Ini bukan mauku. Ini juga bukan
inginku. Hatiku menolak, tapi ragaku tak dapat memberontak. -Naufal-
“Keputusan Papa tetap sama. Kamu harus
segera pulang ke Indonesia karena pertunanganmu akan diadakan satu minggu lagi.
Tidak ada kata tapi. Kamu mengerti?!”
Naufal menghembuskan napasnya dengan berat.
Untuk yang ke-sekian-kali-nya partikel-partikel udara berhembus dari mulutnya,
namun nyatanya beban di dalam hati Naufal tak juga berkurang. Dada pemuda itu
terasa sesak, seperti dihimpit oleh ribuan kerikil di saat mendengar pernyataan
mutlak Papa-nya di telepon malam itu. Bahkan semakin sesak ketika ia
mengingatnya lagi hari ini.
Naufal yang
berstatus sebagai mahasiswa semester akhir di fakultas hukum California
benar-benar tidak menyangka akan niat Papa-nya yang ingin menjodohkan dirinya
dengan seorang gadis bernama Neeta,
sahabat semasa SMA-nya yang juga putri tunggal dari kolega bisnis Sang Papa.
Bahkan di saat dia belum menyelesaikan kuliahnya, masih mengerjakan skripsi,
tidak memiliki pekerjaan. Great! Ini benar-benar gila, pikir Naufal malam
itu.
Namun, rasa
sesak muncul bukan karena dia belum merasakan sensasi memakai toga, lebih
kepada cinta lain yang lebih dulu mengisi hatinya. Dan sayangnya cinta itu
bukanlah Neeta.
Yah, Naufal
mencintai gadis lain. Gadis yang sebenarnya belum pernah ia temui wujudnya,
tapi sudah sanggup menumbuhkan rasa yang sangat besar di jiwanya. Ia menjalani
hubungan longdistance selama hampir 5
tahun dengan gadis itu, dan hanya dalam waktu 5 menit saja Sang Papa telah
berhasil menghancurkan segala harapannya. Te-ga!
Naufal kira
kalau dia berkata terus-terang akan hubungannya dengan Naura, Papa-nya akan luluh dan mempertimbangkan kembali niatnya
itu. Tapi, nyatanya keputusan Papa-nya tetaplah sama, tidak berubah. Dia malah
semakin keukeuh ingin menjodohkan Naufal dengan Neeta ketimbang harus
menyerahkan anak semata wayangnya kepada seorang gadis pemilik kios bunga
berpendidikan rendah yang yatim-piatu.
Naufal
terpukul ketika mendengar alasan Sang Papa yang tidak merestui hubungannya
dengan Naura. Tapi, dia tidak dapat berbuat apa-apa. Pemuda itu mengibaratkan
dirinya hanya sebuah robot sementara Papa-nya adalah remote control yang mengatur segala tindak-tanduknya. Yah, benar.
Meski hatinya menolak, dia tidak mampu memberontak.
Sekarang,
Naufal duduk di sofa apartemen-nya sambil menimang-nimang telepon genggam yang
ada di tangannya. Sudah hampir sepekan pemuda itu tidak menghubungi Naura.
Tidak mengiriminya pesan singkat. Tidak ada memberikan kabar sama sekali.
Jujur saja
Naufal merindukan gadisnya. Sangat amat merindukan Naura namun....., di satu
sisi dia takut.
Dia tidak
tahu bagaimana caranya menjelaskan ini semua kepada Naura. Hati gadis itu
terlampau baik untuk disakiti. Dia bak malaikat di mata Naufal.
Pun selama
ini Naura-lah yang mampu memahaminya, mengerti, dan menerimanya tanpa banyak
menuntut. Lalu, apakah sekarang dia tega menghancurkan hati Naura yang
-menurutnya- lembut bagaikan kapas itu?
Arrrrrgggghhhhhh...!
Naufal
mengacak-acak rambutnya frustasi.
Sedetik
kemudian dia menghela napas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Tidak ada
pilihan sekarang.
Mereka
berdua tidak bisa terus diam-diaman seperti ini.
Dia juga
tidak tega membiarkan gadisnya itu cemas berkepanjangan karena tidak diberi
kabar selama beberapa hari. Naura merindukannya juga. Pasti.
Namun,
sebesar apapun rindu menggerogotinya, Naura tidak akan mungkin mengirimi Naufal
pesan singkat. Yah, Naufal tahu dan hafal betul bagaimana watak Naura yang
tidak mau menghubunginya terlebih dahulu. Jadi, harus dia yang memulai.
Sesaat
pemuda itu melirik ke arah wall clock berbentuk
bundar yang ada di apartemen-nya. Jam 6 pagi, itu artinya di Indonesia sekitar
jam 8 malam sekarang. Okey, jam segini handphone
Naura pasti tidak berada jauh dari jangkauannya. Dia yakin itu karena dia pun
terbiasa ber-SMS ria dengan Naura di jam segini.
Dengan
jantung berdebar kencang Naufal mengetik sejumlah digit nomer yang dihafalnya
di luar kepala, sebelum akhirnya menempelkan telepon seluler itu di telinganya
yang sebelah kanan.
Telepon
tersambung namun tak kunjung diangkat. Nada sambung pribadi mengalun panjang
dan Naufal menunggunya dengan sabar. Hingga ke-tiga-kalinya ia mendengarkan refrain Someone Like You-nya Adele
barulah ia teringat akan satu lagi watak Naura yang unik menurutnya. Naura
tidak suka mengangkat telepon. Walaupun panggilan itu datang darinya. Oh,
pantas!
Naufal
keluar dari menu contacts lalu segera
beralih ke menu messages.
Tangannya
bergetar disaat menekan sejumlah tombol yang ada di keypad handphone-nya.
Di dalam,
batinnya menangis.
Dengan
perasaan tidak rela Naufal mengetik sebuah pesan singkat berisikan kalimat
cukup panjang yang sebenarnya jauh dari kata hatinya.
Dia pikir,
bagaimanapun juga Naura harus tahu ini. Dia tidak bisa membohongi gadis itu
lebih lama lagi.
Ah, tapi
sungguh sulit rasanya jika kita harus mengungkapkan sesuatu yang tidak ada atau
malah berbanding terbalik dengan apa yang ada di hati kita. Serius!
Aku bersumpah demi Atlantis rasanya
sangatlah menyakitkan.
Send.
Naufal menekan
tombol hijau, bersamaan dengan itu cairan bening -yang sejak tadi mati-matian
ditahannya- pun jatuh berguguran dari kelopak matanya tanpa bisa dicegahnya
lagi.
Dia
menangis.
Menangisi
janji manis yang telah diingkarinya.
***
Kau dimana? Aku kehilanganmu selama
hampir sepekan. Tell me something I don't
know, please. Apa kau
menyembunyikan sesuatu dariku? Tolong jelaskan. -Naura-
Gadis
bertubuh mungil dengan rambut dikuncir kuda nampak mondar-mandir di dalam
kamarnya. Setiap 10 menit sekali ia melirik ke arah ponsel flip-nya yang tergeletak pasrah di atas spring bed, lalu mendesah kecewa ketika alat komunikasi itu tak jua
berdering sama sekali.
Oh, Tuhan haruskah malam ini kulewati
tanpa kabar darinya lagi?
Naura, gadis
itu tak dapat menyembunyikan raut gelisah di wajahnya. Bagaimana tidak? Sehari
saja tak diberi kabar oleh Naufal dia sudah uring-uringan tak menentu. Apalagi
sepekan! Oh, Tuhan rasanya dia ingin menjerit bahwa rasa rindu ini telah
menekannya, menjepitnya hingga ke ulu hati.
Naura mendesah
putus asa. “Okey! Demi Neptunus, Saturnus, dan Uranus, ini adalah rindu
terhebat yang pernah kurasakan.” akunya di depan cermin.
Setelah
beberapa saat terlibat perang batin, akhirnya rasa rindu Naura yang menggunung
itu berhasil mengalahkan rasa gengsinya yang menjulang.
Dia berniat
mengirimkan sebuah pesan singkat ke nomer Naufal kalau saja ponsel flip itu tidak berdering dengan
nyaring.
Ini bukanlah
nada dering SMS melainkan.....,
Telepon?!
Naura
berjingkat kaget. Raut wajahnya yang semula cemas semakin cemas ketika tahu
panggilan itu datangnya dari Naufal.
Pemuda itu
meneleponnya? Ah Gad!
Naura
kembali mondar-mandir, mengelilingi seisi kamarnya sambil memandang gelisah ke
arah handphone-nya yang terus
berdering mengalunkan nada “Mungkin” dari Melly Goeslaw. Bagaimana iniiiiiiii?
Selalu
begitu. Gadis itu selalu merasakan gugup berlebihan setiap kali Naufal hendak
meneleponnya. Ya, mungkin ini kedengarannya aneh. Tapi, begitulah Naura. Dia
tidak suka mengangkat telepon, meskipun itu datangnya dari Sang pangeran hati.
Tidak terbiasa, begitulah alasannya.
Panggilan
kedua, Naura buru-buru merubah profil
handphone-nya dari modus “normal” ke modus “silent”. Kini ponsel itu tak lagi berdering, hanya layarnya saja yang
berkerlap-kerlip menambah frekuensi debaran di jantung Naura.
“Ya ampun Naufaaaaaal..., udah dong! Kamu tahu, kan, aku nggak suka
di telepon?! Kamu tuh, ya, lama menghilang tahu-tahu muncul langsung main
telepon gini. Kalau mau ngasih kabar tuh SMS aja kek! Nggak usah telepon,
pleaaaaaase.” Gadis itu memaki kekasihnya dalam hati. Tanpa sadar dia menggigit
kecil bibir bagian bawah sambil meremas kuat telapak tangannya yang mulai
berkeringat dingin. Okey, sepertinya gugup yang dirasakan Naura sudah sampai ke
puncak pyramid!
Beruntung usai
missed call yang ketiga kalinya, LCD
ponsel flip itu tak lagi
berkerlap-kerlip.
Naura
menghembuskan napas dengan lega.
Thanks Gad, Naufal berhenti menghubunginya.
Namun selang
beberapa menit kemudian,
`Tringgggg...!`
Terdengar
nada pesan masuk.
Buru-buru
Naura menyambar handphone-nya, lalu
membuka isi pesan singkat tersebut dengan debaran yang masih tersisa.
Pesan dari Naufal.
“Good night my lady,”
Lamat-lamat Naura membaca isi pesan singkat yang dikirimkan Naufal, lalu
tersenyum ketika membaca kata “My Lady”
yang tertera disana. Yah, “My Lady”
adalah panggilan kesayangan Naufal untuk Naura, dan Naura selalu membalas
panggilan sayang itu dengan dua kata; “My
Man”. Begitulah, romantic moment
itu selalu terasa setiap mereka saling memanggil dengan kata-kata mesra.
“Maaf ya aku nggak sempat memberimu kabar selama seminggu
belakangan. Sesuatu mengganjal di pikiran aku sampai-sampai aku lupa dengan
ponselku. Okey, aku jahat. Aku sudah ngebuat kamu khawatir (mungkin) dengan
nggak ngasih kamu kabar sama sekali. Aku minta maaf. Bener-bener minta maaf.
Dan, sekarang lagi-lagi aku harus minta maaf.” Sejenak Naura menghentikan
bacaannya, menarik napas pendek lalu kembali membaca pesan itu dengan kening
yang tiba-tiba berkerut. Apa maksudnya ini? Tidak biasanya Naufal berbicara
panjang lebar seperti ini di SMS pertama. Biasanya dia akan menanyakan “Apa
yang tengah dikerjakan Naura” terlebih dulu sebelum akhirnya berbicara lebih
lebar lagi.
“Kalau ini menyakitkanmu, aku benar-benar minta maaf. Aku
nggak tahu mesti ngejelasin ini seperti apa. Tapi, tapiiii...... Emmm....,
begini, sesuatu menyadarkanku kalau ternyata rasa itu telah hilang dan
kita........”
PLOPPP! Tanpa membaca lebih lanjut isi dari SMS Naufal,
Naura langsung melipat kasar ponsel flip-nya
hingga menimbulkan bunyi cukup nyaring yang mampu memecah kesunyian di kamar
itu. Senyumnya perlahan memudar berganti dengan rasa sesak, nyeri, dan perih
yang muncul begitu saja bersamaan dengan sebulir air mata yang turun tanpa di
minta. Tak perlu membacanya sampai akhir -karena ia juga telah kehilangan
selera- Naura sudah mampu menangkap maksud dari pesan singkat yang Naufal
kirim. Rasa itu telah hilang sama artinya dengan semuanya telah berakhir, kita
tak dapat bersama lagi, kita putus!
Yah, putus. Satu kata yang tidak pernah Naura bayangkan
sebelumnya namun kini terjadi secara tiba-tiba.
Bahkan-disaat-dirinya-belum-pernah-bertatap-muka-sekalipun-dengan-Naufal.
Sekali lagi, belum pernah.
Impossible!
Ini tidak mungkin. Naura tahu pemuda itu sangat
mencintainya. Hubungan jarak jauh mereka sudah berjalan selama hampir 5 tahun,
itu pun nyaris tanpa ujian yang berarti. Semua masalah yang datang bisa mereka
selesaikan dengan baik tanpa harus beradu urat. Naufal selalu menekankan Naura
untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan emosi yang
justru bisa mengakibatkan perang dingin.
See? Cara Naufal mengatasi masalah itulah yang -menurut Naura- menunjukkan
betapa pemuda itu sangat sangat dan sangat menjaga hubungan diantara mereka.
Sejenak Naura mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk
berpikir positif. Mungkin saja Naufal bercanda, ia hanya bermaksud untuk
mengerjai Naura. Tapiiiii...., please
dong! Jangan main-main dengan kata putus. Putus itu bukan lelucon! Sumpah, ya,
ini nggak lucu! Gadis berdagu lancip itu mencak-mencak dalam hati.
Okey, anggaplah Naufal bercanda. Lalu dalam rangka apa dia
bercanda seketerlaluan itu?! Ini bukan April Mop dan juga bukan hari dimana
Naura berulang tahun. Sadar akan hal itu, Naura pun langsung menepis asumsinya
yang mengatakan bahwa Naufal bercanda. Pemuda itu tidak bercanda, dia serius.
Kini, satu-satunya harapan Naura yang- semoga-saja-benar
adalah “Ini hanya mimpi”. Ya, pasti ini cuma mimpi!
Kalau benar ini mimpi,
tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, Tuhaaaaan.
Naura membatin pilu. Berharap ini hanyalah mimpi, tapi
nyatanya 10 menit sudah berlalu dia masih terpekur di sisi ranjang. Masih
merasakan sesak. Masih dengan tangan yang menggenggam erat ponsel flip bercorak kupu-kupu miliknya.
Dia belum juga terbangun, dan sepertinya memang tidak akan
pernah terbangun karena ini........, nyata.
“Terima saja Naura,
terima saja. Itu artinya Naufal bukanlah jodohmu. Tuhan akan mengirimkanmu
sosok yang jauh lebih baik dari dia. Percayalah.”
“Tidak! Kamu tidak
bisa menerima keputusan Naufal begitu saja. Bagaimanapun juga pemuda itu telah
berjanji untuk kembali 5 tahun lagi. Kalian akan menikah, bukan?”
“Ya, kamu akan menikah
suatu hari nanti tapi tidak dengan Naufal. Bagaimana mungkin kamu mau menikah
dengan pemuda yang jelas-jelas telah menyakiti hatimu? Sekarang lihatlah
dirimu. Kamu tampak begitu kusut karena ulah Naufal.”
“Dengar Naura, kamu
terlihat kusut karena kamu terlalu memikirkannya. Kamu begitu mencintainya.
Akui saja!”
“Tapi..,”
BRUKKKK!
Lelah mendengarkan batinnya yang terus saja berdebat, Naura
pun menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Diusapnya wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu ia
menarik napas dalam-dalam.
Batinnya boleh saja bergejolak, tapi dia tetap harus bisa
mengambil sikap----sekarang juga.
Langsung saja Naura bangkit lagi dari atas ranjang seraya
meraih kembali ponsel flip miliknya.
Baiklah, satu SMS balasan rasanya sudah cukup untuk sekedar
salam perpisahan.
Naura meremas kuat ponsel genggamnya sesaat. Ia sempat
mondar-mandir beberapa kali untuk memikirkan kata-kata apa yang pantas untuk
membalas pesan dari Naufal. Setelah menemukan kalimat yang cocok ia pun
berhenti tepat di sisi ranjangnya.
“Terus terang aku sedih.”
Pause.
Jari-jemarinya berhenti bergerak setelah mengetik kata “sedih”. Lagi ia menarik
napas panjang guna meredam rasa sesak yang belum juga hilang. Namun, percuma.
Semakin diredam perih itu justru terasa semakin dalam.
“Kenapa kamu minta putus disaat kita belum pernah bertemu
sekali pun? Tapi, it`s okey. Kita
putus.” Detik selanjutnya Naura sudah kembali mengetik pesan balasan untuk
Naufal. “Thanks for the memories.”
Send.
Tanpa pikir panjang ataupun sekedar membacanya ulang, Naura
langsung menekan tombol hijau. Setelah pesan singkat yang-amat-singkat itu
benar-benar terkirim, tubuh gadis itu tiba-tiba saja merosot jatuh ke bawah
lantai. Disusul dengan kepalanya yang ikut terhuyung lalu mendarat tepat di
atas spring bed bermotifkan keropi
miliknya.
Kini ia tak mampu lagi untuk terus berpura-pura tegar. Sesak
itu terasa nyata, begitu kuat, dan pada akhirnya menghancurkan tembok
pertahanan yang ia buat.
Dalam keheningan malam, dibiarkannya saja butiran bening
satu per satu luruh hingga menganak-sungai di kedua pipinya.
Tak ada raungan, tak ada jeritan, yang ada hanyalah isakan
kecil yang tertahan.
•••
Naura menggosok-gosok kedua kelopak matanya dengan jari
telunjuk. Sesekali gadis itu juga terlihat menguap menahan rasa kantuk. Jam
dinding di istana kecilnya sudah menunjukkan pukul 9 pagi, tetapi Naura belum
juga beranjak dari dalam sana.
Di hadapannya tengah berdiri sosok Alya -sahabat sekaligus karyawati di toko bunga miliknya- yang
berkacak pinggang dengan tatapan sarkastis. Gadis berkulit putih pucat dengan
bola mata sipit itu tak dapat menahan rasa terkejutnya ketika pagi-pagi sekali
ia mendapati Naura tertidur di sisi ranjang lengkap dengan sepasang mata
bulatnya yang bengkak. Penampilannya benar-benar terlihat kacau sekarang.
Sebagai sahabat tentu saja Alya shock sekaligus penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Naura.
Naura sendiri awalnya enggan untuk menceritakan yang sebenarnya. Tapi, karena
Alya terus memaksa, akhirnya ia pun berbicara panjang lebar dari awal hingga
akhir. Sedetail-detailnya. Tanpa melewatkan satu kata pun dari apa yang
diingatnya.
Setelah mendengarkan cerita Naura dengan seksama, Alya
menggeleng prihatin. Dia merasa bersalah karena dia juga ikut ambil bagian
dalam hubungan asmara sahabatnya itu. Yah, bisa dibilang dialah yang dulunya
mencomblangkan Naufal dengan Naura.
“Maafkan aku ya, Ra.” ucapnya seraya menjatuhkan diri tepat
di samping Naura.
“Aku pikir Naufal cowok yang baik. Kamu tahu sendiri, kan?
Aku sudah bersahabat dengan Naufal nyaris 1 dekade ini. Dia sahabatku sejak
SMP, Ra. Dia nggak pernah mandang seseorang dari segi fisik, materi, atau
apapun itu yang bisa dilihat dengan mata kepala. Aku memercayai ketulusannya,
maka dari itu aku menjodohkan dia dengan kamu. Tapi, kalau aku tahu akhirnya
begini,” Alya menarik napas pendek lalu menatap Naura dengan air muka sedih.
“seharusnya aku nggak memperkenalkan kamu dengan dia. Aku nyesel, Ra. Sumpah
nyessssssel banget!”
“Sssstttt...., kamu tuh ngomong apa sih, Al?” Naura langsung
menyahut sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di depan bibir. Bantal hati
yang tadinya ia jadikan alas sandaran kini sudah berpindah tempat ke dalam
dekapannya. “Kenapa kamu mesti nyesel sementara aku nggak ngerasain itu sama
sekali?”
“Double what?!”
Alya membelalakkan matanya, supershock
ketika mendengar pengakuan Naura yang di luar dugaannya itu.
“Well, aku tahu
Naufal jahat. Dia sudah membuat aku sakit hati, dan parahnya dia juga sudah
mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. Tapi, biar bagaimanapun juga 5 tahun
belakangan ini dia lah yang paling mengerti aku, Al. Kami selalu menghabiskan
malam bersama-sama dan.....,” Naura menghembuskan napas sejenak, memeluk
bantalnya lebih erat lalu tersenyum simpul. “I don't regret it.” lanjutnya berbinar-binar.
Semalaman menangis ternyata dapat membuat gadis itu merasa
lebih baik. Walaupun kabut masih terlihat jelas menggantung di kedua manik
matanya, tapi setidaknya lengkungan tipis itu tercetak dengan tulus di bibir
Naura.
Tidak ada dendam. Tidak ada amarah. Keikhlasan hatinya dalam
menerima takdir sama sekali bukan rekayasa.
Dan, tahukah kalian? Alya bahkan harus memandang takjub ke
arah Naura.
“Kamu terlalu baik untuk disakitin, Ra.” katanya tiba-tiba.
Naura menoleh dengan alis terangkat tinggi. Belum sempat ia menanyakan maksud
dari ucapan Alya, sahabatnya itu kembali berbicara. “Begini, aku dengar-dengar
Naufal bakal pulang ke tanah air minggu ini. Yaaaa..., nggak tau sih untuk apa,
tapi yang jelas kalian harus bertemu, Ra. Kamu harus minta penjelasan dari
Naufal. Sejelas-jelasnya. Kalau perlu entar aku bantu kamu ngeintrogasi dia,
deh! Apa maksud coba main mutusin kamu gitu aja? Huh!” Alya menggerutu seraya
menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Tanpa ia duga, gadis di sebelahnya -Naura- malah tertawa.
Usulan yang diucapkannya dengan nada menggebu-gebu tadi, DITERTAWAKAN!
Tawa gadis itu meledak, lalu langsung lenyap begitu saja
ketika ia mendapati Alya yang sedang memandangnya dengan kesal.
“Sorry deh sorry,” Naura nyengir. “Tapi untuk apa
coba? Kamu mau nyuruh aku nangis di tengah-tengah orang banyak, hmh?” tanyanya
miris.
Cepat-cepat Alya menggeleng. “Buk, bukan gitu maksud aku,
Raaaaa.... Tapiiiiii.....,”
Entah mengapa Alya jadi ragu untuk meneruskan kalimatnya.
Setelah dipikir-pikir, apa yang Naura katakan tadi memang ada benarnya juga.
Kalau sampai ia mengajak Naufal bertemu hanya untuk memperjelas (walaupun
menurut Naura ini sudah jelas) keinginan pemuda itu, bukan tidak mungkin Naura
akan menangis. Syukur-syukur kalau mereka bertemu di tempat yang sepi,
seandainya ramai? Adegan yang biasanya dilihat Alya di sinetron-sinetron
mungkin akan terjadi di depan mata kepalanya. Diperagakan oleh sahabatnya
sendiri pula! Tentu saja dia tidak akan tega.
Hening.
Alya masih menggantung kalimatnya.
Naura sendiri masih setia pada kediamannya.
Cukup lama kesenyapan menguasai mereka berdua, hingga
akhirnya Naura mengalah dan membuka mulut untuk kembali bersuara.
“Okey, seperti saran kamu, mungkin aku bakal ngajak Naufal
ketemuan. But, not for that.” Naura mengembangkan senyuman tipisnya sesaat,
mencoba untuk menghapus ke-tidak-enak-hati-an di wajah cantik Alya. Dan, kini
air muka ke-tidak-enak-hati-an itu malah berubah menjadi sebuah tanda tanya
besar.
Bukan untuk hal itu? Lalu untuk apa?
Alya beringsut dari samping tubuh Naura, mencari posisi yang
nyaman untuk bisa menatap wajah sahabatnya itu dengan lebih leluasa.
“So, kalau emang
bukan untuk itu, untuk apa dong?” sahutnya setelah menemukan posisi yang
nyaman---saling berhadapan.
“Eummmmm....,” Naura mengikat satu rambutnya ke belakang.
Sambil tersenyum kecil ia menjawab, “Ada deh! Kamu bakal tahu nanti.”
Sikap sok rahasia yang ditunjukkan Naura membuat Alya
memutar kesal kedua bola matanya. Dia menghela napas panjang, dan tiba-tiba
rasa prihatin itu muncul lagi. Muncul lagi ketika manik matanya tak sengaja
menumbuk tepat di sepasang mata milik Naura.
Kedua mata itu tak dapat berbohong.
Cinta yang begitu besar terpancar jelas di sana setiap gadis
itu menyebut nama “Naufal”. Yaaaa..., setidaknya itulah yang dapat Alya tangkap
dari mata sahabatnya.
“Nggggg...., kamu cinta banget sama Naufal yah, Ra?” Alya
bertanya dengan nada yang terkesan lebih berhati-hati. Takut menyakiti lagi.
“Menurut kamu?”
Pertanyaan balik itu membuat Alya refleks menganga dan
melebarkan kedua mata sipitnya semaksimal mungkin.
“Gila yah, Ra! Padahal kamu belum pernah sekalipun tatap
muka sama cecurut itu, tapi hebatnya dia sudah mampu ngebuat kamu jatuh cinta
yang sedalam ini. Gila tau nggak, Ra?! Bener-bener gila! Itu cowok GREAT banget!”
Naura diam, enggan menjawab. Sejak 90 menit Alya
mengintrogasinya, baru kali ini napas gadis itu terdengar berhembus begitu
berat. Baru-kali-ini, ketika dia menyadari bahwa dia sangat mencintai Naufal
tetapi mau tidak mau harus segera melupakannya.
*
Aku pikir pulang ke
kampung halaman tidak akan membuatku bahagia. Aku tidak akan bisa tersenyum
disini. Tetapi, akhirnya Tuhan memberikanku satu alasan mengapa lengkungan
bulan sabit harus tercipta di bibirku, walaupun itu hanya sehari. Kau tahu? Itu
adalah ketika kau menghubungiku dan mengajakku untuk bertemu. -Naufal-
Hari ini genap seminggu Naufal berada di Kota Bandung,
tempat kelahirannya.
Seharusnya ia senang, karena untuk setengah bulan ke depan
dia tidak akan dipusingkan dengan diktat kampus yang tebalnya ampun-ampunan.
Sejenak dia akan berhenti mempelajari materi untuk pembuatan
skripsi-nya. Sejenak dia tidak akan bertatap muka dengan para dosen yang
membosankan. Yah, sejenak dia akan beristirahat dari dunia perkuliahan.
Namun, tetap saja Naufal merasakan letih. Di hati lebih
tepatnya.
Hatinya letih terus memikirkan Naura, sementara pesta
pertunangannya dengan wanita pilihan Sang Papa akan diadakan tak berapa lama
lagi. Yeah, great. Great kuadrat!
batin Naufal.
Haruskah? Haruskah aku
menikah dengan wanita yang tidak kucintai? Bagaimana caranya agar Papa mengerti
bahwa aku mencintai Naura? Apakah tidak bisa dia berhenti memandang Naura
dengan sebelah mata? Naura itu gadis yang mandiri. Wonderwomen! Kenapa Papa
tidak bisa melihat itu?
Berbagai macam pertanyaan yang sukar ditemui jawabannya
berkumpul di benak Naufal.
Pemuda itu menyerah. Sekeras apapun dia berpikir, jawabannya
tetaplah sama. Dia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menolak keinginan
Papa-nya.
Okey, Naufal mengakui dirinya pengecut. Dia tidak se-gantle Will (tokoh dalam novel “Miracle Of Love”) yang mampu melumpuhkan
hati Sang Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan pria itu dengan perempuan yang
tidak dicintainya sama sekali. Naufal tidak mempunyai keberanian sebesar yang
dimiliki Will.
Lagipula dia pikir melakukan hal se-ekstrim itu tidak
semudah yang diceritakan di setiap novel roman picisan.
Hasilnya juga tidak seindah dalam cerita-cerita fiksi yang
selalu berakhir dengan penerimaan.
Naufal sadar. Sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam dunia nyata
hasilnya hanya ada dua kemungkinan; diterima atau ditolak. Dan dalam kasus
Naufal, karena dia memiliki Ayah berhati sekeras baja (bahkan baja pun kalah
kerasnya), besar kemungkinan permintaannya akan ditolak.
Perbedaan status sosial di antara mereka lah yang membuat
Papa-nya sukar merestui hubungannya dengan Naura. He's know it. Know
sekali.
Mungkin, lain cerita jika Naura sederajat dengannya. Semua
akan berbeda jika Naura terlahir sebagai gadis berpendidikan dari keluarga yang
terpandang. Tapi......., Hey! Bukankah cinta yang tulus tidak mengukur dari
seberapa cantik/tampannya seseorang? Tidak menilai dari seberapa kayanya dia?
Tidak juga menimbang dari seberapa terhormatnya orang itu?
Ah, seharusnya Naufal sadar. Bagi Papa-nya ini bukanlah
masalah ketulusan, melainkan masalah kesetaraan.
Mau sebesar apapun itu ketulusan cinta yang Naufal miliki,
Papa-nya tidak akan pernah bisa peduli.
Kini tak ada lagi yang mampu menguatkan hati pemuda itu
selain memercayai bahwa jodoh di tangan Tuhan, bukan di tangan Sang Papa. Kalau
seandainya dia dan Naura ditakdirkan untuk bersatu, Papanya tak bisa menentang
kenyataan itu dengan cara apapun. Begitu juga sebaliknya, kalau memang
pertunangan itu tetap harus berlangsung, tak mampu ia hindari, itu artinya dia
dan Naura tidak berjodoh. Simple.
Naufal melemparkan fish
food ke dalam kolam ikan hiasnya tepat ketika Bik Ijah menghampirinya dengan langkah yang tergopoh-gopoh.
“Mas Naufal!” panggilnya dari kejauhan.
Sedikit terkejut Naufal memutar kepalanya ke belakang.
Wanita paruh baya itu mendekat. “Bibik cariin kemana-mana
ndak tahunya ada disini toh.” lanjut Bik Ijah masih dengan napas yang terdengar
satu-satu.
Sementara pembantunya itu sibuk mengatur napas, Naufal
menghentikan aktifitas memberi makan ikan hiasnya seraya mendelik, “Ada apa
yah, Bi? Kok panik gitu?”
“Ada telepon.”
“Dari?”
“Ndak tahu tuh, mas. Cewek. Katanya sih mau bicara sama mas
Naufal,” jawabnya sembari mengulurkan telepon tanpa kabel ke arah si majikan.
Ketika telepon wireless itu sudah
berpindah tempat ke tangan Naufal, Bik Ijah pun pamit ke belakang.
“Ha-halo?” Agak ragu Naufal mengeluarkan suara. Walaupun
keningnya masih terlipat, toh Naufal akhirnya menempelkan telepon itu juga di
salah satu telinganya.
“Hey! Naufal, ini aku Naura.”
DEG! Suara perempuan di seberang sana membuat Naufal terdiam
menahan napas. Suara itu, suara yang ia rindukan selama 4,5 tahun terakhir.
Suara yang baru pernah didengarnya sekali, itupun hanya
dalam durasi 2 menit, tapi sudah amat-sangat-begitu ia hafal. Manja, riang,
menggemaskan, dan......... Naufal pikir tidak akan mungkin bisa mendengarnya
lagi.
Ah, tapi sepertinya dugaan Naufal salah. Buktinya sekarang
suara itu menyapanya, kan?
Tuhaaaaaan, apa ini nyata? Naufal berbisik dalam
hati.
“Naufal? Hello Naufal?! Kamu denger suara aku, kan? Kok diem
siiiiih?” Naura mengeraskan volume suaranya. Seketika Naufal pun tersentak dan
kembali terlempar ke alam nyata.
“Eh, iya Naura, sorry.
Kamu apa kabarnya? Baik-baik aja, kan? Eh, maksud aku kenapa ngehubunginnya
lewat telepon rumah? Kenapa kamu nggak langsung telepon ke handphone aku aja?”
Mendadak Naufal jadi salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari
mulutnya tidak tersusun dengan baik dan dia menyadari itu. Dia tidak bisa
menyembunyikan perasaan gugup atas surprise
yang Naura berikan. Dia anggap itu
surprise karena Naura tidak pernah meneleponnya selama ini. Ini untuk yang
pertama kalinya, sejak mereka bersatu hingga sekarang sudah berpisah dan
melangkah masing-masing.
Sementara itu diseberang sana Naura menyemburkan tawa
hambarnya. Baik-baik saja? Bagaimana mungkin Naufal beranggapan bahwa Naura
baik-baik saja sementara tepat seminggu yang lalu pemuda itu telah tega
menghancurkan hatinya? Oh, Naura pikir itu adalah pertanyaan yang bodoh.
Sejujurnya dia sedang tidak baik-baik saja saat ini. Dia
bahkan tidak tertawa dengan tulus. Gadis itu tertawa hanya karena tidak ingin
menunjukkan rasa I'm-not-okay-nya
dihadapan Naufal. Simply.
Setelah tawa palsunya reda, Naura pun mendesah tak kentara.
“Iya, kabar aku baik. Nggggg..., itu lho, handphone aku pulsanya habis. Kalau
ngehubungin ke handphone kamu pakai telepon rumah mesti deh bayarnya mahal.
Ehehehe~” jawabnya terkekeh di ujung kalimat.
“Oh,” Naufal meresponnya dengan begitu singkat. Bukan, bukan
karena dia tidak senang Naura menghubunginya, hanya saja dia terlalu sibuk
dengan debaran di jantungnya dan juga keringat dingin yang tahu-tahu sudah
membasahi kedua telapak tangannya.
Oh, jadi begini rasanya nervous karena di telepon?
Selama ini Naura selalu menolak teleponnya dengan alasan
gugup dan Naufal tidak pernah tahu kalau rasanya itu se-menyebalkan ini. Huh!
“Ohya, aku denger-denger sekarang kamu lagi di Bandung, yah?
Eh, bener nggak sih?” Naura bertanya dengan nada yang lebih pelan. Terkesan
ragu.
“Denger darimana?”
“Ada deh!” Lagi, Naura tertawa. Sahutan “denger darimana”
yang diucapkan Naufal di ujung sana sudah cukup membuat gadis itu percaya jika
Sang mantan memang berada di Bandung saat ini.
“Ngggg..., ada waktu nggak? Sebelum kamu balik lagi ke New
York, aku pengen ngajak kamu jalan sekaliiiii aja. Yaaa..., itupun kalau kamu
nggak keberatan jalan sama mantan.” pinta Naura penuh harap.
Untuk yang kedua kalinya Naufal terbungkam. Surprise yang kedua Naura mengajaknya
jalan! Jalan artinya ketemuan. Ketemuan sama dengan bertatap muka. Untuk yang
pertama kalinya semenjak 4 tahun lebih mereka menjalin hubungan percintaan,
baru kali ini Naura mengajaknya jalan.
PERTAMA KALINYA! Untuk yang pertama kalinya mereka akan bertatap muka.
Tentu saja Naufal menerima ajakan gadis itu dengan senang
hati dan tanpa pikir panjang lagi.
“Boleh juga. Entar malem yah? Biar aku yang jemput. Rumah
kamu masih di Jln. Subroto itu, kan? Atau jangan-jangan udah pindah?” respon
Naufal begitu antusias. Dia bahkan lupa jika pesta pertunangannya akan diadakan
malam nanti. Malam nanti a.k.a entar malam. See?
Bagaimana mungkin dia mengajak Naura untuk bertemu di malam pertunangannya?
Sepertinya euforia yang Naufal rasakan benar-benar luar biasa sehingga membuat dirinya sendiri tak mementingkan akan
hari yang -seharusnya- sakral, hari penting, dimana dia akan bertunangan dengan
Neeta.
“Iya, aku nggak pindah, kok. Tapi, entar malem nih?
Eummmmm.....,” Diujung telepon Naura terkesan menimbang-nimbang sebelum
akhirnya menyetujui ajakan Naufal, “Ya udah, deh! I'll see you tonight. Byeee!”
Santai. Sesantai itu. Seakan-akan mereka masih bersatu.
Seakan-akan diantara mereka tidak pernah ada kata “putus” sebelumnya.
“Bye!” Naufal
menyahut meskipun bunyi “Tut” terdengar mengalun panjang, menandakan Naura
sudah menutup teleponnya sedari tadi.
Tanpa sadar pemuda bertubuh jangkung itu pun tersenyum masih
dengan telepon wireless yang menempel
di telinga.
Percaya tidak percaya sejak sepekan Naufal berada di Bandung
baru kali ini bibirnya terangkat naik hingga akhirnya membentuk lengkungan
bulan sabit yang sempurna. Oh, tidak! Bahkan senyumnya yang sekarang
amat-sangat-begitu sempurna.
***
Tuhan, Kau tahu
betapa aku sangat mencintai dia. Tapi, aku juga tak punya kuasa untuk melawan
takdir-Mu. Kau berhak atas segalanya. Jika memang melepaskannya adalah salah
satu takdir-Mu, walau sakit aku terima. Namun, sebelum itu izinkan aku untuk
menjadi gadis yang egois. Sekali ini saja, Tuhan. Biarkan hatiku melakukan
apapun yang dia mau sebelum cinta benar-benar pergi dan meninggalkannya.
-Naura-
Jam berdentang 7 kali tepat ketika Naura memutar tubuhnya
untuk yang ke-sekian-kali-nya di depan cermin. Gadis itu sibuk memerhatikan blouse winter selutut dengan motif bunga
sakura kecil yang melekat indah di tubuh mungilnya. Well, blouse tersebut
tidak hanya membuat Naura terlihat sangat feminim malam ini, tetapi juga sangat
cocok dikenakannya di musim dingin seperti sekarang---pas.
Lalu, dengan gerakan teratur Naura menyikat rambut hitam
legamnya dan menyematkan pita kecil berwarna pastel -senada dengan warna
bajunya- di samping rambut persis dekat telinga kiri.
Sekali lagi Naura mengamati pantulan dirinya di depan cermin
besar. Gadis itu tersenyum. Dia memang selalu terlihat cantik dengan rambut
tergerai indah dan poni lebat yang menutupi dahi. Tapi, sesaat dia ragu.
Akankah Naufal berkomentar yang sama atas penampilannya malam ini? Atau justru
malah sebaliknya?
“Ekhem! Cantik banget sih, neng? Yakin deh, setelah ngelihat
penampilanmu yang cetar membahana badai ulllllalaaaa malam ini Naufal pasti
bakalan nyesel abis karena udah mutusin kamu kemarin.” celetuk seseorang mengagetkan
Naura dari belakang. Spontan gadis itu berbalik dan mendapati Alya yang nyengir
sembari mengerling nakal ke arahnya. “Hey! Kembarannya Syahrini dateng, nih!”
sapanya di ambang pintu -masih- dengan tampang yang innocent parah. Oh enggak, tapi ini parahnya KEBANGETAN!
Hembusan napas kekesalan Naura terdengar pelan.
Ya Tuhan, anak ini!
Kenapa munculnya tiba-tiba begini?
Okey, memang benar dirinya tadi yang meminta Alya untuk
datang kemari, untuk menjaga rumahnya selama dia pergi dengan Naufal. Tapi, dia
tidak menyangka jika Alya datang dengan cara yang mengejutkan
dannnnnnn........., menggodanya seperti ini. Huh! Apa-apaan?
Naura melipat kedua tangannya di depan dada, “Oh my, please deh, Al! Nggak pake ngagetin bisa?” semprotnya langsung
dengan tatapan sebal.
Yang ditatap seperti itu hanya nyengir lebar memperlihatkan
deretan gigi putihnya yang di behel rapi. Lagu
lama untuk meminta maaf, batin Naura mengabaikan cengiran tak berdosa Alya.
Berhubung jam sudah menunjukkan pukul 7 -bahkan lewat-, segera gadis itu
beranjak dari hadapan cermin menuju ke belakang pintu kamarnya, ke tempat di
mana ia menaruh lebih dari 20 pasang alas kaki dengan bermacam-macam merk dan
juga jenis.
Cukup lama Naura mengamati kumpulan alas kakinya yang
tersusun rapi di dalam lemari kayu, hingga akhirnya ia menjatuhkan pilihannya
pada sepasang wedges cantik berwarna
putih tulang. Selain nampak matching dengan
blouse winter yang dikenakannya,
gadis itu juga merasa lebih nyaman berjalan dengan hak-nya yang rata, tidak
seperti high heels yang identik
dengan tumit runcingnya---tahu sendiri, kan? Dan itu merepotkan, pendapat
Naura.
Sementara itu Alya masih setia pada posisinya---bersender
pada daun pintu dengan kedua tangan bersedekap. Sedikit tersenyum dia menatap
Naura dengan tatapan yang tak terbaca. Sangking tidak terbacanya, Naura harus
mengangkat alis dan bertanya “Kenapa?” pada gadis itu.
“Enggak, aku cuma heran aja. Kok, kamu bisa cantik banget,
yah, malam ini?” puji Alya tulus. Tak ada derai tawa cengengesan atau bahkan
cengiran sok geli yang menandakan kalau dia tengah bercanda saat ini. Dia
serius, namun Naura tak dapat memercayai itu. “Stop saying that! Aku nggak punya rainbow cake di dalam kulkas,
Al.” tanggap Naura sembari mengibaskan sebelah tangannya di udara. Berpikir
bahwa apa yang Alya katakan barusan hanyalah rayuan untuk sepotong rainbow cake
(kue favorit Alya) semata padahal, kan, tidak. Sama sekali tidak.
“Terserah,” Alya mengangkat bahunya dengan begitu santai,
seakan tak peduli dengan tudingan yang dilemparkan Naura padanya. “Ya, mungkin
kamu masih kesal karena aku udah bikin kamu kaget tadi. Tapi, aku serius, Ra.
Kamu-cantik-banget-malam-ini.” Dia menekan nada bicaranya di satu kalimat
terakhir. “Auranya tuh BEDA!” Dan menambahkan satu lagi pujian dengan sangat
antusias.
Senyum Naura mengembang tiba-tiba. Harus diakuinya pujian
yang dilontarkan Alya mampu membuat kepercayaan dirinya naik seketika. “Thank you, I expect the same with you.” jawab gadis itu kalem. Mungkin memang
benar, aura yang berbeda itu memancar keluar dari dalam hatinya. Hatinya yang
sedang berbunga-bunga untuk menyambut kencannya yang pertama. Okey, lebih
tepatnya lagi kencannya yang pertama dan yang terakhir kalinya. Oh my.....,
TINNNNNNNN!
Diluar seseorang mengklakson mobilnya dengan begitu nyaring.
Buru-buru Naura menyibak tirai kamarnya dan terlonjak kaget
di saat mendapati sebuah mobil Nissan X-trail yang berhenti tepat di depan
pagar rumahnya. “Naufal?” desisnya ragu-ragu. Keraguan itu sirna ketika
ponselnya menerima satu pesan masuk dari Naufal yang berbunyi;
Keluar cepat. Aku udah
ada di depan rumah kamu nih!
Disaat Naura berbalik lagi menghadap ke jendela, matanya
menangkap sosok pemuda berkemeja putih lengan panjang yang bersender di kap
mobil. Mobil Nissan X-trail hitam metalik yang dilihatnya tadi. Tidak salah
lagi itu pasti Naufal!
Naura dapat merasakan jantungnya yang berdebar kencang. Dan,
bertambah kencang ketika Naufal melemparkan pandangan ke jendela kamarnya.
Dengan jelas perempuan itu dapat melihat paras si belahan jiwanya---DULU.
Alis tebal dengan mata yang tak terlalu besar, bibir penuh,
dan rahang keras yang tercetak dengan jelas seakan memancarkan kharisma
tersendiri di wajah Naufal. Rambutnya di potong pendek, seperti lelaki
kebanyakan. Biasa saja. Satu yang paling disukai Naura dari lelaki itu hanyalah
postur tubuhnya yang tinggi tegap. Naura yakin badannya yang mungil akan aman selama berada dalam dekapan lelaki
seperti Naufal. Ah! Secepat mungkin Naura menggeleng, seolah membuang jauh-jauh
pikirannya tentang Naufal barusan. Bagaimanapun juga dia dan Naufal sudah tak
ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Tidak, tidak boleh!
Sesaat gadis itu merasakan pipinya menghangat. Ada perasaan
malu ketika sadar dia telah melamunkan sosok Naufal. Untung kaca pada jendela
kamarnya berbahan rabben. Tidak tembus pandang. Itu berarti dia aman dari
penglihatan Naufal. Naufal tidak dapat melihat pipinya yang memerah ini.
Syukurlah.
“Dia sudah datang,” Naura berbicara sambil memoleskan
lipgloss pink di bibirnya. Kalian tahu? Itu adalah untuk yang kedua kalinya.
“Naufal?” tanya Alya sedikit sarkastis.
“He'emph,” angguk Naura seraya meraih tas tangannya di meja
bufet. Lalu, dengan langkah besar dia pun menghampiri Alya yang tak sedikitpun
beranjak dari pintu kamarnya. “Tolong jagain rumah aku ya, Al? Aku nggak lama
kok.” pesannya singkat.
“Beres!” Alya mengangkat kedua jempolnya, “Tenang aja, deh! Have fun, ya, Ra.” sambungnya tersenyum
manis di ujung kalimat. Naura pun ikut menarik senyum. Sembari melambaikan
tangan gadis itu berseru nyaring, “Daaaaagh!”
Kurang dari jam 7 Naufal sudah berada di dalam mobil Nissan
X-trail miliknya. Menyusuri kota Bandung, menjelajahi Jln. Subroto yang rasanya
sudah lama tak pernah dilewatinya lagi. Begitulah, dengan dalih ada keperluan
sedikit dan berjanji akan tiba di rumah Neeta tepat waktu, pemuda itu akhirnya
diizinkan ke luar rumah oleh sang Papa di-malam-pertunangannya. Meski pakaian
formalnya (kemeja putih lengan panjang lengkap dengan tuxedo hitam) tidak boleh
diganti, Naufal tak peduli, yang penting dia diizinkan ke luar rumah dan dapat
bertemu dengan Naura malam ini.
Naufal menginjak rem pada mobilnya setibanya ia di depan
rumah sederhana bercat oranye sunkist. Rumah bergaya minimalis milik Naura.
Seumur-umur Naufal tak pernah berkunjung ke rumah mantan kekasihnya itu. Dia
hanya pernah melintas 2-3 kali dan ia rasa ia tidak salah. Bangunan berlantai
satu di depannya ini memanglah tempat tinggal Naura.
Tanpa banyak berpikir langsung saja Naufal membunyikan
klakson pada mobilnya.
TIIIIIIINNNNNN....!
Klakson pertama berbunyi namun tak ada respon dari dalam.
Detik selanjutnya Naufal pun mematikan mesin. Dia melepas tuxedo hitamnya dan
meninggalkannya begitu saja di mobil sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar
dari dalam kendaraan pribadinya tersebut.
Semilir angin malam berembus pelan menyapa Naufal yang
menyenderkan punggung lebarnya di kap mobil. Pemuda itu baru saja mengirimkan
satu pesan masuk di ponsel Naura, dan ia yakin kurang dari 5 menit lagi gadis
itu akan keluar dari dalam rumahnya.
Benar dugaan Naufal. 3 menit berlalu terdengar suara pagar
besi yang dibuka perlahan. Decitannya
membuat Naufal menolehkan kepala secara refleks. Dia pun terkesiap.
“Naura?” Sepotong kata itu spontan keluar dari mulut Naufal.
Tak ada lagi kata yang terdengar setelahnya. Bibir pemuda itu terkatup rapat.
Pandangannya kini membatu pada sosok perempuan yang tersenyum berdiri tepat
dihadapannya. Dan........, okey! Rasanya sulit bagi dirinya untuk memalingkan
wajah.
“Hey! Naufal, akhirnya kita bisa ketemu juga, ya.” sapa
Naura tersenyum lebar. Gadis itu menyelipkan beberapa helaian rambutnya yang
menutupi wajah ke belakang telinga. Entah di sengaja atau tidak, Naura seolah
ingin memperlihatkan senyuman manisnya lebih jelas lagi kepada Naufal. Paras
cantiknya seakan berbicara, “Aku mantanmu. Perempuan yang telah kau putuskan
kemarin. Lihatlah! Aku cantik bukan?”
Dan, reaksi Naufal?
Ah Gaaaaad!
Tiba-tiba saja pemuda itu lupa bagaimana caranya bernapas. Dia terlampau surprised melihat paras asli Sang mantan
untuk yang pertama kalinya ini. Sekali lagi, untuk yang pertama kalinya ini!
Naura begitu cantik. Benar-benar-cantik.
Oh baiklah, selama ini ia memang menyimpan (memajang lebih
tepatnya) foto Naura di kamarnya. Bahkan di setiap malam menjelang tidur hingga
terbangun di pagi harinya potret gadis itulah yang pertama kali dilihatinya,
dipandanginya. Tapiiiiiii.....,
Naufal sungguh tidak menyangka jika aslinya Naura terlihat
sepuluh-kali-lipat lebih cantik dari yang di foto, dari apa yang dibayangkannya
selama ini.
Sepasang matanya yang bulat, hidungnya yang bangir, bibir
tipisnya yang merekah lebar, dan...... AH! Sialnya Naufal menyukai semuanya.
Menyukai semua yang ada di diri Naura disaat Naura sudah berstatus sebagai
mantan kekasihnya saat ini.
“Naufal?” mendelik Naura menatap lurus ke wajah Naufal.
Dipandangi oleh lawan jenis selama itu cukup membuatnya risih juga. Naufal, si
pemuda di depannya seketika sadar dan berusaha menelan air liurnya dengan susah
payah. Dia berdehem kering. Naura tahu itu adalah bagian dari
kesalahtingkahannya.
“Sekarang?” tanya Naufal yang dibalas dengan satu anggukkan
kepala oleh Naura.
Mobil melaju pelan, namun tak sepelan ritme debaran di
jantung Naufal. Naura pun merasakan hal yang sama, hanya saja dibandingkan Naufal dia terlihat lebih pandai
menyembunyikannya.
Sementara itu, dari tape mobil mengalun rendah lagu I'm Yours
milik Jason Mraz, penyanyi favorite
Naufal. Senandungnya cukup membantu mengurangi kadar keheningan yang tercipta
di antara mereka berdua.
Tanpa ada maksud Naura melemparkan pandangannya ke luar
jendela. Menatap kosong ke arah barisan pedagang kaki lima yang berjejer dengan
rapi di luar sana. Pikirannya melayang jauh, memikirkan kesalahtingkahan Naufal
saat pertama kali melihatnya tadi. Pemuda itu terkesaaaaaan........,
Malu-malu? Ah entahlah. Yang pasti gurat nervous di wajahnya tertulis dengan
jelas dan gadis itu dapat membacanya.
Lalu, muncul sebaris pertanyaan di benak Naura. “Apakah sebenarnya rasa itu masih ada?”
CIIIIITTTTTT.....!
Naufal menginjak rem mobilnya secara mendadak. Rupanya di
depan sedang ada perbaikan jalan, sayang Naufal tidak melihatnya dari kejauhan.
Efek dari konsentrasinya yang terpecah-belah, dia kaget dan terpaksa
menghentikan laju kendaraannya dengan tiba-tiba seperti ini. Yah, tanpa
aba-aba. Hampir saja dia menabrak plang besi bertuliskan “AWAS ADA PERBAIKAN
JALAN” di depan sana. Sedangkan di sebelahnya Naura tampak mengaduh kesakitan.
Bagaimana tidak? Ulah Naufal tadi membuat gadis itu hilang keseimbangan, lalu
oleng. Kepalanya terbentur dashboard
dan rasanyaaaaaa...... Ugh! Lumayan sakit.
“Duh! Sorry yah sorry. Sakit nggak, Ra? Coba aku lihat.”
cemas Naufal disaat mendengar ringisan Naura dan bunyi ‘BUK!’ yang cukup nyaring itu. Sembari mengusap ujung dahinya yang agak
memar Naura menggelengkan kepala pelan, “Enggak, nggak apa-apa kok. Cuma sakit
dikit. Ini nggak eh----” Dan ucapannya terhenti begitu saja ketika tahu-tahu
Naufal menarik wajahnya dan langsung meraba ujung dahinya dengan penuh
perhatian. Tanpa bisa dihindari pandangan mereka pun bertemu cukup lama di satu
titik.
Sial!
Apa yang Naufal takutkan kini terjadi. Naura menatap matanya
lekat-lekat, begitu dalam, dan akhirnya menemukan satu kebohongan yang selama
ini susah-payah disembunyikannya.
Ya, gadis itu berhasil menemukan jawaban atas satu
pertanyaan yang sejak tadi bersarang di benaknya.
Sadar akan kesalahannya itu secepat kilat Naufal menarik
lagi tangannya dari ujung dahi Naura (tanpa peduli dengan air muka Naura yang
kontan berubah) lantas melarikannya ke setir mobil. Dan, ketika setir mobil sudah kembali dalam genggamannya, pemuda itu pun
membelokkan Nissan-nya ke kanan, mencari jalan lain untuk satu tujuan yang dia
sendiri tak tahu akan kemana. Yang ia tahu hanyalah
ini-akan-menjadi-malam-yang-sangat-panjang.
*
“Kenapa nggak jujur aja, sih?” Naura bertanya dengan seulas
senyum yang tampak getir. Dia menatap Naufal meski ia tahu mantannya itu enggan
untuk menatapnya balik. Takut, kah? Sepertinya. Mungkin Naufal takut kecolongan
lagi. Takut kalau-kalau Naura akan menatapnya selekat dan sedalam tadi.
Sementara itu Naufal sendiri sebenarnya tahu akan kemana
arah pembicaraan Naura. Hanya saja dia lebih memilih untuk berpura-pura tidak
mengerti, dengan harapan Naura menyerah lalu kehilangan selera untuk membahasnya.
“Maksud kamu apa?”
Naura mendengus sebal. Dia membuang muka ke samping dengan
kedua tangan yang terlipat di depan dada. “Nggak usah sok dunno gitu, deh! Kenapa nggak jujur aja coba?” ulang Naura masih
dengan nada yang sama. Dingin, tegas, sangat menuntut. Menuntut akan sebuah
kejujuran dari mantannya.
Di balik kemudi Naufal mendecakkan lidahnya dramatis. Dengan
pandangan tak lepas dari jalan ia mengeleng-gelengkan kepala, berpura-pura
bingung.
“Duh! Nauraaaa, aku tuh bener-bener nggak ngerti, ya, dengan
maksud pertanyaan kamu. To the point aja please, jangan bikin aku bingung. Oke?”
pintanya kemudian.
“Oke kalau kamu maunya to
the point,” Naura menjilati bibirnya sesaat. Entahlah, AC di mobil Naufal
membuat bibirnya serasa beku. Lidahnya pun terasa kelu untuk menanyakan satu
hal yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu jawabannya apa. Hanya saja dia ingin
mendengar jawaban itu langsung dari mulut Naufal. Setelah merasa nyaman dengan
bibirnya yang basah barulah Naura kembali berkata-kata.
“Jadi, rasa itu sebenernya masih ada, kan, Fal?” Dia menoleh
dan buru-buru mengacungkan jari telunjuknya tepat dihadapan Naufal seraya
berseru, “Jangan tanya “rasa itu” apa, karena aku tahu kamu nggak bodoh.”
Yaaaa...., sekedar memperingatkan kalau-kalau pemuda itu berkelit lagi dengan
bersikap telmi.
Disebelahnya Naufal tertawa hampa. Jeda sejenak sebelum ia
menjawab “Aku nggak tahu.” dengan bahu yang sedikit terangkat.
“Bukan itu jawaban yang aku mau,”
“Tapi?” Naufal melirik sekilas.
“Iya atau enggak?”
“.....”
“IYA atau ENGGAK?”
“.....”
“Naufal?! Hahhhh....,” Sikap diam Naufal sungguh
menyebalkan. Rasanya Naura ingin melayangkan tinjunya ke bahu pemuda itu, tapi
entah mengapa diurungkannya. Naura lebih memilih meninju jok yang ia duduki
sambil menghembuskan napas kasar sebagai bentuk dari rasa kesalnya.
Sedetik...
Dua detik...
Tiga detik...
Empat detik berlalu sama sekali tak ada jawaban dari bibir
Naufal. Pemuda itu masih duduk bergeming di jok kemudi, mencoba untuk
berkonsentrasi penuh pada Nissan-nya setidaknya sampai dia menemukan area bebas
parkir. Dannnnnnn...., dapat! Akhirnya........
Buru-buru Naufal menepikan Nissan-nya seraya mematikan mesin
sebelum Naura mengamuk lalu mengulang satu pertanyaan yang sama untuk yang
kesekian kalinya itu.
Ban mobil berhenti bergulir bersamaan dengan kata “Nggak.”
yang terucap dingin dari lidah Naufal. Lewat ujung matanya Naufal melirik Naura
yang kini memandangnya dengan sinis.
Gadis itu mendengus -lagi- ketika mendengar jawaban yang,
Naufal sendiri tahu, itu tidaklah jujur dari dalam hatinya.
“Bohong! Kenapa, sih,
kamu susah banget buat bilang ‘iya’?!” Setengah tertahan Naura
menggeram.
Naufal sendiri tertegun. Dirinya sadar betul kata “Kenapa”
yang diucapkan mantan gadisnya saat ini bukanlah sebuah pertanyaan, tapi lebih
kepada ejekan, sindiran, atau apapun itu yang tujuannya menantang. Dan
sayangnya Naufal berhasil terpancing kali ini.
Dengan mata tertutup dia mencengkram kuat-kuat stir kemudi
dihadapannya lalu, “Ya.” akunya pelan. Jujur.
“Apa?!” Sepasang mata milik Naura membulat penuh.
Naufal pun seketika memalingkan wajahnya hingga tepat
menghadap Naura.
“Ya!”
jawabnya lebih lantang.
“Coba ulangi.”
“Ya.”
“Naufal, aku mohon katakan sekali lagi.” Naura hampir
menangis. Menangis bahagia. Dan benar saja, tangisnya tumpah disaat Naufal
merengkuh tubuh mungilnya sembari berbisik, “Ya, aku masih mencintaimu, Ra. Aku
masih sayang kamu sekarang dan entah sampai kapan.”
*
“Aku nggak nyangka akhirnya bakal begini. Tapi, jodoh nggak
ada yang tahu, kan?”
Naufal menyudahi ceritanya dengan senyuman miris yang
tersungging di bibir. Di hadapannya Naura mengangguk sembari menyeka lelehan
air mata yang keluar seakan tak ada habisnya dengan sebelah punggung tangannya.
Pengakuan Naufal beserta cerita tentang perjodohan yang didengarnya barusan
sungguh mengaduk-aduk perasaan gadis itu. Sedih sekaligus senang. Sakit
bercampur bahagia.
“Namanya Neeta. Dia temen aku di SMA.” beritahu Naufal
kemudian seraya menyodorkan smartphone miliknya
ke hadapan Naura. Memperlihatkan foto, satu-satunya foto calon tunangannya yang
tersimpan di alat komunikasinya tersebut ketika Naura sudah tak lagi menangis.
Gadis itu menarik napas panjang sebelum akhirnya tersenyum
dengan lebar. “Cantik,” komentarnya tulus. Tidak ada alasan bagi Naura untuk
menilai Neeta jelek secara fisik. Sepasang mata sipit dengan hidung mancung dan
rambut ikal yang berkilau, apa itu bisa dibilang jelek? Walaupun berat
mengakuinya, tapi, yah Neeta memang cantik. Naura bahkan iri dengan bentuk
tubuh Neeta yang proporsional. Jika
mereka disandingkan pastilah sangat serasi, batin Naura getir.
Beda dengan Naura yang terkagum-kagum, Naufal justru tidak
tertarik sama sekali. Baginya Neeta biasa saja. Fisiknya yang nyaris sempurna
itu tak menarik perhatian Naufal sedikit pun, bahkan semenjak mereka berkenalan
di SMA dulu.
Masih di dalam mobil, Naufal mencondongkan tubuhnya, menatap
Naura lekat-lekat dari jarak yang hanya sejengkal. “Kamu tahu?
Secantik-apa-pun-Neeta-tetep-nggak-bisa-ngerubah-perasaan-aku-ke-kamu.”
desisnya tegas, terpotong-potong. “Aku cuma cinta sama kamu. Di mata aku, kamu
yang paling cantik, Ra.”
Naura yang tersudut di pintu mobil terdiam kaku ketika
mendengar suara Naufal yang berbisik tepat di wajahnya. Jantungnya berdebar.
Napasnya tertahan. Dia bahkan kesulitan untuk menelan saliva-nya sendiri.
Fokus, Naura! Fokus!
Kau tahu, kan? Sebentar lagi Naufal-mu itu akan melangsungkan pertunangan!
Ayolah, relakan dia, hati kecil Naura berbicara-lagi-. Sejurus kemudian,
setelah mampu mengendalikan diri dari keadaan, segaris senyuman kecut tercetak
di bibir mungilnya.
“Dan-segombal-apa-pun-rayuan-kamu-tetep-nggak-akan-ngerubah-keputusan-Papa-kamu-tentang-perjodohan-itu-Naufal.”
peringat Naura telak. Gaya bicaranya hampir sama dengan Naufal barusan, penuh
jeda yang menyakitkan. “Nih, hape kamu.”
Naufal menerima
smartphone-nya dengan senyuman masam. Entah apa yang membuat Naura terkekeh
ringan lalu meraup rahang kokoh pria di depannya itu. Menariknya satu senti
dari jarak yang sejengkal tadi.
“Dengar, aku nggak mau tau. Bagaimana pun caranya, kamu
harus bahagia,” Naura terdiam dengan sendirinya. Tenggorokannya mendadak
tercekat. Alhasil kata-katanya menggantung begitu saja di udara.
Sepasang mata Naura yang tampak berembun menatap Naufal
dalam-dalam. Sementara yang ditatap hanya menunggu si lawan bicara melanjutkan
kalimatnya tanpa berniat untuk menyela.
Lama gadis itu terdiam hingga matanya yang semula berembun
mulai basah.
Lagi, untuk yang kedua kalinya Naura terisak. Tetesan air
mata Naura yang jatuh buru-buru diseka Naufal dengan kedua ibu jarinya.
“Ssssttt.., jangan nangis lagi.” bisiknya cemas. Naura menggeleng. Sambil
menggenggam tangan besar Naufal yang menempel di pipinya, dia berucap pelan,
“Enggak,”
“Tapi, kamu harus janji. Bagaimana pun caranya..., bagaimana
pun caranya, kamu harus bahagia. You must
be happy, walau pun tanpa aku. Yah?” pinta Naura terbata-bata.
Bahagia? Bahagia, dia bilang? Bagaimana mungkin Naufal bisa
bahagia jika hidup berdampingan dengan wanita yang tidak dicintainya? Bukankah itu
terdengar konyol?
Naufal tidak menjawab. Dia menarik wajah Naura untuk semakin
dekat ke arahnya hingga tak ada lagi jarak yang tersisa. Bibir mereka pun
saling bertemu. Pria itu mencium Naura dengan emosi yang tak dapat ia bendung.
Cukup, cukup air mata yang berbicara jika dia tersiksa. Tersiksa akan kenyataan
bahwa mereka memang tak ditakdirkan untuk bersama. Yah, mungkin namanya
tertulis bukan untuk Naura. Naura bukanlah bagian dari takdir hidupnya.
Alih-alih mendorong bahu Naufal, gadis itu justru diam
seakan menerima. Bisa dibilang Naura merelakan ciuman pertamanya meski dengan
bibir yang terkatup rapat. Ciuman pertamanya? Entahlah, Naura rasa ini tidak
salah. Toh, sekali ini saja. Sekali ini saja Naura membiarkan bibir penuh itu
menempel di bibirnya yang mungil. Sekali ini saja Naura membiarkan tangan kokoh
itu mengenggam jari-jemarinya yang rapuh. Sekali ini saja Naura membiarkan
sepotong hatinya menyatu dengan sepotong hati Naufal, sebelum akhirnya harus
terpisah dan mencari potongannya masing-masing. Yah, sekali-ini-saja.