^To You Who Betrayed (Sekuel Of In My Solitude, I'm Still Faithful)^
“MAAF, tapi saya
tidak mencintai anak Bapak.” Dengan hati-hati aku menjawab pinangan sore itu.
Pinangan kesekian dari orang kesekian yang kali ini datangnya dari keluarga Gunawan, teman kolega Ayah. Dan
jawabanku tetaplah sama, seperti yang sudah-sudah yakni menolak tawaran tersebut.
“Lagipula, saya sudah
memiliki kekasih. Untuk saat ini dia memang tidak berada di Indonesia, lebih
tepatnya dia tengah mengenyam pendidikan bolanya di Inggris.” kataku
menambahkan. Ku tatap wajah mereka satu per satu, dan kutemukan ekspresi
keterkejutan disana. Terlebih-lebih lagi Ibu, mata Ibu membola seketika.
“Lho?! Bukannya kamu
lajang, ya? Ibumu bilang sejak kamu masih kuliah hingga bekerja sekarang, kamu
tidak ada ikatan dengan pria manapun. Tapi, kenapa sekarang kamu malah mengaku
sudah punya pacar? Masa iya Ibumu yang berbohong? Bagaimana ini, Rita?” Ibunya Gunawan angkat suara.
Berusaha meminta penjelasan pada Ibu atas statement-nya
yang tidak kuketahui itu. Ibu pernah
bilang bahwa aku tidak ada ikatan dengan pria manapun? Dalam hati aku
bertanya, apa maksud Ibu bicara seperti itu pada Ibunya Gunawan? Padahal
jelas-jelas sejak dulu aku sudah memberitahunya tentangmu, tentang kita.
“Nggggg.......” Ibu
tergugu, bingung hendak menjawab apa. Mulutnya terbuka tapi tak ada satupun
kalimat yang keluar dari bibirnya.
Langsung saja aku
menyahut, “Ibu memang tidak mengetahui tentang hubungan kami, Tante. Jadi, saya
rasa wajar jika Ibu mengira kalau saya masih lajang.” Kulirik Ibu diakhir
kalimat, dan beliau semakin menatapku tidak percaya. Sepasang bola matanya kian
melebar, sedikit memancarkan kilatan amarah yang seakan menegaskan bahwa
bicaraku tadi itu salah.
Dan selesai sudah.
Ketika tak ada lagi yang perlu dibicarakan Gunawan dan kedua orangtuanya pun
pamit pulang dengan wajah yang sudah pasti bisa ditebak. Dingin, tak
bersahabat. Hanya kata “permisi” yang mereka ucapkan, tanpa salam atau bahkan
sekedar ukiran bulan sabit yang tertoreh dengan tipis.
Sepeninggalan Gunawan
dan kedua orangtuanya, aku, Ayah, dan juga Ibu masih termangu di ruang tamu.
Kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ibu, sudah dapat
kupastikan jika dia sebentar lagi akan memarahiku. Kita lihat saja. Aku rasa,
dia terdiam itu karena dia perlu sedikit waktu untuk mengatur emosinya. Berbeda
sekali dengan Ayah yang terlihat lebih tenang. Aku mengerti dan aku tahu, walau
--sebenarnya-- Ayah kecewa dengan keputusanku, tapi dia tetap menghargai
perasaanku, anak semata wayangnya. Itulah yang membedakan Ayah dan juga Ibu.
Sikap mereka dalam memahamiku. Bukan, bukannya Ibuku tidak paham, tetapi beliau
hanya kurang paham. Itu saja.
Di ruang tamu yang
cukup besar ini, suasananya masih sama. Sunyi, yang terdengar hanyalah detak
jarum jam dinding yang terus memutar. Hingga pada akhirnya Ibu menghela napas
panjang, mengambil ancang-ancang sebelum dia membuka suara. “Kamu telah
mempermalukan Ibu, Mei.” ucapnya tanpa menatapku. Pandangannya lurus ke arah
daun pintu yang terbuka lebar, seolah membiarkan angin sore untuk masuk dan
menyapa kami.
“Maaf, Bu. Tapi, Meisya hanya berkata jujur dan apa
adanya. Meisya tidak mencintai mas Gunawan, karena Meisya sudah mempunyai calon
sendiri. Tolong Bu, hargailah perasaan Meiysa.” jawabku seraya mendongak.
Memberanikan diri untuk menatap wajah Ibu. Wajah lembut yang terkadang penuh
dengan gurat ketegasan.
“Kalau memang kamu
sudah memiliki calon, mbok ya
diperkenalkan ke Ayah dan Ibu tho, nduk. Ibu tidak memaksamu untuk menikah
secepatnya. Ibu hanya ingin kamu punya pendamping hidup yang pasti. Kamu itu
sudah lulus kuliah, dan bahkan mendapatkan pekerjaan. Apalagi sih yang kamu
tunggu? Sekedar tunangan saja Ibu sudah senang, kok.” Kali ini suara Ibu
terdengar lebih lembut, sarat akan permohonan.
“Iya, Mei. Ibumu
benar, ajak calonmu itu kerumah dan perkenalkan pada kami. Ayah penasaran,
seperti apa sih kriterianya anak Ayah ini.” timpal Ayah tersenyum padaku.
“Lho? Bukannya Ayah
dan Ibu sudah tahu ya siapa orangnya?” jawabku balas bertanya. Mereka saling
berpandangan heran, lalu menggeleng serempak.
“Mas Meiga,”
“Meiga?!” Nada suara
Ibu naik satu oktaf. Aku mengangguk kecil. Agak takut disaat melihat perubahan
diraut wajah Ibu yang sangat drastis.
“Kenapa kamu masih
berharap dengan pria itu?! Sedangkan, jelas-jelas dia sudah membohongimu. Kamu
sendiri yang bilang pada Ibu, kalau janjinya dia hanya pergi satu tahun, tapi
ini sudah hampir tiga tahun, Mei, dan dia belum kembali dari Inggris!”
“Dia masih ada urusan
disana, Bu.”
“Hah! Ibu tidak
menyangka jika Meiga-lah yang kamu maksud. Ibu pikir, setelah setahun lebih
Meiga tidak memberimu kabar, kamu akan melupakannya. Tapi, ternyata Ibu SALAH
BESAR. Cintamu yang semu itu semakin tumbuh dan berkembang saja.” Ibu berkata
dengan miris.
Aku hanya bisa
membisu, mendengarkan setiap rentetan kalimat yang secara tidak langsung telah
menyakiti hatiku itu. Yah, aku tahu sesungguhnya Ibu tidak bermaksud mengoyak
perasaanku. Karena, selama ini justru dialah yang menemaniku dalam
keterpurukan, rindu mendalam akan hadirnya sosokmu. Dan kini, dia berkata
seperti itu hanya karena ia sudah bosan! Dia
bosan menunggumu, Meig. Hanya aku yang tidak bosan. Aku akan tetap berdiri
disini, menantikanmu untuk menjawab kesetiaanku.
“Kenapa kamu malah
diam?! Jawab Ibu, Mei! Kenapa kamu masih menggantungkan harapan dengan seorang
Meiga, hah?!” cecar Ibu kembali meninggi. Kedua tangannya naik-turun seirama
dengan intonasi suaranya.
“Sudah, Bu. Cinta itu
tidak bisa dipaksakan. Lagipula, Meisya sudah dewasa. Biarkan dia mengambil
keputusannya sendiri.”
Aku -masih- menunduk.
Dari ujung mataku, kulihat Ayah yang mengusap bahu Ibu, berusaha menenangkannya.
Lalu, sejurus kemudian, Ibu membuang napasnya dengan kasar seraya beranjak dari
atas sofa ruang tamu.
“Ibu benar-benar
tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,” gumamnya ketika melintas di depanku.
Kutatap punggungnya yang menaiki satu per satu anak tangga dengan tatapan
kosong, sampai akhirnya sosok Ibu hilang disalah satu belokan.
Ketika itulah Ayah
menggeser posisi duduknya, hingga bersisian denganku. Diusapnya puncak kepalaku
dengan lembut, gaya yang sangat kebapakan.
“Sejujurnya, Ibumu
tidak bermaksud seperti ini, Mei. Dia hanya lelah melihatmu yang terus
menunggu, menunggu, dan menunggu. Dia tidak ingin melihatmu sedih, larut dalam
ketidakpastian. Kamu percaya itu, kan?”
Perkataan Ayah
semakin membuat lidahku kelu dan nyaris saja beku. Ingin berkata “iya” tapi
tenggorokanku seakan tercekat. Aku tidak tahu ini kenapa. Yang kutahu, aku tak
mampu bersuara lagi, namun untungnya aku masih bisa tersenyum kecil.
*
Malam mulai merangkak
naik, ketika aku tengah berdiam diri didepan laptop. Mengetik hasil wawancaraku
dengan seorang artis yang tengah naik daun, termasuk suatu hal yang melelahkan
jari-jariku. Ya, wartawati adalah pekerjaanku. Aku bekerja untuk sebuah tabloid
yang cukup ternama di Indonesia dengan gaji yang lumayan. Sebenarnya, ini
bukanlah cita-citaku, tapi aku suka melakukannya. Bagaimana tidak? Dengan
menjadi wartawati, otomatis aku bisa mengenal banyak selebriti termasuk
idolaku. Asyik, kan? Aku rasa itu hal yang menyenangkan. Tapi, sengsaranya
adalah ketika aku harus dikejar deadline
dan memburu berita hangat. Tak ada hal yang menyebalkan selain dua itu.
Apalagi, pekerja sepertiku selalu dituntut untuk meliput berita ter-update dari berbagai kalangan, tak hanya
selebriti saja. Tidak berlebihan jika kukatakan, terkadang kepalaku pun migran
dibuatnya.
Sejam kemudian,
setelah pekerjaanku selesai, kubiarkan layar laptop menyala begitu saja.
Sementara aku belum juga beranjak dari hadapannya.
Aku termangu.
Kata-kata Ibu tadi sore masih terngiang jelas ditelingaku.
“Kenapa kamu masih menggantungkan harapan dengan seorang Meiga, hah?!”
“Padahal jelas-jelas dia sudah membohongimu!”
“Ibu pikir setelah sekian lama Meiga tidak memberimu kabar, kamu akan
melupakannya. Tapi, ternyata Ibu SALAH BESAR!”
“Ibu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu.”
Rentetan kalimat
menyudutkan itu seakan berteriak tepat didaun telingaku, dan nyaris memecahkan
genderangnya. Spontan aku menggeleng kuat, “Kenapa sih?! Salah ya kalau aku
masih cinta sama kamu? Emangnya salah kalau aku setia? Apa aku udah nggak boleh
berharap dengan orang yang nggak ada kabarnya kayak kamu? Aku kan cuma mencoba
untuk percaya dengan janji kamu ke aku dulu. Janji kamu setahun yang lalu. Just it! Kenapa nggak ada yang mau
ngerti, sih?”
Sedikit demi sedikit
air mataku mulai berjatuhan, mengiringi jeritan hati yang tak mampu kuuraikan.
Kau tahu? Mengingatmu hanya membuatku menangis. Begitu panjang jalan yang sudah
kulalui tanpa hadirmu di sini.
Terhitung sejak tiga
tahun silam kau pergi meninggalkanku. Setahun kau tak ada kabar, setahun kita
menjalani long distance, dan setahun
berikutnya kau kembali menghilang tanpa jejak setelah sempat mengikrarkan
sebuah janji yang sama. Janji yang isinya persis seperti ketika kau ucapkan di
bukit Love Is M.......DULU! Apa kau mengingatnya? Well, aku rasa kau sudah lupa.
Bedanya, dulu janji
itu kau ucapkan di bukit Love Is M secara face
to face and from heart to heart. Tapi, terakhir janji itu hanya kau ketik
dalam bentuk e-mail.
Masih dalam rangka
mengingat masa lalu, tanganku terulur maju. Meraih mouse laptop, lalu menggerakkannya guna mengklik ikon mozilla. Kali ini aku akan mengecek
e-mail terakhir yang kau kirimkan
dulu.
E-mail itu sudah setahun yang lalu kau kirim, jadi aku harus
bersabar untuk mencarinya. Yah, e-mail
tersebut pasti sudah tertimbun oleh e-mail-e-mail
yang baru masuk.
Akhirnya, setelah
cukup lama mengobrak-abrik isi inbox,
aku pun berhasil menemukannya.
E-mail darimu yang berbunyi:
Subject: I miss you. Always honey ;)
From: Kmh@mail.com
To: Faithgirl@mail.com
Dear Meisya,
Im fine too honey :) very very fine!
Kamu tau nggak? Aku ngebalas email-mu ini disaat aku lagi duduk-duduk
dibalkon apartemen. Yah, aku rasa menunggu matahari terbenam sembari berbalas
email denganmu adalah pilihan yang sangat tepat ketika aku sudah lelah dengan
aktifitas yang kujalani setengah harian ini. It makes me relax, dear.
Gimana enggak? Asal kamu tahu aja, dari pagi sampai sore begini, aku
sibuk latihan dengan klub-ku. Pagi kami nge-gym, dan sorenya kami harus
melaksanakan pertandingan uji coba di New Wembley Stadium. Selalu, karena
sebentar lagi kami akan mengikuti kompetisi yang cukup bergengsi di Inggris.
Doakan aku yah ;)
Well, kuakui ini memang melelahkan, tapi aku juga harus bersyukur
karena ini termasuk salah satu impianku. Kamu masih ingat itu kan, Mei?
Eungggg~ bagaimana dengan kegiatanmu seharian ini? Menyenangkan kah? I
hope so. Trus, lamaran pekerjaanmu apakah sudah diterima? Disini aku selalu
mendoakan yang terbaik untukmu.
Oh ya, honey. Diwaktu kamu bercerita tentang kesetiaanmu menungguku
kembali, aku benar-benar speechlees, nggak menduga akan hal itu.
Oh my honey, 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar lho! Aku sudah
mengira kalau kamu menjalin hubungan dengan pria lain disana. Diego, mungkin? Hmmm... Aku nggak
marah.
At least, kamu pilih aja salah satu dari sekian banyak arjuna di
Indonesia, seperti aku yang memilih salah satu dewi disini, di Kota London.
Hahaaaaa....... Eits, jangan lempar aku pakai panci, ya! Karena, aku
cuma bercanda =P lagian mana ada sih bule London yang mau sama cowok item kayak
aku.
Dan, kamu bilang kamu merindukanku? Benarkah itu? Yeah, aku juga
merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi, aku belum bisa pulang, karena musim
ini aku sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan salah satu klub di
London. Jangan sedih hon, tahun depan aku usahakan untuk bermain di Indonesia.
Yah, aku pasti kembali, Mei. I promise! Smile dong :)
Rinduku cuma untuk kamu, kok. Always.
Udah cukup panjang kan balasannya? Habisnya kamu kemarin marah karena
balasanku terlalu singkat =P ya kan? padahalkan aku memang lagi sibuk.
Udah dulu ya? Mataharinya udah mau tenggelam tuh! Kali ini aku nggak
mau ketinggalan lihat sunset. Karena indahnya sunset itu sama seperti kamu Mei
=D tapi kamu dengan sunset ada bedanya, kok. Kamu tahu nggak apa? Kalau sunset yang kulihat sekarang itu
tenggelam dibawah laut. Sedangkan kamunya tenggalam dihati aku ;)
Bye~
Disela-sela tangis
aku tertawa kecil ketika membaca ulang e-mail
tersebut. Rupanya, kau sudah bisa menggodaku sekarang. Itu adalah e-mail terpanjang sekaligus e-mail terakhir yang kau kirimkan
untukku. Aku tidak mengerti Meig, kenapa setelah itu email-ku tidak pernah kau balas lagi? Apakah sebegitu sibuknya kamu
sampai-sampai tak sempat membuka e-mail?
Menghubungi nomor telepon di apartemenmu pun rasanya percuma. Orang yang
mengangkat teleponku itu mengaku bahwa kau sudah leave dari sana. Yang kusesalkan, kau pindah apartemen tanpa
pernah memberitahuku. Lagi-lagi komunikasi diantara kita terputus.
Kembali aku
menggalau. Menjalani hari-hari tanpa adanya kabar darimu itu sama seperti
menjalani hari dengan setengah hati. Hampa selalu menghantuiku.
Kini, hanya satu yang
membuatku yakin, yaitu janji. Janjimu untuk kembali akan selalu aku tagih.
“Aku pasti kembali, Meiy.” Itu pula yang membuatku sampai saat ini
enggan menerima lamaran dari pemuda manapun. Karena, setengah dari hatiku ada
di hatimu. Lagi aku bertanya, apakah setiaku ini salah?
“Mei,” Aku menoleh
kaget ketika merasakan sentuhan lembut jemari Ibu dipundakku. Sejak kapan? Sebegitu melamunnya kah aku hingga tak menyadari kehadiran Ibu?
batinku tersentak kaget.
“Maafkan Ibu. Ibu
tahu apa yang Ibu lakukan tadi itu salah. Jujur, Ibu tidak bermaksud untuk
menyakiti hatimu, nduk. Ibu
hanya.....”
“Sudahlah, Bu.
Meisya, ngerti kok.” selaku tersenyum sembari memegang lembut punggung tangan
Ibu yang masih menempel dipundakku.
Ibu mengangguk kecil,
“Ya sudah, Ibu tunggu kamu di ruang makan yah? Kita makan malam sama-sama.”
Lagi, aku tersenyum.
Membiarkan Ibu keluar lebih dulu dari kamarku. Setelah sosok Ibu raib, wajahku
berpaling dari daun pintu. Untuk yang terakhir kalinya kusempatkan diri menatap
layar laptop sebelum akhirnya mematikan gadget
pribadiku tersebut.
“Tolong Meig, jangan
kecewakan aku dan Ibuku.” gumamku pada diri sendiri.
*
Awal bulan Desember
yang cerah ditahun 2011.
Kusambut pagi ini
dengan segelas latte hangat yang baru saja diantarkan oleh salah satu OB
dikantorku. Boy, dia memang paling
tahu kesukaanku.
Ketika aku tengah
menyesap minumanku, seseorang membuka pintu ruang kerjaku tanpa mengetuknya
terlebih dulu.
“Pagi, mbak bos!”
seru seorang pria bertampangkan -mirip- Lucky Perdana, menyapaku. Dia
melambaikan tangannya seraya mendudukkan tubuhnya tepat dibangku yang terletak
di depan meja kerjaku. Sebut saja ia Syamsir
Alam. Tetapi, aku biasa memanggilnya mas Alam, karena faktor umurnya yang
lebih tua 3 tahun dariku. Ia adalah fotographer
di tabloid kami. Di kantor aku memang cukup dekat dengannya, karena setiap
meliput berita dialah yang selalu menjadi partner-ku.
Belum sempat aku
membalas sapaannya, dia kembali berkoar, “Cieeeeee..... Si mbak bos!
Mentang-mentang bulan lalu dapet bonus, bulan ini tambah rajin aja.”
“Apaan sih, mas?
Bukannya mas Alam juga dapet yah? Secara kita satu tim gitu.” tukasku tersenyum
kecil. Mengingat bulan lalu aku merasa begitu enjoy dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilimpahkan bosku. Aku tidak
pernah dikejar deadline dan setiap
berita yang kuliput berdua dengan mas Alam pun selalu menjadi top news yang diposisikan sebagai berita
utama di dalam tabloid kami yang akan terbit. Berikut hasil jepretan mas Alam
yang hampir disetiap edisinya dipilih sebagai sampul oleh bos.
“Yah, habis kamunya
dateng pagi-pagi bener sih! Tumben beudz
gitu.” selorohnya benar-benar alay. Aku mengembungkan pipiku, berlagak ngambek
padanya. “Emangnya salah ya? Aku kan cuma mau mengawali bulan Desember ini
dengan sesuatu yang baru. Salah satunya yah dengan cara datang ke kantor
pagi-pagi kayak gini.”
“Ya nggak salah, sih.
Yang salah tuh kalau bulan ini kamu masih betah ngejomblo. Mau ngerayain tahun
baru bareng siapa coba kalau kamu nggak punya pacar?”
“Kan ada mas Alam,”
celetukku asal. Kutatap mas Alam dan tiba-tiba saja dia menggaruk halus
tengkuknya yang --aku yakin-- tidak gatal. Ia terlihat seperti salah tingkah,
entah karena apa. Karena ucapkanku, kah? Sesaat kami sama-sama terdiam, larut
dalam keheningan. Hah! Terus terang aku tidak suka suasana seperti ini, suasana
canggung yang membuat semuanya terasa kaku. Lalu, demi menetralisir keadaan,
secepatnya aku pun mengalihkan topik pembicaraan.
“Oh ya, mas Alam
sudah tahu tugas kita hari ini belum? Kira-kira kita disuruh nge-wawancarain
siapa yah mas?” Sekedar basa-basi aku pun bertanya pada mas Alam.
“Sepengamatan aku
sih, berita yang lagi hot-hotnya itu
sekarang tentang artis yang baru putus trus nyambung lagi itu lho mas Alam!
Eungggg~ Raffi-Yuni, ya kan?”
Mas Alam menoleh,
“Iya, tapi kali ini bukan berita itu yang harus kita liput. Ada yang lebih hot lagi dibandingkan itu.”
Keningku lantas
mengernyit, heran. “Oh ya? Berita tentang siapa, mas?” tanyaku penasaran.
“Tentang pemain sepak
bola Indonesia jebolan salah satu klub di Inggris, yang katanya musim depan
akan merumput di Tanah Air. Kembalinya doi ke Indonesia tuh nggak hanya membela
Timnas untuk pra piala dunia, tapi doi juga akan bergabung dengan salah satu
klub di Kota Malang. Eunggg~ nggak cuma itu, kamu juga kudu nge-wawancarain
tentang hubungan dia dengan pacarnya. Soalnya nih ya, aku dengar-dengar
pacarnya tuh pemain bola, model asal Inggris yang katanya juga akan berkarir di
Indonesia. Seru kan, Mei?! Untuk pertanyaan selengkapnya kamu bikin sendiri deh
tuh.” tutur mas Alam panjang lebar. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali
berpikir, kira-kira siapa yah pemain bola yang dimaksud sama Mas Alam? Rasanya
tidak mungkin kalau itu kamu. Iya kan?
Pemain bola itu
mengaku sudah punya pacar. Lagipula, memangnya di Indonesia ini hanya kamu saja
pemain bola yang bermain di Luar Negeri? Enggak,
kan? Refleks aku menggeleng kecil, berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan
pahit yang bersarang di benakku.
“Kamu kenapa, Mei?”
“Eh, nggak apa-apa
kok, mas.” sahutku cepat. “Eungggg~ ngeliputnya sekarang atau?”
“Sekarang lah! Ayo
cepat, entar kita ketinggalan sesi wawancaranya lagi.” Mas Alam mengalungkan
kameranya dileher. Sejurus kemudian, dia sudah beranjak menuju pintu keluar di
ruang kerjaku. Namun, tepat di ambang pintu mas Alam kembali berbalik. Ia
mendecak kesal ketika mendapati aku yang --masih-- duduk membatu dikursi.
“Come on, tunggu apalagi?”
“Sebentar mas, aku
beresin bekas minum dulu. Mas Alam duluan aja ke parkiran, entar aku nyusul.”
jawabku beralasan. Pura-pura aku menyibukkan diri dengan cangkir latte dan
tatakannya, mas Alam malah menghampiriku. Ditahannya tanganku yang hendak
mengangkat cangkir kosong tersebut. “Udah nggak usah. Biasanya juga OB kan yang
ngeberesin? Kita udah telat banget nih!” serunya seraya menyeretku keluar dari
ruangan. Aku hanya bisa mendesah, pasrah ketika tangan mas Alam mengunci rapat
pergelangan tangan kananku.
Kami berjalan
bersisian menuju lantai 3 disebuah mall yang menjadi tempat diadakannya
konfrensi pers oleh pemain sepak bola itu. Selama perjalanan dari kantor menuju
kesini, entah mengapa aku dirundung was-was. Perasaan gelisah selalu mengikuti
langkah kakiku. Pun dalam hati aku terus bertanya, mencoba menerka-nerka seperti
apakah sosok yang sebentar lagi akan kuwawancarai itu? Mungkinkah dia kamu?
Lagi aku menggeleng
keras sambil menggigit kecil bibir bawahku. Kututup kedua mataku rapat-rapat,
berusaha menghapus hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Enggak, nggak mungkin pemain sepak bola yang dimaksud mas Alam itu mas
Meiga! mas Meiga berjanji kembali untuk aku, bukan untuk bola! Dan dia juga
nggak mungkin punya pacar selain aku, apalagi seorang bule! Iya kan?! Kamu
nggak mungkin nge-khianatin aku kan, Meig?! Hah! Calm down Meisya, dia bukan
mas Meiga.
“Kamu kenapa sih?
Kok, aneh gitu?” teguran halus mas Alam yang tiba-tiba itu sukses membuatku
menoleh kaget ke arahnya.
“Ah, apanya yang aneh
mas?” ucapku balik bertanya, terkesan bodoh memang.
Mas Alam mendecak
pelan, “Kamu tahu nggak? Tadi tuh kamu komat-kamit nggak jelas udah kayak dukun
yang lagi baca mantra! Masih nggak nyadar juga?” selorohnya gemas. “Kenapa sih?
Kamu lagi nggak sakit, kan?” Mas Alam melarikan tangannya ke dahiku. Lalu
menariknya lagi setelah sempat menempalkan disana beberapa lama. “Nggak panas,”
komentarnya.
“Emang! Yang bilang
sakit juga siapa? Nih ya mas, tadi tuh aku cuma lagi nyusun daftar pertanyaan
aja. Kebetulan note-nya nggak kebawa,
jadi pertanyaannya aku hafalin deh.” jawabku menyeringai kikuk. Berlagak
santai, meski sebenarnya aku gugup.
Tiba dilantai 3, mas
Alam pun pamit ke toilet sebentar. Ia meninggalkanku di tengah kerumunan para
pencari berita yang sama-sama tengah menunggu hadirnya si narasumber. Aku
mengambil tempat di salah satu kursi di barisan paling depan. Kursi yang memang
khusus disediakan untuk para wartawan.
Sembari menunggu
kedatangan si pemain sepak bola itu, aku pun menyibukkan diri dengan ponselku.
Mengecek akun twitter-ku yang memang jarang sekali aku buka. Yah, bisa
dikatakan sebulan sekali baru aku membukanya. Bahkan, pernah sebulanan penuh
aku tidak ada meng-update apa-apa.
Dan kali ini, aku rasa sudah seharusnya aku meng-update tweet-ku.
“I dont know why? Tiba-tiba aja jadi deg-degan.” Itulah yang aku
tulis diakun twitter-ku. Tak lama setelah itu, orang yang ditunggu para
wartawan pun tiba. Buru-buru aku log out
dari twitter, lalu menyimpan ponselku itu kedalam tas. Pandanganku belum
terarah ke depan, karena aku sibuk celingak-celinguk mencari mas Alam. Fotographer-ku itu belum juga kembali
dari toilet.
“Maaf telah membuat
kalian menunggu lama,”
Suara itu?! Refleks aku memalingkan wajah. Menatap lurus ke depan,
ke arah dimana kulihat kau tengah duduk dengan didampingi seorang perempuan
berwajah Indo.
Kukerjapkan mata
beberapa saat, berharap penglihatanku itu salah. Okay, kalau penglihatanku
memang benar semoga apa yang kulihat kini hanyalah siluetmu saja bukan wujud
aslimu. Namun, sayangnya kenyataan malah berkata lain. Dia bilang, this is real! Yang duduk dihadapanku
sekarang memang sosokmu bukan sekedar bayanganmu.
“Meiga?” bisikku,
nyaris tak bersuara.
“Meisya?” Kulihat
mulutmu ikut bergerak, memanggil namaku, tapi tak ada seoktaf pun nada yang
kudengar. Dan sama sepertiku kau juga membulatkan mata, sangat terkejut.
Untuk waktu yang
cukup lama kita saling menatap tidak percaya. Dunia seakan berhenti berputar
dan waktu pun juga ikut berhenti berdetak. Tahukah kamu? Tatapanmu membuat
napasku tertahan. Dadaku sesak akibat terlalu lama membendung tangis. Tangis
yang aku sendiri tidak tahu apa namanya. Apakah aku menangis bahagia karena
akhirnya kau menepati janjimu untuk kembali? Ataukah aku menangis sedih karena
melihatmu dengan wanita itu? Wanita yang katanya adalah kekasihmu selama di
Inggris.
Ah, rasanya aku sudah
tidak tahan lagi berada disini. Mendapati kenyataan bahwa pemain sepak bola
yang akan kuwawancarai tersebut adalah dirimu itu SAKIT. Teramat sakit untuk
dijabarkan dengan kata-kata. Rasanya sama saja seperti menusukkan ribuan belati
ke jantung ini.
Tanpa pikir panjang
lagi, aku pun langsung bangkit dari tempat dudukku seraya bergegas pergi.
Tatapan bingung dari para rekan yang seprofesi denganku tidak kuhiraukan. Pun
teriakan seseorang yang aku yakin dari mas Alam itu sama sekali tidak
kuindahkan.
“Meisya! Meisya, kamu
mau kemana?!” teriaknya berusaha mengejarku.
Aku tidak mau
menggubris. Kakiku terus berlari sekencang mungkin hingga tanpa sadar aku sudah
berada di area parkir mall. Sesaat aku merasa seperti orang yang bodoh. Aku
lupa! Aku kesini kan bersama dengan mas Alam, itu pun menggunakan mobil
Jeep-nya. Sekarang bagaimana bisa aku pergi dari mall ini? Aku tidak mungkin
kembali lagi ke dalam, karena mas Alam pasti akan memborongku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa atau lebih tepatnya tidak sanggup untukku
jawab. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang hubunganku denganmu. Lalu,
bagaimana ini?
Beruntung ada sebuah
taksi biru yang melintas didepanku. Buru-buru aku melambaikan tangan, “Pak,
stop Pak!”
Taksi biru ini
mengantarkanku kesebuah tempat yang sangat berkesan untukku. Tempat favorit
sekaligus tempat yang nantinya --mungkin-- tidak akan pernah kukunjungi lagi.
Yah, Love is M. Kau
masih ingat tempat ini, kan?
Dengan langkah
gontai, kudaki bukit tersebut untuk mencapai puncaknya. Kuseret kedua kakiku
dengan sangat tak bersemangat. Padahal tingginya hanya beberapa meter, tapi aku
merasa seperti berkilo-kilo meter. Langkahku benar-benar berat, mungkin ini
efek dari beban yang ada dihatiku? Entahlah!
Setibanya diatas
bukit, aku pun merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, menghirup udara bebas
sebelum aku mengambil ancang-ancang untuk berteriak.
“KAMU JAHAT! KAMU
TEGA! KAMU BENER-BENER NGGAK PUNYA PERASAAN! AKU BENCI SAMA KAMU!
ARRRGGGGHHHHHH.....”
Selesai berteriak
tubuhku pun merosot. Aku terduduk lemah dibawah rerumputan yang agak basah,
akibat hujan semalam. Tangis yang sedari tadi aku tahan akhirnya tumpah juga.
Pertahankanku ambruk. Aku menangis sejadi-jadinya.
Kupikir setelah
tangisku reda nanti semuanya akan baik-baik saja, tapi nyatanya menangis pun
tak menjadikan hati ini lebih tenang, justru semuanya terasa lebih menyesakkan.
“Ibu benar. Setiaku sia-sia,” lirihku tersenyum
kecut.
*
‘Tok.... Tok....
Tok....’
Dari bawah selimut
tebalku, aku masih bisa mendengar ketukan pintu yang berasal dari luar kamarku
itu disusul dengan sebuah teriakan yang cukup keras. “Mei, buka pintunya. Ibu
tahu kamu belum tidur.”
Ibu? Aku membatin dalam hati. Segera ku usap lelehan air mata yang
sejak di bukit Love Is M tadi hingga setibanya dirumah kini terus menganak-sungai
dipipiku. Setelah menyingkirkan selimut polkadotku dari tubuh, aku pun bergerak
menuju daun pintu.
Dan ketika pintunya
terbuka, Ibu tersenyum padaku. Tatapan hangatnya menghujam tepat dikedua bola
mataku. Membuatku ingin kembali menangis, menyesal karena tidak pernah
mendengarkan apa katanya tentang dirimu. Bagaimana tidak?
Kemungkinan-kemungkinan yang dulu dikhawatirkan Ibu, benar-benar terjadi
sekarang.
“Boleh Ibu masuk?”
Aku mengangguk,
tentu. Bersamaan dengan itu Ibu pun melenggang masuk ke dalam kamarku dan
kuikuti langkah kecilnya di belakang.
“Tadi sore Alam
kesini, dia nyariin kamu.” Ibu berhenti ditepi ranjang, duduk menghadap ke daun
jendela. Lagi, aku mengikutinya. “Trus, Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang, kamunya
belum pulang. Ibu tidak berbohong, kan?”"
“Hmm,” dehemku
ringan. Syukurlah kalau begitu.
“Ibu lihat Alam
sangat mengkhawatirkanmu, Mei. Memangnya tadi kamu kemana? Tidak biasanya kamu
pulang malam begini,” Buru-buru aku bangun dari atas ranjang, mendekati meja
kerjaku guna mengambil tas tangan yang memang kuletakkan disitu. Lalu, tanganku
segera merogoh ke dalamnya, mengambil ponselku yang sejak di bukit tadi
tersimpan jauh dalam tas dengan modus silent.
Aku terkejut melihat
20 missed call dan 5 message dari satu nomer yang sama. Mas
Alam, dia benar-benar mengkhawatirkanku.
“Nggak kemana-mana
kok, Bu. Di kantor aja,”
“Jangan bohong kamu!
Kamu tidak pandai berbohong didepan Ibu, Meisya.” sela Ibu cepat. Kulirik Ibu
melalui pundak, tampak ia yang menatapku lekat-lekat. Ah, aku tidak suka
tatapan itu! Tatapan tegas yang memaksaku untuk berkata jujur.
“Well, tadi Meisya jalan-jalan sebentar. Kelamaan di kantor juga
bikin penat.”
“Apanya yang penat?
Hati kamu?” sahut Ibu menohok tepat dijantungku. Kurasakan langkahnya yang kian
mendekat, menghampiriku yang masih berdiri mematung di depan meja kerjaku.
“Ibu sudah tahu
semuanya. Ibu baru saja melihat beritanya tadi sore, diacara infotainment.”
“......” Aku terdiam
seribu bahasa. Kurasakan cairan hangat mulai mengumpul dipelupuk mataku -lagi-,
sukses mengaburkan pandanganku. Pun ingatanku kembali berputar pada kejadian
tadi siang. Dimana untuk yang pertama kalinya aku melihat kau duduk bersisian
dengan wanita lain. Catat, WANITA LAIN
yang itu artinya bukan diriku, KEKASIHMU.
Seharusnya kau sadar dan ingat, jika sampai saat ini belum ada kata putus
diantara kita berdua. Status kita masih berpacaran, tapi kenapa kau malah tega
menduakan aku, hah?!
“Mei,” Ibu menyentuh
lembut pundakku yang masih berdiri memunggunginya. “Setia itu tidak salah, sama sekali tidak. Yang salah adalah kalau
kamu terus-terusan mematung disatu pintu yang tidak pasti, hingga mengabaikan
pintu-pintu lain yang terbuka meski hanya sementara.” lanjutnya penuh
makna.
Tak kuasa lagi
menahan tangis aku pun berbalik dan menghambur kepelukan Ibu. Air mataku tumpah
dibahunya. “Ibuuuuuuuu,”
“Sudah, sudah.” kata
Ibu menenangkanku. Diusapnya bahuku yang berguncang hebat dengan gerakan yang
teratur. Dalam peluknya kini aku merasa tenang, perasaanku menjadi sedikit
lebih lega. Yah, at least dalam
kesendirianku ini aku tidak benar-benar sendiri. Masih ada Ibu yang setia
berdiri disampingku.
Lama kami berpelukan,
hingga akhirnya dering ponselku yang berbunyi nyaring menyudahi semuanya.
Kuraih ponselku itu dan membawanya ke tepi jendela, agak menjauh dari Ibu.
“Iya, ada apa mas?”
ucapku setelah menekan tombol hijau.
“Meisya, kamu kenapa?
Kok, tadi belum wawancara udah langsung balik, sih?! Kamu baik-baik aja kan?!”
Si penelepon langsung menyerbuku dengan beberapa pertanyaan. Terdengar nada
panik diseberang sana yang membuatku sedikit merasa diperhatikan.
“Aku baik-baik aja
kok, mas. Tadi buru-buru karena ada sedikit urusan. Dapet telepon dari someone gitu,” jawabku memberikan
alasan. Diseberang sana Mas Alam --si penelepon-- pun mendesah lega.
“Bos marah banget
yah?”
“Banget! Besok siang
kita disuruh wawancara ulang, tuh. Eksklusif katanya! Cuma kamu, aku, Meiga dan
juga pacarnya. Langsung di Four Season Café jam 11 siang, jangan sampai nggak
dateng yah! Okey? Selamat malam.”
“Tapi, mas........”
‘Tut... Tut...
Tutttttt....’
Telepon langsung
diputus sepihak oleh Mas Alam. Dengan sedikit kesal kutaruh kembali ponselku
itu ke tempat asalnya--meja kerja.
“Siapa?”
“Mas Alam.”
“Oh,” Ibu
menganggukkan kepalanya tanpa banyak bertanya. Sementara aku hanya mampu
menarik napas dengan berat. Rasanya aku tidak sanggup membayangkan bagaimanakah
suasana wawancaraku denganmu yang berlangsung besok. Berjalan dengan lancar,
kah? Atau......... Entahlah!
Bersambung........
Eits, sebelum keluar tinggalkan jejak dulu yah
cemans-cemans J
*
Mobil Swift merah
milikku masuk dan berhenti di area parkir Four Season Café tepat ketika jam di
tanganku menunjukkan pukul 11 lewat 10 menit. Macet dijalanan tadi membuatku
terlambat datang kesini. Segera aku mengunci mobil lalu melangkah masuk dengan
tergesa-gesa.
Sesampainya didalam
Café, kuedarkan pandanganku keseluruh sudut guna mencari keberadaan mas Alam.
Dan untungnya siang ini café tidak terlalu ramai, jadi dengan mudah aku bisa
melihat lambaian tangan mas Alam yang duduk disalah satu meja café.
“Sorry, saya
terlambat.” kataku seraya menempatkan diri disamping mas Alam. Sebuah kursi
yang berhadapan tepat didepanmu. Awal yang buruk, kurasa.
“Nggak masalah.
Walaupun kamu datangnya nggak on time,
seenggaknya yah in time lah.” seloroh
Mas Alam tersenyum hangat.
“Nah, Meiga,
perkenalkan dia ini Meisya. Dia yang akan mewawancari kamu.” Mas Alam
menatapmu, lalu tak lama kemudian ia beralih menatapku. “Meisya, dia yang
namanya Kurnia Meiga dan itu pacarnya yang bernama Clara Millane. Clara belum bisa berbahasa Indonesia, jadi
pertanyaannya biar di-translate ke bahasa Inggris yah?” Mas Alam sedikit
memberikan instruksi yang kujawab dengan anggukkan kepala saja.
Kau tersenyum padaku.
Untuk yang pertama kalinya dalam-tiga-tahun terakhir, akhirnya aku bisa melihat
senyummu lagi dari jarak yang sedekat ini.
Kerinduanku membuncah
seketika. Ingin rasanya aku mendekapmu, menumpahkan rasa rindu yang terpendam
didada bidangmu, tapi apalah daya aku tidak sanggup. Kenyataan melarangku untuk
melakukannya.
“Meiga,” Kau
mengulurkan tanganmu. Kemudian, dengan agak ragu dan kikuk, aku pun
menjabatnya. “Meisya.”
Kuperhatikan wajahmu
lekat-lekat, tidak ada yang berubah dari parasmu. Kau masih Meiga yang dulu.
Hanya saja, kau kembali dengan membawa hati yang baru, dan itu bukan aku. Ah,
sadar akan hal itu cepat-cepat aku menarik tanganku dari genggamanmu.
“My name is Clara Millane. Whats your name?” Kekasihmu tersenyum
ramah, ikut menyodorkan tangan ke arahku. Kuakui, dia cantik. Tinggi semampai
sama sepertimu. Postur tubuhnya sangat cocok jika disandingkan denganmu.
“Meisya Putri Arifin. You can call me Meisya. Nice to meet you Clara,”
jawabku ikut tersenyum. Meski aku yakin senyumku terlihat sangat dipaksakan
sekarang.
“Okey, sebelum
wawancaranya kita mulai, sebaiknya kamu pesan minum dulu, deh. Mau pesan minum
apa?” tanya mas Alam padaku. Aku menggeleng pelan, “Nggak usah, mas. Aku nggak
haus, kok. Mending wawancaranya kita mulai sekarang aja. Bukannya lebih cepat
lebih baik? Lagian hari ini aku ada acara, jadi mesti pulang cepat.” tolakku
sengaja menatapmu. Kulihat kau langsung mengalihkan pandanganmu buru-buru, tak
mau menatap kedua mataku. Entahlah, apakah kini kau merasa bersalah?
Langsung saja ku
keluarkan tape recorder dari dalam
tas guna merekam sesi wawancara diantara kita. Untungnya, aku bisa melewati
semuanya dengan tenang. Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulutku dengan
begitu lancar. Dan kau pun terlihat santai. Menjawab semuanya tanpa ada beban,
seolah kita baru kenal dan diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa
sebelumnya. Sedangkan mas Alam sendiri, dia hanya duduk anteng dikursinya.
Sesekali kulihat dia mengambil gambarmu dan kekasihmu, lalu kembali duduk dan
mendengarkan.
“Oke. Sekarang, saya
akan bertanya dengan Clara. Eunggg~ Clara, how
long have you and Meiga dating?”
“Not long, only three months” jawabnya menatapmu. Kau pun balas
menatapnya dengan mesra. Cih! Aku membuang muka, tak ingin melihat sesuatu yang
malah membuatku semakin sakit. KAU dan DIA.
Okay, tiga bulan
bukanlah waktu yang lama. Ibarat kata hubungan yang baru seumur jagung. Bisa
terjadi apa saja diumur semuda itu termasuk..........putus? Ah, bicara apa aku!
Buru-buru aku menggeleng, berusaha untuk kembali fokus dengan pertanyaan yang
tertera di note kecilku.
“Where the first time you meet?”
“At a celebration event. While he was celebrating the victory with his
club. While the people were talking about him. At first we didn't know each
other.” Aku mendengus. Jawaban Clara --secara tidak langsung-- membuatku
berpikir bahwa dia hanya mencintai ketenaranmu saja. Entahlah, mungkin aku
berpikir buruk seperti itu hanya karena aku iri padanya. Aku masih tidak rela
jika dia yang menggantikan posisiku dihatimu. Yah, maybe, aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja pikiran itu muncul dibenakku.
Aku menekan tombol pause ketika Clara izin ke toilet
sebentar. Untuk beberapa saat wawancara dihentikan.
Bertiga aku, kamu,
dan mas Alam duduk dalam diam. Teramat tenang, hingga terkadang mas Alam harus
melemparkan pertanyaan yang tidak ada dalam daftar demi mencairkan keadaan.
Sialnya adalah ketika ponsel mas Alam bergetar. Ada panggilan masuk yang
membuatnya menarik diri dari kita.
“Bentar yah?” Sejurus
kemudian mas Alam menjauh.
Kini, hanya ada aku
dan kamu dimeja ini. Rasanya canggung. Kita seperti orang yang tidak pernah
kenal. Kau tahu? Duduk semeja dengan orang asing tentu bukanlah hal yang
menyenangkan.
Kuketuk-ketukkan
jariku diatas meja sehingga menimbulkan bunyi kecil yang setidaknya dapat
mengurangi suasana hening yang menyelimuti kita. Dapat kurasakan, kau menatapku
lama sekali. Sadar akan hal itu, akupun tidak berani mendongak. Bukannya takut,
aku hanya tidak ingin kerinduan didadaku melompat keluar jika nantinya aku
menatap mata elangmu. Lagipula, bukankah yang salah itu kau? Untuk apa aku
takut?
“Mei,” Kau
memanggilku pelan, teramat pelan hingga aku mendengarnya seperti sebuah
bisikan. Bisikanmu yang memang aku rindukan. Bukan sekedar hanya, tapi sangat sangat sangat kurindukan. Kesal tidak
mendapatkan respon apa-apa, kau pun dengan beraninya menyentuh telapak tanganku
yang sibuk mengetuk-ngetuk meja café.
Refleks aku mendongak
dengan napas yang mendadak tertahan. Harus kuakui, sudah lama aku menginginkan
sentuhanmu, aku merindukannya, tapi bukan disaat seperti ini. Disaat hatimu
bukan lagi untuk aku. Disaat ragamu sudah menjadi milik yang lain.
“Maafin aku Mei,”
bisikmu diiringi seulas senyuman yang tulus.
“........”
“Aku mohon,
lupakanlah aku.”
LUPAKAN?! Lupakan kamu bilang?! Sekedar menyuruh itu memang mudah,
Meig. Tapi kalau dirimu sendiri yang harus melakukannya, apa kamu bisa?
Sekuat tenaga aku menarik napas, meski tenggorokanku kini tercekat. Namun,
sayang sia-sia. Bibirku mulai bergetar, pertanda tembok pertahankanku yang akan
jebol sebentar lagi.
“Kamu jahat!”
teriakku pelan. Tegas namun tak mampu menutupi getaran yang ada. Bersamaan
dengan itu kutarik tanganku dengan kasar seraya bangkit dari tempat duduk.
Lalu, detik selanjutnya aku pun sudah berlari kecil menuju pintu keluar café
dengan --tanpa sengaja-- meninggalkan
tape recorder dan note kecilku
diatas meja café.
Dari arah yang
berlawanan seseorang mencekal lenganku. Ketika aku menoleh sekilas, ternyata
mas Alam-lah si pelakunya.
“Kamu mau kemana?
Wawancaranya belum selesai.”
“......” Aku diam,
tak bisa menjawab. Kutundukkan wajahku dalam-dalam agar mas Alam tak dapat
melihat bulir-bulir bening yang menetes perlahan namun pasti dikedua belah
pipiku.
“Kamu nangis yah?”
tanya mas Alam lagi. Entah dia hanya menebak atau memang sangat terlihat
kentara sekali dari bibirku yang bergetar bahwa aku tengah menangis, aku tidak
tahu.
Aku menggeleng lemah,
“Lepasin aku mas,” kataku pelan.
Wajahku mendongak
sedikit. Tahu aku benar-benar menangis, dahi mas Alam semakin mengernyit heran.
“Mei, kamu kenapa sih sebenernya?”
“Aku bilang lepas!”
seruku seraya menaikkan nada bicaraku satu oktaf. Akhirnya, dengan berat hati
mas Alam pun melepaskan tangannya dari lenganku. Dan aku tak menyia-nyiakan
kesempatan ini, buru-buru aku berlari kecil menuju Swift merahku yang terpakir
rapi dibawah pohon palem, lantas melajukannya dengan kecepatan sedang.
*
Sejak insiden itu,
terhitung sudah hampir seminggu ini aku membolos dari pekerjaan. Aku pasrah
dengan apapun keputusan pimpinanku. Seandainya nanti aku dipecat pun, aku sudah
siap. Bahkan sangking siapnya, kini aku telah membuat surat lamaran kerja baru
dengan jabatan yang sama seperti di kantorku yang sekarang. Yah, sekedar
berjaga-jaga.
Disaat aku tengah
bergelut dengan laptop-ku guna membuat surat lamaran kerja itu, tiba-tiba saja
Ibu datang menghampiriku. Dia bilang, di
luar ada mas Alam. Kontan alisku terangkat sebelah, mempertanyakan maksud
kedatangan teman kantorku itu ke rumah. Ya meskipun agak bingung, tapi toh
akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya juga.
Setibanya di beranda,
aku tersenyum hangat ketika mendapati mas Alam yang berdiri menyender disalah
satu pilar penyangga teras. Raut wajahnya nampak kuyu, gurat-gurat kelelahan
terlihat jelas disana, sepertinya sih dia kurang tidur.
“Assalamualaikum,
Mei.”
“Walaikumsalam. Ayo
masuk, mas.” suruhku mempersilahkan.
“Nggak usah, Mei.
Diluar aja nggak apa-apa, kok.” tolaknya dengan senyuman yang mengembang lebar.
Aku mengangguk tidak masalah dan kemudian menyuruhnya duduk dikursi teras
sembari menunggu aku yang pamit ke dalam rumah sebentar untuk membuatkan minum.
Tak lama kemudian,
aku pun kembali dengan membawa serta nampan yang berisikan secangkir teh hangat
lengkap dengan sepiring kecil brownies disampingnya. Kuletakkan kudapan
tersebut dihadapan Mas Alam yang sedari tadi tersenyum memperhatikanku.
“Silakan diminum dulu
tehnya, Mas. Kuenya juga dirasain. Itu brownies bikinan aku sendiri lho!”
kataku seraya menempatkan diri di kursi yang berhadapan langsung dengan mas
Alam. Dia mengangguk satu kali sambil mengangkat cangkir teh dari atas
tatakannya.
“Nggggg~ Tumben Mas
Alam pagi-pagi udah main ke rumah. Ada apa yah, mas? Kok, nggak kerja?” tanyaku
disela-sela aktifitas mas Alam yang tengah menyeruput minumannya.
“Aku izin tadi. Dan
lagian, aku cuma pengen tahu keadaan kamu aja. Udah hampir seminggu nggak masuk
kantor.” Mas Alam menghela napas panjang, lalu menatapku lekat-lekat.
“Sebenernya kamu kenapa sih, Mei? Semenjak ketemu dengan si Meiga-Meiga itu
kamu mendadak aneh. Sering kelihatan murung, nggak bisa fokus, dan satu yang
paling aku nggak ngerti; sudah dua kali kita mau ngewawancara si Meiga, dan dua
kali itu juga kamu malah main kabur-kaburan. Kenapa, Mei? Kamu ada masalah sama
dia? Ya, maksud aku mungkin kalian sudah pernah kenal sebelumnya. Iya, gitu?”
lanjut Mas Alam mengintrogasi diriku panjang lebar. Tatapan menyelidik dan juga
perkiraannya yang tepat sasaran itu membuatku tak mampu berkutik lagi.
Tersudut, tak sanggup untuk mengelak.
Aku menggigit kecil
bibir bawahku dengan wajah yang mulai memucat. Bingung hendak menjawab apa,
karena yang ku tahu mas Alam bukan hanya meminta jawaban tapi juga penjelasan.
Dan terlalu susah untukku menjelaskan ini semua, pasalnya menceritakan kembali
apa yang sebenarnya terjadi diantara aku dan kamu itu rasanya seperti mengoyak
luka yang masih basah. Perih! Teramat perih, mengingat aku yang kini tengah
berusaha untuk melupakanmu. Melupakan hubungan yang pernah terjalin diantara
kita. Lalu, kalau aku disuruh untuk kembali mengingatnya, sama saja bohong!
Sementara aku, sedikit demi sedikit, kini sudah mulai bisa melupakanmu.
Merelakan semua yang telah lalu.
“Dia, dia.......”
“Dia masa lalu kamu?”
potong Mas Alam cepat. Serta-merta sepasang mata milikku membulat penuh.
Ekspresi keterkejutan yang cukup meyakinkan mas Alam jika tebakannya itu memang
benar.
Lagi, dia
menghembuskan napas dengan pelan. “Jadi, benar kamu ada masalah dengan dia?
Kenapa nggak langsung diselesaikan aja, sih? Biar semuanya cepat clear. Jangan menghindar dari masalah
deh, Mei. Itu bukan pilihan yang tepat.”
“Iya, aku tahu mas.
Tapi, bisa kan kita nggak usah bahas itu dulu? Aku udah nggak mau ngomongin itu
lagi.” tandasku tanpa menatap kearahnya. Kualihkan pandanganku ke mana saja
asal tidak melihat wajah mas Alam. Rasanya kesal juga diselediki seperti ini,
karena aku pikir ini adalah urusan kita berdua dan mas Alam tidak berhak untuk
mencampurinya.
“Well, ini emang masalah pribadi kamu dan kamu berhak memutuskan
untuk membaginya ke aku atau enggak.” Mas Alam terdiam sejenak, menarik napas
panjang. Terlihat dari ujung mataku, pandangannya berubah menjadi agak sayu
sekarang. “Maaf, kalau kamu nggak suka aku ikut campur. Tapi, jujur, aku nggak
bermaksud bikin kamu marah.” sambungnya pelan, membuatku terenyuh dan berpikir;
Apaan sih? Masa diginiin aja udah marah?
Sensitif banget.
Segera aku pun menyahut,
“Nggak apa-apa kok, mas. Lagian, aku juga nggak marah, kok.” sangkalku
tersenyum meyakinkan.
Mas Alam pun
mengangguk percaya. Sesaat dia terdiam lagi. Mas Alam seperti mencari-cari
topik pembicaraan baru. Yang pas, yang tidak membuat mood-ku hancur. Cukup lama juga dia membisu, hingga akhirnya ia
kembali membuka obrolan.
“Oh ya. Kapan kamu
mau masuk kerja? Ini udah hampir seminggu lho! Nggak ada kamu di kantor mah
sepi. Kalau kerja mesti nggak ada temennya.”
Aku terkekeh
mendengarkan penuturannya yang secara tidak langsung mengungkapkan bahwa dia
merindukanku. Entah mengapa ada perasaan aneh yang perlahan-lahan menyusup
didalam dadaku. Perasaan senang yang menggelitik ketika tahu dia membutuhkan
kehadiranku.
“Nggak tahu deh, mas.
Sekarang aku lagi nunggu surat pemecatan dari Bos aja.”
“Hussstttt! Ngomong
apa sih kamu? Kamu tuh masih bagian dari perusahaan tahu! Nggak ada tuh
pecat-pecatan.” sahut mas Alam sedikit sewot.
“Enggak lah, mas.
Karyawan yang nggak bertanggung jawab kayak aku pantasnya memang dipecat. Aku
udah bolos hampir seminggu. Pasti besok surat pemecatannya diantar ke rumah,
deh.”
“Nggak mungkin!
Secara, selama kamu nggak masuk kerja keterangannya dibuku absen kantor tuh
kamu sakit, nggak ada tuh kata-kata bolos.”
“Hah?! Kok bisa?!”
tanyaku terlonjak kaget.
“Bisalah! Aku tuh
yang buat surat keterangannya. Untungnya sih Bos percaya-percaya aja kalau kamu
sakit.”
Pengakuan mas Alam
membuatku termangu. Kenapa dia mau melakukan ini untuk aku? Selama aku tidak
masuk kantor, pasti dia kewalahan dengan tugas-tugas yang mau tidak mau harus
dikerjakannya seorang diri. Mungkin itu juga yang membuatnya nampak lebih kuyu
dari biasanya.
Ah, dia begitu baik
terhadap partner-nya, aku. Ngggg~
bukan hanya begitu, tapi sangat teramat baik.
“Mei, Besok kamu masuk
yah? Masa sakit lama bener! Entar bos keburu curiga lagi.” celetuk mas Alam
mengagetkanku.
Refleks aku menoleh,
dan mengangguk dengan cepat. “Ah, iya Mas, iya. Makasih atas bantuannya.”
kataku gugup. Hoh! Sejak kapan aku jadi
salah tingkah begini didepan Mas Alam? Ini tidak seperti biasanya, batinku
aneh.
“Nggak masalah. Oh
iya, kemarin tabloidnya udah terbit. Nih,” Mas Alam mengeluarkan bundelan
tabloid dari dalam tas kerjanya. Aku melongo, “Oh ya?! Kok bisa terbit sih,
Mas? Bukannya wawancaranya kemarin belum selesai?”
“Kalau pimpinan
redaksi mah nggak peduli mau wawancaranya sudah selesai atau enggak, yang
penting kalau waktunya deadline
laporan harus sudah ada dimeja kerja dia. Dalam keadaan perfect! Ya, karena kemarin kamunya kabur, terpaksa deh aku yang
nyempurnain hasil wawancaranya. Lagipula, kebetulan semalem tape recorder sama note kecil kamu ketinggalan di meja café. Jadi, cukup mempermudah
aku lah.”
Dan lagi, untuk yang
kesekian kalinya aku merasa tersanjung dengan kebaikan Mas Alam. Terus terang
aku jadi merasa tidak enak.
“Terima kasih banyak
yah, Mas. Kayaknya aku perlu banyak belajar bertanggung jawab dari mas Alam,
nih!” ujarku menggodanya.
Mas Alam tertawa
ringan sambil mengibaskan sebelah tangannya di depanku. “Nggak usah berlebihan.
Biasa aja. Aku ikhlas kok nolongnya,”
“Demi aku?”
“Ya demi perusahaan
lah!” jawab mas Alam sukses membuat kedua pipiku mengembung seketika, aku
merajuk. Lalu, dia tertawa. “Demi kamu juga deng!”
sambungnya, mengacak-acak puncak kepalaku.
Aku tertegun merasakan
sentuhannya. Bagaimana tidak? Mas Alam adalah pemuda kedua --setelah kau-- yang
pernah menyentuh mahkotaku, rambut panjangku. Tidak ada pemuda lain, kecuali
kalian berdua yang pernah menyentuhnya. Ya, baru kalian. Lalu, apakah itu
artinya mas Alam adalah sosok kedua yang diberikan Tuhan sebagai pengganti
dirimu dihatiku? Maksudku, apakah dia yang akan menggantikan hadirmu
-yang-dulu-pernah-ada dihidupku? Ah, aku tidak ingin berharap lebih, karena
belum tentu dia menyukaiku. Iya kan?
*
Hari terakhir dibulan
Desember. Itu artinya sudah dua minggu lebih aku berusaha melupakan
bayang-bayangmu yang terkadang masih saja menari dengan indah dibenakku.
Berhasilkah aku?
Sedikit. Yah, setidaknya frekuensi menangisku berkurang. Yang dulunya setiap
hari hampir-tidak-pernah-tidak meneteskan air mata, kini dalam seminggu bisa
dihitung menggunakan jari. Aku tengah mencoba untuk fokus dengan kehidupanku
yang sekarang, membiasakan diri hidup tanpa dirimu lagi, memulai semuanya dari
awal. Aku tahu itu susah dan butuh waktu, but
I can do it! Bukankah semuanya akan berjalan dengan lancar selagi ada tekad
dan kemauan yang kuat? Sekarang aku hanya perlu bangkit, berlari menjauh dari
keterpurukan. Lagipula ini hanya masalah cinta, dear! Tak akan pernah kubiarkan pengkhianatanmu membunuh diriku
secara perlahan.
Oh ya, tahukah kamu?
Beberapa hari yang lalu Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku pikir ada suatu hal
penting yang ingin ia sampaikan, oleh sebab itu aku bergegas membukakan pintu.
Tapi, nyatanya dia hanya memberitahukan padaku tentang gosip yang baru-baru ini
beredar di infotainment.
Gosip mengenai kau
dan kekasih barumu yang katanya........putus? Benarkah itu? Aku juga tidak
tahu. Infotainment bilang, Clara
Millane telah berselingkuh dengan salah satu artis, lebih spesifik-nya adalah
bintang film kawakan.
Pada saat itu, dengan
berapi-api Ibu mengatakan bahwa itu adalah KARMA, akibat dari pengkhianatan
yang kau lakukan padaku.
Aku hanya mendecak
kesal, tak ingin membahasnya lagi. “Sudahlah,
Bu. Mungkin itu cuma gosip. Biasalah, kalau artis pendatang baru mesti cari
sensasi! Biar cepat naik daun, kali.” Seperti itulah komentarku kemarin,
bersikap seakan tidak peduli dengan berita kurang enak yang menimpa kalian.
Padahal dalam hati, aku mulai berpendapat; kalau benar Clara selingkuh, besar
kemungkinan dia tidak mencintaimu dengan tulus. Dia hanya menumpang ketenaranmu
saja, lalu setelah menemukan seseorang yang jauh-lebih-terkenal daripada kau,
dia pun berpaling meninggalkanmu. Yah, menurutku didunia hiburan hal seperti
itu sudah biasa terjadi, demi mendongkrak popularitas.
Sebenarnya di kantor
pun ramai membicarakan gosip tersebut. Dan bos juga menyuruhku untuk mencari
tahu kebenarannya, tapi aku menolak. Aku lebih memilih untuk meliput berita
lain, meski akhirnya berimbas buruk pada honor yang kudapat. Tak apa, aku pikir
untuk beberapa waktu menghindar lebih baik. Yak! Cukup, tidak perlu dibahas
terlalu panjang.
‘Drrttttt.....
Drrrttttt...... Drrrtttt......’
Aku baru saja keluar
dari kamar mandi ketika handphone-ku bergetar menandakan adanya sebuah pesan
masuk.
Dengan masih
mengenakan baju mandi, dan handuk yang melilit dirambut, aku pun membuka isi
pesan singkat tersebut.
Malam ini kamu ada acara nggak? Gimana kalau ngerayain malam tahun
barunya bareng aku aja? Tapi sebelumnya, kita dinner dulu di Twenty Night Café
;) aku yang traktir deh! Gimana, Mei? Bisa nggak?
Sender:
(+62858715*****)
Sent: 31/12/2011,
17:55:03
Aku menimbang-nimbang
sejenak tawaran dari mas Alam yang ia kirim via sms tersebut. Sesaat bibirku
tertarik mengukir senyum dengan mata yang masih tertuju ke layar handphone.
Entah mengapa ada perasaan senang yang rasanya tak bisa kusembunyikan. I don't know, rasanya senang aja diajak
jalan dengan mas Alam. Apakah ini pertanda bahwa hatiku mulai terbuka untuk
sosok lain?
Tanpa membuang-buang
waktu lagi, langsung saja kularikan kedua jempolku ke atas keypad handphone
guna membalas pesan singkat darinya.
Sip, mas. Jemput aku ya :)
Send.
Kutekan tombol hijau,
maka terkirimlah sudah balasannya.
Kemudian, kulirik jam
digital yang bertengger disisi lampu tidur. Waktu menunjukkan pukul 6 sore,
masih banyak waktu untuk berbenah diri kurasa.
Dengan perasaan
campur aduk antara senang, gugup, gelisah, dan bingung, kuseret kakiku menuju
lemari pakaian. Kukeluarkan semua gaun terbaik yang aku punya, dan kucoba satu
per satu didepan kaca.
Damn! Dari sekian banyak gaun yang aku punya tidak ada satupun yang
cocok untuk kukenakan malam ini. Semuanya terlalu formal! Akhirnya pilihanku
jatuh pada sweet T-shirt berwarna baby pink yang kupadu padankan dengan skinny jeans berwarna hitam pekat. Casual rasanya tidak pernah salah. Toh,
mas Alam hanya mengajakku keluar untuk merayakan tahun baru bersama, bukan
kencan yang biasanya disiapkan jauh-jauh hari.
Setelah yakin dengan
apa yang kukenakan, aku pun lalu mematut diri didepan cermin. Kuambil sebentuk
sisir dari kotak rias seraya menyikatkannya dengan lembut dirambut hitamku yang
panjangnya sedikit melewati pundak. Kubiarkan dia jatuh tergerai tanpa ada
hiasan walau hanya sebuah jepitan pun, polos, simple sama seperti kostum yang
melekat ditubuhku.
Tiba-tiba pintu
kamarku diketuk dari luar. “Mei,” terdengar suara bariton milik Ayah yang
memanggilku nyaring.
Aku menyahut dari
dalam, “Masuk aja Yah, nggak dikunci!”
Pintu langsung
terbuka. “Kamu ada janji yah dengan orang? Tuh, orangnya sudah datang. Dia
nunggu kamu di teras.” kata Ayah tanpa beranjak dari daun pintu.
“Hah? Mas Alam udah
datang?” Aku mendelik heran. “Cepat banget! Emangnya ini udah jam berapa sih?”
gumamku pelan lantas melemparkan pandangan ke arah jam digital berwarna pink
lembut yang melingkar dipergelangan tangan kiriku.
Jam delapan?! Ya ampun! Refleks aku menepuk jidat lalu berseru
cepat, “Oh ya udah, sebentar lagi Mei turun ke bawah deh.”
Ayah mengangguk lalu
menutup pintu kamarku.
Mendadak aku jadi
panik sendiri. Waktu terasa berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku tidak
sadar sudah menghabiskan dua jam hanya untuk terlihat ‘nyaman’ dimata mas Alam.
Kutaburkan bedak tipis diwajah dan kusapukan sedikit lipgloss dibibir dengan gerakan super kilat. Lalu, aku menuruni
anak tangga dengan langkah yang amat tergesa-gesa.
Sampai di beranda
rumah, aku merapikan penampilanku sekali lagi --untuk memastikan aku tidak
terlihat buruk-- sebelum akhirnya menepuk pundak pemuda (yang kupikir mas Alam)
yang posisinya tengah berdiri membelakangiku.
“Mas Alam,” panggilku
pelan. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok pemuda yang kukira dia
-mas Alam- ternyata adalah KAMU. Tak ayal lagi kedua pupil mataku membulat
penuh, tidak menyangka. Mulutku terbungkam rapat, begitu juga dengan senyum
yang tadinya mengembang perlahan-lahan mulai memudar.
“Mei, tunggu!” Kau
mengunci pergelangan tanganku dengan kuat. Menghentikan langkahku yang hendak
masuk ke dalam rumah.
“Mau ngapain kamu
kesini?” tanyaku dingin, tanpa memalingkan wajah ke arahmu.
“Aku mau bicara sama
kamu sebentar,”
“Aku lagi sibuk!”
sahutku ketus seraya meyentakkan genggamanmu dari tanganku. Tepat ketika handel
pintu kugenggam, kau pun mencekalku lagi, kali ini dibagian lengan. Aku mencoba
berontak, tapi tangan kokohmu mengandung tenaga yang lebih besar dibandingkan
lenganku, cengkramanmu kali ini lebih kuat dari yang pertama, alhasil usahaku
pun tidak banyak membantu.
“Please, aku minta waktumu sebentar aja Mei. Ada suatu hal yang
mesti kujelasin ke kamu. Ada suatu hal yang harus kita omongin berdua
sekarang.”
Spontan aku
membalikkan badan, menatap kedua manik matamu dengan sinis lantas membuka
suara, “Nggak perlu, Meig. Aku pikir semuanya sudah sangat jelas. Sekarang, aku
cukup tahu aja kalau ternyata ketenaran itu juga bisa merubah hati seseorang
yah?” sindirku tersenyum kecut.
“Mei, aku-----“
“Kamu tahu nggak,
sih?! Bertahun-tahun aku hidup dalam kesendirian, menahan diri untuk nggak
jatuh cinta dan ikhlas terkurung di dalam rindu yang nggak tertahankan, itu
semua cuma DEMI kamu! Aku rela nunggu kamu kembali dari Inggris selama apa pun
itu asal kamu membalas kesetiaanku, Meig. Tapi, apa yang aku dapat? Kamu malah
TEGA khianatin aku!” sambungku dengan satu tarikan napas. Seakan tidak memberimu
kesempatan untuk menjawab, mulutku pun kembali terbuka. Suara hati yang lama
kupendam, kini kutumpahkan dengan emosi yang --untungnya-- masih bisa
kukendalikan.
“Seandainya dari awal
aku manut apa kata Ibu bukan kata hati aku, mungkin pengkhianatanmu nggak akan
terasa sesakit ini. Nggak akan terasa seperih ini, Meig.” kataku pelan nyaris
berbisik. Mulutku bergetar. Dapat kurasakan air kepedihan yang mulai menggenang
dipelupuk mataku yang siap tumpah dalam sekali kedip.
“Mei, maaf,” lirihmu
seraya mendekap tubuhku dengan erat. Aku ingin mendorong tubuhmu, menghindar,
menolak pelukan ini, tapi ku urungkan saja niatku tersebut. Aku harap ini
adalah pelukan yang terakhir sebagai tanda permintaan maaf-mu.
“Please, aku mohon maafin aku, Mei.” ulangmu masih dalam posisi
memelukku. “Semestinya dari awal aku
sadar cuma kamu yang tulus mencintai aku, apa adanya bukan ada apanya.”
Perlahan-lahan kau melonggarkan pelukanmu, lalu merangkum wajahku dengan
hangat. Sesaat aku tertegun. Aku sadar kini kau telah menyesal. Ternyata, gosip
itu memang benar adanya; hubungan kalian sudah berakhir.
“Aku pengen kita
kayak dulu lagi, Mei. Kita ulang semuanya darinya awal. Okey?” pintamu penuh
harap.
Aku menghela napas
panjang dan berat. Menguatkan hati atas jawaban yang kupilih, berusaha untuk
bersikap konsisten dan kebal terhadap godaan.
“Enggak, aku nggak
bisa.” jawabku pada akhirnya, sengaja membuang muka demi menghindari tatapan
memelasmu yang sewaktu-waktu bisa saja meluluhkan hatiku itu.
Kau mendesah kecewa
sembari menurunkan tanganmu dari wajahku. “Why?
Apa secepat itu cinta pergi dari hati kamu?” tanyamu tidak percaya.
“Jawabannya
sederhana, Meig. Karena, aku sudah nggak punya cinta putih lagi. Cinta putih itu sudah ternoda oleh hitamnya
pengkhianatanmu.” Mataku kian memanas. Apa yang baru saja kukatakan tadi,
seperti merobek jahitan luka di hatiku yang belum kering. Perih. Sekuat tenaga
aku menahan tangis agar kau tahu tanpamu aku masih bisa berdiri sendiri. Aku
sudah tidak butuh sandaran, aku tidak memerlukan topanganmu lagi.
“Dan, seharusnya kamu
sadar, Meig! Bukan aku yang mau, tapi kamu yang memaksa agar cinta itu pergi.”
lanjutku seraya berbalik hendak meraih knop pintu, tapi tanganmu lagi-lagi
menghalanginya.
“Oh, ayolah Mei! Aku
minta maaf. Aku benar-benar menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesetiaanmu
kemarin. Apa perlu aku berlutut dikaki kamu supaya kamu mau maafin aku?”
“Percuma. Kata ‘maaf’
juga nggak akan bisa ngembaliin hati aku seperti semula, Meig. Dia nggak akan
utuh seperti dulu lagi. Fine, sekedar
maafin kamu itu sih nggak masalah buat aku. Tapi, untuk kembali menjalin
hubungan kayak dulu, aku nggak bisa. Maaf.” Kutarik napas dalam-dalam, lalu
tersenyum getir, “Dan, sebaiknya mulai detik ini kamu pergi dari kehidupan aku.
Aku nggak mau timbul rasa benci yang akhirnya malah ngebuat aku susah untuk
maafin kamu.”
“Mei,” lirihmu pilu.
Aku berusaha untuk
tidak menghiraukanmu, meski diam-diam ada perasaan kasihan yang menyelinap
masuk ke dalam hatiku. Dia --hati-- seolah-olah berbisik; Well, kasih kesempatan sekali saja, dia masih mencintaimu, Mei.
Tapi, tidak!
Keputusanku sudah bulat. Hatiku tidak akan menerima cinta yang sama.
Kembali kuayunkan
kaki, melangkah gontai mendekati pintu rumah. Ketika knop sudah berada dalam
genggamanku, tubuhku berbalik sekali lagi. “Seandainya
aja dari awal kamu tahu kalau pengkhianatan sekecil apa pun itu terlalu sakit
untuk yang namanya sebuah penantian panjang, mungkin kamu akan mikir dua kali
untuk melakukannya. Dan, mungkin cinta kita juga nggak akan berakhir kayak
gini.” tambahku pelan seraya menutup pintu rumah. Disaat sebentuk kayu jati
itu tertutup rapat, sebulir air bening yang tadinya kutahan akhirnya luruh
juga, turun dengan deras hingga melunturkan bedak yang menempel diwajahku.
Yah, seperti sebuah
sorot film yang berputar, segala kenangan yang pernah ada di antara kita pun
kembali membayangiku. Berkelebat di memori ingatanku seakan berusaha
menggoyahkan pendirianku yang lebih memilih untuk tidak menerimamu lagi.
Tapi, hati yang
terlanjur sakit berhasil menepisnya. Pengkhianatan yang kau lakukan bagai
sebentuk tipe-x yang sukses menghapus
namamu yang pernah tertulis rapi direlung hatiku. Dan sekarang relung itu pun
kosong, mereka tengah menunggu Meiga-Meiga yang lain. Meiga-Meiga yang
menghargai kesetiaan. Meiga-Meiga yang tidak menyukai pengkhianatan.
Okay, cukup sudah!
Aku harap ini untuk yang terakhir kalinya aku menangis karenamu dan tidak akan
terulang lagi.
Segera kuhapus
sisa-sisa air mata yang membekas dipipi, lalu kucoba menarik kedua ujung
bibirku untuk tersenyum dengan lebar. Dear,
harus kau tahu, aku sama sekali tidak ragu dengan keputusan yang kuambil. Aku
yakin dengan jalan ini, maafkan aku. Aku bisa saja membukakan pintu maaf
untukmu, tapi tidak dengan pintu hatiku.
Kini, pintu itu sudah tertutup rapat dan hanya akan kubuka untuk sosok
yang bisa mengerti kesetiaan.
*
“Kok, sphagetti-nya
nggak dimakan?”
“Eh,” Aku terkesiap
kaget ketika mendengar teguran halus mas Alam. Kini, kami telah berada di
Twenty Night Café. Sebuah café di tengah kota yang bernuansa tidak terlalu
formal, cozy, lumayan santai.
Right, begitulah, tak lama setelah kau pergi mas Alam datang
menjemputku sesuai dengan janjinya di-sms. Dia mengajakku makan malam sembari
menunggu detik-detik pergantian tahun di café ini.
Dan, parahnya aku
malah melamun. Sedari tadi, sphagetti yang ada dihadapanku hanya ku lilit-lilit
dengan garpu tanpa kumasukkan ke dalam mulut. Sementara sphagetti mas Alam
sendiri kulihat sudah habis setengah. Ah,
bodoh! rutukku dalam hati.
“Nggg...... Anu mas,”
Kugantungkan kalimatku beberapa detik, memikirkan kata-kata yang pas untuk
dijadikan alasan.
“Mei, kamu nggak
terpaksa kan menerima ajakanku malam ini? Ya maksud aku------“
“Nggak kok, mas!”
sangkalku memotong ucapan mas Alam. “Kebetulan malam ini lagi free, nggak ada yang ngajak keluar. So, aku rasa nggak ada alasan untuk aku
bilang terpaksa jalan dengan mas Alam. Beneran, deh!” Kuperlihatkan senyum
tipis yang sarat akan ketulusan, mas Alam pun membalasnya. “Syukur deh, kalau
gitu. Soalnya malam ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
Serta-merta kedua
alisku terangkat, saling bertautan satu sama lain. “Tentang apa yah, mas?”
tanyaku heran.
“Ada deh! Kamu
habisin aja dulu makanannya.” katanya sok rahasia. Aku hanya mengangguk kecil.
Walaupun penasaran dengan “sesuatu” yang ingin mas Alam bicarakan itu, tapi ya
sudahlah. Kunikmati saja sphagetti yang ada dihadapanku ini tanpa banyak
membuka suara.
Selepas makan malam,
mas Alam pun mengajakku keluar dari café menuju ke sebuah taman yang cukup
ramai. Sebelum sampai di taman kecil yang masih satu lokasi dengan Twenty Night
Café itu, dia membelikanku sebuah terompet, katanya sih untuk ditiup tepat
ketika jam 12 malam nanti. Aku hanya tersenyum, lalu berterima kasih padanya.
Twenty Night Park.
Yah, sesuai dengan namanya, taman café ini hanya dibuka di malam hari saja.
Meskipun tidak terlalu luas, tempatnya sangat nyaman dengan pepohonan hijau
sebagai pemandangan, juga dilengkapi dengan air mancur berpolakan bunga mawar
sebagai pusatnya yang semakin mempercantik keadaan taman tersebut.
Mas Alam menggandeng
tanganku, membawanya menuju sebuah bangku panjang yang terletak di salah satu
sudut taman. Aku hanya menurut, takut terpisah juga karena semakin malam taman
ini kian terlihat ramai saja. Rupanya semua orang berkumpul ingin menyaksikan
malam pergantian tahun 2012.
Kulirik jam tangan,
sebentuk senyum simpul tercetak di bibirku. Bagaimana tidak? Tinggal dalam
hitungan detik saja waktu akan menunjukkan pukul 12 malam. Saat yang ku
tunggu-tunggu akhirnya sebentar lagi tiba. Aku senang, tentu saja!
Tak lama kemudian
terdengar bunyi petasan yang menggelegar. Bunyinya menyatu dengan suara
terompet yang ditiup nyaring, menyambut hadirnya tahun 2012.
Kembang api
berwarna-warni terlihat indah menghiasi langit malam yang hitam pekat.
Langsung saja
kukaitkan kesepeluh jariku, memejamkan mata, make a wish dengan khidmat dibawah kembang api yang bunyinya
--masih-- saling bersahut-sahutan.
Semoga...
Semoga...
Dan semoga...
Yah, begitu banyak
pengharapanku di tahun 2012 yang cukup diketahui oleh hatiku saja.
Puas bermunajat, aku
pun membuka mata lalu tersenyum dengan lega. Terus terang, baru kali ini aku
melakukan ritual malam tahun baru di luar rumah seperti ini; make a wish di bawah kembang api. Aku
dapat merasakan sensasi yang berbeda.
Lalu, kualihkan
pandanganku ke samping kanan, melalui bahu kulihat mas Alam yang masih
memejamkan matanya. Dia terlihat memanjatkan do'a dengan tenang.
“Banyak banget nih
pasti permintaannya,” batinku asal.
Aku terus menatap
wajahnya, terpaku di sana hingga beberapa lama.
“Kalau dilihat-lihat,
mas Alam ternyata manis juga.” Tanpa sadar aku bergumam dalam hati, memuji raut
pemuda yang duduk disampingku kini. Namun, sejurus kemudian tiba-tiba dia
membuka matanya, membuatku terkejut dan nyaris saja terjatuh dari bangku taman.
“Meisya?”
“Eh, iya mas Alam,”
“Kamu kenapa? Kok,
tadi merhatiin akunya gitu amat?”
Aku gelagapan,
buru-buru memalingkan wajah. Kata-kata “gitu amat” yang mas Alam lontarkan
seperti matahari yang menyengat di wajahku, sukses membuat pipiku memerah malu.
Oh God, apakah wajahku tadi terlihat
‘mupeng’ sekali di mata mas Alam? tanyaku meringis dalam hati.
“Eummmm.... Itu mas,
aku tuh cuma heran aja. Mas Alam kok lama banget yah make a wish-nya? Emang di tahun 2012 minta apa aja, mas? Pasti
banyak, nih! Hehe....” tanyaku basa-basi seraya tertawa kecil diujung kalimat.
Sengaja, guna menutupi perasaan nervous yang mendadak menyerangku.
Mas Alam terkekeh
pelan, tangannya terulur maju untuk mengacak gemas tatanan poni yang menutupi
bagian dahiku.
Refleks aku menggigit
bibir bawahku, berhenti tertawa dengan napas yang tertahan. Sentuhannya,
sentuhan mas Alam selalu membuatku tertegun, sejenak diam tanpa kata. Sadar
akan perubahan sikapku itu mas Alam pun menarik tangannya dari atas kepalaku.
“Eh, sorry.”
Aku menggeleng pelan,
“Nggak apa-apa kok, mas.” Lalu, sambil merapikan poniku yang berantakan akibat
ulahnya, aku kembali bertanya, “Jadi, resolusi mas Alam ditahun 2012 apa aja,
nih?”
“Banyak. Salah
satunya,,,,,,,”
“Salah satunya?”
Mas Alam melirikku
sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Menikah,”
Aku nyaris berteriak,
hendak mengatakan “wow” tapi mas Alam lebih dulu menyambung kalimatnya, “Dengan
kamu, Mei.”
“Will you marry me?” Dia mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna
ungu dari dalam kantong celana jeans-nya.
Kotak yang berisikan cincin putih itu dia buka dihadapanku, tepat di depan
wajahku.
Aku terbelalak kaget
dengan mulut yang menganga lebar. Ekspresi terkejut yang
aku-tahu-ini-sungguh-sangat-berlebihan! Tapi, aku serius. Aku tidak menyangka
dengan ajakan mas Alam untuk membina rumah tangga denganku.
Okay, aku tahu selama
ini dia bersikap baik padaku. Sikapnya benar-benar manis! Tetapi, aku tidak
pernah menyangka jika ternyata dia menaruh perasaan itu. Perasaan untuk menikah
denganku, perasaan untuk hidup berdua denganku.
Inikah “sesuatu” yang
mas Alam ingin bicarakan tadi?
Masih dalam keadaan shock, mas Alam menggenggam jemariku,
lalu kemudian ditempelkannya ke bagian dadanya. “Apa kamu nggak bisa ngerasain
detak jantung aku, Mei? Aku beneran cinta sama kamu. Dari dulu aku
menyembunyikan perasaan ini, karena aku tahu kamu nggak akan ngebuka hati kamu
untuk pria lain kecuali dia. Kamu masih setia menunggu dia untuk kembali.”
“Sekarang, dia sudah
kembali tapi dengan cinta yang baru. Dia telah menyia-nyiakan kesetiaanmu, Mei.
Entahlah, aku nggak tahu apakah aku harus senang atau sedih dengan keadaan ini?
Jujur, disatu sisi aku sedih, karena melihatmu terluka. Tapi, disisi lain aku
nggak mau munafik, aku senang akhirnya kamu berhenti berharap sama dia. Hati kamu
sudah nggak terikat lagi dengan dia. Itu artinya kesempatanku untuk memilikimu
terbuka lebar.”
“Sekarang,
keputusannya ada di tangan kamu. Apa mau ngasih kesempatan itu ke aku atau
enggak? Aku coba terima dengan ikhlas apapun itu keputusanmu.” ungkap mas Alam
panjang lebar.
Dari sekian banyaknya
kata yang mas Alam ucapkan, hanya satu maksud yang dapat aku tangkap; dia mencintaiku dari dulu.
Aku menimbang-nimbang
sejenak, sebelum akhirnya yakin dengan jawaban yang kupilih. Jawaban yang aku
rasa tepat dan -semoga- saja ini yang
terbaik.
Dengan kepala
tunduk-tengadah aku berbisik pelan, “As
you wish.”
Bersamaan dengan itu
mas Alam pun memasangkan cincin tersebut ke jari manisku. Dia tersenyum lega.
Dikecupnya kedua
belah pipiku dengan lembut sehingga memunculkan semburat merah pada keduanya.
Aku tersipu malu.
Setelah itu,
bersama-sama kami meniup terompet, mengawali 1 januari dengan senyuman yang
merekah lebar.
Hei, dear! Kau lihat? Sekarang aku telah berdua dengan yang lain. Dan,
mungkin ini untuk selamanya.
Alasanku menerima dia simple, karena aku pikir terkadang untuk
melupakan sosok lama kita memerlukan hadirnya sosok baru.
Yah, walaupun aku tahu hatiku belum sepenuhnya terpaut pada mas Alam,
tapi aku akan mencoba dan terus mencoba untuk move on, berusaha kembali merajut
jalinan asmara meski dengan sosok yang baru.
Lagipula, patah hati bukan akhir dari segalanya kan? Seperti halnya
seuntai kalimat klise yang berbunyi; Life must go on. Ada atau tidak ada
dirimu, kehidupan akan tetap berjalan. All right?!
Untukmu,
Kaulah masa laluku yang tidak
bisa hadir dimasa depanku.
Untukmu,
Kaulah cinta pertamaku yang
tak dapat menjadi cinta terakhirku.
Untukmu,
Kaulah yang membuat cinta itu
pergi, melayang hingga terjatuh dihati yang lain.
Untukmu,
Jangan pernah lagi menyia-nyiakan
kesetiaan, karena kesetiaan itu tidak bisa dikembalikan hanya dengan kata
“maaf”.
Untukmu,
Kalau memang kau menyesal atas
pengkhianatan yang telah kau lakukan, justru aku tak pernah menyesal atas
kesetiaan yang sudah kuberikan.
Untukmu yang berkhianat,
Ku ucapkan selamat
tinggal.....
With Imagination~
^Minah Syalalabibeh^
Tanah Grogot, 12 Januari 2012.