He's Encouraging Me......., (Long Story Bieber by
Minah Syalalabibeh).
“Clara!
Clara! Lihat apa yang aku bawa! Come on, kau harus lihat ini!”
Hoh! Seruan itu
lagi! Ini masih pagi dan aku yakin anak itu datang ke kamarku pasti hanya untuk
membawakanku brosur yang isinya sama dengan yang kemarin. Selebaran-selebaran
berisi lomba menulis yang aku sendiri sudah lelah untuk mengikutinya. Darimana
sih dia mendapatkan info seperti itu? Apa dia tidak capai?
Dengan agak malas aku membalikkan badan, menatapnya dengan
mata yang masih terpejam rapat.
“Oh my
honey, ini masih pagi. Untuk apa kau datang kemari? Kalau kau datang untuk
membawakanku sarapan aku akan segera bangun, tapi kalau kau hanya membawakanku
brosur yang tak jelas itu, lebih baik kau cepat-cepat angkat kaki deh! Kau
tidak lihat ya? Aku masih ingin tidur.” cerocosku panjang lebar. Kembali ku tarik selimut dan
menenggelamkan seluruh tubuhku di bawahnya.
“Clara,
wake up! Come on, bangun! Aku baru saja mendapatkan info terbaru tentang lomba
menulis novel. Kau harus mengikutinya! Ayolah, aku yakin, ini adalah saatnya
kau menjadi pemenang!”
Dia menarik paksa selimutku lalu menepuk-nepuk pipiku dengan
begitu kerasnya.
Sudah kuduga! Dia pasti akan mengucapkan hal itu lagi. “Ayolah, aku yakin, ini adalah
saatnya kau menjadi pemenang!”
Omong kosong! Itu hanya sejenis ‘encouragement stale’ yang selalu keluar dari mulutnya. Jujur
saja, aku sudah bosan mendengarkan semua saran-saran darinya. Suruhannya itu
sama sekali tidak membuahkan hasil. Just a wasting time! Terbukti sudah
berbagai event menulis yang kuikuti --atas saran darinya-- tapi tidak ada satu
pun yang mau mencantumkan namaku sebagai pemenang. Apa itu namanya kalau bukan
membuang-buang waktu? Siang-malam aku terjaga hingga menghabiskan berenceng
kopi sachet dan bermill-mill tinta printer hanya untuk menulis naskah
perlombaan, tapi apa yang kudapat? Only dissapointment. Sungguh tragis!
Jika tak ingat kalau dia adalah kekasihku, mungkin aku akan
segera mendepaknya dari kamar seraya berteriak. “Sudah cukup! Kau hanya mengganggu hidupku!”
Tapi, kenyataannya dia adalah pacarku. Orang yang sangat
kusayangi melebihi diriku sendiri.
Perlahan aku membuka mata dan mendapati dia tengah tersenyum
manis ke arahku. “Sudahlah!
Aku lelah, Dear. Aku memang tidak pantas menjadi seorang penulis. Kau tahu? My
writing is bad! Jika karyaku ada di toko buku itu hanyalah sebuah mimpi yang
tak mungkin menjadi kenyataan, dan tidak seharusnya aku memimpikan hal itu!
Iya, kan?! Jadi buang saja brosur itu. Aku tak ingin melihatnya.” ucapku dengan nada putus asa. Menulis,
sebenarnya aku sangat menyukainya. Itu adalah bakatku yang sudah terlihat sejak
lahir. Orangtuaku bilang, sejak umur 3 tahun aku senang mencoreti tembok. Tak
jarang mereka memarahiku karena dinding rumah yang kotor akibat hasil dari
coretan-coretan tanganku yang tidak jelas. Melihatku yang senang memegang alat
tulis, aku pun diberikan kertas kosong setiap hari. Oleh mereka, aku dilarang
mengotori tembok dan menggantinya dengan cara mencoret-coret di kertas itu.
Tidak masalah! Selagi kertas masih bisa untuk ditulisi,
pikirku dalam hati. Hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, seiring
berputarnya waktu aku pun semakin gemar menulis. Apa saja! Cerpen, puisi,
syair, apapun itu yang terlintas diotakku selalu aku tulis. Bahkan sejak duduk
di bangku Junior High School kelas 4 aku sudah aktif menuangkan isi hatiku
disebuah dairy bergambar unik. Yah, sekedar curhat dan aku rasa itu adalah kegiatan
yang menyenangkan.
Pernahkah terlintas dibenakku untuk mempublikasikan hasil
karya tulisku? Tentu saja. Aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis
terkenal. Tapi, sepertinya aku tak mampu melakukannya! Aku tidak tahu apa yang
salah dengan hasil tulisanku hingga pihak penerbit selalu menolaknya. SELALU,
hingga aku pun putus asa. Padahal Justin bilang, cerpen-cerpenku bagus, aku
pantas menjadi seorang penulis. Tapi kenapa............,
Ahya! Dia kan kekasihku. Wajar saja dia memujiku seperti itu.
Mungkin dia hanya ingin menyenangkan hatiku saja. Sudah biasa jika lelaki
memuji wanitanya, bukankah begitu?
Justin melangkah lebih dekat ke arahku, lalu kedua tangannya
bergerak maju guna merangkum wajahku yang bundar ini. “Clara, seharusnya kau bersyukur. Kau
diberi mimpi dan kau juga diberi Tuhan kesempatan untuk mewujudkannya. Kenapa
kau tidak mau berusaha lebih keras lagi? Kenapa kau langsung putus asa hanya
karena penolakan-penolakan dari pihak penerbit itu? Mungkin misimu dengan misi
mereka tidak sama. Bisa saja kan genre ceritamu tidak sesuai dengan keinginan
mereka? Kali ini genre-nya bebas, Dear! Humor, misteri, fantasy, romance, kau
bebas memilihnya. Dan aku rasa kau berbakat di genre romance.” tutur Justin panjang lebar dengan sedikit
pujian diujung kalimat. Ada saja caranya untuk merayuku. Tapi, sayangnya kali
ini rayuannya itu tidak mempan!
“Aku tidak
tergoda dengan pujianmu!”
sahutku cepat. Berpaling untuk menghindari tatapan matanya yang selalu
memancarkan permohonan. Sudah cukup selama ini aku menuruti keinginannya untuk
mengikuti ajang lomba menulis yang selalu saja gagal, dan tidak untuk kali ini!
“Apapun
alasannya mereka tidak menyukai karya tulisku, Justin! Dan HANYA kau yang
menyukainya! Itu pun aku ragu, apa benar kau menyukai tulisanku? Bukan karena
keterpaksaan, kan? Yah, terpaksa karena aku adalah kekasihmu.” tukasku dengan nada menyindir. Untuk
menyudahi obrolan ini, tapi yang terjadi malah semakin panjang dan panas. Hoh!
Sebenarnya aku tidak ingin berkelahi hanya karena brosur, tapi sepertinya
Justin yang memancingku duluan.
“You don’t believe me? Aku benar-benar
menyukai karya tulismu yang simple itu, Cla. Karya tulis yang menurutku punya
ciri khas tersendiri. Aku berkata seperti ini bukan karena aku kekasihmu, tapi
karena aku adalah Justin si penyemangatmu. Mungkin kau tidak tahu jika diluar
sana masih banyak orang-orang yang menyukai tulisanmu. Memangnya kau pikir
hanya para penerbit buku itu saja yang gemar membaca, hmh?! Pemikiranmu begitu
dangkal.” Aku terdiam.
Termenung sendiri memikirkan semua yang telah Justin katakan. Aku lelah,
sementara Justin terus menyemangatiku untuk maju. Siapa yang bisa disalahkan?
“Justin,
aku tahu maksudmu baik. Tapi....,”
“Lakukanlah
selagi kau mampu. Kau beruntung Cla, kau punya kesempatan untuk mewujudkan
mimpimu. Sedangkan aku? Aku mempunyai mimpi yang sama besar denganmu, tapi
kesempatan yang kupunya tidaklah sebesar dirimu.” potong Justin penuh arti. Namun, aku tidak mengerti apa maksudnya?
Tak lama dia pun bangkit berdiri, melangkah menuju keranjang sampah yang
berdiri manis di samping meja belajarku. “Dan kalau kau memang tidak ingin mewujudkannya, ya sudah. Brosur
ini bisa ku buang.” Detik
selanjutnya selebaran itu pun dibuang oleh Justin. Aku tercengang memerhatikan
punggungnya yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang dibalik pintu. Dia
pergi dengan rasa kecewa yang diakibatkan olehku.
Maafkan aku Justin. Aku tidak bermaksud untuk
mengecewakanmu, tapi........., it’s
okay, baiklah!
Sekali lagi aku akan menuruti permintaan Justin, ya
setidaknya ini UNTUK YANG TERAKHIR.
Segera ku pungut brosur tadi, lalu kemudian kuletakkan
diatas meja kecil di dekat lampu tidur.
“Hah!
Justin, kau selalu saja membuatku luluh.” decakku tersenyum hambar.
Masih di hari yang sama, setelah sempat sarapan dengan
semangkuk oatmeal, aku pun bergegas keluar rumah. Niatnya sih ingin menemui
Justin, tapi ketika aku ke rumahnya --yang kebetulan masih satu komplek
denganku-- Pattie bilang Justin baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Ah,
aku tahu! Dia pasti ada di Green Cove sekarang. Danau kecil itu memang selalu
ia kunjungi dikala senang maupun sedih. Danau yang menjadi tempatnya
berkeluh-kesah, danau yang menyimpan banyak kenangan menurutku.
Langsung saja kupacu sepeda fixie-ku menuju danau tersebut.
Yaaaa....., letaknya memang tidak terlalu jauh, hanya di ujung komplek, tapi
cukup menguras keringat jika dilakukan dengan berjalan kaki.
Masih dengan mengayuh sepeda, dari kejauhan aku dapat
melihat sesosok pemuda yang tengah duduk di bangku kayu tepat dipinggir danau.
Dia terlihat memangku sebentuk gitar. Menyanyi, kah? Maybe, entahlah. Yang
kuyakin dia adalah Justin!
Kupercepat kayuhanku agar segera sampai di danau Green Cove.
Rasanya aku sudah tidak sabar mengatakan
“Yeah, I want do it, Dear!
Aku akan melakukan itu untukmu. Sekarang, tersenyumlah.” dan setelah itu aku pun bisa melihat
Justin tersenyum dengan manis.
Tiba di depan pintu masuk, aku berhenti. Pintunya tertutup
rapat, dan untuk membukanya aku harus turun dari sepeda. Ah, ini merepotkan!
Tapi, tak apa. Kudorong pintunya dengan sebelah tangan, lalu
kutuntun sepedaku menuju bangku kayu dimana Justin tengah berada sekarang.
When I see your smile..
Tears roll down my face I can't replace..
And now that I'm strong I have figured out..
How this world turns cold and it breaks through my soul..
And I know I'll find deep inside me I can be the one..
Sayup-sayup aku bisa mendengar Justin bernyanyi entah lagu
siapa, aku tidak tahu. Lagu itu terdengar asing ditelingaku, tapi Justin
membawakannya dengan begitu merdu.
Kuparkirkan sepedaku pelan-pelan, mencegah timbulnya bunyi
yang bisa menghentikan aksi menyanyi Justin. I don’t want it!
Setelah memastikan sepedaku terparkir dengan benar, aku
kembali mendekati Justin. Berdiri di belakangnya, mendengarkan senandung pemuda
berambut mangkok itu dalam diam.
I will never let you fall..
I'll stand up with you forever..
I'll be there for you through it all..
Even if saving you sends me to heaven..
Eh, tak terasa lagunya usai. Aku pun bertepuk tangan kecil
seraya mendekap tubuh Justin dari belakang.
“Ehmagod!
Beautiful voice. Aku tidak pernah mendengar suara semerdu suaramu, Dear.
Serius.” bisikku tepat
ditelinganya.
Justin diam bergeming. Terkejut pun tidak. Raut mukanya
datar, dingin tanpa ekspresi. Sepertinya dia masih marah soal tadi pagi. Ah,
maafkan aku Justin.
“Kau?
Untuk apa kau kemari?”
katanya agak sinis.
Aku tidak peduli dan sama sekali tidak menanggapi
pertanyaannya yang terdengar ketus.
Dengan santainya aku malah menurunkan wajahku, hingga daguku
menempel disalah satu pundaknya. Masih dengan kedua tangan yang melingkar di
leher jenjangnya, napasku pun berembus lirih. “Kau masih marah?”
“.......” Justin diam.
“Dengar,
aku berubah pikiran. Setelah kau pergi dari kamarku, brosur itu kupungut dari
keranjang sampah. Kertasnya yang semula kusut karena kepalan tanganmu sudah ku
setrika hingga licin, bahkan kuciumi dengan mesranya. Kau mungkin tidak percaya
itu, tapi aku benar-benar melakukannya, Dear. Ya, aku membutuhkan brosur itu.
Dia sangat berharga untukku.”
sambungku setengah bercanda. Justin terkekeh geli. Akhirnya!
Dia mengalihkan sebentuk gitar kecil dari pangkuannya, lalu
mengusap-usap lembut pipiku dengan sebelah tangan.
“Sungguh?
Kau benar-benar menuruti permintaanku? Mengikuti lomba menulis itu? Ehmagod! Aku
tidak percaya.”
“Sama!” ceplosku asal. “Sekarang, tersenyumlah.” Ku kecup kilat pipinya, tanpa menunggu
lama, Justin pun ikut tersenyum. Lengkungan indah itu tercetak sempurna
dibibirnya yang manis.
“Ngggg.......,
ngomong-ngomong soal yang tadi, aku serius mengatakannya. Suaramu bagus,
Justin! Lebih merdu dari kicauan burung. Kenapa kau tidak jadi penyanyi saja,
hmh?” tanyaku padanya, kali
ini serius. Kulepaskan rangkulanku, lalu aku duduk disebelah Justin sembari
menatap mata hazel miliknya untuk meminta jawaban. Dia selalu bertanya, “kenapa aku tidak jadi penulis?” dan aku rasa tak ada salahnya
kalau sekarang gantian aku yang menanyainya, “kenapa dia tidak jadi penyanyi?”.
Justin menggeleng lemah. Pandangannya mendadak sayu saat
kutanyai seperti itu. Dia kenapa?
“Entahlah.
Aku akan melakukannya kalau kesempatan yang kupunya sebesar dirimu, Dear.” jawabnya pelan tapi cukup
terdengar jelas ditelingaku.
Spontan aku mendelik bingung, “Apa maksudmu? Bukankah kesempatan itu
selalu datang kepada setiap orang yang mau berusaha, yah? Kepada semua manusia
asalkan dia mempunyai keinginan yang kuat. Bukankah begitu?” cecarku mengguncang bahu Justin pelan.
Pemuda itu menggaruk tengkuknya -yang aku rasa tidak sedang
digigit nyamuk-, lantas dia terkekeh dengan hambar. “Yah, kau benar.”
“Lalu,
kenapa kau tidak mau melakukannya? Why Justin? Why?!”
“Karena
aku tidak mempunyai kesempatan sebesar dirimu, Cla. Please, stop forcing me!” sahut Justin cukup keras.
Suasana tiba-tiba memanas dan emosiku pun ikut terpancing. “Hah! Dari tadi kau selalu
mengatakan ‘aku tidak
mempunyai kesempatan sebesar dirimu’,
itu terus yang kau ulangi dan aku bahkan tidak mengerti dengan kalimatmu itu.
Sebenarnya apa maksudmu, Justin? Beritahu aku. Katakan yang lebih jelas.” tuntutku dengan nada yang lebih
tinggi darinya, tapi tidak sampai berteriak.
Justin membisu, rahangnya terkatup kuat. Terus terang,
sikapnya itu membuatku muak! Tapi, aku sadar, umurku sudah diatas 17, rasanya
kekanak-kanakkan sekali jika aku mesti bertengkar hanya karena masalah ini.
Kupegangi erat-erat penyangga bangku kayu yang cat-nya mulai
terkelupas demi menahan sedikit emosi yang tersulut. Lirih aku bergumam, “Kenapa kau selalu bisa memaksaku,
sedangkan aku tidak?”
Lagi, Justin terkekeh. Pemuda itu tidak menjawab. Dia hanya
menepuk halus puncak kepalaku sambil berkata, “Sudahlah. Aku akan menjadi penyanyi kalau kau berhasil menjadi
penulis, Dear.”
“Hmh......,
kau ini!” sungutku mendengus
kesal. Tambah kesal setelah melihat cengirannya yang menyebalkan. Tapi,
sayangnya dia masih berstatus pacarku. Jadi, mau semenyebalkan apa pun dia, aku
harus tetap menyayanginya. Ewwwww......., aku bercanda, Dear. Jangan marah.
Kurebahkan kepalaku kedadanya yang bidang, dan Justin
langsung menyambutnya dengan hangat. Dibelainya helaian rambut cokelatku yang
tersikat dengan rapi sambil sesekali diciumnya puncak kepalaku. Dia bilang, dia
suka wangi sampho yang kupakai. Wangi aroma peppermint yang selalu
mengingatkannya akan Natal. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya itu.
Bagaimana tidak? Tadi pagi aku bahkan tidak keramas sama sekali. Shampo
favorit-ku habis, oleh sebab itu untuk keramas aku harus menunggu Ibu datang
dari supermarket dulu.
See? Bagaimana bisa Justin mengatakan rambutku harum
peppermint? Dia lucu sekali, kan?
Tapi, aku tidak akan memberitahunya. Karena, kalau aku
memberitahu yang sebenarnya Justin bisa berhenti mengelus rambutku dan dia akan
menjerit dengan histeris. Seperti ini; “Ieeeeuh......, kau jorok sekali, Cla! Bukankah aku sudah pernah
bilang? Wanita itu harus keramas!”
Dan bla-bla-bla, dia akan mengoceh panjang lebar sampai kupingku pengang.
Bahkan terkadang, aku merasa ocehannya itu tidak ubahnya seperti nyanyian
Twinkle-Twinkle. Aku akan tertidur jika mendengar ia mengoceh lebih dari sejam.
Sungguh! Tapi, syukurnya itu belum pernah terjadi. Paling lama dia mengoceh
kurang lebih setengah jam, itu pun tidak aku hiraukan. Mengingat hal itu,
sejenak aku menahan tawa.
‘Uhuk....
Uhuk....’
Lalu, tiba-tiba saja Justin terbatuk. Aku yang bersandar
didadanya refleks duduk terbangun.
“Are you
okay?” tanyaku cemas.
“Yeah,
fine. Aku cuma batuk biasa, Dear.”
jawab Justin sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Aku menatapnya kurang percaya. Kulihat wajahnya pucat dan
dadanya bergetar cukup kentara.
Karena tidak ingin Justin tambah sakit, aku pun memutuskan
untuk segera membawanya pulang. Dia menolak, tapi aku terus memaksanya.
Walaupun dia berulang kali mengatakan “fine” aku tetap
keukeuh menyeretnya menuju tempat dimana sepedaku terparkir rapi. Aku tidak
ingin dia kenapa-napa. Benar-benar tidak ingin. Sungguh!
*
Minggu berikutnya di pagi hari.
Aku masih berendam di dalam kamar mandi ketika pintu kamarku
diketuk dari luar. Bunyinya cukup nyaring, berisik, sangat mengganggu indera
pendengaranku. Buru-buru aku keluar dari bathtub seraya melilitkan handuk besar
ditubuhku.
“Iya,
tunggu sebentar!” Dengan agak
malas kuraih handle pintu. Dan, begitu terkejutnya aku ketika mengetahui siapa
gerangan si pengetuk pintu tadi. Kau tahu dia siapa? Yah, Justin! Bukan Ayah,
Ibu, bahkan Grey---adikku satu-satunya yang menyebalkan. Sadar tubuhku masih
terbalut handuk, buru-buru aku menutup pintu dan berteriak “Wait a minute, Justin!”. Dari balik pintu aku bisa mendengar
gelak tawa kekasihku itu. Entah apa yang menurutnya lucu, no matter, aku tidak
peduli. Aku lebih memedulikan isi lemari bajuku saat ini. Mencari-cari pakaian
casual yang bisa kukenakan dalam waktu singkat, kira-kira ada tidak yah?
Hmh.......
Selang beberapa menit kemudian,
“Kau
mengagetkanku, Dear.” kataku
setelah pintu kamarku terbuka kembali.
Justin masuk dan aku mengekorinya di belakang. Dia tampak
aneh akhir-akhir ini, gayanya berbusana selalu membuat dahiku mengernyit.
Yaaaa....., dia sering mengenakan syal dan jaket meski Kota Asheville sedang
tidak dilanda musim salju. Itu aneh, kan?
“Dibandingkan
baju itu kau lebih cantik memakai handuk, Cla.” candanya mengerling nakal.
Aku yang tengah mematut diri di depan cermin, tentu saja
langsung mencibir godaannya itu. “Dasar
pria, semuanya sama saja!”
“Untuk apa
kau kemari?” tanyaku
kemudian. Tanganku sibuk mengobrak-abrik isi dari sebuah kotak beludru kecil
tempat berkumpulnya aksesoris rambut milikku guna mencari hiasan yang pas.
Justin mengendikkan pundaknya, “Hanya sekedar main memangnya tidak boleh?”
“Bukan
begitu, aku kan hanya..........., Hey! Kau tidak boleh membukanya!” ucapanku seketika berubah menjadi
teriakan disaat mataku menangkap Justin yang tengah mengotak-atik macbook
milikku. Buru-buru aku menghampiri pemuda itu lalu merebut macbook-ku dari atas
pangkuannya.
“Lho? Memangnya
kenapa? Aku kan hanya ingin membaca karya tulismu yang kau kirim untuk lomba
nanti. Sinopsisnya sudah kau ketik, kan?”
“Sudah.
Tapi, kau tidak boleh membacanya.”
“Kenapa sih?”
“Pokoknya tidak
boleh!” jawabku keukeuh. Kupeluk erat-erat macbook-ku, tidak peduli
dengan tatapan aneh yang dilemparkan Justin.
“Nggggg.....,
tapi kalau kau mau, kau boleh membacanya jika sudah selesai nanti.” sambungku memberikan penawaran.
Justin mengangguk setuju, “Well,
aku tunggu.” sahutnya
kemudian.
Aku pikir Justin bercanda. Tapi, ternyata dia benar-benar
membuktikan ucapannya. Dia menunggu
sampai novel-ku selesai, bahkan menanyakannya setiap waktu. Dan aku, tentu saja
menyembunyikan karyaku darinya. Aku tidak akan memperlihatkannya kecuali jika
semuanya benar-benar selesai.
Tepat 3 hari sebelum deadline, akhirnya karyaku mencapai
klimaks. Dengan senang hati aku membawa macbook-ku ke danau Green Cove. Ya, aku
dan Justin telah membuat janji bertemu di danau hari ini dan disanalah
rencananya aku akan memperlihatkan hasil tulisanku padanya.
Awwww......., rasanya aku sudah tidak sabar, menunggu reaksi
Justin setelah membaca karya kesekian-ku yang tidak pernah memenangkan lomba
ini. Aku akan meminta pendapatnya tentang bagian mana yang perlu dibenahi.
Terutama........, ending! Yah, aku masih memikirkan bagaimana ending yang pas
untuk ceritaku itu. Entah happy end atau sad end, aku akan mendiskusikannya
nanti.
Sesampainya di danau, mataku langsung memutar ke seluruh
penjuru.
Ah, itu dia! Tak sulit bagiku untuk menemukan batang hidung
Justin, karena pemuda itu selalu duduk di bawah pohon ek atau dibangku kayu
yang berhadapan langsung dengan danau. Ya, bisa dikatakan itu adalah tempat
favoritnya.
Dengan setengah berlari aku menghampiri Justin. Sore ini dia
mengenakan mantel ungu dengan syal yang berwarna senada. See! Dia masih
mengenakan pakaiannya yang aneh -menurutku-.
Justin yang semula tengah asyik mengamati pergerakan para
angsa yang berenang di danau, langsung menoleh ketika mendengar aku memanggil
namanya.
“Hey, Cla!” sapanya riang.
“Hey,
Dear. Kau sudah lama, yah?”
“Tidak
juga.”
“Tapi kau
sempat menungguku, kan?”
“Of
course.” akunya tersenyum
santai. Aku pun mulai merasa tidak nyaman. “Kalau begitu maaf,”
kataku, terselip nada menyesal di sana.
Justin menggeleng kecil, “Tidak apa. Menunggu memang membosankan, tapi kalau orang yang
kutunggu itu adalah kau, sejam pun bagaikan sedetik. Tidak akan pernah terasa
lama, Dear.”
Hoh! Dia malah menggodaku. Refleks ku tinju pelan lengannya,
dan dia sedikit meringis lalu mengacak tatanan rambutku yang sudah rapi.
Errrrr........., menyebalkan!
“Sekarang,
mana hasilnya? Aku sudah boleh baca, kan?”
Tanpa menjawab, langsung saja kukeluarkan macbook-ku dari
tas-nya. Kuserahkan pada Justin dan dia menerimanya dengan sumringah. “Thank you!”
Dibukanya berbagai macam folder, hingga akhirnya apa yang ia
cari pun ketemu. Sebuah dokumen berjudulkan “Justin and Clara”
dengan total halaman 150 lembar. Justin meng-kliknya dua kali.
“Apa ini
karya yang kau maksud?”
“Ya.”
Justin membacanya sejenak. Tak lama pandangannya beralih ke
arahku. “Kau menggunakan nama
kita sebagai tokoh utama?!”
tanyanya lagi dengan mata melebar. Aku mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan
itu dia pun berteriak, “Wow!”
Reaksi yang berlebihan.
“Too much,” Aku mencibir pelan, lalu kembali
memerhatikan Justin yang tampak fokus dengan sinopsis yang dibacanya.
“......Takdir
yang mempertemukan mereka. Tapi, takdir pula yang menjauhkan mereka. Takdir
yang menyatukan mereka. Tapi, takdir jualah yang akhirnya memisahkan mereka.
Semua berawal dan berakhir karena takdir.....”
“Jadi,
bagaimana menurutmu?” tanyaku
setelah mendengar Justin membacakan sepenggal sinopsis yang kubuat.
Justin nampak berpikir. Raut wajahnya serius dan itu
membuatku deg-degan, menunggu pendapat darinya.
Detik selanjutnya dia pun berdehem pelan, “Bagus. Tapi, kenapa judulnya harus ‘Justin & Clara’ hmh? Aku rasa lebih menarik kalau
judulnya kau ganti dengan ‘TAKDIR’ saja. Bagaimana?”
“Okay,
akan kupikirkan nanti. Lalu, menurutmu ending seperti apa yang pas untuk ceritaku
itu? Happy ending, kah? Atau.........,”
“Sad
ending kurasa lebih bagus!”
ceplos Justin tiba-tiba.
Sad end? Spontan aku pun mendelik kaget ke arahnya.
“Oh ya?
Kenapa menurutmu sad ending lebih bagus?”
“Nothing.”
“What?!
Semua harus ada alasannya, Dear.”
paksaku kritis.
“Aku tidak
tahu, Cla. Tapi, kurasa sad ending lebih pas dengan judul ceritanya. Yah, itu
saja.” jawabnya datar.
Suasana mendadak hening.
Sedetik,
Dua detik,
Tiga detik,
Aku masih menatapnya dengan alis terangkat. Pandangannya
yang lurus ke danau, kini tampak kosong tak ada arti.
Kurasa yang di sebelahku ini bukanlah Justin! Kau tahu?
Justin tidak suka cerita yang berakhir menyedihkan. Dia bilang itu terlalu
cengeng untuk dibaca, hanya akan membuang air mata. Tapi, kenapa
sekarang...............
“Selama
ini cerita yang kau buat selalu berakhir dengan bahagia, kan? Saranku,
sekali-kali kau harus membuat kisah yang sad ending, Cla. Agar kau tahu bahwa
tak selamanya hidup berjalan dengan indah. Dan, mungkin nanti kau bisa belajar
dari cerita yang kau buat. Entah itu belajar kehilangan, belajar menerima
takdir or something lebih bagus lagi, kan?” katanya tiba-tiba. Terdengar aneh, tapi toh akhirnya aku juga
mengangguk menyetujui sarannya itu.
“Well, aku
setuju. Tapi, dengan satu syarat!”
pintaku seraya menatap mata hazel-nya lekat-lekat. “Seperti yang kau tahu, aku belum pernah
membuat cerita yang sad ending. Aku pasti akan kesulitan menemukan rasa sedih
itu. Jadi, selama aku menulis endingnya, kau harus bernyanyi untukku. Lagu yang
paling sedih. Mungkin dengan begitu aku bisa lebih mudah mendapatkan feel-nya.”
“Tapi,
hari ini aku tidak bawa gitar.”
“Tidak
masalah. Suaramu merdu, Dear. Kau bisa bernyanyi tanpa musik.” paksaku meyakinkannya.
“Baiklah,
demi kau.”
Justin menarik napas, mengambil ancang-ancang sebelum
akhirnya bernyanyi untukku.
Sementara aku menatap fokus ke layar macbook, mencoba
mengajak imajinasiku melayang terbang bersamaan dengan lantunan merdu dari
suaranya.
Because I love her,
Because I miss her,
Because I wasn't willing to be with her,
My fragile without her..........,
‘Uhuk.....
Uhuk.....’
Konsentrasiku buyar ketika mendengar Justin terbatuk keras.
Lagu pun mendadak berhenti.
Disaat aku menoleh ke arahnya, Justin sudah menutup mulutnya
dengan sebentuk sapu tangan.
“Ya ampun!
Kau masih sakit?! Kupikir batukmu sudah sembuh.” ucapku prihatin. Justin hanya tersenyum kecut. Dengan gerakan
super kilat dia langsung menjejalkan sapu tangannya itu ke dalam saku celana.
Sepertinya dia mau menyembunyikan sesuatu lagi dariku. Dia pikir dia bisa?
Sayangnya tidak.
Sapu tangan Justin terjatuh dan aku berhasil memungutnya
diam-diam. Lalu, bukannya senang aku malah menyesal karena telah mengambilnya.
Kau tahu kenapa? Karena aku melihat sebercak darah disana. Ya, darah. 5 huruf
berwarna merah yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Oh God!
*
Aku duduk termenung disisi ranjang. Kupandangi sapu tangan
milik Justin yang bernodakan darah dengan tatapan nanar, masih tak percaya.
Jadi, selama ini Justin batuk darah? Oh Tuhan......, separah inikah penyakit
yang diderita kekasihku? Apa karena penyakit itu dia jadi berpakaian aneh
akhir-akhir ini? Lalu, kenapa pula dia harus menyembunyikan penyakitnya dariku?
Kenapa dia tidak berterus terang saja? Hoh! Begitu banyak pertanyaan yang
berkumpul dibenakku, namun tak ada satupun yang bisa aku jawab. Aku hanya bisa
menebak, menerka tanpa ada kepastian.
Sejujurnya, aku ingin menanyakan ini semua pada Justin. Aku
ingin menanyakan kenapa di sapu tangannya terdapat bercak darah? Kenapa dia
belakangan ini selalu mengenakan mantel dan syal? Dan apa sebenarnya penyakit
yang dideritanya?
Tapi aku takut, tak punya keberanian untuk mendengar jawaban
langsung dari mulutnya. Bagaimana kalau Justin memang punya riwayat penyakit
yang mematikan? Aku belum siap menerima kenyataan terburuk! Oleh sebab itu, aku
lebih memilih diam. Berpura-pura tidak tahu meski hatiku penasaran.
Seminggu kemudian.......,
Hari ini adalah pengumuman pemenang lomba menulis novel yang
kuikuti. Kabarnya pemenang akan dihubungi via telepon sementara naskah yang
tidak lolos akan dikembalikan melalui kotak pos. Aku tidak berharap banyak
untuk menang, karena aku sudah terbiasa kalah. Dan, sepertinya sekarang pun
keberuntungan belum berpihak padaku.
Mate, tukang pos yang biasanya mengantarkan surat untukku,
hari ini datang dengan membawa amplop cokelat besar di tangannya.
Aku punya “bad
feeling” jangan-jangan
itu.......,
Naskahku yang dikembalikan?
Dan, benar tak dapat ditolak. Ketika mengetahui karyaku
tidak lolos lagi aku hanya bisa tersenyum kecut. Kecewa pasti ada, sedih
apalagi. Aku merasa lembaran-lembaran yang berisi tulisanku ini hanyalah
sampah, tak ada artinya. Mungkin, aku memang tidak ditakdirkan menjadi seorang
penulis. Ya, aku rasa cuma Justin yang mau membaca karyaku.
“Clara,
ada telepon untukmu.” Ibu
berseru memanggilku.
Sementara Mate sudah pulang beberapa menit yang lalu. Aku
yang semula mematung kaku di beranda rumah, buru-buru masuk seraya menghampiri
Ibuku.
“Dari
siapa, Bu?” tanyaku masih
dengan sisa-sisa raut wajah yang murung.
“Pattie.” jawab Ibu sambil menyerahkan
gagang telepon.
Pattie? Kontan alisku terangkat sebelah, pasalnya Ibu
kekasihku itu jarang bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah meneleponku. Dan,
sekarang dia tiba-tiba menelepon, tentu aku bertanya-tanya dalam hati ada apa
gerangan?
“Iya, ini
dengan Clara. Apa?! Kau pasti bercanda, kan?! Jadi, kau serius?! Baiklah, aku
segera ke sana sekarang.”
Sambungan terputus. Di depan meja telepon aku masih berdiri,
mengatur napas. Berita yang disampaikan Pattie barusan sukses membuat jantungku
berdetak lebih cepat serta berkeringat dingin. Bagaimana tidak? Wanita itu
bilang ia menemukan Justin tergeletak di lantai kamarnya dengan mulut bersimbah
darah. Saat ini dia sudah membawa Justin ke rumah sakit dan menyuruhku untuk segera
menyusul.
Tentu, hal ini semakin membuatku takut. Perasaan gamang yang
mengingatkanku akan sapu tangan Justin yang terdapat noda merah kembali
menyeruak. Mungkinkah segala pertanyaan yang bersemayam dibenakku akan terjawab
sebentar lagi? Oh God!
*
‘BRAKKKKKK....!’
Setibanya di Rain Healthy Center (rumah sakit yang
diberitahu oleh Pattie) aku langsung menutup pintu mobilku dengan keras
-membanting lebih tepatnya- lalu berjalan terseok-seok menyusuri hallway rumah
sakit. Tak sedikit tubuh orang kutabrak akibat langkahku yang tidak beraturan,
namun aku hanya dapat meringis minta maaf.
Wajar bila aku tak fokus.
Perasaanku kalut. Pikiranku kosong. Ibarat kata sudah jatuh
tertimpa tangga, kesedihan yang kualami kini terasa berlipat-lipat.
“Justin,
semoga kau baik-baik saja, Dear.”
bisikku tak bersuara.
Aku mendesah lega. Setelah melewati begitu banyak lorong,
akhirnya aku bisa menemukan kamar rawat Justin. Kamar inap dengan nomer 102.
Dari kejauhan, aku bisa melihat Pattie yang duduk termenung
di kursi tunggu. Kuhampiri dia, lalu kusentuh halus pundaknya. “Pattie, bagaimana keadaan Justin?” tanyaku to the point. Mataku kian
berkaca-kaca ketika melihat penampilan Ibu dari kekasihku yang nampak
berantakan. Raut wajahnya kuyu, sepertinya dia sama shock-nya denganku.
Pattie yang semula menunduk dengan kedua tangan bersedekap,
buru-buru mengangkat wajahnya seraya tersenyum kecil tatkala ia melihatku. “Clara, tengoklah ke dalam. Dia
sudah siuman.” katanya halus.
Aku mengangguk lantas meraih gagang pintu. Ketika penutup
ruangan itu terbuka lebar, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah sosok
Justin yang duduk menyender di kepala ranjang pesakitan. Keadaannya tidak
begitu menyedihkan. Hanya saja, fisik Justin tampak lebih kurus dibandingkan
beberapa hari yang lalu.
“Clara?!” Justin terbelalak kaget disaat
mendapatiku berdiri di ambang pintu. Namun, sedetik kemudian senyuman manis
terkembang dibibirnya. Lengkungan lebar itu membuatku enggan untuk menangis.
“Kemarilah,
Dear.” lanjut Justin sambil
merentangkan kedua tangannya, menyambut kedatanganku.
Tanpa ancang-ancang aku pun berlari kepelukannya. “Justin, aku sangat
mengkhawatirkanmu.” kataku
pelan nyaris terisak.
Justin mengusap bahuku dan berbisik, “Aku tahu. Tapi, percayalah aku akan
baik-baik saja.”
“Apa kau yakin?
Sebenarnya kau sakit apa, Justin?”
tanyaku lagi masih dalam dekapannya.
“Paru-paruku
sedikit terganggu.”
“Parah?”
“Ngggg......,
tidak juga.” jawabnya
terdengar ragu. Nada keraguan dikalimatnya itulah yang membuatku berdiri dengan
sigap lalu cepat-cepat merogoh isi tas selempang yang tersampir dibahuku.
“Tapi, aku
menemukan benda ini terjatuh dari saku celanamu.” Kukeluarkan sebentuk sapu tangan tepat di depan wajahnya dan dia
terkejut.
“I-i-ini.........,” Justin tergagap. Matanya membola
dan mulutnya menganga untuk beberapa saat. Ekspresi yang semakin meyakinkanku
bahwa ini memang milik dia, Justin.
“Katakanlah
yang sebenarnya Justin. Kau sakit apa?! Mengapa batukmu sampai berdarah, ha?!” desakku sambil
mengguncang-guncang lengannya.
Justin mendesah. Aku rasa dia sudah tidak punya pilihan
sekarang.
“Kanker.
Kanker paru-paru,” jawabnya
tenang.
Kanker? Entah karena bentuk dari keterkejutan atau apa, aku
malah tertawa nyaring. Setelah beberapa detik barulah tawaku mereda.
“Kau
bercanda?”
“Aku
serius.”
“Kau pasti
bercanda.”
“Tidak,
aku serius.”
“Katakan
kalau kau bercanda.” paksaku
lagi.
“Tapi, aku
serius! Aku serius, Clara. AKU SERIUS!” Justin berteriak kesal dan hal itu sukses membuat jantungku
berdebar tiba-tiba. Oh God, dia berkata serius. Aku langsung terdiam. Perlahan
kedua bahuku mengendur bersamaan dengan isak tangis yang mulai terdengar.
“Justin,” lirihku jatuh terduduk disisi
ranjang.
Justin merengkuh tubuhku hingga masuk kembali kepelukannya. “Maafkan aku, ini kenyataan Clara.
Aku di-vonis mengidap kanker paru-paru sejak dua tahun yang lalu, sebelum aku
mengenalmu.” katanya pelan.
Tak ada isakan, tak ada getaran ketika ia mengucapkan kata “kanker”, sebuah kata yang menurutku seram. I don’t know, entah dia yang terlampau tegar
atau hanya berpura-pura tegar, aku tidak tahu.
“Tapi,
kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” tanyaku masih menangis tergugu.
“Jawabannya
sederhana, Cla. Karena, aku tidak mau. Aku tidak mau kau tahu tentang
penyakitku.”
Spontan aku mengangkat wajah, menatapnya tajam dengan pipi
menggelembung. “Kau
menyebalkan!” geramku seraya
memukul dada bidang Justin.
Dan dia malah tersenyum, mengerling nakal ke arahku.
“Terima
kasih cantik.” balasnya
dengan nada menggoda.
“Justiiiiiiiiin............,
hentikan leluconmu! Aku tidak sedang bercanda tahu?!.”
Aku berteriak hendak kembali memukul dadanya tapi Justin
lebih dulu menangkap tanganku.
“Okay. Dan
kau, hentikan tangisanmu.”
“Aku tidak
bisa, Justin. Aku takut. Aku takut kau pergi. Aku takut kau meninggalkanku.
Ak-ak-aku sangat takut kehilanganmu, Dear. Apa kau tidak mengerti, hah?!” racauku menggeleng keras.
Kupejamkan kedua mata guna menahan tetesan bening yang kutakutkan akan mengalir
lebih deras, sementara Justin meletakkan telunjuknya didepan bibirnya dengan
sebelah tangan memegangi bahuku yang bergetar. “Ssstttttt........, aku tahu. Tapi, kau lihat kan? Aku masih disini,
Cla. Aku akan ada disampingmu.”
“Are you
sure?” Justin mengangguk.
“Berjanjilah
kau akan sembuh demi aku, demi Ibumu, demi cinta kita, Justin.” pintaku menatap mata cokelatnya
lekat-lekat. Sekali lagi, Justin mengangguk. Diusapnya lelehan air mataku
dengan kedua ibu jarinya, hingga tak ada lagi jejak tangisan yang tertinggal.
“Begini
lebih cantik.” pujinya seraya
mengecup lembut pipiku. Aku tersenyum lega, setidaknya Justin mau berjanji
untuk sembuh.
“Oh ya,
bagaimana dengan hasil lomba menulis yang kau ikuti kemarin? Hari ini
pengumumannya, kan?”
Dan kemudian, Justin mengganti topik pembicaraan. Aku
menarik napas.
Hasil lomba menulis? Ah, sejak mendapatkan kabar Justin
masuk rumah sakit aku bahkan sudah melupakan kesedihanku yang satu itu. Aku
rasa, aku pasti bisa menerima kekalahanku dengan lapang. Yaaaaa..., walaupun
untuk itu butuh waktu.
Kuhembuskan oksigen yang kuhirup dengan berat sebelum
akhirnya menjawab, “Naskahku
dikembalikan. Aku tidak berhasil, Justin.”
“Hey!
Dengar, kau bukannya tidak berhasil. Tapi, kau hanya BELUM berhasil. Kau masih
mau mencobanya, kan?!” potong
Justin cepat. Nada bicaranya terdengar menggebu-gebu dan raut wajahnya terlihat
sangat antusias. See? Tak ada bosan-bosannya dia menyemangatiku. Oh my
dear..........
Aku mengangkat pundak, “Entahlah.”
jawabku seraya bangkit berdiri. Kulirik wirstwatch yang melingkar di
pergelangan tanganku, ternyata malam sudah benar-benar larut. Kupikir aku harus
segera pulang karena besok aku ada kelas pagi di kampus.
“Sekarang
aku harus pulang, Justin. Besok aku kesini lagi. Okay? Good nite, Dear.” pamitku lantas mencium keningnya.
Ketika aku berbalik, Justin menarik lenganku. “Clara, tunggu sebentar.” Spontan aku menoleh dengan alis yang
terangkat tinggi. “Iya?”
“Kau mau
berjanji sesuatu padaku?”
“Apa itu?” tanyaku heran.
“Berjanjilah
jika kau akan tetap menulis, meski tulisanmu itu hanya dibaca oleh satu orang
yaitu dirimu sendiri.”
*
Kematian adalah salah satu dari garis manusia yang tidak
akan pernah bisa diubah dan ditunda. Yah, aku mengutip sebaris kalimat itu dari
salah satu novel favoritku yang berjudul Ecláir. Bagiku, hanya kalimat itu yang
mampu menabahkan hatiku dikala rasa tidak ikhlas akan kehilangan Justin datang
menyergap. Sekarang, aku mengerti mengapa Justin menolak menjadi penyanyi,
menolak untuk mengembangkan bakatnya dan tiba-tiba menyuruhku untuk membuat
cerita yang sad ending. Itu semua bagaikan isyarat sebelum dia benar-benar
pergi.
Right, kalian benar. Tepat satu hari setelah masuk rumah
sakit, kekasihku itu menghembuskan napas terakhirnya.
Kanker paru-paru yang diidap Justin ternyata sudah stadium
akhir, hingga mengakibatkan dia benar-benar kesulitan bernapas pagi itu.
Jangan tanya bagaimana perasaanku ketika mendapatkan berita
duka tersebut, karena aku benar-benar merasa shock. Aku tidak menyangka Justin
pergi secepat itu, sungguh! Berkali-kali aku jatuh pingsan hingga akhirnya aku
memutuskan untuk tidak ikut mengantarkan jenazah Justin ke pemakaman. Aku tidak
sanggup. Hanya kedua orangtuaku dan Greyson saja yang hadir di pemakaman.
Seminggu....
Dua minggu....
Tiga minggu....
Hampir sebulan pasca kematian Justin, aku masih sering
menyendiri dikamar. Menghabiskan waktuku dengan melamun, membaca, tanpa pernah
menulis lagi. Hingga pada akhirnya sebuah novel menyadarkanku bahwa kematian
adalah tingkat akhir dari kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap
manusia. Tidak seharusnya aku merasakan sedih yang berlebihan. Toh, pada
akhirnya aku juga akan mengalami hal yang sama seperti Justin, kan? Mati, pergi
meninggalkan dunia beserta isinya. Yaaaaa...., hanya waktunya saja yang aku
tidak tahu kapan. Kemarin giliran Justin, bisa jadi besok, lusa, atau malah
lusanya lagi giliran aku yang ‘diambil’. Iya, kan? Don't be sad, karena
aku yakin suatu saat akan dipertemukan lagi dengan Justin. Didunia cinta kami
memang tak bisa bersatu, tapi di alam yang selanjutnya........, who knows?
Tidak ada yang tahu, bukan?
Ketika semangat hidupku mulai tumbuh, aku teringat akan
janjiku pada Justin. Malam itu aku sudah menyanggupinya. Janji untuk tetap
menulis, walaupun tulisanku itu hanya dibaca oleh satu orang, yaitu diriku
sendiri.
“Yeah, I
can!” seruku tersenyum
menatap foto almarhum Justin yang terbingkai rapi disalah satu dinding, di atas
kepala ranjang.
Setahun telah berlalu..............
Aku berhasil merampungkan sebuah novel lagi dengan judul “When the Death of Encouragement”.
Kali ini aku menceritakan kisah hidupku sendiri. Oh, tidak!
Tapi, lebih tepatnya kisah cintaku berdua dengan Justin. Akhir cerita yang
menyedihkan justru tidak membuatku menangis ketika mengerjakannya. Mungkin, itu
karena aku menulisnya bersama dengan ketegaranku, bukan kerapuhanku.
Aku berniat untuk membukukannya, dengan maksud menyimpannya
sendiri sebagai kenang-kenangan. Dan, juga sebagai bukti bahwa aku pernah
membuat novel. Yaaaaa...., walaupun aku tahu novel itu hanya akan dibaca oleh
diriku seorang.
Untuk masalah biaya aku bisa menggunakan uang tabunganku.
Kebetulan Grey memiliki teman yang Ayahnya seorang penerbit buku, dan mungkin
dengan begitu aku bisa mendapatkan diskon nantinya.
Ah, rasanya aku sudah tidak sabar melihat hasil karyaku yang
akan dibukukan. Meski karyaku itu tidak akan terpajang di toko-toko buku, tapi
setidaknya aku dapat melihat dia terpampang manis di rak buku milikku. Yah, itu
lebih baik daripada tidak dicetak sama sekali.
*
“Ayahnya
Bryan ingin menemuimu besok di café Louis.” kata Grey di suatu pagi. Ketika kami sedang sarapan, tepat
seminggu setelah novelku selesai dicetak.
Aku mendelik ke arahnya. “Bryan? Anaknya bapak tua yang membukukan karyaku itu?” Grey mengangguk malas.
“Untuk
apa?” tanyaku disela-sela
aktifitasku mengunyah sandwich.
Grey meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring, lalu
menatapku dengan serius. “Setelah
membaca novelmu itu, dia langsung tertarik dan berniat untuk menerbitkannya
dalam jumlah yang banyak, Cla. Sepertinya, dia satu-satunya penerbit buku yang
yakin karyamu akan menjadi novel romance best seller di Kota Asheville tahun
ini. Bagaimana? Kau setuju, kan?”
Aku yang tengah menenggak susu, spontan tersedak tatkala
mendengar penuturan Grey adikku.
Susu yang kuminum tumpah hingga mengenai bajuku, tapi aku
tidak peduli. Aku lebih peduli dengan kabar mengejutkan yang datangnya dari
Grey. Ehmagod! Apa aku tidak salah dengar?! Menerbitkan bukan sekedar mencetak,
ya kan?! Ku tatap lekat-lekat kedua bola mata adikku dengan mulut menganga
lebar, dan dia memandangku ilfeel.
“Kau
kenapa? Ekspresimu berlebihan sekali.” cibir Grey dengan bibir yang terangkat sebelah.
Aku menggeleng, “Tidak
apa-apa. Tapi, aku tidak percaya dengan apa yang tadi kau katakan, Grey. Dia
ingin menerbitkan bukuku? Kau serius, kan? Atau kau hanya mengerjaiku saja?” tanyaku was-was.
Grey memutar kedua bola matanya seraya bergidik kecil, “Suit yourself, Dear. Kalau percaya
bagus, tapi kalau tidak yaaaaaa......, aku rasa bukan masalah buatku.”
“Errrrggghhh.......!” Aku hanya dapat menggeram sebal
mendengar Grey yang menjawab santai seperti itu. See? Dia adik yang benar-benar
menyebalkan, guys!
Esoknya, dengan perasaan campur aduk aku mendatangi Ayahnya
Bryan di café Louis. Aku tiba disana tepat waktu sesuai jam temu yang
diberitahukan oleh Grey. Sama halnya denganku, Ayahnya Bryan juga on time. Kala
melihat kehadiranku, dia langsung tersenyum ramah serta menjabat tanganku
dengan hangat. Nama beliau adalah Mr. Jame.
Kami berbincang-bincang ringan dahulu sebelum akhirnya masuk
ke inti pembicaraan.
Singkat kata, Mr. Jame pun mengutarakan maksudnya yang ingin
menerbitkan karyaku seperti apa yang dikatakan Grey kemarin. Tak ada reaksi
yang dapat kuberikan selain menangis haru dihadapan Mr. Jame hingga membuat
pria botak itu terheran-heran melihatku.
“Kau
menangis?” tanyanya menautkan
kedua alis.
Aku mengangguk kecil. “Yeah, I’m weep
with joy.” jawabku seraya
tersenyum. Senyum yang tidak bisa kutahan, karena ini adalah untuk yang pertama
kalinya aku merasa karyaku dihargai. Bukan hanya oleh diriku sendiri atau
Justin, tetapi juga oleh orang lain. Thanks God........,
*
“Hmph......,” Aku menarik napas dalam-dalam
setibanya di sebuah tempat yang kurindukan. Tempat dimana jasad Justin ‘ditidurkan’ untuk selama-lamanya.
Perlahan namun pasti kudorong pintu utama pemakaman yang
bahannya terbuat dari kayu jati berpelitur unik, cukup berat memang. Setelah
itu langsung saja kulangkahkan kaki ke sebuah gundukan tanah merah yang
berlapiskan marmer cantik, dimana nama lengkap Justin tertera di batu nisannya.
Aku tersenyum tipis sambil menaburkan bunga krisan ungu yang
merupakan bunga kesukaan Justin, mendiang kekasihku selagi hidup.
Suasana haru datang ketika aku mengaitkan kesepuluh jari
tanganku. Yah, disaat aku mendoakannya tiba-tiba saja air mataku luruh.
Ehmagod! Aku begitu merindukan Justin saat ini.
Segera ku usap lelelahan bening itu dengan punggung
tanganku, lalu aku mencoba tersenyum untuk menutupi kesedihan yang mendadak
muncul.
“Hai,
Dear. Apa kabar? Kau baik-baik saja di sana, kan?” Masih dalam posisi setengah duduk
(jongkok.red) aku mengelus lembut batu nisan yang berada tepat di sampingku. I
think, mengelus batu nisan ini rasanya sama seperti mengelus kepala Justin.
Begitu pula dengan mengajaknya mengobrol, aku berharap Justin mendengarnya dari
atas sana.
“Di sini
aku merindukanmu,” lanjutku
seraya menghembuskan napas dengan berat.
Semilir angin menerpa wajahku yang sendu.
Aku menunduk, menatap kosong pada timbunan tanah merah
yang menyembunyikan raga kekasihku.
“Alone itu
adalah hal yang menyedihkan. Aku kesepian, Justin. Benar-benar merasa kesepian
sekarang. Seandainya saja kau masih hidup,” lirihku pelan.
Sejenak aku terdiam. Dan, tiba-tiba saja aku teringat akan
sesuatu. Dengan gerakan buru-buru tanganku merogoh ke dalam tas jinjing yang
kubawa guna mengeluarkan sebentuk buku dari dalam sana.
“See?
Karyaku akhirnya dibukukan juga, Dear. Seperti apa yang kau mau selama ini, ya
kan?!” seruku dengan mata
berbinar-binar. Kuperlihatkan hasil cetakan novelku yang sudah terbit dihadapan
makam Justin, seolah-olah aku berinteraksi langsung dengannya.
“Aku tahu
ini terlambat. Seharusnya, ini terjadi selagi kau masih hidup. Semestinya, kau
bisa melihat kebahagianku ini. Tapi, takdir malah berkata lain. Yah, dia tidak
mengizinkan kau untuk melihatku tersenyum dengan bangga.” sambungku masih menatap seksama ke arah
novel yang ada digenggamanku.
Entahlah, ada sekelumit perasaan bangga tatkala aku
memandangi sampulnya yang bergambarkan wajah teduh milik Justin lengkap dengan
sebaris kalimat “When the
Death of Encouragement” yang
diketik dengan huruf Calibri di sudut atas sampul.
Cover-nya ku desain sendiri. Sengaja, karena novelku yang
pertama ini ku persembahkan memang untuk mendiang Justin. Kekasih sekaligus
penyemangatku. Kalau bukan karena janjiku padanya, mungkin ‘When the Death of Encouragement’ ini tak akan pernah kutulis.
Cukup lama aku tertegun dengan buku yang ada di tanganku,
hingga akhirnya tepukan halus di pundakku pun menyudahi semuanya.
“Grey?” Aku menoleh ke belakang. Kulihat
adikku tersenyum dengan pundak yang terangkat santai.
Untuk apa dia menyusulku kemari? Bukankah tadi aku
memintanya untuk menunggu saja di mobil?
Seakan bisa membaca arti dari kerutan di dahiku, Grey pun
menyahut cepat. “Sorry, aku
mengganggu acaramu. Aku kemari hanya ingin mengingatkan bahwa 5 menit lagi kau
harus segera tiba di Universitas Apple. Jangan sampai terlambat! Kau ingat itu,
kan?”
“Acara
talkshow yang akan membahas tentang novelku itu? Ya, aku mengingatnya.” jawabku tak bersemangat. “Tunggulah di mobil, Grey.
Kupastikan kurang dari 3 menit aku sudah ada di sampingmu.”
Grey tidak cerewet. Ia mengangguk setuju lantas
meninggalkanku sendirian di pemakaman.
Sepeninggalan adikku itu, aku pun kembali menatap makam
Justin. Kali ini pandanganku terlihat sedikit nanar. “Maaf, aku harus segera pergi,” pamitku dengan berat hati. “Dan, ini untukmu.” Kuletakkan novelku
tersebut di samping batu nisan Justin semata-mata sebagai bentuk rasa terima
kasihku atas semangat yang telah ia berikan selama ini.
Oh, tidak! Because I hope, past, present, and he will
forever remain encouraging me......., meski dari atas sana.
With Love,
Clara Millane Robert