Pura Pura Cinta

Jumat, 27 Juli 2012

He's Encouraging Me.......,


He's Encouraging Me......., (Long Story Bieber by Minah Syalalabibeh).



Clara! Clara! Lihat apa yang aku bawa! Come on, kau harus lihat ini!
Hoh! Seruan itu lagi! Ini masih pagi dan aku yakin anak itu datang ke kamarku pasti hanya untuk membawakanku brosur yang isinya sama dengan yang kemarin. Selebaran-selebaran berisi lomba menulis yang aku sendiri sudah lelah untuk mengikutinya. Darimana sih dia mendapatkan info seperti itu? Apa dia tidak capai?
Dengan agak malas aku membalikkan badan, menatapnya dengan mata yang masih terpejam rapat.

Oh my honey, ini masih pagi. Untuk apa kau datang kemari? Kalau kau datang untuk membawakanku sarapan aku akan segera bangun, tapi kalau kau hanya membawakanku brosur yang tak jelas itu, lebih baik kau cepat-cepat angkat kaki deh! Kau tidak lihat ya? Aku masih ingin tidur. cerocosku panjang lebar. Kembali ku tarik selimut dan menenggelamkan seluruh tubuhku di bawahnya.

Clara, wake up! Come on, bangun! Aku baru saja mendapatkan info terbaru tentang lomba menulis novel. Kau harus mengikutinya! Ayolah, aku yakin, ini adalah saatnya kau menjadi pemenang!

Dia menarik paksa selimutku lalu menepuk-nepuk pipiku dengan begitu kerasnya.
Sudah kuduga! Dia pasti akan mengucapkan hal itu lagi. Ayolah, aku yakin, ini adalah saatnya kau menjadi pemenang!
Omong kosong! Itu hanya sejenis encouragement stale yang selalu keluar dari mulutnya. Jujur saja, aku sudah bosan mendengarkan semua saran-saran darinya. Suruhannya itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Just a wasting time! Terbukti sudah berbagai event menulis yang kuikuti --atas saran darinya-- tapi tidak ada satu pun yang mau mencantumkan namaku sebagai pemenang. Apa itu namanya kalau bukan membuang-buang waktu? Siang-malam aku terjaga hingga menghabiskan berenceng kopi sachet dan bermill-mill tinta printer hanya untuk menulis naskah perlombaan, tapi apa yang kudapat? Only dissapointment. Sungguh tragis!
Jika tak ingat kalau dia adalah kekasihku, mungkin aku akan segera mendepaknya dari kamar seraya berteriak. Sudah cukup! Kau hanya mengganggu hidupku!
Tapi, kenyataannya dia adalah pacarku. Orang yang sangat kusayangi melebihi diriku sendiri.

Perlahan aku membuka mata dan mendapati dia tengah tersenyum manis ke arahku. Sudahlah! Aku lelah, Dear. Aku memang tidak pantas menjadi seorang penulis. Kau tahu? My writing is bad! Jika karyaku ada di toko buku itu hanyalah sebuah mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan, dan tidak seharusnya aku memimpikan hal itu! Iya, kan?! Jadi buang saja brosur itu. Aku tak ingin melihatnya. ucapku dengan nada putus asa. Menulis, sebenarnya aku sangat menyukainya. Itu adalah bakatku yang sudah terlihat sejak lahir. Orangtuaku bilang, sejak umur 3 tahun aku senang mencoreti tembok. Tak jarang mereka memarahiku karena dinding rumah yang kotor akibat hasil dari coretan-coretan tanganku yang tidak jelas. Melihatku yang senang memegang alat tulis, aku pun diberikan kertas kosong setiap hari. Oleh mereka, aku dilarang mengotori tembok dan menggantinya dengan cara mencoret-coret di kertas itu.
Tidak masalah! Selagi kertas masih bisa untuk ditulisi, pikirku dalam hati. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, seiring berputarnya waktu aku pun semakin gemar menulis. Apa saja! Cerpen, puisi, syair, apapun itu yang terlintas diotakku selalu aku tulis. Bahkan sejak duduk di bangku Junior High School kelas 4 aku sudah aktif menuangkan isi hatiku disebuah dairy bergambar unik. Yah, sekedar curhat dan aku rasa itu adalah kegiatan yang menyenangkan.

Pernahkah terlintas dibenakku untuk mempublikasikan hasil karya tulisku? Tentu saja. Aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis terkenal. Tapi, sepertinya aku tak mampu melakukannya! Aku tidak tahu apa yang salah dengan hasil tulisanku hingga pihak penerbit selalu menolaknya. SELALU, hingga aku pun putus asa. Padahal Justin bilang, cerpen-cerpenku bagus, aku pantas menjadi seorang penulis. Tapi kenapa............,
Ahya! Dia kan kekasihku. Wajar saja dia memujiku seperti itu. Mungkin dia hanya ingin menyenangkan hatiku saja. Sudah biasa jika lelaki memuji wanitanya, bukankah begitu?

Justin melangkah lebih dekat ke arahku, lalu kedua tangannya bergerak maju guna merangkum wajahku yang bundar ini. Clara, seharusnya kau bersyukur. Kau diberi mimpi dan kau juga diberi Tuhan kesempatan untuk mewujudkannya. Kenapa kau tidak mau berusaha lebih keras lagi? Kenapa kau langsung putus asa hanya karena penolakan-penolakan dari pihak penerbit itu? Mungkin misimu dengan misi mereka tidak sama. Bisa saja kan genre ceritamu tidak sesuai dengan keinginan mereka? Kali ini genre-nya bebas, Dear! Humor, misteri, fantasy, romance, kau bebas memilihnya. Dan aku rasa kau berbakat di genre romance. tutur Justin panjang lebar dengan sedikit pujian diujung kalimat. Ada saja caranya untuk merayuku. Tapi, sayangnya kali ini rayuannya itu tidak mempan!
Aku tidak tergoda dengan pujianmu! sahutku cepat. Berpaling untuk menghindari tatapan matanya yang selalu memancarkan permohonan. Sudah cukup selama ini aku menuruti keinginannya untuk mengikuti ajang lomba menulis yang selalu saja gagal, dan tidak untuk kali ini!
Apapun alasannya mereka tidak menyukai karya tulisku, Justin! Dan HANYA kau yang menyukainya! Itu pun aku ragu, apa benar kau menyukai tulisanku? Bukan karena keterpaksaan, kan? Yah, terpaksa karena aku adalah kekasihmu. tukasku dengan nada menyindir. Untuk menyudahi obrolan ini, tapi yang terjadi malah semakin panjang dan panas. Hoh! Sebenarnya aku tidak ingin berkelahi hanya karena brosur, tapi sepertinya Justin yang memancingku duluan.
You dont believe me? Aku benar-benar menyukai karya tulismu yang simple itu, Cla. Karya tulis yang menurutku punya ciri khas tersendiri. Aku berkata seperti ini bukan karena aku kekasihmu, tapi karena aku adalah Justin si penyemangatmu. Mungkin kau tidak tahu jika diluar sana masih banyak orang-orang yang menyukai tulisanmu. Memangnya kau pikir hanya para penerbit buku itu saja yang gemar membaca, hmh?! Pemikiranmu begitu dangkal. Aku terdiam. Termenung sendiri memikirkan semua yang telah Justin katakan. Aku lelah, sementara Justin terus menyemangatiku untuk maju. Siapa yang bisa disalahkan?
Justin, aku tahu maksudmu baik. Tapi....,
Lakukanlah selagi kau mampu. Kau beruntung Cla, kau punya kesempatan untuk mewujudkan mimpimu. Sedangkan aku? Aku mempunyai mimpi yang sama besar denganmu, tapi kesempatan yang kupunya tidaklah sebesar dirimu. potong Justin penuh arti. Namun, aku tidak mengerti apa maksudnya? Tak lama dia pun bangkit berdiri, melangkah menuju keranjang sampah yang berdiri manis di samping meja belajarku. Dan kalau kau memang tidak ingin mewujudkannya, ya sudah. Brosur ini bisa ku buang. Detik selanjutnya selebaran itu pun dibuang oleh Justin. Aku tercengang memerhatikan punggungnya yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang dibalik pintu. Dia pergi dengan rasa kecewa yang diakibatkan olehku.
Maafkan aku Justin. Aku tidak bermaksud untuk mengecewakanmu, tapi........., its okay, baiklah!
Sekali lagi aku akan menuruti permintaan Justin, ya setidaknya ini UNTUK YANG TERAKHIR.
Segera ku pungut brosur tadi, lalu kemudian kuletakkan diatas meja kecil di dekat lampu tidur.
Hah! Justin, kau selalu saja membuatku luluh. decakku tersenyum hambar.

Masih di hari yang sama, setelah sempat sarapan dengan semangkuk oatmeal, aku pun bergegas keluar rumah. Niatnya sih ingin menemui Justin, tapi ketika aku ke rumahnya --yang kebetulan masih satu komplek denganku-- Pattie bilang Justin baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Ah, aku tahu! Dia pasti ada di Green Cove sekarang. Danau kecil itu memang selalu ia kunjungi dikala senang maupun sedih. Danau yang menjadi tempatnya berkeluh-kesah, danau yang menyimpan banyak kenangan menurutku.
Langsung saja kupacu sepeda fixie-ku menuju danau tersebut. Yaaaa....., letaknya memang tidak terlalu jauh, hanya di ujung komplek, tapi cukup menguras keringat jika dilakukan dengan berjalan kaki.
Masih dengan mengayuh sepeda, dari kejauhan aku dapat melihat sesosok pemuda yang tengah duduk di bangku kayu tepat dipinggir danau. Dia terlihat memangku sebentuk gitar. Menyanyi, kah? Maybe, entahlah. Yang kuyakin dia adalah Justin!
Kupercepat kayuhanku agar segera sampai di danau Green Cove. Rasanya aku sudah tidak sabar  mengatakan Yeah, I want do it, Dear! Aku akan melakukan itu untukmu. Sekarang, tersenyumlah. dan setelah itu aku pun bisa melihat Justin tersenyum dengan manis. 
Tiba di depan pintu masuk, aku berhenti. Pintunya tertutup rapat, dan untuk membukanya aku harus turun dari sepeda. Ah, ini merepotkan!
Tapi, tak apa. Kudorong pintunya dengan sebelah tangan, lalu kutuntun sepedaku menuju bangku kayu dimana Justin tengah berada sekarang.

When I see your smile..
Tears roll down my face I can't replace..
And now that I'm strong I have figured out..
How this world turns cold and it breaks through my soul..
And I know I'll find deep inside me I can be the one..

Sayup-sayup aku bisa mendengar Justin bernyanyi entah lagu siapa, aku tidak tahu. Lagu itu terdengar asing ditelingaku, tapi Justin membawakannya dengan begitu merdu.
Kuparkirkan sepedaku pelan-pelan, mencegah timbulnya bunyi yang bisa menghentikan aksi menyanyi Justin. I dont want it!
Setelah memastikan sepedaku terparkir dengan benar, aku kembali mendekati Justin. Berdiri di belakangnya, mendengarkan senandung pemuda berambut mangkok itu dalam diam.

I will never let you fall..
I'll stand up with you forever..
I'll be there for you through it all..
Even if saving you sends me to heaven..

Eh, tak terasa lagunya usai. Aku pun bertepuk tangan kecil seraya mendekap tubuh Justin dari belakang.
Ehmagod! Beautiful voice. Aku tidak pernah mendengar suara semerdu suaramu, Dear. Serius. bisikku tepat ditelinganya.
Justin diam bergeming. Terkejut pun tidak. Raut mukanya datar, dingin tanpa ekspresi. Sepertinya dia masih marah soal tadi pagi. Ah, maafkan aku Justin.
Kau? Untuk apa kau kemari? katanya agak sinis.
Aku tidak peduli dan sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya yang terdengar ketus.
Dengan santainya aku malah menurunkan wajahku, hingga daguku menempel disalah satu pundaknya. Masih dengan kedua tangan yang melingkar di leher jenjangnya, napasku pun berembus lirih. Kau masih marah?
....... Justin diam.
Dengar, aku berubah pikiran. Setelah kau pergi dari kamarku, brosur itu kupungut dari keranjang sampah. Kertasnya yang semula kusut karena kepalan tanganmu sudah ku setrika hingga licin, bahkan kuciumi dengan mesranya. Kau mungkin tidak percaya itu, tapi aku benar-benar melakukannya, Dear. Ya, aku membutuhkan brosur itu. Dia sangat berharga untukku. sambungku setengah bercanda. Justin terkekeh geli. Akhirnya!
Dia mengalihkan sebentuk gitar kecil dari pangkuannya, lalu mengusap-usap lembut pipiku dengan sebelah tangan.
Sungguh? Kau benar-benar menuruti permintaanku? Mengikuti lomba menulis itu? Ehmagod! Aku tidak percaya.
Sama! ceplosku asal. Sekarang, tersenyumlah. Ku kecup kilat pipinya, tanpa menunggu lama, Justin pun ikut tersenyum. Lengkungan indah itu tercetak sempurna dibibirnya yang manis.
Ngggg......., ngomong-ngomong soal yang tadi, aku serius mengatakannya. Suaramu bagus, Justin! Lebih merdu dari kicauan burung. Kenapa kau tidak jadi penyanyi saja, hmh? tanyaku padanya, kali ini serius. Kulepaskan rangkulanku, lalu aku duduk disebelah Justin sembari menatap mata hazel miliknya untuk meminta jawaban. Dia selalu bertanya, kenapa aku tidak jadi penulis? dan aku rasa tak ada salahnya kalau sekarang gantian aku yang menanyainya, kenapa dia tidak jadi penyanyi?.
Justin menggeleng lemah. Pandangannya mendadak sayu saat kutanyai seperti itu. Dia kenapa?
Entahlah. Aku akan melakukannya kalau kesempatan yang kupunya sebesar dirimu, Dear. jawabnya pelan tapi cukup terdengar jelas ditelingaku.
Spontan aku mendelik bingung, Apa maksudmu? Bukankah kesempatan itu selalu datang kepada setiap orang yang mau berusaha, yah? Kepada semua manusia asalkan dia mempunyai keinginan yang kuat. Bukankah begitu? cecarku mengguncang bahu Justin pelan.
Pemuda itu menggaruk tengkuknya -yang aku rasa tidak sedang digigit nyamuk-, lantas dia terkekeh dengan hambar. Yah, kau benar.
Lalu, kenapa kau tidak mau melakukannya? Why Justin? Why?!
Karena aku tidak mempunyai kesempatan sebesar dirimu, Cla. Please, stop forcing me! sahut Justin cukup keras.
Suasana tiba-tiba memanas dan emosiku pun ikut terpancing. Hah! Dari tadi kau selalu mengatakan aku tidak mempunyai kesempatan sebesar dirimu, itu terus yang kau ulangi dan aku bahkan tidak mengerti dengan kalimatmu itu. Sebenarnya apa maksudmu, Justin? Beritahu aku. Katakan yang lebih jelas. tuntutku dengan nada yang lebih tinggi darinya, tapi tidak sampai berteriak.
Justin membisu, rahangnya terkatup kuat. Terus terang, sikapnya itu membuatku muak! Tapi, aku sadar, umurku sudah diatas 17, rasanya kekanak-kanakkan sekali jika aku mesti bertengkar hanya karena masalah ini.
Kupegangi erat-erat penyangga bangku kayu yang cat-nya mulai terkelupas demi menahan sedikit emosi yang tersulut. Lirih aku bergumam, Kenapa kau selalu bisa memaksaku, sedangkan aku tidak?
Lagi, Justin terkekeh. Pemuda itu tidak menjawab. Dia hanya menepuk halus puncak kepalaku sambil berkata, Sudahlah. Aku akan menjadi penyanyi kalau kau berhasil menjadi penulis, Dear.
Hmh......, kau ini! sungutku mendengus kesal. Tambah kesal setelah melihat cengirannya yang menyebalkan. Tapi, sayangnya dia masih berstatus pacarku. Jadi, mau semenyebalkan apa pun dia, aku harus tetap menyayanginya. Ewwwww......., aku bercanda, Dear. Jangan marah.

Kurebahkan kepalaku kedadanya yang bidang, dan Justin langsung menyambutnya dengan hangat. Dibelainya helaian rambut cokelatku yang tersikat dengan rapi sambil sesekali diciumnya puncak kepalaku. Dia bilang, dia suka wangi sampho yang kupakai. Wangi aroma peppermint yang selalu mengingatkannya akan Natal. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya itu. Bagaimana tidak? Tadi pagi aku bahkan tidak keramas sama sekali. Shampo favorit-ku habis, oleh sebab itu untuk keramas aku harus menunggu Ibu datang dari supermarket dulu.
See? Bagaimana bisa Justin mengatakan rambutku harum peppermint? Dia lucu sekali, kan?
Tapi, aku tidak akan memberitahunya. Karena, kalau aku memberitahu yang sebenarnya Justin bisa berhenti mengelus rambutku dan dia akan menjerit dengan histeris. Seperti ini; Ieeeeuh......, kau jorok sekali, Cla! Bukankah aku sudah pernah bilang? Wanita itu harus keramas! Dan bla-bla-bla, dia akan mengoceh panjang lebar sampai kupingku pengang. Bahkan terkadang, aku merasa ocehannya itu tidak ubahnya seperti nyanyian Twinkle-Twinkle. Aku akan tertidur jika mendengar ia mengoceh lebih dari sejam. Sungguh! Tapi, syukurnya itu belum pernah terjadi. Paling lama dia mengoceh kurang lebih setengah jam, itu pun tidak aku hiraukan. Mengingat hal itu, sejenak aku menahan tawa.
Uhuk.... Uhuk....
Lalu, tiba-tiba saja Justin terbatuk. Aku yang bersandar didadanya refleks duduk terbangun. 
Are you okay? tanyaku cemas.
Yeah, fine. Aku cuma batuk biasa, Dear. jawab Justin sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Aku menatapnya kurang percaya. Kulihat wajahnya pucat dan dadanya bergetar cukup kentara.
Karena tidak ingin Justin tambah sakit, aku pun memutuskan untuk segera membawanya pulang. Dia menolak, tapi aku terus memaksanya. Walaupun dia berulang kali mengatakan fine aku tetap keukeuh menyeretnya menuju tempat dimana sepedaku terparkir rapi. Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Benar-benar tidak ingin. Sungguh!

*

Minggu berikutnya di pagi hari.
Aku masih berendam di dalam kamar mandi ketika pintu kamarku diketuk dari luar. Bunyinya cukup nyaring, berisik, sangat mengganggu indera pendengaranku. Buru-buru aku keluar dari bathtub seraya melilitkan handuk besar ditubuhku.
Iya, tunggu sebentar! Dengan agak malas kuraih handle pintu. Dan, begitu terkejutnya aku ketika mengetahui siapa gerangan si pengetuk pintu tadi. Kau tahu dia siapa? Yah, Justin! Bukan Ayah, Ibu, bahkan Grey---adikku satu-satunya yang menyebalkan. Sadar tubuhku masih terbalut handuk, buru-buru aku menutup pintu dan berteriak Wait a minute, Justin!. Dari balik pintu aku bisa mendengar gelak tawa kekasihku itu. Entah apa yang menurutnya lucu, no matter, aku tidak peduli. Aku lebih memedulikan isi lemari bajuku saat ini. Mencari-cari pakaian casual yang bisa kukenakan dalam waktu singkat, kira-kira ada tidak yah? Hmh.......
Selang beberapa menit kemudian,
Kau mengagetkanku, Dear. kataku setelah pintu kamarku terbuka kembali.
Justin masuk dan aku mengekorinya di belakang. Dia tampak aneh akhir-akhir ini, gayanya berbusana selalu membuat dahiku mengernyit. Yaaaa....., dia sering mengenakan syal dan jaket meski Kota Asheville sedang tidak dilanda musim salju. Itu aneh, kan?
Dibandingkan baju itu kau lebih cantik memakai handuk, Cla. candanya mengerling nakal.
Aku yang tengah mematut diri di depan cermin, tentu saja langsung mencibir godaannya itu. Dasar pria, semuanya sama saja!
Untuk apa kau kemari? tanyaku kemudian. Tanganku sibuk mengobrak-abrik isi dari sebuah kotak beludru kecil tempat berkumpulnya aksesoris rambut milikku guna mencari hiasan yang pas.
Justin mengendikkan pundaknya, Hanya sekedar main memangnya tidak boleh?
Bukan begitu, aku kan hanya..........., Hey! Kau tidak boleh membukanya! ucapanku seketika berubah menjadi teriakan disaat mataku menangkap Justin yang tengah mengotak-atik macbook milikku. Buru-buru aku menghampiri pemuda itu lalu merebut macbook-ku dari atas pangkuannya.
Lho? Memangnya kenapa? Aku kan hanya ingin membaca karya tulismu yang kau kirim untuk lomba nanti. Sinopsisnya sudah kau ketik, kan?
Sudah. Tapi, kau tidak boleh membacanya.
“Kenapa sih?”
“Pokoknya tidak boleh!” jawabku keukeuh. Kupeluk erat-erat macbook-ku, tidak peduli dengan tatapan aneh yang dilemparkan Justin.
Nggggg....., tapi kalau kau mau, kau boleh membacanya jika sudah selesai nanti. sambungku memberikan penawaran. Justin mengangguk setuju, Well, aku tunggu. sahutnya kemudian.
Aku pikir Justin bercanda. Tapi, ternyata dia benar-benar membuktikan ucapannya. Dia  menunggu sampai novel-ku selesai, bahkan menanyakannya setiap waktu. Dan aku, tentu saja menyembunyikan karyaku darinya. Aku tidak akan memperlihatkannya kecuali jika semuanya benar-benar selesai.
Tepat 3 hari sebelum deadline, akhirnya karyaku mencapai klimaks. Dengan senang hati aku membawa macbook-ku ke danau Green Cove. Ya, aku dan Justin telah membuat janji bertemu di danau hari ini dan disanalah rencananya aku akan memperlihatkan hasil tulisanku padanya.
Awwww......., rasanya aku sudah tidak sabar, menunggu reaksi Justin setelah membaca karya kesekian-ku yang tidak pernah memenangkan lomba ini. Aku akan meminta pendapatnya tentang bagian mana yang perlu dibenahi. Terutama........, ending! Yah, aku masih memikirkan bagaimana ending yang pas untuk ceritaku itu. Entah happy end atau sad end, aku akan mendiskusikannya nanti.
Sesampainya di danau, mataku langsung memutar ke seluruh penjuru.
Ah, itu dia! Tak sulit bagiku untuk menemukan batang hidung Justin, karena pemuda itu selalu duduk di bawah pohon ek atau dibangku kayu yang berhadapan langsung dengan danau. Ya, bisa dikatakan itu adalah tempat favoritnya.
Dengan setengah berlari aku menghampiri Justin. Sore ini dia mengenakan mantel ungu dengan syal yang berwarna senada. See! Dia masih mengenakan pakaiannya yang aneh -menurutku-.
Justin yang semula tengah asyik mengamati pergerakan para angsa yang berenang di danau, langsung menoleh ketika mendengar aku memanggil namanya.
Hey, Cla! sapanya riang.
Hey, Dear. Kau sudah lama, yah?
Tidak juga.
Tapi kau sempat menungguku, kan?
Of course. akunya tersenyum santai. Aku pun mulai merasa tidak nyaman. Kalau begitu maaf, kataku, terselip nada menyesal di sana.
Justin menggeleng kecil, Tidak apa. Menunggu memang membosankan, tapi kalau orang yang kutunggu itu adalah kau, sejam pun bagaikan sedetik. Tidak akan pernah terasa lama, Dear.
Hoh! Dia malah menggodaku. Refleks ku tinju pelan lengannya, dan dia sedikit meringis lalu mengacak tatanan rambutku yang sudah rapi. Errrrr........., menyebalkan!
Sekarang, mana hasilnya? Aku sudah boleh baca, kan?
Tanpa menjawab, langsung saja kukeluarkan macbook-ku dari tas-nya. Kuserahkan pada Justin dan dia menerimanya dengan sumringah. Thank you!
Dibukanya berbagai macam folder, hingga akhirnya apa yang ia cari pun ketemu. Sebuah dokumen berjudulkan Justin and Clara dengan total halaman 150 lembar. Justin meng-kliknya dua kali.
Apa ini karya yang kau maksud?
Ya.
Justin membacanya sejenak. Tak lama pandangannya beralih ke arahku. Kau menggunakan nama kita sebagai tokoh utama?! tanyanya lagi dengan mata melebar. Aku mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan itu dia pun berteriak, Wow!
Reaksi yang berlebihan.
Too much, Aku mencibir pelan, lalu kembali memerhatikan Justin yang tampak fokus dengan sinopsis yang dibacanya.
......Takdir yang mempertemukan mereka. Tapi, takdir pula yang menjauhkan mereka. Takdir yang menyatukan mereka. Tapi, takdir jualah yang akhirnya memisahkan mereka. Semua berawal dan berakhir karena takdir.....
Jadi, bagaimana menurutmu? tanyaku setelah mendengar Justin membacakan sepenggal sinopsis yang kubuat.
Justin nampak berpikir. Raut wajahnya serius dan itu membuatku deg-degan, menunggu pendapat darinya.
Detik selanjutnya dia pun berdehem pelan, Bagus. Tapi, kenapa judulnya harus Justin & Clara hmh? Aku rasa lebih menarik kalau judulnya kau ganti dengan TAKDIR saja. Bagaimana?
Okay, akan kupikirkan nanti. Lalu, menurutmu ending seperti apa yang pas untuk ceritaku itu? Happy ending, kah? Atau.........,
Sad ending kurasa lebih bagus! ceplos Justin tiba-tiba.
Sad end? Spontan aku pun mendelik kaget ke arahnya.
Oh ya? Kenapa menurutmu sad ending lebih bagus?
Nothing.
What?! Semua harus ada alasannya, Dear. paksaku kritis.
Aku tidak tahu, Cla. Tapi, kurasa sad ending lebih pas dengan judul ceritanya. Yah, itu saja. jawabnya datar.
Suasana mendadak hening.
Sedetik,
Dua detik,
Tiga detik,
Aku masih menatapnya dengan alis terangkat. Pandangannya yang lurus ke danau, kini tampak kosong tak ada arti.
Kurasa yang di sebelahku ini bukanlah Justin! Kau tahu? Justin tidak suka cerita yang berakhir menyedihkan. Dia bilang itu terlalu cengeng untuk dibaca, hanya akan membuang air mata. Tapi, kenapa sekarang...............
Selama ini cerita yang kau buat selalu berakhir dengan bahagia, kan? Saranku, sekali-kali kau harus membuat kisah yang sad ending, Cla. Agar kau tahu bahwa tak selamanya hidup berjalan dengan indah. Dan, mungkin nanti kau bisa belajar dari cerita yang kau buat. Entah itu belajar kehilangan, belajar menerima takdir or something lebih bagus lagi, kan? katanya tiba-tiba. Terdengar aneh, tapi toh akhirnya aku juga mengangguk menyetujui sarannya itu.
Well, aku setuju. Tapi, dengan satu syarat! pintaku seraya menatap mata hazel-nya lekat-lekat. Seperti yang kau tahu, aku belum pernah membuat cerita yang sad ending. Aku pasti akan kesulitan menemukan rasa sedih itu. Jadi, selama aku menulis endingnya, kau harus bernyanyi untukku. Lagu yang paling sedih. Mungkin dengan begitu aku bisa lebih mudah mendapatkan feel-nya.
Tapi, hari ini aku tidak bawa gitar.
Tidak masalah. Suaramu merdu, Dear. Kau bisa bernyanyi tanpa musik. paksaku meyakinkannya.
Baiklah, demi kau.
Justin menarik napas, mengambil ancang-ancang sebelum akhirnya bernyanyi untukku.
Sementara aku menatap fokus ke layar macbook, mencoba mengajak imajinasiku melayang terbang bersamaan dengan lantunan merdu dari suaranya.

Because I love her,
Because I miss her,
Because I wasn't willing to be with her,
My fragile without her..........,

Uhuk..... Uhuk.....
Konsentrasiku buyar ketika mendengar Justin terbatuk keras. Lagu pun mendadak berhenti.
Disaat aku menoleh ke arahnya, Justin sudah menutup mulutnya dengan sebentuk sapu tangan.
Ya ampun! Kau masih sakit?! Kupikir batukmu sudah sembuh. ucapku prihatin. Justin hanya tersenyum kecut. Dengan gerakan super kilat dia langsung menjejalkan sapu tangannya itu ke dalam saku celana. Sepertinya dia mau menyembunyikan sesuatu lagi dariku. Dia pikir dia bisa? Sayangnya tidak.
Sapu tangan Justin terjatuh dan aku berhasil memungutnya diam-diam. Lalu, bukannya senang aku malah menyesal karena telah mengambilnya. Kau tahu kenapa? Karena aku melihat sebercak darah disana. Ya, darah. 5 huruf berwarna merah yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Oh God!

*

Aku duduk termenung disisi ranjang. Kupandangi sapu tangan milik Justin yang bernodakan darah dengan tatapan nanar, masih tak percaya. Jadi, selama ini Justin batuk darah? Oh Tuhan......, separah inikah penyakit yang diderita kekasihku? Apa karena penyakit itu dia jadi berpakaian aneh akhir-akhir ini? Lalu, kenapa pula dia harus menyembunyikan penyakitnya dariku? Kenapa dia tidak berterus terang saja? Hoh! Begitu banyak pertanyaan yang berkumpul dibenakku, namun tak ada satupun yang bisa aku jawab. Aku hanya bisa menebak, menerka tanpa ada kepastian.
Sejujurnya, aku ingin menanyakan ini semua pada Justin. Aku ingin menanyakan kenapa di sapu tangannya terdapat bercak darah? Kenapa dia belakangan ini selalu mengenakan mantel dan syal? Dan apa sebenarnya penyakit yang dideritanya?
Tapi aku takut, tak punya keberanian untuk mendengar jawaban langsung dari mulutnya. Bagaimana kalau Justin memang punya riwayat penyakit yang mematikan? Aku belum siap menerima kenyataan terburuk! Oleh sebab itu, aku lebih memilih diam. Berpura-pura tidak tahu meski hatiku penasaran.

Seminggu kemudian.......,

Hari ini adalah pengumuman pemenang lomba menulis novel yang kuikuti. Kabarnya pemenang akan dihubungi via telepon sementara naskah yang tidak lolos akan dikembalikan melalui kotak pos. Aku tidak berharap banyak untuk menang, karena aku sudah terbiasa kalah. Dan, sepertinya sekarang pun keberuntungan belum berpihak padaku.
Mate, tukang pos yang biasanya mengantarkan surat untukku, hari ini datang dengan membawa amplop cokelat besar di tangannya.
Aku punya bad feeling jangan-jangan itu.......,
Naskahku yang dikembalikan?
Dan, benar tak dapat ditolak. Ketika mengetahui karyaku tidak lolos lagi aku hanya bisa tersenyum kecut. Kecewa pasti ada, sedih apalagi. Aku merasa lembaran-lembaran yang berisi tulisanku ini hanyalah sampah, tak ada artinya. Mungkin, aku memang tidak ditakdirkan menjadi seorang penulis. Ya, aku rasa cuma Justin yang mau membaca karyaku.
Clara, ada telepon untukmu. Ibu berseru memanggilku.
Sementara Mate sudah pulang beberapa menit yang lalu. Aku yang semula mematung kaku di beranda rumah, buru-buru masuk seraya menghampiri Ibuku.
Dari siapa, Bu? tanyaku masih dengan sisa-sisa raut wajah yang murung.
Pattie. jawab Ibu sambil menyerahkan gagang telepon.
Pattie? Kontan alisku terangkat sebelah, pasalnya Ibu kekasihku itu jarang bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah meneleponku. Dan, sekarang dia tiba-tiba menelepon, tentu aku bertanya-tanya dalam hati ada apa gerangan?
Iya, ini dengan Clara. Apa?! Kau pasti bercanda, kan?! Jadi, kau serius?! Baiklah, aku segera ke sana sekarang.
Sambungan terputus. Di depan meja telepon aku masih berdiri, mengatur napas. Berita yang disampaikan Pattie barusan sukses membuat jantungku berdetak lebih cepat serta berkeringat dingin. Bagaimana tidak? Wanita itu bilang ia menemukan Justin tergeletak di lantai kamarnya dengan mulut bersimbah darah. Saat ini dia sudah membawa Justin ke rumah sakit dan menyuruhku untuk segera menyusul.
Tentu, hal ini semakin membuatku takut. Perasaan gamang yang mengingatkanku akan sapu tangan Justin yang terdapat noda merah kembali menyeruak. Mungkinkah segala pertanyaan yang bersemayam dibenakku akan terjawab sebentar lagi? Oh God!

*

BRAKKKKKK....!
Setibanya di Rain Healthy Center (rumah sakit yang diberitahu oleh Pattie) aku langsung menutup pintu mobilku dengan keras -membanting lebih tepatnya- lalu berjalan terseok-seok menyusuri hallway rumah sakit. Tak sedikit tubuh orang kutabrak akibat langkahku yang tidak beraturan, namun aku hanya dapat meringis minta maaf.
Wajar bila aku tak fokus.
Perasaanku kalut. Pikiranku kosong. Ibarat kata sudah jatuh tertimpa tangga, kesedihan yang kualami kini terasa berlipat-lipat.
Justin, semoga kau baik-baik saja, Dear. bisikku tak bersuara.
Aku mendesah lega. Setelah melewati begitu banyak lorong, akhirnya aku bisa menemukan kamar rawat Justin. Kamar inap dengan nomer 102.
Dari kejauhan, aku bisa melihat Pattie yang duduk termenung di kursi tunggu. Kuhampiri dia, lalu kusentuh halus pundaknya. Pattie, bagaimana keadaan Justin? tanyaku to the point. Mataku kian berkaca-kaca ketika melihat penampilan Ibu dari kekasihku yang nampak berantakan. Raut wajahnya kuyu, sepertinya dia sama shock-nya denganku.
Pattie yang semula menunduk dengan kedua tangan bersedekap, buru-buru mengangkat wajahnya seraya tersenyum kecil tatkala ia melihatku. Clara, tengoklah ke dalam. Dia sudah siuman. katanya halus.
Aku mengangguk lantas meraih gagang pintu. Ketika penutup ruangan itu terbuka lebar, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah sosok Justin yang duduk menyender di kepala ranjang pesakitan. Keadaannya tidak begitu menyedihkan. Hanya saja, fisik Justin tampak lebih kurus dibandingkan beberapa hari yang lalu.
Clara?! Justin terbelalak kaget disaat mendapatiku berdiri di ambang pintu. Namun, sedetik kemudian senyuman manis terkembang dibibirnya. Lengkungan lebar itu membuatku enggan untuk menangis.
Kemarilah, Dear. lanjut Justin sambil merentangkan kedua tangannya, menyambut kedatanganku.
Tanpa ancang-ancang aku pun berlari kepelukannya. Justin, aku sangat mengkhawatirkanmu. kataku pelan nyaris terisak.
Justin mengusap bahuku dan berbisik, Aku tahu. Tapi, percayalah aku akan baik-baik saja.
Apa kau yakin? Sebenarnya kau sakit apa, Justin? tanyaku lagi masih dalam dekapannya.
Paru-paruku sedikit terganggu.
Parah?
Ngggg......, tidak juga. jawabnya terdengar ragu. Nada keraguan dikalimatnya itulah yang membuatku berdiri dengan sigap lalu cepat-cepat merogoh isi tas selempang yang tersampir dibahuku.
Tapi, aku menemukan benda ini terjatuh dari saku celanamu. Kukeluarkan sebentuk sapu tangan tepat di depan wajahnya dan dia terkejut.
I-i-ini........., Justin tergagap. Matanya membola dan mulutnya menganga untuk beberapa saat. Ekspresi yang semakin meyakinkanku bahwa ini memang milik dia, Justin.
Katakanlah yang sebenarnya Justin. Kau sakit apa?! Mengapa batukmu sampai berdarah, ha?! desakku sambil mengguncang-guncang lengannya.
Justin mendesah. Aku rasa dia sudah tidak punya pilihan sekarang.
Kanker. Kanker paru-paru, jawabnya tenang.
Kanker? Entah karena bentuk dari keterkejutan atau apa, aku malah tertawa nyaring. Setelah beberapa detik barulah tawaku mereda.
Kau bercanda?
Aku serius.
Kau pasti bercanda.
Tidak, aku serius.
Katakan kalau kau bercanda. paksaku lagi.
Tapi, aku serius! Aku serius, Clara. AKU SERIUS! Justin berteriak kesal dan hal itu sukses membuat jantungku berdebar tiba-tiba. Oh God, dia berkata serius. Aku langsung terdiam. Perlahan kedua bahuku mengendur bersamaan dengan isak tangis yang mulai terdengar.
Justin, lirihku jatuh terduduk disisi ranjang.
Justin merengkuh tubuhku hingga masuk kembali kepelukannya. Maafkan aku, ini kenyataan Clara. Aku di-vonis mengidap kanker paru-paru sejak dua tahun yang lalu, sebelum aku mengenalmu. katanya pelan. Tak ada isakan, tak ada getaran ketika ia mengucapkan kata kanker, sebuah kata yang menurutku seram. I dont know, entah dia yang terlampau tegar atau hanya berpura-pura tegar, aku tidak tahu.
Tapi, kenapa kau tidak pernah memberitahuku? tanyaku masih menangis tergugu.
Jawabannya sederhana, Cla. Karena, aku tidak mau. Aku tidak mau kau tahu tentang penyakitku.
Spontan aku mengangkat wajah, menatapnya tajam dengan pipi menggelembung. Kau menyebalkan! geramku seraya memukul dada bidang Justin.
Dan dia malah tersenyum, mengerling nakal ke arahku.
Terima kasih cantik. balasnya dengan nada menggoda.
Justiiiiiiiiin............, hentikan leluconmu! Aku tidak sedang bercanda tahu?!. 
Aku berteriak hendak kembali memukul dadanya tapi Justin lebih dulu menangkap tanganku.
Okay. Dan kau, hentikan tangisanmu.
Aku tidak bisa, Justin. Aku takut. Aku takut kau pergi. Aku takut kau meninggalkanku. Ak-ak-aku sangat takut kehilanganmu, Dear. Apa kau tidak mengerti, hah?! racauku menggeleng keras. Kupejamkan kedua mata guna menahan tetesan bening yang kutakutkan akan mengalir lebih deras, sementara Justin meletakkan telunjuknya didepan bibirnya dengan sebelah tangan memegangi bahuku yang bergetar. Ssstttttt........, aku tahu. Tapi, kau lihat kan? Aku masih disini, Cla. Aku akan ada disampingmu.
Are you sure? Justin mengangguk.
Berjanjilah kau akan sembuh demi aku, demi Ibumu, demi cinta kita, Justin. pintaku menatap mata cokelatnya lekat-lekat. Sekali lagi, Justin mengangguk. Diusapnya lelehan air mataku dengan kedua ibu jarinya, hingga tak ada lagi jejak tangisan yang tertinggal.
Begini lebih cantik. pujinya seraya mengecup lembut pipiku. Aku tersenyum lega, setidaknya Justin mau berjanji untuk sembuh.
Oh ya, bagaimana dengan hasil lomba menulis yang kau ikuti kemarin? Hari ini pengumumannya, kan?
Dan kemudian, Justin mengganti topik pembicaraan. Aku menarik napas.
Hasil lomba menulis? Ah, sejak mendapatkan kabar Justin masuk rumah sakit aku bahkan sudah melupakan kesedihanku yang satu itu. Aku rasa, aku pasti bisa menerima kekalahanku dengan lapang. Yaaaaa..., walaupun untuk itu butuh waktu.
Kuhembuskan oksigen yang kuhirup dengan berat sebelum akhirnya menjawab, Naskahku dikembalikan. Aku tidak berhasil, Justin.
Hey! Dengar, kau bukannya tidak berhasil. Tapi, kau hanya BELUM berhasil. Kau masih mau mencobanya, kan?! potong Justin cepat. Nada bicaranya terdengar menggebu-gebu dan raut wajahnya terlihat sangat antusias. See? Tak ada bosan-bosannya dia menyemangatiku. Oh my dear..........
Aku mengangkat pundak, Entahlah. jawabku seraya bangkit berdiri. Kulirik wirstwatch yang melingkar di pergelangan tanganku, ternyata malam sudah benar-benar larut. Kupikir aku harus segera pulang karena besok aku ada kelas pagi di kampus.
Sekarang aku harus pulang, Justin. Besok aku kesini lagi. Okay? Good nite, Dear. pamitku lantas mencium keningnya.
Ketika aku berbalik, Justin menarik lenganku. Clara, tunggu sebentar. Spontan aku menoleh dengan alis yang terangkat tinggi. Iya?
Kau mau berjanji sesuatu padaku?
Apa itu? tanyaku heran.
Berjanjilah jika kau akan tetap menulis, meski tulisanmu itu hanya dibaca oleh satu orang yaitu dirimu sendiri.

*

Kematian adalah salah satu dari garis manusia yang tidak akan pernah bisa diubah dan ditunda. Yah, aku mengutip sebaris kalimat itu dari salah satu novel favoritku yang berjudul Ecláir. Bagiku, hanya kalimat itu yang mampu menabahkan hatiku dikala rasa tidak ikhlas akan kehilangan Justin datang menyergap. Sekarang, aku mengerti mengapa Justin menolak menjadi penyanyi, menolak untuk mengembangkan bakatnya dan tiba-tiba menyuruhku untuk membuat cerita yang sad ending. Itu semua bagaikan isyarat sebelum dia benar-benar pergi.
Right, kalian benar. Tepat satu hari setelah masuk rumah sakit, kekasihku itu menghembuskan napas terakhirnya.
Kanker paru-paru yang diidap Justin ternyata sudah stadium akhir, hingga mengakibatkan dia benar-benar kesulitan bernapas pagi itu.
Jangan tanya bagaimana perasaanku ketika mendapatkan berita duka tersebut, karena aku benar-benar merasa shock. Aku tidak menyangka Justin pergi secepat itu, sungguh! Berkali-kali aku jatuh pingsan hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak ikut mengantarkan jenazah Justin ke pemakaman. Aku tidak sanggup. Hanya kedua orangtuaku dan Greyson saja yang hadir di pemakaman.
Seminggu....
Dua minggu....
Tiga minggu....
Hampir sebulan pasca kematian Justin, aku masih sering menyendiri dikamar. Menghabiskan waktuku dengan melamun, membaca, tanpa pernah menulis lagi. Hingga pada akhirnya sebuah novel menyadarkanku bahwa kematian adalah tingkat akhir dari kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia. Tidak seharusnya aku merasakan sedih yang berlebihan. Toh, pada akhirnya aku juga akan mengalami hal yang sama seperti Justin, kan? Mati, pergi meninggalkan dunia beserta isinya. Yaaaaa...., hanya waktunya saja yang aku tidak tahu kapan. Kemarin giliran Justin, bisa jadi besok, lusa, atau malah lusanya lagi giliran aku yang diambil. Iya, kan? Don't be sad, karena aku yakin suatu saat akan dipertemukan lagi dengan Justin. Didunia cinta kami memang tak bisa bersatu, tapi di alam yang selanjutnya........, who knows? Tidak ada yang tahu, bukan?
Ketika semangat hidupku mulai tumbuh, aku teringat akan janjiku pada Justin. Malam itu aku sudah menyanggupinya. Janji untuk tetap menulis, walaupun tulisanku itu hanya dibaca oleh satu orang, yaitu diriku sendiri.
Yeah, I can! seruku tersenyum menatap foto almarhum Justin yang terbingkai rapi disalah satu dinding, di atas kepala ranjang.

Setahun telah berlalu..............
Aku berhasil merampungkan sebuah novel lagi dengan judul When the Death of Encouragement.
Kali ini aku menceritakan kisah hidupku sendiri. Oh, tidak! Tapi, lebih tepatnya kisah cintaku berdua dengan Justin. Akhir cerita yang menyedihkan justru tidak membuatku menangis ketika mengerjakannya. Mungkin, itu karena aku menulisnya bersama dengan ketegaranku, bukan kerapuhanku.
Aku berniat untuk membukukannya, dengan maksud menyimpannya sendiri sebagai kenang-kenangan. Dan, juga sebagai bukti bahwa aku pernah membuat novel. Yaaaaa...., walaupun aku tahu novel itu hanya akan dibaca oleh diriku seorang.
Untuk masalah biaya aku bisa menggunakan uang tabunganku. Kebetulan Grey memiliki teman yang Ayahnya seorang penerbit buku, dan mungkin dengan begitu aku bisa mendapatkan diskon nantinya.
Ah, rasanya aku sudah tidak sabar melihat hasil karyaku yang akan dibukukan. Meski karyaku itu tidak akan terpajang di toko-toko buku, tapi setidaknya aku dapat melihat dia terpampang manis di rak buku milikku. Yah, itu lebih baik daripada tidak dicetak sama sekali.

*

Ayahnya Bryan ingin menemuimu besok di café Louis. kata Grey di suatu pagi. Ketika kami sedang sarapan, tepat seminggu setelah novelku selesai dicetak.
Aku mendelik ke arahnya. Bryan? Anaknya bapak tua yang membukukan karyaku itu? Grey mengangguk malas.
Untuk apa? tanyaku disela-sela aktifitasku mengunyah sandwich.
Grey meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring, lalu menatapku dengan serius. Setelah membaca novelmu itu, dia langsung tertarik dan berniat untuk menerbitkannya dalam jumlah yang banyak, Cla. Sepertinya, dia satu-satunya penerbit buku yang yakin karyamu akan menjadi novel romance best seller di Kota Asheville tahun ini. Bagaimana? Kau setuju, kan?
Aku yang tengah menenggak susu, spontan tersedak tatkala mendengar penuturan Grey adikku.
Susu yang kuminum tumpah hingga mengenai bajuku, tapi aku tidak peduli. Aku lebih peduli dengan kabar mengejutkan yang datangnya dari Grey. Ehmagod! Apa aku tidak salah dengar?! Menerbitkan bukan sekedar mencetak, ya kan?! Ku tatap lekat-lekat kedua bola mata adikku dengan mulut menganga lebar, dan dia memandangku ilfeel.
Kau kenapa? Ekspresimu berlebihan sekali. cibir Grey dengan bibir yang terangkat sebelah.
Aku menggeleng, Tidak apa-apa. Tapi, aku tidak percaya dengan apa yang tadi kau katakan, Grey. Dia ingin menerbitkan bukuku? Kau serius, kan? Atau kau hanya mengerjaiku saja? tanyaku was-was.
Grey memutar kedua bola matanya seraya bergidik kecil, Suit yourself, Dear. Kalau percaya bagus, tapi kalau tidak yaaaaaa......, aku rasa bukan masalah buatku.
Errrrggghhh.......! Aku hanya dapat menggeram sebal mendengar Grey yang menjawab santai seperti itu. See? Dia adik yang benar-benar menyebalkan, guys!
Esoknya, dengan perasaan campur aduk aku mendatangi Ayahnya Bryan di café Louis. Aku tiba disana tepat waktu sesuai jam temu yang diberitahukan oleh Grey. Sama halnya denganku, Ayahnya Bryan juga on time. Kala melihat kehadiranku, dia langsung tersenyum ramah serta menjabat tanganku dengan hangat. Nama beliau adalah Mr. Jame.
Kami berbincang-bincang ringan dahulu sebelum akhirnya masuk ke inti pembicaraan.
Singkat kata, Mr. Jame pun mengutarakan maksudnya yang ingin menerbitkan karyaku seperti apa yang dikatakan Grey kemarin. Tak ada reaksi yang dapat kuberikan selain menangis haru dihadapan Mr. Jame hingga membuat pria botak itu terheran-heran melihatku.
Kau menangis? tanyanya menautkan kedua alis.
Aku mengangguk kecil. Yeah, Im weep with joy. jawabku seraya tersenyum. Senyum yang tidak bisa kutahan, karena ini adalah untuk yang pertama kalinya aku merasa karyaku dihargai. Bukan hanya oleh diriku sendiri atau Justin, tetapi juga oleh orang lain. Thanks God........,

*

Hmph......, Aku menarik napas dalam-dalam setibanya di sebuah tempat yang kurindukan. Tempat dimana jasad Justin ditidurkan untuk selama-lamanya.
Perlahan namun pasti kudorong pintu utama pemakaman yang bahannya terbuat dari kayu jati berpelitur unik, cukup berat memang. Setelah itu langsung saja kulangkahkan kaki ke sebuah gundukan tanah merah yang berlapiskan marmer cantik, dimana nama lengkap Justin tertera di batu nisannya.
Aku tersenyum tipis sambil menaburkan bunga krisan ungu yang merupakan bunga kesukaan Justin, mendiang kekasihku selagi hidup.
Suasana haru datang ketika aku mengaitkan kesepuluh jari tanganku. Yah, disaat aku mendoakannya tiba-tiba saja air mataku luruh. Ehmagod! Aku begitu merindukan Justin saat ini.
Segera ku usap lelelahan bening itu dengan punggung tanganku, lalu aku mencoba tersenyum untuk menutupi kesedihan yang mendadak muncul.
Hai, Dear. Apa kabar? Kau baik-baik saja di sana, kan? Masih dalam posisi setengah duduk (jongkok.red) aku mengelus lembut batu nisan yang berada tepat di sampingku. I think, mengelus batu nisan ini rasanya sama seperti mengelus kepala Justin. Begitu pula dengan mengajaknya mengobrol, aku berharap Justin mendengarnya dari atas sana.
Di sini aku merindukanmu, lanjutku seraya menghembuskan napas dengan berat.
Semilir angin menerpa wajahku yang sendu.
Aku menunduk, menatap kosong pada timbunan tanah merah yang  menyembunyikan raga kekasihku.
Alone itu adalah hal yang menyedihkan. Aku kesepian, Justin. Benar-benar merasa kesepian sekarang. Seandainya saja kau masih hidup, lirihku pelan.
Sejenak aku terdiam. Dan, tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu. Dengan gerakan buru-buru tanganku merogoh ke dalam tas jinjing yang kubawa guna mengeluarkan sebentuk buku dari dalam sana.
See? Karyaku akhirnya dibukukan juga, Dear. Seperti apa yang kau mau selama ini, ya kan?! seruku dengan mata berbinar-binar. Kuperlihatkan hasil cetakan novelku yang sudah terbit dihadapan makam Justin, seolah-olah aku berinteraksi langsung dengannya.
Aku tahu ini terlambat. Seharusnya, ini terjadi selagi kau masih hidup. Semestinya, kau bisa melihat kebahagianku ini. Tapi, takdir malah berkata lain. Yah, dia tidak mengizinkan kau untuk melihatku tersenyum dengan bangga. sambungku masih menatap seksama ke arah novel yang ada digenggamanku.
Entahlah, ada sekelumit perasaan bangga tatkala aku memandangi sampulnya yang bergambarkan wajah teduh milik Justin lengkap dengan sebaris kalimat When the Death of Encouragement yang diketik dengan huruf Calibri di sudut atas sampul.
Cover-nya ku desain sendiri. Sengaja, karena novelku yang pertama ini ku persembahkan memang untuk mendiang Justin. Kekasih sekaligus penyemangatku. Kalau bukan karena janjiku padanya, mungkin When the Death of Encouragement ini tak akan pernah kutulis.
Cukup lama aku tertegun dengan buku yang ada di tanganku, hingga akhirnya tepukan halus di pundakku pun menyudahi semuanya.
Grey? Aku menoleh ke belakang. Kulihat adikku tersenyum dengan pundak yang terangkat santai.
Untuk apa dia menyusulku kemari? Bukankah tadi aku memintanya untuk menunggu saja di mobil?
Seakan bisa membaca arti dari kerutan di dahiku, Grey pun menyahut cepat. Sorry, aku mengganggu acaramu. Aku kemari hanya ingin mengingatkan bahwa 5 menit lagi kau harus segera tiba di Universitas Apple. Jangan sampai terlambat! Kau ingat itu, kan?
Acara talkshow yang akan membahas tentang novelku itu? Ya, aku mengingatnya. jawabku tak bersemangat. Tunggulah di mobil, Grey. Kupastikan kurang dari 3 menit aku sudah ada di sampingmu.
Grey tidak cerewet. Ia mengangguk setuju lantas meninggalkanku sendirian di pemakaman.
Sepeninggalan adikku itu, aku pun kembali menatap makam Justin. Kali ini pandanganku terlihat sedikit nanar. Maaf, aku harus segera pergi, pamitku dengan berat hati. Dan, ini untukmu. Kuletakkan novelku tersebut di samping batu nisan Justin semata-mata sebagai bentuk rasa terima kasihku atas semangat yang telah ia berikan selama ini.
Oh, tidak! Because I hope, past, present, and he will forever remain encouraging me......., meski dari atas sana.

With Love,
Clara Millane Robert





1 komentar:

  1. Playtech acquires sports betting business - jtmhub.com
    The 창원 출장샵 agreement 김해 출장안마 will provide operators with sports betting options as well as an opportunity to attract 김해 출장안마 new customers. “The 동두천 출장안마 potential to 제주 출장샵

    BalasHapus