^In
My Solitude, Im Still Faithful (Dalam Kesendirianku, Aku Masih Setia)^
Waktu
terus berlalu,
Tanpa
kusadari yang ada hanya aku dan kenangan..
Masih
teringat jelas,
Senyum
terakhir yang kau beri untukku..
<3
Jam dinding berukuran bundar yang terpaku rapi disalah satu
tembok kamarku itu terus berdetak. Bergerak memutar dari angka satu ke angka
berikutnya. Ya, tugasnya hanya membuang setiap detik waktu yang telah ku
sia-siakan disini, dikamar ini. Always!
Terhitung sudah 3 hari, sejak kau pergi meninggalkanku dalam
kesendirian, aku hanya menghabiskan waktuku dengan cara mengkerangkeng diri di
kamar, di istana kecilku. Tanpa ada kegiatan. Tanpa ada aktivitas. Ini sungguh
membosankan, tapi lebih membosankan lagi jika aku harus menatap dunia luar
tanpa hadirmu disisiku.
Aku........ Aku tidak sanggup, Meig!
Cairan bening yang semula mengumpul di kelopak mataku,
perlahan-lahan mulai luruh setetes demi setetes. Membentuk aliran anak sungai
yang semakin lama semakin deras. Tak ayal kedua pipiku pun basah oleh air mata.
Do you know, Meig? Terakhir kali aku menangis adalah ketika
kau memberiku kejutan di hari jadi hubungan kita yang pertama. Walaupun waktu
itu kau sempat membuatku marah hingga cemburu buta, tapi ending dari kejutan
yang kau berikan itu sungguh manis. Amat manis!
I still remember, dear.
Kala itu, disuatu malam kau berjanji akan menemaniku ke toko
buku, yah sekedar hunting novel sebagaimana hobiku. Aku senang, karena sudah
lama sekali kau tak punya waktu yang cukup untukku. Seluruh waktumu hanya kau
habiskan dengan bola, bola, dan bola! Kulit bundar yang sering membuatku
cemburu.
Tapi, ternyata apa yang terjadi?! Kau malah melupakan
janjimu. Dan parahnya, waktu itu kau ke-gap jalan berdua dengan seorang gadis
yang tidak ku kenal di salah satu pusat perbelanjaan. Kulihat, gadis itu
menggenggam erat tanganmu, lalu kau balas dengan mengusap lembut bahunya, dan
itu membuat hatiku hancur tanpa bekas!
Aku menangis, ingin rasanya berteriak tapi aku sadar itu
adalah tempat umum. Dimana aku tidak boleh mempermalukan diriku sendiri,
apalagi didepan orang banyak.
Kemudian, tanpa pikir panjang lagi aku pun melangkah cepat.
Pergi meninggalkan kau dan juga selingkuhanmu itu. Kau tahu? Yang ada dalam
pikiranku pada saat itu, hanyalah dua kata. Yaitu, KAU PENGKHIANAT!
Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Tepat diluar pintu
masuk, kau mengunci pergelangan tangan kananku seraya membopongku dengan kedua
tangan.
Aku kaget, dan berusaha untuk melepaskan diri dari
gendonganmu. Kupukul dadamu yang bidang itu sekuat tenaga, semampu yang aku
bisa, tapi kau tidak bereaksi. Kau sama sekali tidak mengelak atau mengaduh
kesakitan. Yang ada kau hanya tersenyum, membuatku semakin muak!
Hoh! Aku baru ingat. Kau kan atlet! Tentunya pukulanku itu
bukanlah hal yang menyakitkan untukmu.
Sesampainya di suatu taman yang jaraknya cukup dekat dari
pusat perbelanjaan tadi, kau pun menurunkanku.
“Badan
kamu berat juga yah!” Kau
mengatakan itu sambil tertawa. Aku ingin marah, tapi ketika mataku menangkap
view yang begitu indah di taman itu, serta-merta mulutku langsung terkunci
rapat. Air mancur yang dikelilingi dengan lilin-lilin yang terapung cantik dan
membentuk susunan huruf yang jika di-eja akan berbunyi “LOVE YOU MEIYSA”.
Bersamaan dengan itu, gadis yang kutuduh sebagai
selingkuhanmu tadi keluar dari persembunyiannya. Ia menghampiriku dan
mengatakan bahwa ini hanyalah bagian dari rencanamu saja.
Pada saat itu, aku tak mampu berkata-kata, kututup mulutku
dengan kedua tangan guna menahan tangisanku agar tidak pecah.
Sedangkan kau sendiri tidak tinggal diam. Ketika melihat aku
menangis haru, kau langsung menarikku ke dalam pelukanmu yang hangat. Kau kecup
pundakku berkali-kali sembari mengucapkan berbagai kata maaf.
Ah! Aku masih mengingatnya secara detail. Asal kau tahu
saja, aku tidak mungkin melupakan itu, karena itu adalah untuk yang terakhir
kalinya aku meneteskan air mata.
Dan, sekarang air mata itu harus kembali tumpah tanpa bisa
kucegah. Lagipula, bagaimana aku bisa membendungnya? Kau meninggalkanku dalam
waktu yang tak kuduga.
Tiba-tiba, dan itu mendadak.
Kau pikir aku tegar? Kau pikir aku kuat? Andai saja kau
tahu, aku lemah tanpamu, Meig.
Waktu itu........
^^^
Aku baru saja pulang dari kampus ketika handphone-ku
bergetar dan menandakan satu pesan masuk darimu.
Pesan singkat yang berbunyi: Meiy, kita ketemuan yuk?
Penting nih! Tunggu aku ditempat biasa yaaaa~ See you hun :*
Kubaca pesan singkat itu berulang-ulang, dan untuk yang
ke-tiga-kali-nya aku tersenyum. Tumben! Kau tidak pernah mengajakku untuk
bertemu kecuali di malam hari.
Pagi, siang, dan sore waktumu dihabiskan dengan kampus dan
bola.
Kenapa hari ini????? Well, sebelum kau berubah pikiran
buru-buru aku menyambar tas tanganku dan meraih kunci mobil yang tergeletak
rapi di atas meja tulis. Aku harus ke tempat biasa kita bertemu secepatnya!
Sebelum kau sempat membatalkan niatmu itu.
Tidak lama, hanya perlu 15 menit untuk sampai di tempat ini.
Bukit kecil yang kita beri nama Love Is M. Yang artinya bisa Love Is Meiga or
Love Is Meiysa. Terkadang, aku merasa kalau kita adalah jodoh. Karena kau dan
aku sama-sama memiliki huruf depan “M”. Yah, aku tahu, ini terdengar
lucu. Mungkin pemikiranku terkesan dangkal dan sepertinya agak memaksa. Tapi,
itulah yang kurasakan. Kau dan aku jodoh.
Bukit ini adalah tempat favorit kita. Dimana kita sering
menghabiskan waktu berdua disini.
Berbagai hal kita lakukan bersama-sama.
Seperti, kau memetik gitar dan aku bernyanyi, atau aku
menendang bola dan kau menangkapnya. Seperti hobi kita! Aku gemar bernyanyi,
dan kau senang menangkap bola. Iya kan?
Kulirik jam tanganku, lalu ku sapu pandangan ke sekitar
bukit, dan aku tidak menemukan kau disini.
Di saat hari hampir petang, kau belum juga datang? Oh my
gosssssh....
Aku sudah bilang kan? Kau tidak mungkin mengajakku bertemu
di sore hari, dimana kau biasanya sibuk menghabiskan waktu dengan selingkuhanmu
si bola itu.
Hah! Kau benar-benar menyebalkan!
Ku hempaskan tubuhku di kursi panjang yang terbuat dari
kayu. Disampingnya, terdapat pohon akasia yang rimbun, yang mampu melindungiku
dari hangatnya matahari sore.
I feel, menunggumu sambil memandangi langit biru yang
terbentang luas adalah pilihan yang tepat. Dengan begini aku tidak bosan,
karena aku menyukai langit.
Langit itu luas, indah, dan amazing! Dalam sehari, dia bisa
berubah warna menjadi 3 macam. Biru, jingga, atau malah hitam pekat. Amazing
kan? Itulah Kuasa Tuhan.
“Langit
itu emang indah yah Meiy?”
Refleks aku menoleh. Sangking seriusnya aku memandangi
langit, aku sampai tidak sadar kalau kau sudah datang dan bahkan telah duduk di
sampingku. Aku tersenyum simpul. “Yah.
Seperti kamu yang selalu terindah dihati aku, Meig.” jawabku mencoba untuk menggodamu. Dan,
ternyata berhasil! Kulihat semburat merah muncul dikedua pipimu. Kau tersipu
malu? Ini adalah hal yang langka.
“Jangan
ngegombal deh Meiy!”
“Biar
romantis, Sayang. Emangnya kamu! Jadi cowok nggak bisa romantis.” seruku mengerucutkan bibir.
Kau terkekeh pelan, lalu merangkulku dengan sebelah tangan. “Abis kamunya romantis duluan sih!” kilahmu berkelit.
Dalam posisi kepala yang masih berada di atas pundakmu, aku
hanya tertawa kecil. Kau memang tidak lucu, tapi kepolosanmu itu membuat kau
menjadi lucu.
Sejenak suasana mendadak hening. Aku dan kau sama-sama
terdiam, mencoba meresepi detik-detik kebersamaan kita di atas bukit Love Is M
ini. Kebersamaan yang belum tentu bisa terulang lagi, pikirku aneh.
Kusenderkan kepalaku di bahumu, dan kau letakkan kepalamu di
atas kepalaku.
Dari samping kau memelukku dengan erat, dan entah mengapa
aku juga membalas pelukanmu itu dengan tak kalah kuatnya. Seperti ada perasaan
takut kau akan pergi dari sisiku, tapi......... Ah tidak! Kau tidak mungkin
meninggalkanku. Kau sudah berjanji akan setia disampingku apapun yang terjadi,
dan aku percaya itu.
“Meiy,” tiba-tiba kau memanggilku.
Setelah cukup lama kita saling terdiam, akhirnya kau memutuskan untuk angkat
suara terlebih dulu.
“Ya,
kenapa Meig?” tanyaku tanpa
menatapmu.
“Kamu tahu
kan kalau aku suka bola?”
“Tahulah,
Sayang. Trus?”
“Bola itu
impian aku. Selama ini aku menghabiskan waktuku dengan bola, bukan karena aku
nggak sayang ama kamu, tapi karena aku pengen ngejar impian aku.”
“So?”
“Aku
pengen kamu ngerti itu, Meiy.”
“Sayang,
aku ngerti, kok. Impian kamu itu bisa jadi penjaga gawang terhebat didunia kan?” tanyaku serius. Walaupun terkesan
melebih-lebihkan karena membawa serta nama ‘dunia’, itu
semata-mata agar kau mempunyai impian yang lebih besar selain menjadi kiper
terbaik di Indonesia.
“Dan,
untuk meraih itu diperlukan usaha yang keras. Aku harus banyak belajar, Meiy.
Salah satunya adalah belajar bola di Negeri orang.” ucapmu dengan tenang.
Spontan aku mendongak, memandangmu dengan tatapan was-was.
Kini, perasaan takut itu semakin menyeruak ke permukaan. Please, jangan katakan
sesuatu yang tidak ingin aku dengar, Meig! Kau tidak berniat meninggalkanku
kan?!
Aku hanya mampu menjerit dalam hati. Sementara mulutku
berkata dengan lirih, “Maksudmu?”
“Aku dapat
beasiswa dari salah satu sekolah sepak bola di Inggris. Awalnya aku keberatan,
sulit rasanya untuk meninggalkan Indonesia. Tapi, ini kesempatan kan, Meiy? Ini
adalah salah satu jalan untuk mewujudkan impian aku sebagai penjaga gawang
terhebat di Indonesia, bahkan di dunia seperti yang kamu mau. Iya kan, Meiy?” Dengan tatapan penuh harap, kau
mengguncang bahuku. Aku hanya diam, dalam hati aku mengutuk ucapanku sendiri. ‘Impian kamu itu bisa menjadi
penjaga gawang terhebat di dunia kan?’ Hoh! Seharusnya kalimat itu tidak perlu aku katakan tadi.
And now, apa yang harus kulakukan disaat seperti ini? Aku
bimbang. Disatu sisi aku tidak sanggup melepaskanmu, tapi disisi lain apakah
aku tega menghancurkan impianmu? Impian orang yang paling kusayang? Oh god,
help me please.
“Emangnya
berapa lama?” Susah payah aku
membuka mulut. Memberikan respon lain yang tak hanya dengan tatapan nanar saja.
Kau menatap wajahku sesaat, lalu menggeleng. “Kurang tahu, sih. Mungkin dalam waktu 1-2
tahun.”
“Yang
pasti, Meig.”
“Aku
kurang tahu, Sayang.” ucapmu
lembut sambil merangkum wajahku dengan kedua tanganmu yang kokoh. Sentuhanmu
begitu hangat. Lalu, kau menatapku lebih dalam dan berkata, “Meiy, bola adalah impian terbesarku selain
bisa hidup berdua denganmu. Dan selagi aku mampu, aku harus bisa meraih
kedua-duanya. Kamu dan bola. Kamu setuju kan?”
Entah dapat dorongan darimana, aku pun mengangguk dua kali.
Anggukan yang sukses membuatmu tersenyum lebih lebar. Sebuah lengkungan indah
yang tak kusangka akan menjadi lengkungan terakhir di bibirmu yang tidak akan
kulihat dalam kurun waktu yang tak dapat dipastikan.
Dalam terpaan angin senja yang berembus lirih, engkau
berbisik, “Aku pasti kembali,
Meiy. Pasti.” Kau berjanji
sambil menarik pinggangku, mengusap lembut puncak kepalaku.
Dan aku hanya mampu memejamkan mata. Berharap dalam hati
jika apa yang kau ucapkan tadi bukan hanya sekedar janji. Tapi, suatu hal yang
pasti akan kau tepati.
Perlahan-lahan matahari mulai tenggelam. Kembali ke
peraduan, meninggalkan langit seperti kau yang pergi meninggalkanku seorang
diri.
Kau pergi tanpa membawa serta perasaan yang tercipta hanya
untukmu.
Sebuah rasa yang hadir karenamu.
Sebuah rasa yang disebabkan olehmu.
Sebuah rasa yang tak bisa digantikan oleh sosok terindah
manapun, selain kamu.
Kau meninggalkanku dalam kegalauan, dalam kegundahan, dan
dalam kebimbangan.
And now, you make me so hampa, dear.
^^^
Tak
pernah ku mencoba,
Dan
tak ingin ku mengisi hatiku dengan cinta yang lain..
Kan
ku biarkan ruang hampa di dalam hidupku..
<3
Sebuah ketukan halus di pintu berhasil membuyarkan lamunanku
tentangmu. Tentangmu yang kini pergi meninggalkanku, tanpa ada memberi kabar.
“Masuk aja
nggak dikunci,” Cepat-cepat
kuseka tetesan air mata itu dengan kedua telapak tangan. Tak lama, terdengar
bunyi knop pintu yang diputar.
Aku menoleh. Kulihat kepala seorang wanita paruh baya yang
menyembul di balik pintu. Beliau adalah Ibuku. Orang yang selama ini
mengkhawatirkan keadaanku.
Rajin mengecek keadaanku di setiap jam, dan rutin
mengantarkan makanan untukku jika aku tidak ingin keluar dari kamar.
Kali ini, ia membawa nampan berisikan sepiring nasi lengkap
dengan lauk-pauknya. Ia tahu bahwa sejak semalam aku tidak mau makan.
“Taruh
diatas meja dulu, Bu.” kataku
menatap ke arah meja tulis, disamping lemari pakaian.
Ibu menggeleng, prihatin. “Masih betah diam di kamar, Meiy?”
Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Kualihkan pandanganku
ke jendela kamar. Menatap jauh ke luar sana dengan pandangan kosong. Bukannya
apa-apa, aku hanya takut menatap matanya, karena aku tidak ingin Ibu tahu
betapa menderitanya hidupku ketika ditinggal pergi olehmu. Aku tidak ingin Ibu
mengasihaniku.
“Keluar
tho nduk,” Ibu membelai
rambut panjangku dengan penuh kasih sayang. Aku menatap matanya, sedetik
kemudian pandanganku kembali beralih ke luar jendela. “Ibu tidak sanggup jika setiap hari harus
melihatmu seperti ini. Tak ada aktifitas dan selalu mengurung diri di kamar.”
“Meisya
juga nggak sanggup, Bu, kalau harus menatap dunia luar tanpa hadirnya Mas Meiga
disini.” jawabku tanpa
menoleh ke arahnya. Aku kesal karena nada bicara Ibu tadi terdengar seperti
mengasihaniku. Oh bukan, tapi beliau memprihatinkan-ku. Dan bukankah
mengasihani dengan memprihatinkan itu bedanya tipis? Heuh~
Kuhela napas dengan berat. Tak lagi kurasakan lembutnya
belaian tangan Ibu dirambutku. Ketika aku memalingkan wajah, ternyata sekarang
posisi Ibu sudah berdiri tepat dihadapanku. Mata tajamnya menatap jauh ke dalam
manik mataku, tertumbuk di sana sehingga aku tidak mampu berpaling lagi.
“Meiy,
dengan melakukan berbagai aktifitas kamu akan mudah melupakan si Meiga-Meiga
itu. Kamu sudah 3 hari lho tidak masuk kampus. Apa kata Ayahmu kalau beliau
tahu ini semua? Ibu tidak bisa lagi berbohong didepan beliau. Lagipula, lambat
laun Ayahmu itu pasti akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kamu
mengerti kan maksud Ibu?”
ucap Ibu panjang lebar.
Aku tersenyum kecut. Mengerti kok Bu, sangat mengerti. Itu
artinya mau tidak mau, mulai besok aku harus kembali masuk kuliah. Tidak boleh
tidak! Iya kan? Dalam hati aku menggerutu sebal, sementara bibirku berkata, “Besok Meiy juga udah masuk kampus,
kok.”
Ibu tersenyum lega. Sebelum ke luar dari kamar, ia sempat
mengacak-acak puncak kepalaku dengan gemas. Hah! Rupanya beliau masih
menganggapku sebagai putri kecilnya. Tidak berubah.
*
Keesokan harinya,
Kampus sudah terlihat ramai ketika mobil Swift yang ku
kendarai berbelok arah memasuki halaman parkir khusus roda 4. Untungnya, masih
ada satu tempat kosong di samping mobil Toyota jenis Avanza berwarna silver.
Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja ku-belokkan stir kemudi menuju tempat
tersebut.
Ku matikan mesin mobil, dan setelah keluar ku kunci otomatis
dengan menggunakan serencengan kunci yang aku bahkan tidak tahu apa namanya.
Sejenak aku menghirup udara bebas. Sudah 3 hari aku tidak
menginjakkan kaki di kampus ini. Mungkin, tak sedikit dari mereka yang
merindukanku. Hei! Bukannya aku GR, ke-PD-an atau apa yah, tapi memang begitu
adanya. Sehari saja tidak bertatap wajah denganku, mereka --orang-orang yang
mengenalku itu-- pasti akan menanyakan kabarku, merindukanku. Berbeda sekali
denganmu! Buktinya semenjak kau pergi kau tidak ada sekalipun memberiku kabar.
Sepertinya kau tidak merindukanku, Meig. Semudah itu kah kau melupakanku?
Buru-buru aku menggeleng, menepis bayanganmu yang menari
indah dikepalaku. Stop it, Meiy! Hentikan kalau kamu tidak ingin hidupmu kacau.
Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan Meiga. Kampus yah kampus. Bukit yah
bukit. Kamu hanya boleh memikirkan dia diluar dari jam kuliah! Okay? So, fokus!
Sekuat hati aku mensugesti diriku untuk berhenti
memikirkanmu. Tapi nyatanya, siluetmu seperti tak ingin lenyap dari anganku.
Aku terus saja memikirkanmu, tanpa jeda. Sampai akhirnya, seseorang berhasil
mengembalikan konsentrasiku dengan cara mencekal lenganku di salah satu lorong
kampus.
“Eh,” Aku tersentak kaget dan refleks
berbalik. “Diego?” Mataku sedikit melebar ketika
melihat sosok yang tengah berdiri dihadapanku.
Ya, Dia Diego. Kau masih ingat dia kan? Dia adalah sainganmu
untuk mendapatkanku. Eunggg~ maksudku dia juga menyukaiku, sama sepertimu yang
ingin memilikiku, tapi sayangnya hatiku lebih dulu terpaut padamu. Kaulah cinta
yang kupilih.
Bukan, bukan karena dia tidak baik lantas aku lebih
memilihmu dibanding dia. Kau sendiri tahu kan? Diego baik, tampan, nilai
semesternya juga diatas rata-rata. Dia termasuk the most wanted boy di kampus
kita! Hanya saja, aku tidak suka caranya yang terlalu memaksakan kehendak.
Memaksaku untuk jadi kekasih hatinya, padahal jelas-jelas aku sudah terikat
hubungan denganmu. Dia tidak memedulikan perasaanku, yang dia pedulikan
hanyalah hasratnya semata. Dan baginya cinta itu harus memiliki, padahal
jelas-jelas cinta tidak bisa dipaksakan. Dia egois kan?
Sejenak bibirku melengkung kecil, “Hai,” sapaku seraya kembali melangkah, bersikap acuh-tak-acuh seakan tak
peduli. Sialnya, Diego malah berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah
kakiku. Tanpa lelah pemuda berwajah Indo itu terus mengekoriku di belakang.
“Hei,
Meiy, sudah 3 hari belakangan ini aku nggak lihat kamu di kampus. Kata
temen-temen kamu sakit yah? Apa itu benar? Kalau iya aku turut prihatin, dan
aku menyesal karena nggak sempat jenguk kamu kemarin.” ucapnya panjang lebar.
Sengaja aku menghentikan langkah, berbalik dan tersenyum
lebar ke arahnya. Merasa surprise karena jujur aku tak menyangka dia masih bisa
mengkhawatirkanku seperti ini. “Thanks
for your concern. But, aku merasa sudah mendingan kok sekarang.” Kembali ku ayunkan kaki, melintasi
beberapa lorong kampus yang lumayan ramai dengan mahasiswa/i yang berkumpul
dipelataran. Sesekali aku tersenyum, membalas sapaan mereka yang sudah 3 hari
ini tak melihatku.
Lalu, setibanya diujung lorong menuju kelas sastra, Diego
mencegatku. Ia berdiri tepat dihadapanku dengan kedua tangan yang merentang
lebar. Menutup perjalananku sehingga membuatku kesulitan untuk menghindar
darinya.
Aku mendelik, menatapnya dengan kepala yang sedikit miring.
Pengganti kata “Apa?” yang malas untuk kuucapkan.
Sementara Diego nampak tertegun sebelum akhirnya ia membuka
mulut. “Ummm~ Meiga ke
Inggris?”
Aku mengangguk. I know, Diego bertanya seperti itu bukan
karena dia tidak tahu, tapi karena dia ragu-ragu atas apa yang ia ketahui. Dia
hanya butuh kepastian.
“So?”
“Walaupun
Meiga udah leave dari Indonesia, aku akan tetap menunggu dia disini.”
Tak perlu dijelaskan panjang lebar, aku sudah mengerti
maksud dari kata “Jadi?” yang Diego tanyakan. Aku tahu dia
masih menaruh harapan padaku. Tapi, aku rasa jawabanku sudah cukup jelas.
Apapun yang terjadi aku akan tetap setia pada satu hati. Hanya untuk hatimu
yang nun jauh disana.
“Sorry,
aku buru-buru. Kita ketemu lagi di lain waktu. Bye, Go.” pamitku seraya berlalu pergi. Dengan
langkah yang tergesa-gesa aku berbelok arah menuju ruang sastra. Berharap
sekali mata kuliah semacam melukis bisa membuatku sedikit lebih tenang
nantinya.
*
Hanya
dirimu yang pernah tenangkan ku dalam pelukmu saat ku menangis..
Bila
aku harus mencintai dan berbagi hati, itu hanya denganmu..
Namun
bila ku harus tanpamu, akan tetap kuarungi hidup tanpa bercinta..
<3
Satnite kali ini terasa begitu membosankan untukku. Tidak
adanya teman yang bisa diajak keluar, dan tidak adanya acara tv yang menarik
untuk ditonton membuat rasa bosan yang menghampiriku semakin menjadi-jadi.
Sekilas aku melirik ke layar handphone yang tergeletak manis di atas kasur.
Berharap ada nomer asing masuk dan ternyata itu adalah kamu yang tengah
mengabarkanku tentang indahnya Kota Inggris di malam hari. Menceritakan padaku
betapa menyenangkannya sekolah bola-mu disana. Tapi apakah itu mungkin? Sadar
dengan ketidakmungkinan itu aku pun lantas tertawa miris. Aku tahu itu hanya
khayalanku semata. Angan-angan yang sulit terwujud dalam kondisi seperti ini,
angan-angan yang tak mungkin bisa menjadi nyata.
Hmmmm~ sesaat aku berpikir, mungkin membaca novel romance
dengan ditemani segelas hot chappuccino, camilan, dan lantunan indah dari mp3
player adalah pilihan yang tepat. Aku bisa membaca novel kesukaanku, dan juga
bersenandung di tengah-tengah bacaan. Ya, aku rasa itu hal yang menyenangkan!
Kemudian, ketika aku memutuskan untuk ke dapur, bel rumahku
berbunyi dua kali. Niatku yang ingin menyeduh chappuccino pun terpaksa
kuurungkan. Segera ku putar haluan menuju pintu utama yang terletak di ruang
tamu.
Siapa sih yang mencet bel malam-malam gini? Batinku
bertanya-tanya. Sebelum knop pintu kuputar, lebih dulu aku mengintip di lubang
kecil yang memang terpasang disana. Kulihat sesosok pemuda yang posisinya tepat
membelakangiku. Eunggg~ dari postur tubuhnya sih sepertinya aku kenal siapa
dia. Dan ketika dia berbalik ternyata dia memang...........
“Diego?” Aku bertanya pada diriku sendiri,
merasa kurang yakin meski wajahnya sudah terpampang jelas dilubang kecil itu.
Aku heran, untuk apa dia datang kemari? Darimana pula dia tahu rumahku?
Karena dengan bertanya pada diri sendiri tidak akan
mendapatkan jawaban, aku pun memutuskan untuk segera membuka pintu.
Hal pertama kali yang kulihat saat pintu terbuka lebar
adalah sosok Diego yang menyunggingkan senyum yang...... Okay! Kuakui manis.
“Malam,
Meiy. Sorry ganggu,” katanya
sopan. Tanpa sadar sebelah alisku pun terangkat, bingung. “Oh ya, nevermind. Ada apa nih malam-malam
main ke rumah? Tumben. Seingatku, sebelumnya kamu nggak pernah main ke rumah
deh. Kok kamu bisa tahu alamat rumah aku sih?” tanyaku langsung, tanpa basa-basi lagi.
Diego berdehem pelan, “Jangankan alamat rumah kamu, tempat favoritmu berdua dengan Meiga
pun aku tahu.” jawabnya sok
misterius. Sukses mengangkat alisku lebih tinggi lagi. Oh, sepertinya Diego
memang sengaja ingin mempermainkanku. Dia senang membuatku terkejut. Dan aku
tidak akan membiarkannya besar kepala seperti ini. Hih! Memangnya dia siapa?
Aku tidak percaya dia bisa mengenalku sejauh ini.
“Oh ya?” sahutku dengan pandangan
meremehkan. Ingin melihat wajah kesalnya, tapi yang kulihat malah wajahnya yang
tersenyum santai. Sial!
“Mau
bukti?” tantang Diego sambil
menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.
“Ng.........” Sejenak aku tergugu, mendadak
takut. Apalagi setelah kulihat dia melangkah lebih dekat ke arahku. Mau apa
dia?
“Tujuanku
kesini memang untuk mengajakmu jalan, kok. Aku tahu Meiga sudah nggak ada di
Indonesia, so, I think aku nggak perlu takut untuk mengajakmu keluar. Iya kan?
Lets go!” Ternyata Diego tak
main-main, ia benar-benar ingin membuktikan ucapannya. Tanpa pikir panjang ia
pun langsung menarik pelan lenganku. Membawaku hingga ke sisi mobilnya yang
terparkir rapi di ujung jalan, depan komplek sana. Anehnya aku menurut, sama
sekali tak memberontak dengan apa yang dia lakukan. Padahal karena ulahnya itu
aku sampai lupa mengunci pintu rumahku yang tak berpenghuni. Yah, tak berlebihan
jika aku merasa dia seperti menghipnotisku malam ini.
Didalam mobil sport jenis range rover milik Diego aku hanya
duduk manis, diam tak bersuara.
Sesekali aku menggigit kecil bibir bawahku dengan pandangan
terlempar jauh ke luar jendela mobil. Mengamati beberapa kendaraan roda dua,
roda empat, bahkan pejalan kaki yang melangkah di trotoar. Memang tidak
penting, tapi setidaknya apa yang kulakukan kini bisa menutupi sedikit rasa
gelisah yang menyerangku. Gelisah karena sebelumnya aku tak pernah satu mobil dengan
pemuda manapun selain kau, bahkan aku juga tak pernah menikmati malam Minggu
dengan pemuda lain kecuali bersamamu seorang. Sejenak aku merasa tidak nyaman
dengan keadaan ini. Apakah ini yang namanya berselingkuh? Oh tidak, karena aku
dan Diego hanya jalan-jalan biasa bukan kencan. Tapi, bukankah sesuatu yang
LUAR BIASA itu berawal dari yang BIASA dulu? Seperti teman jadi sahabat, lalu
sahabat jadi pacar? Hoh! Aku mikir apaan sih?!
Karena terlampau kesal, tak sadar aku pun menghembuskan
napas hingga mengeluarkan bunyi yang keras. Tentunya hal itu mengakibatkan
Diego dengan spontan menoleh ke arahku walau hanya beberapa detik. Dasar bodoh!
“Eh,
sorry,” Aku meringis kecil.
“Kayaknya
dari tadi kamu gelisah. Kenapa sih?”
tanya Diego tanpa mengalihkan kedua matanya dari jalan raya yang malam ini
cukup padat. Wajar sih, namanya juga malam Minggu. “Tenang aja, aku nggak akan bawa kamu ke
tempat yang aneh-aneh kok. Aku kan tahu kamu masih milik Meiga, dan aku nggak
mau biru-biru ditangan tuh kiper cuma karena ngelecetin ceweknya doang. Hehe~” sambungnya terkekeh di ujung
kalimat. Dia bercanda! Jelas-jelas dia lebih kekar dibandingkan kamu.
“Oh itu,
sebelumnya aku nggak pernah jalan dengan cowok manapun selain Meiga. Terus
terang aku ngerasa nggak nyaman.”
jawabku tersenyum tipis. Seolah rekaman ketika kita jalan berdua dan
menghabiskan waktu bersama terputar kembali di memori ingatanku. Ah, rindu itu
muncul lagi.
“Masa sih?
Kamu yakin nggak pernah jalan dengan cowok lain kecuali Meiga?” sahutnya tidak percaya.
“Ya.”
“Kok
bisa?!” Kali ini nada
bicaranya terdengar lebih histeris.
Dengan santai aku jawab, “Kenapa enggak? Sebelum jadian dengan Meiga, aku single kok. Belum
pernah menjalin hubungan spesial dengan pemuda manapun.”
“Itu
artinya Meiga pacar pertama kamu dong?”
“Yah, cuma
dia satu-satunya pemuda yang mampu membuatku jatuh cinta. Mengenal cinta dan
mengerti apa itu cinta.” Aku
menghirup udara sejenak, lalu menatap Diego dengan seksama. “Kamu tahu nggak? Single itu prinsip. Dan
orang yang prinsipnya single, nggak akan mau bermain-main dengan hati.”
Diego tertegun cukup lama, sebelum akhirnya ia bergumam
pelan, “Sekarang aku ngerti
kenapa kamu nggak bisa nerima aku untuk ngegantiin posisinya Meiga dihati kamu.”
“Karena
kamu nggak suka bermain-main dengan hati. Iya kan?”
*
Ban mobil ini terus bergulir, mengantarkan aku dan Diego ke
sebuah tempat yang rasanya begitu nyaman.
Kau tahu? Sebelum ia membawaku kesini, dia menutup mataku
dengan sehelai sapu tangan. Aku tidak mengerti apa maksudnya? Mungkin ini adalah
sebuah kejutan. Rupanya dia ingin agar aku benar-benar terkejut malam ini.
Dia menuntunku keluar dari mobil, dan memerintahkan kepadaku
supaya tidak membuka penutupnya sebelum dia suruh.
Aku hanya mengangguk, meskipun sedikit kesal karena terlalu
banyaknya aturan yang dia ajukan.
“Sekarang
kamu duduk dulu deh, Meiy. Baru buka penutup matanya,” Dia menyuruhku duduk tanpa membantuku
untuk mengetahui dimana letak bangku. Memangnya dia pikir aku sesakti apa sih?
Aku kan bukan Dedy Corbuzier yang masih bisa melihat dengan mata tertutup!
Karena aku bergeming di tempat, dia pun berujar, “Bangkunya ada dibelakang kamu, kok.”
“Beneran
nih ada bangku dibelakang?”
tanyaku ragu.
“Yaps.”
“Bohong
awas lho!” seruku sambil
perlahan-lahan duduk sesuai yang diperintahkan Diego. Kemudian, langsung saja
ku buka kain yang menutupi sepasang mataku itu. Sesaat aku mengerjap, berusaha
memperjelas penglihatanku. Ketika sudah jelas aku pun menganga lebar.
Disekitarku penuh dengan hamparan rumput hijau yang luas, didepanku ada sebuah
jurang kecil yang tidak begitu dalam, dan disampingku ada sebatang pohon akasia
yang kering kerontang karena mulai memasuki musim panas.
“Oh my
God! Love Is M ini kan.......?”
“Bukit
yang sering kamu kunjungin berdua dengan Meiga.” sambung Diego cepat.
“Kamu tahu
dari mana?” tanyaku
membulatkan mata.
“Aku
sering ngikutin kalian berdua, kok.”
jawab Diego tersenyum penuh kemenangan.
“Okay. And
now, apa mau kamu? Kayaknya nggak mungkin deh kalau kamu ngajak aku kesini
tanpa alasan.”
“Aku cuma
mau kamu berbagi,”
“Berbagi?”
“Ya,
ceritakan ke aku gimana cowok sesuatu kayak Meiga bisa membuatmu jatuh cinta.
Yakinkan aku kalau aku emang nggak pantas untuk ngegantiin posisinya Meiga
dihati kamu, dan setelah ini aku janji aku nggak akan gangguin kamu lagi.”
“Cuma itu?” kataku sangsi.
“Yeah,
come on girl.”
Aku termangu. Mencari kata-kata yang pas untuk memulai
ceritaku tentangmu. Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat, karena kalau aku
disuruh untuk mengingat kembali masa-masa itu, yang ada aku akan semakin rindu
padamu. Dan mungkin nanti aku akan menangis di akhir cerita. Tapi, kalau bukan
sekarang, kapan lagi?
Sementara aku masih berpikir, Diego dengan sabarnya
menantikan aku bercerita. Sikapnya benar-benar berubah drastis semenjak
percakapan kami dimobil tadi. Kau tahu? Dia tidak lagi memaksaku seperti dulu.
Dia mulai mengesampingkan sikap egoisnya.
Setelah berpikir cukup lama, aku melirik Diego, tersenyum
simpul dan mulai bercerita.
“Meiga itu
pemuda sederhana. Sangat sederhana! Dia bukan the most wanted boy seperti kamu,
Go. Nilai kuliahnya juga standar, nggak sebagus pemuda-pemuda lain yang juga
pernah nembak aku, yah termasuk kamu. Dia bukan anak orang tajir, dan dia sama
sekali nggak punya keahlian -selain menjaga gawang- yang bisa membuat aku
terpukau.”
“So, apa
yang ngebuat kamu tertarik dengan dia? Kok bisa-bisanya kamu jatuh cinta sama
orang yang out of your criteria gitu sih? Wajar kan kalau selama ini aku heran.
Kamu nolak aku gitu! Nolak aku yang jelas-jelas lebih sesuatu dibanding Meiga.
What the hell?!” sela Diego
sedikit emosi.
Kontan aku tertawa kecil, “Jangankan kamu, aku sendiri heran kenapa aku bisa jatuh cinta
dengan pemuda seperti dia.”
Detik selanjutnya
aku terdiam. Ku tatap pemuda blesteran Belanda yang ada dihadapanku ini dalam-dalam
sebelum akhirnya bibirku terbuka untuk kembali mengucapkan kata.
“Tapi,
yang namanya cinta nggak mesti ada alasan kan, Go?”
“Cintaku tumbuh
secara tiba-tiba, hadirnya melalui sebuah pelukan yang tak mungkin pernah bisa
aku lupa. Aku masih ingat Go, waktu itu..........”
^^^
Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah. Dimana aku sangat
disibukkan dengan berbagai tugas ini-itu dari kampus. Dari sekian banyak tugas
yang mereka berikan, mengerjakan laporan adalah hal yang paling merepotkan.
Yah, seperti malam ini. Ketika laporan sudah selesai diketik dan tinggal di
print saja, tintanya malah habis. Parahnya adalah laporan yang ku kerjakan ini
harus dikumpul besok. Sial kan?!
Aku mendecak kesal sembari melirik ke arah jam digital yang
berdiri manis didekat lampu tidur.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan aku memutuskan
untuk keluar rumah mencari tinta printer, apa itu tidak salah? Well, apa boleh
buat. Lagipula di depan komplek juga ada tempat fotocopy-an yang menjual tinta
printer, kok. Berhubung letaknya tak jauh dari rumah, aku pun memilih berjalan
kaki tanpa mengendarai Swift merah milikku.
Sayangnya kesialanku tak hanya sampai disitu. Bagaimana
tidak? Diluar petir bergemuruh nyaring diringi dengan kilatnya yang menyambar.
Finally, aku harus keluar rumah ditemani dengan payung
warna-warni yang terpaksa kubawa karena diluar cuacanya sedang tidak
bersahabat. Walaupun hanya berupa rintik-rintik kecil, sih.
Sepanjang perjalanan aku terus berharap dalam hati agar
tempat fotocopy-an itu belum menutup usahanya. Karena sepengamatanku toko itu
selalu tutup diatas jam 10 malam. Dan kau tahu? benar saja dugaanku.
Hah! Aku mendesah berat. Selama ini aku selalu bangga dengan
dugaan-dugaanku yang tidak pernah meleset, tapi untuk yang satu ini? Aku
sungguh menyesal.
Sebenarnya di komplek sebelah juga ada sebuah kios fotocopy
yang menjual tinta printer, tapi untuk menuju ke sana aku harus melalui ‘jalan-jalan tikus’ yang menjadi tongkrongannya para preman.
Okay, aku tahu keputusan ini adalah suatu hal yang riskan jika ku ambil. Tapi,
mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya jalan yang tersisa.
Dengan perasaan was-was aku berbelok arah, menyeret paksa
kedua kakiku untuk menuju kios tersebut. Aku harus bisa melakukan ini demi
nilai kuliah! Lalu, ketika melintasi jalan yang sangat kutakuti itu, hatiku
semakin cemas, jantungku berdegup kencang tak beraturan. Kupegangi erat-erat
batang payung yang melindungi tubuhku dari rintik hujan dengan mulut yang terus
bergerak cepat melantunkan doa.
Semoga, semoga, dan semoga..........
Sayangnya semoga itu tidak terwujud. Hal yang kutakutkan
benar-benar terjadi.
Ditengah-tengah jalan langkahku terhenti. Tiga orang preman
yang kurasa tengah mabuk, menghadangku secara tiba-tiba. Mereka tersenyum, tapi
senyuman itu tidak membuatku tenang, yang ada malah semakin menambah ketakutan
yang menyerangku.
“Hey, kita
nggak perlu susah-susah nyari. Nih mangsanya udah nyamperin!” teriak salah seorang dari mereka
menghampiriku. Walaupun mereka berjalan sempoyongan, tapi tetap saja aku tidak
bisa lari dari mereka. Aku terlalu takut untuk kabur.
“Mau
kemana nona manis?”
“Sendiri aja
nih, mau kita temenin nggak?”
timpal yang lain berusaha mencolek daguku. Aku langsung menepisnya dengan
sebelah tanganku yang kosong.
“Tolong
jangan ganggu saya.” kataku tegas walau terdengar hampir menangis. Tawa mereka
langsung meledak, seolah ketakutanku adalah lelucon yang sangat menarik untuk
mereka tonton.
“Tapi kamu
sudah memasuki daerah kekuasaan kami. Itu artinya kamu telah menjadi milik
kami. Sudahlah, jangan malu-malu. Kita nikmati saja malam yang dingin ini.” katanya berusaha menarik tubuhku
dengan paksa.
“TOLONGGGGGGGG..........!” Sekuat tenaga aku berteriak,
meskipun aku tahu rasanya percuma. Tempat ini terlalu sepi, tidak ada satu
orang pun yang mau melintasi daerah ini, kecuali aku tentunya.
“Diam,
kalau tidak mau disakiti!”
ancam salah satu dari mereka dengan mata melotot. Aku tidak memedulikan
ancamannya. Aku tetap saja berteriak sekencang mungkin.
“LEPASKAN
SAYAAAAAA....!” Aku berusaha
berontak hingga payung yang kubawa pun terlepas dan jatuh dibawah jalanan
beraspal. Ku pejamkan mata kuat-kuat menahan tangisanku agar tidak tumpah.
Sejurus kemudian terdengar bunyi keras seperti pukulan
tangan seseorang yang mendarat tepat di bagian wajah. Serta-merta aku membuka
mata dan mendapati sosok tegapmu yang berdiri didepanku, kau berusaha
melindungiku.
“Ayo cepat
hubungin polisi,” katamu
seraya menyerahkan handphone-mu ke tanganku.
Segera ku lakukan perintahmu itu meski dalam keadaan kalut.
Setelah itu aku hanya diam bergeming, menyaksikan
pertarungan sengit antara kau dengan para preman tersebut. Aku tidak tahu harus
melakukan apa, aku hanya bisa terisak dalam diam.
Pun sesekali aku menjerit ketika melihat kau terkena pukulan
dari preman-preman itu. Tiga lawan satu, tentu bukanlah sebuah pertarungan yang
ideal. Not balanced.
Diam-diam aku terkesima melihatmu. Kau terlihat seperti
seorang ksatria malam ini. Walaupun bercak merah sudah menghias diujung
bibirmu, kau tetap saja bersikeras melindungiku. Seperti seorang Rama yang rela
mati demi Shinta-nya.
Selang beberapa lama kemudian, dari kejauhan terdengar bunyi
sirene mobil polisi. Langsung saja para preman tersebut mengambil langkah
seribu untuk kabur dari kepungan aparat keamanan. Namun, untungnya pihak
kepolisian berhasil membekuk ketiga preman itu sebelum mereka berhasil
meloloskan diri.
Ditengah rintiknya hujan yang semakin deras kau
menghampiriku. Mendekatiku yang masih berdiri mematung dengan tangis yang tak
kunjung reda. Aku masih shock.
“Kamu nggak
apa-apa kan? Ada yang luka?”
tanyamu khawatir.
“Aku
takut,” jawabku dengan wajah
tertunduk dalam-dalam.
“Tenang,
sudah ada aku disini.” Kau
mengangkat daguku dengan jari telunjukmu. Aku mendongak, menatapmu tepat
dikedua manik matamu yang tajam bak mata elang, hingga tertumbuk disana selama
beberapa detik. Ku telusuri bola matamu itu lebih jauh guna mencari sebuah
kepercayaan.
Lalu, dibawah rinai hujan kau merengkuh tubuhku masuk ke
dalam dekapanmu.
“Sudah ya,
jangan menangis.” katamu
mengusap lembut punggungku. Seketika itu juga aku merasa tenang. Perasaan takut
yang tadinya menguasai hatiku perlahan-lahan sirna begitu saja. Ini aneh! Kau
tahu? Padahal aku sama sekali tidak mengenalmu sebelumnya. Aku baru tahu
setelah kau memberitahu aku siapa namamu.
“Jadi,
kamu Meiga yang kiper di klub sepak bola kampus kita itu?!” seruku tak menyangka. Aku memang sering
mendengar nama Meiga disebut-sebut oleh teman-teman di kampus, tapi aku tidak pernah
tahu yang mana orangnya. “Aduh,
makasih banget yah. Kalau nggak ada kamu, aku nggak bisa ngebayangin apa yang
bakal dilakukan para preman-preman itu ke aku.”
“Yeap!
Lagian kamu ngapain lewat situ sih? Udah tahu rawan juga.”
“Aku
terpaksa. Tinta printer-ku habis, dan nggak ada kios fotocopy terdekat yang
masih buka selain disana. Mana tugasnya harus di kumpul besok lagi!”
“Oh, gitu.
Kebetulan tinta printer-ku masih ada tuh. Pake' punyaku aja dulu, gimana? Entar
aku anterin ke rumah kamu deh! Kebetulan kost-an aku juga deket-deket sini aja,
kok.”
“Oh ya?
Boleh sih kalau nggak ngerepotin.”
“Nggak
ngerepotin kok eungggg~”
“Meiysa.” sahutku memperkenalkan namaku
untuk yang pertama kalinya didepanmu.
^^^
“Begitulah,
seandainya pelukan itu nggak ada mungkin aku nggak akan jatuh cinta dengan
Meiga. Meiga itu penyelamat aku, Go. Berada didekat dia selalu buat aku nyaman
dan ngerasa terlindungin.”
Kuakhiri ceritaku dengan senyum yang mengembang. Namun, senyum itu
perlahan-lahan memudar ketika Diego menyahut, “Dan sekarang sang penyelamat itu pergi ninggalin kamu tanpa ada
kabar sedikitpun. Kalau udah kayak gini, apa kamu masih berharap sama dia?”
Hah! Aku membuang muka seraya menghembuskan napas dengan
kasar. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling sering aku dengar. Bukan
hanya bosan, tetapi aku juga muak!
Apa salah kalau aku masih berharap denganmu? Apa salah kalau
aku mencoba untuk setia walau dalam kesendirianku? Ini hidupku. Ini hatiku.
Kalau aku boleh memilih tentu aku akan meninggalkanmu untuk cinta yang lain.
Namun, urusan hati tak ada yang bisa mencampurinya kan?
“Aku
percaya janji itu akan ditepatinya suatu hari nanti. Entah tahun ini, tahun
depan, tahun depannya lagi, atau kapanpun itu aku akan tetap menunggu Meiga
disini.” jawabku setelah
bungkam beberapa saat.
“Apa kamu
yakin Meiga bakal kembali?”
tanyanya lagi menohok tepat dihatiku.
“Antara yakin
dan nggak yakin, sih. Hehe,”
ucapku terkekeh hambar. “Sepanjang
hidupku ini adalah kenyataan tersulit yang harus aku hadapi.”
Diego diam, dengan sabar ia menantikan aku yang kembali
bercerita. Berbagi kisah agar ia mengerti betapa hati ini tak mampu berpaling
lagi walau untuk sesosok arjuna yang lebih indah sekalipun.
“Beberapa
hari yang lalu, Meiga mengajakku ke sini. Dia sudah memberitahuku tentang
beasiswa bola-nya di Inggris, dan waktu itu dia meminta persetujuanku. Awalnya
aku ragu untuk menyetujui kepergiannya itu, tapi aku berpikir lagi sampai
berkali-kali. Yah, aku rasa egois banget kalau aku sampai mengekang
kesukaannya, hobinya dia. Sementara, selama ini dia selalu menuruti kemauanku.
Dia berusaha mengerti hobiku meski hobi kita bertolak-belakang sekalipun.”
“Ketika
aku merestui kepergiannya, dia tersenyum manis. Senyuman paling manis diantara
senyuman manisnya yang pernah aku lihat. Senyum yang sebelumnya nggak pernah
aku duga sebagai senyum perpisahan darinya untuk aku.”
Ku pandangi ribuan bintang yang bertabur diatas langit sana
dengan tatapan kosong. Hampa, tak bermakna. Lalu, aku merasa tenggorokanku
tercekat, aku pun menarik napas dalam-dalam, “Dan kamu tahu apa yang terjadi? Besoknya, tahu-tahu dia sudah pergi
ninggalin aku, Go. Kost-annya kosong, nomer handphone-nya nggak aktif. Dia,
dia...... Ah,” Tiba-tiba
ucapanku terhenti. Kurasakan ujung mataku yang mulai basah. Ah, aku benci
saat-saat seperti ini.
Saat dimana kenangan diwaktu terakhir bersamamu kembali
berkelebat, melayang-layang di memori ingatanku hingga akhirnya memaksaku untuk
meneteskan bulir-bulir air mata.
Tak ada cara lain. Ku pejamkan kedua kelopak mataku sembari
menggigit kuat-kuat bibir bagian bawah agar pertahananku tidak jebol. Ku coba
untuk tegar, walau rasanya ini sulit. Sangat sulit. Juliet mana yang tegar jika
sang Romeo pergi tanpa ada memberikan kabar?
“Well,
nangis aja yang puas, kalau itu emang bisa ngebuat kamu tenang. Aku bisa
menemanimu disini.” saran
Diego merentangkan kedua tangannya. Seolah bahunya selalu siap untuk dijadikan
senderan, dan dadanya yang bidang selalu mampu untuk menopang kepalaku kapanpun
yang kumau.
Aku menggeleng lemah seraya menyusut lelehan air mata yang
syukurnya tidak merembes dengan deras malam ini. “Thanks, Go. Tapi, sayangnya sekarang aku
lagi pengen sendiri. Kalau aku minta kamu pulang lebih dulu, boleh nggak? Tinggalin
aku sendiri aja disini.”
“Trus,
kamu pulangnya gimana? Kita ke sini kan naik mobil aku,”
“It's
easy, brad. Aku bisa naik taksi, kok. Please...........” ucapku dengan nada memohon.
Diego mengendikkan pundaknya yang itu artinya terserahku
saja. Dia benar-benar menepati janjinya yang tidak akan memaksaku lagi. Lalu,
setelah memastikan aku baik-baik saja dan tidak menangis lagi, Diego berpaling
meninggalkanku. Sejurus kemudian, sosoknya pun telah menghilang ditelan bukit.
Sepeninggalan Diego, aku kembali mendudukkan tubuhku di
bangku panjang dengan pandangan menengadah lurus ke atas langit.
Kesunyian yang kurasakan dibukit Love Is M kini,
menenggelamkanku dalam syair kesendirian.
Kesendirian
ini menyakitkan,
Kesendirian
ini meresahkan,
Kesendirian
ini sungguh tak nyaman.
Tapi,
inilah kesendirian.
Kesendirian
yang tak pernah ku duga akan terjadinya,
Kesendirian
yang tak pernah ku tahu kapan akhirnya,
Kesendirian
yang tak pernah terpikirkan untuk mencari penggantinya, karena dalam
kesendirianku ini aku masih setia untuk bertahan.
^The End^
In reading, likes, and comment on this story, for me its a
reward guys ^___^
NB : Backsound in story = Rahasia Hati by Element.
With Imagination~
^Minah Syalalabibeh^
Tanah Grogot, 11 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar