 31/12/2011, 17:55:03

Aku menimbang-nimbang sejenak tawaran dari mas Alam yang ia kirim via sms tersebut. Sesaat bibirku tertarik mengukir senyum dengan mata yang masih tertuju ke layar handphone. Entah mengapa ada perasaan senang yang rasanya tak bisa kusembunyikan. I don't know, rasanya senang aja diajak jalan dengan mas Alam. Apakah ini pertanda bahwa hatiku mulai terbuka untuk sosok lain?
Tanpa membuang-buang waktu lagi, langsung saja kularikan kedua jempolku ke atas keypad handphone guna membalas pesan singkat darinya.

Sip, mas. Jemput aku ya :)

Send.
Kutekan tombol hijau, maka terkirimlah sudah balasannya.
Kemudian, kulirik jam digital yang bertengger disisi lampu tidur. Waktu menunjukkan pukul 6 sore, masih banyak waktu untuk berbenah diri kurasa.
Dengan perasaan campur aduk antara senang, gugup, gelisah, dan bingung, kuseret kakiku menuju lemari pakaian. Kukeluarkan semua gaun terbaik yang aku punya, dan kucoba satu per satu didepan kaca.
Damn! Dari sekian banyak gaun yang aku punya tidak ada satupun yang cocok untuk kukenakan malam ini. Semuanya terlalu formal! Akhirnya pilihanku jatuh pada sweet T-shirt berwarna baby pink yang kupadu padankan dengan skinny jeans berwarna hitam pekat. Casual rasanya tidak pernah salah. Toh, mas Alam hanya mengajakku keluar untuk merayakan tahun baru bersama, bukan kencan yang biasanya disiapkan jauh-jauh hari.
Setelah yakin dengan apa yang kukenakan, aku pun lalu mematut diri didepan cermin. Kuambil sebentuk sisir dari kotak rias seraya menyikatkannya dengan lembut dirambut hitamku yang panjangnya sedikit melewati pundak. Kubiarkan dia jatuh tergerai tanpa ada hiasan walau hanya sebuah jepitan pun, polos, simple sama seperti kostum yang melekat ditubuhku.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. “Mei,” terdengar suara bariton milik Ayah yang memanggilku nyaring.
Aku menyahut dari dalam, “Masuk aja Yah, nggak dikunci!”
Pintu langsung terbuka. “Kamu ada janji yah dengan orang? Tuh, orangnya sudah datang. Dia nunggu kamu di teras.” kata Ayah tanpa beranjak dari daun pintu.
“Hah? Mas Alam udah datang?” Aku mendelik heran. “Cepat banget! Emangnya ini udah jam berapa sih?” gumamku pelan lantas melemparkan pandangan ke arah jam digital berwarna pink lembut yang melingkar dipergelangan tangan kiriku.
Jam delapan?! Ya ampun! Refleks aku menepuk jidat lalu berseru cepat, “Oh ya udah, sebentar lagi Mei turun ke bawah deh.”
Ayah mengangguk lalu menutup pintu kamarku.
Mendadak aku jadi panik sendiri. Waktu terasa berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar sudah menghabiskan dua jam hanya untuk terlihat ‘nyaman’ dimata mas Alam. Kutaburkan bedak tipis diwajah dan kusapukan sedikit lipgloss dibibir dengan gerakan super kilat. Lalu, aku menuruni anak tangga dengan langkah yang amat tergesa-gesa.
Sampai di beranda rumah, aku merapikan penampilanku sekali lagi --untuk memastikan aku tidak terlihat buruk-- sebelum akhirnya menepuk pundak pemuda (yang kupikir mas Alam) yang posisinya tengah berdiri membelakangiku.
“Mas Alam,” panggilku pelan. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok pemuda yang kukira dia -mas Alam- ternyata adalah KAMU. Tak ayal lagi kedua pupil mataku membulat penuh, tidak menyangka. Mulutku terbungkam rapat, begitu juga dengan senyum yang tadinya mengembang perlahan-lahan mulai memudar.
“Mei, tunggu!” Kau mengunci pergelangan tanganku dengan kuat. Menghentikan langkahku yang hendak masuk ke dalam rumah.
“Mau ngapain kamu kesini?” tanyaku dingin, tanpa memalingkan wajah ke arahmu.
“Aku mau bicara sama kamu sebentar,”
“Aku lagi sibuk!” sahutku ketus seraya meyentakkan genggamanmu dari tanganku. Tepat ketika handel pintu kugenggam, kau pun mencekalku lagi, kali ini dibagian lengan. Aku mencoba berontak, tapi tangan kokohmu mengandung tenaga yang lebih besar dibandingkan lenganku, cengkramanmu kali ini lebih kuat dari yang pertama, alhasil usahaku pun tidak banyak membantu.
Please, aku minta waktumu sebentar aja Mei. Ada suatu hal yang mesti kujelasin ke kamu. Ada suatu hal yang harus kita omongin berdua sekarang.”
Spontan aku membalikkan badan, menatap kedua manik matamu dengan sinis lantas membuka suara, “Nggak perlu, Meig. Aku pikir semuanya sudah sangat jelas. Sekarang, aku cukup tahu aja kalau ternyata ketenaran itu juga bisa merubah hati seseorang yah?” sindirku tersenyum kecut.
“Mei, aku-----“
“Kamu tahu nggak, sih?! Bertahun-tahun aku hidup dalam kesendirian, menahan diri untuk nggak jatuh cinta dan ikhlas terkurung di dalam rindu yang nggak tertahankan, itu semua cuma DEMI kamu! Aku rela nunggu kamu kembali dari Inggris selama apa pun itu asal kamu membalas kesetiaanku, Meig. Tapi, apa yang aku dapat? Kamu malah TEGA khianatin aku!” sambungku dengan satu tarikan napas. Seakan tidak memberimu kesempatan untuk menjawab, mulutku pun kembali terbuka. Suara hati yang lama kupendam, kini kutumpahkan dengan emosi yang --untungnya-- masih bisa kukendalikan.
“Seandainya dari awal aku manut apa kata Ibu bukan kata hati aku, mungkin pengkhianatanmu nggak akan terasa sesakit ini. Nggak akan terasa seperih ini, Meig.” kataku pelan nyaris berbisik. Mulutku bergetar. Dapat kurasakan air kepedihan yang mulai menggenang dipelupuk mataku yang siap tumpah dalam sekali kedip.
“Mei, maaf,” lirihmu seraya mendekap tubuhku dengan erat. Aku ingin mendorong tubuhmu, menghindar, menolak pelukan ini, tapi ku urungkan saja niatku tersebut. Aku harap ini adalah pelukan yang terakhir sebagai tanda permintaan maaf-mu.
Please, aku mohon maafin aku, Mei.” ulangmu masih dalam posisi memelukku. “Semestinya dari awal aku sadar cuma kamu yang tulus mencintai aku, apa adanya bukan ada apanya.” Perlahan-lahan kau melonggarkan pelukanmu, lalu merangkum wajahku dengan hangat. Sesaat aku tertegun. Aku sadar kini kau telah menyesal. Ternyata, gosip itu memang benar adanya; hubungan kalian sudah berakhir.
“Aku pengen kita kayak dulu lagi, Mei. Kita ulang semuanya darinya awal. Okey?” pintamu penuh harap.
Aku menghela napas panjang dan berat. Menguatkan hati atas jawaban yang kupilih, berusaha untuk bersikap konsisten dan kebal terhadap godaan.
“Enggak, aku nggak bisa.” jawabku pada akhirnya, sengaja membuang muka demi menghindari tatapan memelasmu yang sewaktu-waktu bisa saja meluluhkan hatiku itu.
Kau mendesah kecewa sembari menurunkan tanganmu dari wajahku. “Why? Apa secepat itu cinta pergi dari hati kamu?” tanyamu tidak percaya.
“Jawabannya sederhana, Meig. Karena, aku sudah nggak punya cinta putih lagi. Cinta putih itu sudah ternoda oleh hitamnya pengkhianatanmu.” Mataku kian memanas. Apa yang baru saja kukatakan tadi, seperti merobek jahitan luka di hatiku yang belum kering. Perih. Sekuat tenaga aku menahan tangis agar kau tahu tanpamu aku masih bisa berdiri sendiri. Aku sudah tidak butuh sandaran, aku tidak memerlukan topanganmu lagi.
“Dan, seharusnya kamu sadar, Meig! Bukan aku yang mau, tapi kamu yang memaksa agar cinta itu pergi.” lanjutku seraya berbalik hendak meraih knop pintu, tapi tanganmu lagi-lagi menghalanginya.
“Oh, ayolah Mei! Aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesetiaanmu kemarin. Apa perlu aku berlutut dikaki kamu supaya kamu mau maafin aku?”
“Percuma. Kata ‘maaf’ juga nggak akan bisa ngembaliin hati aku seperti semula, Meig. Dia nggak akan utuh seperti dulu lagi. Fine, sekedar maafin kamu itu sih nggak masalah buat aku. Tapi, untuk kembali menjalin hubungan kayak dulu, aku nggak bisa. Maaf.” Kutarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum getir, “Dan, sebaiknya mulai detik ini kamu pergi dari kehidupan aku. Aku nggak mau timbul rasa benci yang akhirnya malah ngebuat aku susah untuk maafin kamu.”
“Mei,” lirihmu pilu.
Aku berusaha untuk tidak menghiraukanmu, meski diam-diam ada perasaan kasihan yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Dia --hati-- seolah-olah berbisik; Well, kasih kesempatan sekali saja, dia masih mencintaimu, Mei.
Tapi, tidak! Keputusanku sudah bulat. Hatiku tidak akan menerima cinta yang sama.
Kembali kuayunkan kaki, melangkah gontai mendekati pintu rumah. Ketika knop sudah berada dalam genggamanku, tubuhku berbalik sekali lagi. “Seandainya aja dari awal kamu tahu kalau pengkhianatan sekecil apa pun itu terlalu sakit untuk yang namanya sebuah penantian panjang, mungkin kamu akan mikir dua kali untuk melakukannya. Dan, mungkin cinta kita juga nggak akan berakhir kayak gini.” tambahku pelan seraya menutup pintu rumah. Disaat sebentuk kayu jati itu tertutup rapat, sebulir air bening yang tadinya kutahan akhirnya luruh juga, turun dengan deras hingga melunturkan bedak yang menempel diwajahku.
Yah, seperti sebuah sorot film yang berputar, segala kenangan yang pernah ada di antara kita pun kembali membayangiku. Berkelebat di memori ingatanku seakan berusaha menggoyahkan pendirianku yang lebih memilih untuk tidak menerimamu lagi.
Tapi, hati yang terlanjur sakit berhasil menepisnya. Pengkhianatan yang kau lakukan bagai sebentuk tipe-x yang sukses menghapus namamu yang pernah tertulis rapi direlung hatiku. Dan sekarang relung itu pun kosong, mereka tengah menunggu Meiga-Meiga yang lain. Meiga-Meiga yang menghargai kesetiaan. Meiga-Meiga yang tidak menyukai pengkhianatan.
Okay, cukup sudah! Aku harap ini untuk yang terakhir kalinya aku menangis karenamu dan tidak akan terulang lagi.
Segera kuhapus sisa-sisa air mata yang membekas dipipi, lalu kucoba menarik kedua ujung bibirku untuk tersenyum dengan lebar. Dear, harus kau tahu, aku sama sekali tidak ragu dengan keputusan yang kuambil. Aku yakin dengan jalan ini, maafkan aku. Aku bisa saja membukakan pintu maaf untukmu, tapi tidak dengan pintu hatiku.
Kini, pintu itu sudah tertutup rapat dan hanya akan kubuka untuk sosok yang bisa mengerti kesetiaan.

*

“Kok, sphagetti-nya nggak dimakan?”
“Eh,” Aku terkesiap kaget ketika mendengar teguran halus mas Alam. Kini, kami telah berada di Twenty Night Café. Sebuah café di tengah kota yang bernuansa tidak terlalu formal, cozy, lumayan santai.
Right, begitulah, tak lama setelah kau pergi mas Alam datang menjemputku sesuai dengan janjinya di-sms. Dia mengajakku makan malam sembari menunggu detik-detik pergantian tahun di café ini.
Dan, parahnya aku malah melamun. Sedari tadi, sphagetti yang ada dihadapanku hanya ku lilit-lilit dengan garpu tanpa kumasukkan ke dalam mulut. Sementara sphagetti mas Alam sendiri kulihat sudah habis setengah. Ah, bodoh! rutukku dalam hati.
“Nggg...... Anu mas,” Kugantungkan kalimatku beberapa detik, memikirkan kata-kata yang pas untuk dijadikan alasan.
“Mei, kamu nggak terpaksa kan menerima ajakanku malam ini? Ya maksud aku------“
“Nggak kok, mas!” sangkalku memotong ucapan mas Alam. “Kebetulan malam ini lagi free, nggak ada yang ngajak keluar. So, aku rasa nggak ada alasan untuk aku bilang terpaksa jalan dengan mas Alam. Beneran, deh!” Kuperlihatkan senyum tipis yang sarat akan ketulusan, mas Alam pun membalasnya. “Syukur deh, kalau gitu. Soalnya malam ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
Serta-merta kedua alisku terangkat, saling bertautan satu sama lain. “Tentang apa yah, mas?” tanyaku heran.
“Ada deh! Kamu habisin aja dulu makanannya.” katanya sok rahasia. Aku hanya mengangguk kecil. Walaupun penasaran dengan “sesuatu” yang ingin mas Alam bicarakan itu, tapi ya sudahlah. Kunikmati saja sphagetti yang ada dihadapanku ini tanpa banyak membuka suara.
Selepas makan malam, mas Alam pun mengajakku keluar dari café menuju ke sebuah taman yang cukup ramai. Sebelum sampai di taman kecil yang masih satu lokasi dengan Twenty Night Café itu, dia membelikanku sebuah terompet, katanya sih untuk ditiup tepat ketika jam 12 malam nanti. Aku hanya tersenyum, lalu berterima kasih padanya.
Twenty Night Park. Yah, sesuai dengan namanya, taman café ini hanya dibuka di malam hari saja. Meskipun tidak terlalu luas, tempatnya sangat nyaman dengan pepohonan hijau sebagai pemandangan, juga dilengkapi dengan air mancur berpolakan bunga mawar sebagai pusatnya yang semakin mempercantik keadaan taman tersebut.
Mas Alam menggandeng tanganku, membawanya menuju sebuah bangku panjang yang terletak di salah satu sudut taman. Aku hanya menurut, takut terpisah juga karena semakin malam taman ini kian terlihat ramai saja. Rupanya semua orang berkumpul ingin menyaksikan malam pergantian tahun 2012.
Kulirik jam tangan, sebentuk senyum simpul tercetak di bibirku. Bagaimana tidak? Tinggal dalam hitungan detik saja waktu akan menunjukkan pukul 12 malam. Saat yang ku tunggu-tunggu akhirnya sebentar lagi tiba. Aku senang, tentu saja!
Tak lama kemudian terdengar bunyi petasan yang menggelegar. Bunyinya menyatu dengan suara terompet yang ditiup nyaring, menyambut hadirnya tahun 2012.
Kembang api berwarna-warni terlihat indah menghiasi langit malam yang hitam pekat.
Langsung saja kukaitkan kesepeluh jariku, memejamkan mata, make a wish dengan khidmat dibawah kembang api yang bunyinya --masih-- saling bersahut-sahutan.
Semoga...
Semoga...
Dan semoga...
Yah, begitu banyak pengharapanku di tahun 2012 yang cukup diketahui oleh hatiku saja.
Puas bermunajat, aku pun membuka mata lalu tersenyum dengan lega. Terus terang, baru kali ini aku melakukan ritual malam tahun baru di luar rumah seperti ini; make a wish di bawah kembang api. Aku dapat merasakan sensasi yang berbeda.
Lalu, kualihkan pandanganku ke samping kanan, melalui bahu kulihat mas Alam yang masih memejamkan matanya. Dia terlihat memanjatkan do'a dengan tenang.
“Banyak banget nih pasti permintaannya,” batinku asal.
Aku terus menatap wajahnya, terpaku di sana hingga beberapa lama.
“Kalau dilihat-lihat, mas Alam ternyata manis juga.” Tanpa sadar aku bergumam dalam hati, memuji raut pemuda yang duduk disampingku kini. Namun, sejurus kemudian tiba-tiba dia membuka matanya, membuatku terkejut dan nyaris saja terjatuh dari bangku taman.
“Meisya?”
“Eh, iya mas Alam,”
“Kamu kenapa? Kok, tadi merhatiin akunya gitu amat?”
Aku gelagapan, buru-buru memalingkan wajah. Kata-kata “gitu amat” yang mas Alam lontarkan seperti matahari yang menyengat di wajahku, sukses membuat pipiku memerah malu. Oh God, apakah wajahku tadi terlihat ‘mupeng’ sekali di mata mas Alam? tanyaku meringis dalam hati.
“Eummmm.... Itu mas, aku tuh cuma heran aja. Mas Alam kok lama banget yah make a wish-nya? Emang di tahun 2012 minta apa aja, mas? Pasti banyak, nih! Hehe....” tanyaku basa-basi seraya tertawa kecil diujung kalimat. Sengaja, guna menutupi perasaan nervous yang mendadak menyerangku.
Mas Alam terkekeh pelan, tangannya terulur maju untuk mengacak gemas tatanan poni yang menutupi bagian dahiku.
Refleks aku menggigit bibir bawahku, berhenti tertawa dengan napas yang tertahan. Sentuhannya, sentuhan mas Alam selalu membuatku tertegun, sejenak diam tanpa kata. Sadar akan perubahan sikapku itu mas Alam pun menarik tangannya dari atas kepalaku. “Eh, sorry.”
Aku menggeleng pelan, “Nggak apa-apa kok, mas.” Lalu, sambil merapikan poniku yang berantakan akibat ulahnya, aku kembali bertanya, “Jadi, resolusi mas Alam ditahun 2012 apa aja, nih?”
“Banyak. Salah satunya,,,,,,,”
“Salah satunya?”
Mas Alam melirikku sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Menikah,”
Aku nyaris berteriak, hendak mengatakan “wow” tapi mas Alam lebih dulu menyambung kalimatnya, “Dengan kamu, Mei.”
“Will you marry me?” Dia mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna ungu dari dalam kantong celana jeans-nya. Kotak yang berisikan cincin putih itu dia buka dihadapanku, tepat di depan wajahku.
Aku terbelalak kaget dengan mulut yang menganga lebar. Ekspresi terkejut yang aku-tahu-ini-sungguh-sangat-berlebihan! Tapi, aku serius. Aku tidak menyangka dengan ajakan mas Alam untuk membina rumah tangga denganku.
Okay, aku tahu selama ini dia bersikap baik padaku. Sikapnya benar-benar manis! Tetapi, aku tidak pernah menyangka jika ternyata dia menaruh perasaan itu. Perasaan untuk menikah denganku, perasaan untuk hidup berdua denganku.
Inikah “sesuatu” yang mas Alam ingin bicarakan tadi?
Masih dalam keadaan shock, mas Alam menggenggam jemariku, lalu kemudian ditempelkannya ke bagian dadanya. “Apa kamu nggak bisa ngerasain detak jantung aku, Mei? Aku beneran cinta sama kamu. Dari dulu aku menyembunyikan perasaan ini, karena aku tahu kamu nggak akan ngebuka hati kamu untuk pria lain kecuali dia. Kamu masih setia menunggu dia untuk kembali.”
“Sekarang, dia sudah kembali tapi dengan cinta yang baru. Dia telah menyia-nyiakan kesetiaanmu, Mei. Entahlah, aku nggak tahu apakah aku harus senang atau sedih dengan keadaan ini? Jujur, disatu sisi aku sedih, karena melihatmu terluka. Tapi, disisi lain aku nggak mau munafik, aku senang akhirnya kamu berhenti berharap sama dia. Hati kamu sudah nggak terikat lagi dengan dia. Itu artinya kesempatanku untuk memilikimu terbuka lebar.”
“Sekarang, keputusannya ada di tangan kamu. Apa mau ngasih kesempatan itu ke aku atau enggak? Aku coba terima dengan ikhlas apapun itu keputusanmu.” ungkap mas Alam panjang lebar.
Dari sekian banyaknya kata yang mas Alam ucapkan, hanya satu maksud yang dapat aku tangkap; dia mencintaiku dari dulu.
Aku menimbang-nimbang sejenak, sebelum akhirnya yakin dengan jawaban yang kupilih. Jawaban yang aku rasa tepat dan -semoga- saja  ini yang terbaik.
Dengan kepala tunduk-tengadah aku berbisik pelan, “As you wish.”
Bersamaan dengan itu mas Alam pun memasangkan cincin tersebut ke jari manisku. Dia tersenyum lega.
Dikecupnya kedua belah pipiku dengan lembut sehingga memunculkan semburat merah pada keduanya. Aku tersipu malu.
Setelah itu, bersama-sama kami meniup terompet, mengawali 1 januari dengan senyuman yang merekah lebar.
Hei, dear! Kau lihat? Sekarang aku telah berdua dengan yang lain. Dan, mungkin ini untuk selamanya.
Alasanku menerima dia simple, karena aku pikir terkadang untuk melupakan sosok lama kita memerlukan hadirnya sosok baru.
Yah, walaupun aku tahu hatiku belum sepenuhnya terpaut pada mas Alam, tapi aku akan mencoba dan terus mencoba untuk move on, berusaha kembali merajut jalinan asmara meski dengan sosok yang baru.
Lagipula, patah hati bukan akhir dari segalanya kan? Seperti halnya seuntai kalimat klise yang berbunyi; Life must go on. Ada atau tidak ada dirimu, kehidupan akan tetap berjalan. All right?!

Untukmu,
Kaulah masa laluku yang tidak bisa hadir dimasa depanku.
Untukmu,
Kaulah cinta pertamaku yang tak dapat menjadi cinta terakhirku.
Untukmu,
Kaulah yang membuat cinta itu pergi, melayang hingga terjatuh dihati yang lain.
Untukmu,
Jangan pernah lagi menyia-nyiakan kesetiaan, karena kesetiaan itu tidak bisa dikembalikan hanya dengan kata “maaf”.
Untukmu,
Kalau memang kau menyesal atas pengkhianatan yang telah kau lakukan, justru aku tak pernah menyesal atas kesetiaan yang sudah kuberikan.
Untukmu yang berkhianat,
Ku ucapkan selamat tinggal.....



With Imagination~
^Minah Syalalabibeh^

Tanah Grogot, 12 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar