_Piece Love Story (A
Betrayal)_
Author : Minah
Syalalabibeh
Main Cast : Mario
Stevano, Alyssa Drake, Ashilla
Genre : Romance, Sad
story.
***
Teringat akan masa
lalu yang kita lewati..
Terasa indah,
sejuk meresap didalam sanubari..
Walau duka sempat
singgah..
Hadapi bersama,
bahagia selalu dihatiku..
..........
`PRANGGGGG....!`
Bunyi guci antik yang dihempaskan keras kebawah lantai,
membuat gadis berwajah tirus itu refleks mengangkat bahunya keatas. Matanya
terpejam erat tak mau melihat `perang kecil` yang lagi-lagi dipicu karena
kehadirannya tersebut.
“Sudah
berapa kali Mom harus peringatkan kepadamu? JANGAN MEMBAWA GADIS KAMPUNG ITU
KERUMAH! Kenapa kau selalu saja membangkang hah?! Kau tahu? Dia TAK PANTAS
hadir dipesta ini!” gertak
seorang wanita paruh baya kepada anak lelakinya yang sudah beranjak remaja.
Tangannya mengepal, seolah menggenggam amarah yang luar biasa dahsyat kepada
kekasih anaknya yang disebut “gadis
kampung” tadi. Bagaimana tidak?
Sudah berulang kali wanita itu memperingatkan anaknya agar tidak membawa
kekasihnya itu kerumah, tetapi sang putra seakan menuli. Malah terkesan
menantang!
Dan ini adalah untuk yang pertama kalinya wanita tersebut
membentak anaknya didepan puluhan pasang mata yang hadir dipesta itu, terlampau
geram!
Dihadapannya sang anak pun tersenyum miring.
Kehabisannya sudah habis tatkala mendengar cacian Ibunya
yang lagi-lagi harus mengatakan “gadis
kampung” kepada gadis yang ia
cintai.
Tak adakah kata-kata yang lebih indah daripada itu?
“Ini
pestaku! Mom tidak berhak untuk mengatur siapa-siapa saja yang sepatutnya hadir
diacara ini. Dan dia,” pemuda
itu terdiam sejenak. Lalu, menarik napas pendek sambil menggenggam hangat
tangan gadisnya, “Adalah
tamu special yang aku undang.” lanjutnya
mantap.
Sepasang mata milik Mrs.
Amanda -- si wanita itu-- membulat kaget.
Tak percaya atas apa yang sudah anaknya ucapkan barusan.
Apakah itu sama maknanya dengan ; gadis kampung tersebut lebih berarti dibandingkan dirinya?
“Kau?!
Kenapa kau lebih membela gadis itu daripada mendengarkan ucapan Ibumu sendiri
hah?! Kau mulai berani yah sekarang! Apa sih kelebihannya gadis kampung ini,
hingga kau sampai tergila-gila dengannya?”
Dalam sekejap Mrs. Amanda mengalihkan pandangannya ke wajah
gadis itu.
Mata bulat, hidung mancung, dagu lancip, serta pipi tirus
adalah bagian wajah dari wanita remaja tersebut, yang dibungkus dengan rambut
panjang berwarna cokelat dan agak bergelombang dibagian bawahnya. Manis, jika
dipandang dari wajah!
Tetapi, jika dilihat dari caranya berpakaian, gadis itu tak
ubahnya dengan anak kampung yang baru saja masuk kota. Semua pakaian yang
dikenakannya --sebenarnya-- sangat terlihat sederhana, namun terkesan
serampangan dimata Mrs. Amanda. Disaat semua gadis remaja seumurannya memakai hot pants dan tank top ketat, gadis itu malah mengenakan rok selutut dengan t-shirt ataupun kemeja yang agak
kedodoran. Ditambah lagi, tak ada satupun aksesoris berharga yang menghias
ditubuhnya. Tak ada bedak, tak ada lipgloss,
tak ada eye shadow, tak ada maskara,
dan tak ada blush on. Yah, wajahnya
polos tanpa make-up!
Well, Mrs. Amanda
rasa “kampungan” adalah julukan yang pas
untuknya!
Mrs. Amanda tersenyum mengejek. Lalu, dengan nada yang
angkuh ia pun berujar.
“Apa
istimewanya dirimu hingga Stevano begitu
terhipnotis seperti ini? KAU APAKAN ANAKKU HAH?!!”
bentaknya dengan nada yang tinggi diujung kalimat.
Membuat seluruh pasang mata yang ada diruangan itu menatap
fokus pada dirinya, si sumber keributan.
`GLEKKK...!` gadis itupun menelan ludah ketika melihat wajah
garang Mrs. Amanda yang berada tepat dihadapannya. Seperti hendak menelan
dirinya hidup-hidup, sangat terlihat menakutkan!
Belum sempat ia menjawab barang satu katapun, Mrs. Amanda
malah kembali menyahut, “Hoh! Aku
curiga anakku sudah terkena guna-guna, peletmu yang murahan itu. Dasar anak
kampung selalu saja menggunakan sihir!”
tudingnya tajam.
`BRUGHHHHH....!`
Dalam sekali dorongan saja, tubuh kurus gadis itu langsung
jatuh terjerembap diatas lantai keramik yang mengkilat. Dan akibat menopang
tubuhnya agar tidak 100 % terjatuh, telapak tangan kanannya pun harus terluka.
Terkena serpihan guci yang Mrs. Amanda pecahkan tadi.
“Mom?!
Kenapa Mom lakukan itu padanya?! Mom sungguh tak punya hati!”
Perlahan-lahan anaknya yang dipanggil Stevano itu membantu
gadisnya berdiri.
Dipandanginya sang Ibu dengan tatapan yang nanar.
Okey, kalau hanya sekedar mengejek atau membentak itu tak
masalah! Tetapi kalau sudah mendorong apalagi sampai terluka seperti ini, tentu
akan menjadi masalah yang besar buatnya.
“Sweety, kau tidak apa-apa kan?” tanya Stevano, perhatian.
Gadis itu mengangguk lemah, dengan kepala yang masih
tertunduk dalam-dalam, tak berani mendongak.
“Kalau
begitu ayo kita pergi.” ajak
pemuda itu menggamit lengan sang gadis seraya membawanya keluar dari sana.
“STEVANO! WHERE DO YOU WANT?!” teriak
Mrs. Amanda berusaha menghentikan langkah anaknya.
Namun sayangnya, Stevano sama sekali tak menghiraukan seruan
Mrs. Amanda. Sungguh! Birthday party
yang seharusnya berjalan dengan penuh kebahagiaan, begitu terasa suram malam
ini.
Tak ada tawa, tak ada canda, tak ada keceriaan seperti
dipesta-pesta ulang tahun pada umumnya. Sangat menyedihkan.
..........
Namanya adalah Alyssa
Drake, seorang gadis yatim piatu
asal Bald Slope yang bersekolah di Bignius High School melalui jalur beasiswa.
Tak ada cara lain yang bisa ia lakukan untuk melanjutkan
pendidikannya, selain mengikuti serangkaian test yang panjang itu.
Dan beruntung dia adalah 1 dari 5 orang pelajar asal Bald
Slope yang terpilih untuk mengenyam pendidikan dibangku sekolah favorite asal
Kanada tersebut.
Dulu, ia selalu merasa aneh hidup di Kota Kanada. Tak ada
satupun orang yang ia kenal disana. Terasa asing!
Berbekal uang US 500$ yang diberikan oleh sang Nenek,
pergilah ia mencari motel yang letaknya dekat dengan BHS, untuk tempat
tinggalnya selama 3 tahun ia menetap di Kanada.
Dan guna mencukupi segala kebutuhannya, gadis yang biasa
dipanggil Alyssa itu pun bekerja paruh waktu di café milik Stevano. Siswa BHS yang juga seangkatan dengannya.
Alyssa tak pernah menyangka jika pemuda yang memutuskan
untuk menjadi teman sebangkunya itu menaruh hati terhadapnya.
Well, Alyssa akui,
sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di BHS Stevano memang suka
memperhatikannya.
Mengamati gerak-geriknya dengan seksama, hingga terkadang
membuat dirinya risih sendiri.
Namun pada saat itu Alyssa pikir, Stevano memandangnya
seperti itu dengan satu maksud yang sama layaknya murid BHS lainnya, yakni
mengejek penampilan Alyssa yang bisa dibilang “kampungan” bagi remaja yang hidup di
kota.
Tapi ternyata dugaannya salah! Stevano justru mengagumi cara
Alyssa berpakaian. Rapi dan simple!
Tidak seperti cara berpakaian siswi BHS lainnya yang terkesan seperti “kekurangan bahan”.
Disaat umurnya menginjak 15 tahun, Alyssa hanya menganggap
Stevano sebagai sahabat.
Walaupun ia mengaku nyaman setiap berada didekat pemuda
tampan itu, tapi tetap saja ia belum siap menyandang status berpacaran.
Lalu, ketika memasuki usia 17 tahun barulah ia menerima
Stevano menjadi kekasihnya. Teman dekat yang selalu memberikan “surprise”
dihidupnya. Yah, teman untuk berbagi suka dan juga duka.
Alyssa mengaku, semenjak menjalin hubungan dengan Stevano,
hidupnya menjadi lebih berwarna.
Kertas yang tadinya hanya dicoret dengan tinta berwarna
hitam, putih, dan abu-abu kini sudah bercampur dengan warna merah, kuning,
hijau, dan juga biru.
Indah, seindah pelangi!
Namun, yang namanya hidup, batu penghalang itu pasti ada.
Ibarat kata jalanan diperkampungan, tak selalu mulus seperti
dijalan tol! Ada saja kerikil-kerikil kecil atau malah lubang besar yang dapat
menghambat perjalanan seseorang.
Sama seperti dengan hubungan Stevano dan juga Alyssa. Restu
Ibunda Stevano yang belum mereka kantongi, membuat Stevano dan Alyssa hampir
selalu dirundung duka.
Bentakan, cacian, atau makian itu sudah menjadi makanan
sehari-hari bagi Alyssa.
Jika ditanya sakit hati kah ia? Jawabannya sudah pasti
TENTU!
Karena bagaimanapun Alyssa hanyalah manusia biasa yang
hatinya bisa saja terluka jika terus-terusan disakiti seperti itu.
Dan andaikan sang kekasih tidak menyemangatinya, pasti
Alyssa lebih memilih untuk mundur! Pergi dan mengakhiri semuanya.
Situasi seperti itu terus berlangsung sampai didetik ini.
Diwaktu Alyssa menghadiri acara ulang tahun kekasihnya.
Awalnya ia ragu, takut diusir seperti yang sudah-sudah. Tapi karena Stevano
yang memaksanya, ya apa boleh buat?
“Sudah aku
bilang Ibumu pasti akan marah besar jika kau mengundangku. Ck! Seandainya kau
tidak memaksa, tentu ini tidak akan pernah terjadi.”
Alyssa menghentikan langkahnya dan ikut terduduk dibangku
panjang yang Stevano duduki.
Pandangannya menyisiri setiap sudut kawasan, tempat dimana
Stevano membawanya kini.
Oh, ternyata taman kota yang menjadi tujuan kekasihnya itu.
Tidak buruk!
“Maaf, aku tidak bermaksud untuk
membuatmu terluka seperti ini.” sesal Stevano dengan wajah menunduk.
Alyssa terkekeh, lalu diangkatnya dagu sang pemuda dengan
jari telunjuknya.
“Never
mind, aku baik-baik
saja kok! Aku hanya tidak ingin hubunganmu dengan Tante Amanda rusak karena
kehadiranku.” tuturnya pelan. Sedikit tersenyum,
lalu kembali menyambung, “Lagipula apa yang Ibumu katakan tadi
benar Stev! Aku hanyalah gadis kampung yang tidak pantas hadir dipesta ulang
tahunmu. Kau dan aku berbeda! Seharusnya kita akhiri saja hubungan ini dari
dulu.”
Alyssa
tersenyum getir. Tatapannya terpaku pada keindahan langit malam yang terbentang
dengan luas.
Bertabur
gugusan bintang lengkap dengan bulan sabitnya. Tetapi, menatap kecantikan alam
raya itu sama sekali tidak membuat hati Alyssa tenang.
Hampa itu
masih ada. Singgah dan mengisi hampir separuh bagian dipalung hatinya.
Dalam hati
Alyssa bergumam, mengapa zaman sekarang masih ada yang namanya cinta terlarang?
Cinta yang dilarang oleh orang tua dan juga cinta yang terhalang derajat atau
yang lebih dikenal dengan status sosial. Apakah cinta hanya milik orang-orang
yang ber-uang saja? Oh sungguh tak adilnya dunia ini!
Stevano
mendesah berat seraya menggenggam lembut tangan Alyssa. Seolah memberikan
kekuatan untuk gadisnya agar bertahan barang sedikit lagi saja.
Hubungan
mereka sudah terjalin selama 2 tahun! 24 bulan atau 96 minggu lamanya.
Sayangkan jika harus dilepaskan begitu saja?
“Jangan berkata seperti itu Alyssa.
Aku mohon bertahanlah untuk aku, demi cinta kita berdua. Yakinlah semua akan
baik-baik saja, toh kita akan hadapi cobaan ini bersama-sama kan?” bujuknya dengan tatapan sayu, sangat memohon.
Dan seperti
yang sudah-sudah, Alyssa akan tersenyum manis lalu mengangguk. Mengiyakan
keginginan Stevano.
Tak ada
alasan untuk Alyssa menolak! Karena menurutnya, bujukan pemuda itu bagaikan
cambuk yang menyemangati dirinya untuk terus bersabar, hingga tiba masanya
kebahagiaan itu datang dan berhasil ia raih.
`TESSS....!`
Setetes
darah segar mengalir dari telapak tangan Alyssa dan mengotori celana jeans yang
kekasihnya kenakan.
Haduh,
rupanya gadis itu lupa membersihkan lukanya!
Semula
Alyssa ingin menyembunyikan luka itu dari Stevano, tapi keburu pemuda itu
melihatnya.
“Tanganmu berdarah?!” tanya Stevano panik.
Alyssa
mengangguk ragu, “Hanya luka kecil kok.” jawabnya santai.
Honestly, lukanya memang kecil, tapi perihnya
begitu terasa!
Berbohong
sedikit tak apa-apa kan? Ia hanya tidak ingin Stevano kembali menyimpan rasa
marah kepada Ibunya.
Sudah cukup
tak perlu ditambah-tambah lagi.
“Mom benar-benar keterlaluan!”
Alyssa
menggigit kecil bibir bawahnya ketika mendengar desis kecewa yang keluar dari
mulut Stevano. Pertanda buruk! Ia yakin sepulang dari sini, semua tidak akan
baik-baik saja.
“Biar aku obati yah?”
Stevano
mengagetkan Alyssa dengan menarik telapak tangan gadisnya.
Secepatnya
Alyssa menolak, “Tidak perlu repot-repot Stev! Aku
bisa mengobatinya di motel nanti.”
“Jangan, itu terlalu lama! Sekarang
saja yah? Aku takut kau infeksi.” cemas sang pemuda sembari
mengeluarkan sehelai sapu tangan yang terselip disaku bajunya.
Alyssa hanya
diam tanpa kata.
Percuma! Mau
menolak dengan alasan apapun juga, toh Stevano pasti akan tetap memaksanya.
Dibawah
naungan rembulan malam, Stevano dengan begitu telatennya mengobati luka Sang
kekasih.
Membersihkan
bekas darahnya dengan sebotol air mineral yang ia beli di stand terdekat, lalu
setelah bersih ia pun langsung membalut luka Alyssa dengan memakai sapu tangan
tadi.
Semua ia
kerjakan dengan penuh hati-hati dan juga perasaan.
“Thank
you my sweetheart. Kau begitu baik!” puji Alyssa tulus.
Stevano
hanya tertawa kecil sambil mengacak-acak poni yang menutupi dahi gadisnya.
“Sudah seharusnya Alyssa! Kau kan
kekasihku, permata cantik yang wajib aku jaga.”
godanya hingga membuat pipi Alyssa bersemu merah muda.
Semburat
malu-malu itu semakin terlihat jelas akibat terpaan cahaya keemasan yang
dipancarkan oleh sang dwi malam.
Begitu
berkilau! Bahkan lebih berkilau dari emas batangan yang dijual ditoko-toko
perhiasaan.
“Awww~ kau selalu saja menggodaku!”
Alyssa
tersenyum manja.
Kini, ia
boleh saja menjadi permata dihati Stevano.
Tapi nanti?
Siapa yang tahu jika tiba-tiba berlian datang lalu berhasil menggeser posisi
permata dihati pemuda itu? Karena pada hakikatnya, derajat berlian tentu lebih
tinggi dibandingkan permata. Ya! Hanya waktu yang bisa membuktikan semuanya.
Membuktikan bahwa cinta juga bisa berpaling dengan mudahnya.
***
Kini hilanglah
sudah kisah tinggallah kenangan..
Saat dia datang..
Menghampirimu
dengan segala janji..
Berikan sudah
semua atas nama cinta..
Hapuskan cerita
kita..
..........
Pagi yang dingin di Kota Kanada.
Burung-burung berkicau dan daun-daun berguguran seolah
mengucapkan “selamat datang” kepada musim semi.
Beberapa
murid BHS tampak berlalu-lalang dikoridor kelas masing-masing. Ada yang
sendiri, berdua, atau bahkan berkelompok.
Kebanyakan
dari mereka terlihat asyik bersenda-gurau sambil menunggu lonceng dibunyikan.
Berbeda dari
teman-temannya yang lain, Alyssa lebih memilih untuk berdiam diri dikelas.
Memusatkan pikirannya pada sebuah buku paket kimia yang tak terhitung berapa
banyak jumlah halamannya.
“Alyssa! Help me please~”
Gadis itu
mendongak tatkala mendengar suara laki-laki yang sangat khas ditelinganya,
menyerukan namanya dengan nada yang memohon.
“Ya, ada apa Stev?”
Alyssa
menutup buku paket kimianya, lalu menatap kekasihnya yang tampak gelisah entah
karena apa?
“Semalam aku ketiduran dan aku tidak
sempat mengerjakan PR matematika! Haduh bagaimana ini? Bisa-bisa aku dihukum
oleh bapak berkepala botak itu Lyss. Tolong bantu aku! Aku mohon?”
Stevano
menjelaskannya dengan napas yang terengah-engah. Raut cemas diwajahnya pun
terlihat kentara sekali, membuat Alyssa tak tega untuk mengacuhkannya.
“Hah! Kau ini kebiasaan sekali.
Giliran menonton bola saja sempat! Tapi kenapa setiap mengerjakan PR tidak
pernah sempat? Kau selalu saja tak punya waktu dan berlagak seakan-akan kau
adalah orang TERSIBUK didunia ini.” cerocos Alyssa mengomeli kekasihnya.
Eunggg~ menyindir lebih tepatnya!
Sambil
melirik wristwatch yang menghias
dipergelangan tangan kirinya, gadis berbandana pink itu berujar dengan lembut, “Masih ada waktu kurang dari 20 menit lagi.”
Stevano
mendelik, jadi?????
“Baiklah aku akan membantumu!” ucap Alyssa seraya mengeluarkan buku paket matematika dari dalam
tas selempangnya yang tersimpan rapi dibawah kolong meja.
Sepasang
mata elang milik Stevano langsung berbinar-binar ketika mendengarnya. Ia merasa
tak pernah salah dalam memilih kekasih! Bukankah kekasih yang baik tidak hanya
hadir dikala kita senang saja? Menurutnya Alyssa adalah contoh kekasih yang
baik.
“Sebenarnya tidak ada yang sulit jika
kau mau belajar. Hanya saja kau yang terlampau malas! Terbiasa mengibarkan
bendara putih sebelum berperang. Padahalkan give
up before trying itu tidak bagus Stev.”
Stevano
menepuk jidatnya dengan pelan, “My
God! Alyssa yang
cantik kalau kau ceramah terus kapan kau mengajariku? Yang ada Mr. Botak itu
akan lebih dulu masuk kedalam kelas sebelum ceramah pagimu itu berakhir. Oh sweety aku berjanji setelah PR ku
selesai aku akan mendengarkan ceramahmu yang panjangnya melebihi tembok cinta
itu tanpa mengeluh barang satu katapun. I
promise! Percayalah.” cerocosnya tanpa jeda.
Alyssa
terkikik geli. Entah apa yang lucu? Yang jelas setiap pemuda itu bersungut
selalu berhasil menggelitik perutnya hingga memaksanya untuk tertawa dengan lepas.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud
menceramahimu! Aku hanya ingin kau berubah Stev.”
“Fine, aku akan berubah tapi tidak
sekarang.”
“Hoh! Kau ini benar-benar-----”
“Tampan! Iya kan? Itu sudah menjadi
rahasia umum karena semua orang sudah mengetahuinya sejak dulu.
“Steeeeeeev~”
“Stev sudah mati! Sekarang ayo bantu
aku mengerjakan PR!”
“Oh
my god, kau sangat
menyebalkan!”
“Dan kau sangat menggemaskan!”
Alyssa melengos sebal. Dalam hal adu mulut Stevano memang 1
tingkat berada diatasnya, dan itu mengesalkan! Tak ingin membuang waktu lebih
lama lagi, gadis itu langsung menarik buku tugas milik Stevano.
Menuliskan berbagai macam rumus matematika disana, lalu
menyuruh sang pemuda untuk menghitungnya seorang diri.
“Kerjakan sebisamu dan akan aku
periksa setelahnya.” perintah Alyssa menyerahkan buku
tugas matematika tadi ke tangan Stevano.
Stevano mengangguk malas. Cukup lama ia berjibaku dengan
buku tugasnya, entah apa yang sebenarnya ia kerjakan?
Bolpoin berwarna emas yang ada ditangannya menari dengan
indah di atas kertas yang awalnya putih bersih tanpa noda.
Raut wajah Stevano kini tampak serius tatkala bolpoinnya
naik-turun bergerak keatas dan kebawah. Air muka ter-serius yang pernah Alyssa
lihat dari seorang Stevano. Dan jika Alyssa boleh menebak pemuda itu terlihat
seperti merangkai kata, bukan menghitung angka.
Tak kuasa menahan rasa heran dibenaknya, Alyssa pun
bertanya.
“Apa yang kau lakukan?”
Stevano menengok kesamping, memandang Alyssa dengan
senyumannya yang khas. “Nanti kau juga akan tahu.” katanya sok misterius. Alyssa hanya menaikkan sebelah alisnya,
lalu ia pun kembali memunggungi Stevano yang masih sibuk dengan buku tugas
miliknya tersebut.
Tak lama setelahnya, apa yang dikerjakan oleh pemuda itu pun
selesai. Stevano mencolek punggung Alyssa seraya menyerahkan sebentuk buku
bersampul hijau daun ketangan gadis itu.
“A million times?” Alyssa mengeja judul besar yang tertera disudut kanan paling
atas. “Apa-apaan ini?” Gadis itu menatap tidak percaya.
Kedua matanya melebar seketika. Dibacanya berulang-ulang kali setiap
rentetan kalimat yang tertoreh dibuku tugas matematika kepunyaan sang kekasih
yang kini berada digenggamannya tersebut.
•••••
<3 A Million Times <3
A million times I have told you I love you...
A million times I will tell you again...
I take you in my arms and hold you tight
Because I know this is right...
I love you more than there are stars in the sky...
I love you so much I hate to say goodbye...
You are the one, the one for me...
I will always be there like I said I would be...
There are bridges that we have to conquer...
I know you worry, but we will not falter...
Please be mine now and forever...
I will be yours for ever and ever...
I wrote this poem just for you...
Because I know our love is true...
I have told you a million times again...
I will love you till the end...
With Love~
=MaStev=
•••••
Alyssa menatap wajah kekasihnya dengan murka.
Bukankah ia menyuruh Stevano untuk mengerjakan tugas
matematikanya? Tetapi pemuda itu malah membuang-buang waktu dengan menulis
puisi berjenis rayuan yang tak penting seperti ini. Hah! Kekasihnya itu
benar-benar membuatnya emosi saja!
Sembari
menyerahkan buku tulisnya ketangan Stevano, Alyssa berseru dengan galak. “Hi boy, what are you
doing? Aku menyuruhmu
untuk menghitung bukannya merangkai kata-kata gombal seperti ini. Kau ini
benar-benar-------”
Alyssa berhenti mengoceh dan mengatup mulutnya rapat-rapat
ketika sebuah bibir menempel dipipi kanannya. Milik siapa lagi kalau bukan
milik kekasihnya?
Untuk waktu yang cukup lama Alyssa dapat merasakan hangatnya
napas Stevano yang berhembus dengan lembut dikulitnya hingga merasuk kedalam
pori-pori diwajahnya.
Sementara itu masih dengan posisi bibir yang menempel dipipi
Alyssa, Stevano pun bergumam pelan. “I love you so much and I hate to say goodbye
sweety.”
Bulu kuduk
Alyssa meremang tiba-tiba.
Desahan
napas Stevano yang menyentuh dikulitnya membuat jantung Alyssa berdetak
kencang, sekencang tornado.
Dan bagaikan
dihujani ribuan bara api, wajah gadis itu tiba-tiba saja merah memanas. Malu,
perasaan itulah yang kini menguasai hati kecilnya.
Sungguh Alyssa tidak dapat menyembunyikan sepasang pipi
tirus miliknya yang tampak blushing
hanya karena kecupan dipipi saja.
Setelah Stevano melepaskan ciumannya barulah gadis itu
mengatur kembali hatinya yang sempat jungkir-balik tak karuan.
Sebisa mungkin ia bersikap biasa saja dan seolah tidak
terjadi apa-apa.
“Waktumu semakin sempit Stev! Ayo
cepat kerjakan PRmu!” suruh
gadis itu lagi. Sengaja untuk menutupi kesaltingannya.
“Tidak perlu buru-buru, toh aku juga
bisa mengerjakan diwaktu istirahat nanti.” jawabnya enteng.
Alyssa
melongo, kurang mengerti.
“Apa kau lupa? Matematika kan
pelajaran yang terakhir. Masih ada banyak waktu untuk aku mengerjakannya sweety. Pasti kau lupa yah? Dasar bodoh!” ejek Stevano menjulurkan lidahnya. Matematika? Istirahat?
Pelajaran terakhir? Maksudnya?
Spontan gadis itu menepuk jidatnya lalu kemudian melotot
kearah Stevano dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada.
“Hoh! Jadi tadi kau membohongiku yah?!”
“Menurutmu?”
“Kau sangat menyebalkan!”
“Dan kau sangat menggemaskan!”
“Steeeeeeev~”
“Stev sudah mati!” sela sang kekasih dengan nada yang santai.
..........
Jam raksasa yang menjadi simbol keagungan di Bignius High
School berdentang 8 kali, dan itu artinya jam pelajaran pertama akan segera
dimulai.
Didalam kelasnya Alyssa terlihat asyik bercanda ria dengan
Stevano sembari menunggu kedatangan guru kimia yang akan mengajar dijam
pertama. Sumpah demi apapun itu, Alyssa sangat membenci mata pelajaran
tersebut! Mata pelajaran yang menurut Alyssa paling membosankan didunia ini.
Dan --masih-- menurutnya, math lessons
more easily than the chemical. Sungguh!
“Selamat pagi anak-anak.”
Sebuah suara
alto yang bersumber dari arah daun pintu, refleks membuat seluruh penghuni di
kelas Alyssa menghentikan kesibukan mereka masing-masing.
Dengan
gerakan spontan murid-murid tersebut memutar kepalanya kearah bunyi suara tadi
berasal. Dan tampaklah Mrs. Josey
yang melangkah masuk ditemani dengan seorang gadis asing dibelakangnya.
Mrs. Josey
adalah wanita berumur 40-an yang menjabat sebagai Ibu kepala sekolah di BHS. Ia
nyaris tidak pernah menjejakkan kaki disetiap kelas masing-masing muridnya,
kecuali jika ada yang hal penting saja.
Dan mungkin
hari ini memang ada suatu hal penting yang ingin ia sampaikan kepada seluruh
penghuni dikelas Alyssa.
Setelah membetulkan letak kacamata minus yang selalu setia
bertengger dipangkal hidungnya, Mrs. Josey pun berdehem pelan.
“Ehm~ anak-anak, perkenalkan ini
adalah teman baru kalian.” Sekilas Mrs. Josey melirik kearah
gadis berkulit cokelat yang ada disebelahnya. Lalu, ia pun kembali menghadap
kedepan. “Namanya Ashilla Lynley-White.
Dia murid pindahan dari London dan Ibu harap kalian bisa berteman baik
dengannya.” terang Mrs. Josey yang disambut dengan senyuman ramah dari
seluruh murid yang berada didalam kelas tersebut.
Murid baru yang bernama Ashilla itu pun ikut tersenyum
sambil sedikit membungkukkan badannya sebagai salam perkenalan.
“Nah, Ashilla, kau bisa menempati
bangku kosong yang terletak didepan Stevano.”
Stevano
mengangkat tangan kanannya guna membantu Ashilla agar mengenali dirinya.
Sementara
Mrs. Josey pamit keluar, gadis berambut panjang sepunggung itu tersenyum kecil,
lalu dengan anggun ia berjalan menuju bangku yang sudah ditentukan oleh Sang
Ibu Kepsek.
Siulan atau
godaan-godaan nakal yang dilontarkan oleh murid laki-laki dikelas tersebut
terus bersahutan ketika Ashilla melenggang santai menuju tempat duduknya.
Maklum,
gadis itu sangat terlihat “waw” dengan
baju seragam ketat dan rok lipit yang pendeknya 10 cm diatas lutut. Benar-benar
membuat para siswa melongo tak terkecuali dengan Stevano.
Alyssa bisa
melihat dengan jelas bagaimana kekasihnya begitu terkagum-kagum memandangi
kemolekan Ashilla.
“Hah.....!” Gadis itu membuang napasnya dengan kasar. Bagaimana tidak?
Semakin Ashilla mendekat kearah mereka maka semakin terpanalah Stevano
dibuatnya.
“Hai, sweety. Perkenalkan my name
is Stevano.”
Stevano
mengulurkan tangannya tepat ketika Ashilla berhenti dibangku kosong yang ada
dihadapannya.
Ashilla
tersenyum tipis sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Stevano.
Mata cokelat
milik mereka saling beradu pandang, dan sepertinya ada kilatan cahaya yang
berbeda pada saat itu.
Kemudian,
seakan dunia berhenti berputar mereka berdua saling terdiam, membisu satu sama
lain dengan posisi yang --masih-- berjabat tangan.
Sepertinya
Stevano amat sangat menikmati detik-detik perkenalannya dengan Ashilla, tapi
tak tahu kah ia jika seseorang tengah tersakiti karena ulahnya?
Yah,
diam-diam Alyssa memperhatikan gerak-gerik kekasihnya itu. Bagaimana cara
Stevano menatap lembut Ashilla, mengembangkan senyum termanisnya, dan menggoda
gadis tersebut dengan gombalan-gombalannya yang khas. Dan itu terlalu
menyakitkan untuk didengar apalagi dilihat!
“Ohya Shill, bagaimana kalau istirahat
nanti aku temani kau ke cafetaria?
Kau belum tahu letak cafetaria disini
kan?” tawar Stevano ramah.
Ashilla
menganggukkan kepalanya tanda setuju. Disatu sisi ia memang belum tahu dimana
letak kantin sekolah tersebut, dan disisi lain ia seperti mempunyai maksud
tersendiri yang entah apa?
Tepat ketika
Ashilla berbalik menghadap kedepan dan meletakkan tasnya diatas meja, Alyssa
pun bergumam pelan.
“Istirahat saja dengannya, kau tidak
perlu mengajakku!”
“Kau marah yah? Atau kau cemburu?”
“Pikirkan saja sendiri! Dasar bodoh!” Gadis itu melengos seraya mengambil beberapa buku dari dalam tas
selempangnya dengan kasar.
Pindah tempat duduk untuk beberapa jam pelajaran ia rasa
bukanlah hal yang buruk.
Seiring dengan berjalannya waktu, Alyssa tidak pernah
menyangka jika firasatnya selama ini akan menjadi kenyataan.
Terhitung 2 minggu sudah Stevano tak pernah meluangkan waktu
untuknya.
Ashilla, si murid baru asal London itu selalu saja
mencari-cari alasan agar bisa selalu bersama dengan Stevano.
Entah itu masalah ekskul, kerja kelompok, atau malah minta
diantarkan keruang lab IPA yang jelas-jelas letaknya bersebelahan dengan kelas
mereka.
Namun, Ashilla masih berusaha untuk sabar. Ia pikir selama
tidak ada bukti jika Stevano telah mengkhianatinya maka semua akan aman-aman
saja.
Tapi siapa sangka kalau ternyata bukti itu diperlihatkan
tepat ketika satu bulan kegelisahan melanda hati Alyssa?
Siang itu, Alyssa tengah bersiap-siap untuk menuju Four
Season Café, tempat dimana ia bekerja paruh waktu demi memenuhi kebutuhannya.
Dengan memakai rok selutut bermotif bunga-bunga kecil
berwarna putih serta t-shirt lengan
pendek dengan warna yang senada, Alyssa pun melangkah keluar dari istana
kecilnya.
Wajah gadis itu begitu terlihat fresh dengan dandanan yang ala kadarnya saja.
Pun senyuman tulus selalu ia persembahkan mana kala
berpapasan dengan para tetangganya yang juga berjalan kaki disepanjang area
Mapple Street.
Sambil memainkan handphone
ditangannya, gadis itu menggerakkan kakinya dengan riang.
Tak ada setetespun peluh yang terlihat mengalir didahinya.
Yah, Alyssa sangat menikmati perjalanannya menuju Four
Season Café. Menurutnya itu bukanlah hal yang melelahkan! Toh sepasang kaki
miliknya juga tidak akan bengkak hanya karena berjalan kaki, karena letak
tempat kerja Alyssa tidak begitu jauh dari motel tempatnya bermukim.
Zevana, teman
seperjuangan Alyssa yang juga bekerja di café
milik Stevano itu, tampak sibuk membersihkan meja café ketika Alyssa mendorong pintu masuk yang terletak tidak jauh
dari tempatnya berdiri kini.
Wanita yang
masih berstatus sebagai mahasiswi hukum disebuah Universitas terkemuka di
Canada City itu menyapa Alyssa dengan senyumannya yang ramah.
“Selamat siang Alyssa, tumben hari ini
kau tidak telat!”
Alyssa terkekeh.
Ia berjalan mendekati meja kasir dan meletakkan tas
pundaknya didekat mesin penghitung.
“Hanya kebetulan.” jawabnya seraya mengikat tali celemek khas FSC yang melingkari
pinggul rampingnya.
“Kebetulan” bukanlah jawaban yang mengada-ngada karena ia sendiri sadar jika
dirinya adalah pegawai ter-NGARET di café
ini.
Zevana hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya berlagak prihatin.
“Hah! Terserah kau sajalah! Mau ngaret
ataupun tidak, toh Bos Stevano tak pernah mempermasalahkannya kan?”
Hati Alyssa
mencelos.
Perkataan
Zevana yang sudah dianggap seperti Kakak kandungnya itu terdengar bagaikan
sebuah sindiran halus ditelinganya.
Dengan
murung Alyssa menjawab, “Haduh Kakak tua jangan berkata
seperti itu!”
“Tidak, aku hanya bercanda.” sahut Zevana mengibaskan tangan kanannya diudara.
Sejurus kemudian ia menyerahkan sebentuk lap meja bermotif
kotak-kotak dengan warna hitam-putih ketangan Alyssa.
“Tolong lanjutkan pekerjaanku yah?
Karena sekarang aku harus membuat sandwich
telur pesanan Mrs. Sivia dan maaf kalau merepotkanmu.”
“Ah tak masalah! dengan senang hati
aku akan membantu Kakak tua.”
Zevana beranjak pergi kearah pantry, sementara Alyssa langsung melanjutkan pekerjaan
bersih-bersihnya.
Kali ini ia tak sendiri karena dibantu dengan beberapa pegawai
FSC lainnya.
Yah, begitulah ritual rutin yang selalu mereka lakukan
sambil menunggu datangnya para pelanggan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 04:00 pm.
Alyssa memutuskan untuk beristirahat sejenak guna
merenggangkan otot-otot persendian dikedua tangannya yang mulai terasa kaku.
Sungguh ia tak pernah merasa secapai ini sebelumnya. Bagaimana tidak?
Gabriel,
satu-satunya pegawai laki-laki di FSC yang bekerja sebagai pencuci piring,
absen datang hari ini.
Ibunya sakit, oleh sebab itu ia meminta izin untuk tidak
masuk kerja.
Dan masalahnya kenapa harus Alyssa yang menggantikan tugas
Gabriel? Ditambah lagi hari ini ia harus membungkus berpuluh-puluh kantong
makanan cepat saji yang dipesan oleh seorang wanita paruh baya sebagai kudapan
disuatu acara perkumpulan. Haduh, membayangkannya saja sudah melelahkan!
“Resiko hidup di Kota orang. Sudah
untung sekolah tidak bayar!”
2 buah kalimat itu sering sekali Alyssa ucapkan jika
fisiknya sudah mulai mengeluh. Ia harap dengan begitu rasa lelah dipundaknya
akan segera hilang dan berganti dengan perasaan syukur.
Sekembalinya dari pantry,
gadis itu langsung menggerakkan kedua kakinya menuju ruang ganti.
Ia berniat untuk mengganti celemeknya dengan celemek yang
baru, karena celemek yang tadi basah terkena air cucian piring.
Aneh. Sesampainya Alyssa didepan pintu ruang ganti,
tiba-tiba saja perasaan gelisah merasuk kedalam hatinya.
Membuat jantungnya berdetak 2 kali lipat lebih kencang dan
tubuhnya pun ikut bergetar dengan hebat.
Tak seperti biasanya, kali ini Alyssa ragu untuk membuka
pintu tersebut. Antara yakin dan tidak yakin. Takut, tapi takut karena apa?
Dan lucunya, meski perasaan gamang itu menyelimutinya, tapi
toh pintu ruang ganti tersebut akhirnya juga terbuka akibat dorongan tangannya
sendiri.
`CKLEKKKK....!`
Ketika pintu terbuka lebar, gadis itu langsung
dipertontonkan dengan adegan yang seharusnya tidak perlu ia lihat.
Sebuah scene yang
sukses menghentikan kerja jantungnya dan menahan disetiap tarikan napasnya.
“Oh
my!” desis Alyssa lirih.
Spontan gadis itu membungkam mulutnya dengan sebelah tangan.
Sementara yang sebelahnya lagi masih setia menempel digagang pintu.
Tubuhnya kaku, seperti ada lem mati yang menempel dikaki dan
ubin yang ia jejakkan hingga membuatnya tak dapat untuk beranjak walau
selangkah.
Apa yang sebenarnya Alyssa lihat???
Seorang perempuan dan laki-laki yang tampak berciuman dengan
mesranya didalam ruang ganti.
Oke, itu bukanlah hal yang menakjubkan! Dan itu juga tidak
akan jadi masalah JIKA BUKAN kekasihnya dan orang tersebut yang melakukannya.
Tapi ini???? Sungguh! Alyssa merasa tersakiti.
Cairan bening sudah berkumpul dan menggenang dipelupuk mata
gadis itu, tapi ia terlalu gengsi untuk menangis.
Baginya hanya perempuan bodoh lah yang rela membuang air
mata demi seorang laki-laki pengkhianat!
1 menit...
2 menit...
3 menit...
Alyssa masih tetap berdiri disana, bergeming ditempat hingga
si pelaku pun sadar akan kehadirannya.
“Alyssa???”
..........
Malam yang sepi dimusim salju.
Seorang gadis berpiyama biru laut terlihat sedang melamun, berdiri
ditepi jendela kamar kecilnya.
Tertegun.
Wajah gadis itu nampak kuyu dengan pandangan yang lurus
menatap kearah gumpalan salju putih yang berhamburan jatuh dari atas langit.
Terjun dengan bebas seperti tak mempunyai beban sama sekali.
Tak ayal gadis itu pun mulai membayangkan bagaimana jika
dirinya yang menjadi bola salju itu? Oh pasti menyenangkan!
Tapi kenyataannya?
Ia justru diposisikan sebagai jalanan beraspal yang
ditimbuni oleh salju-salju tersebut.
Yah, Alyssa merasa terlalu banyak beban yang bersandar
dipundaknya, apalagi semenjak ia melihat kekasihnya yang berselingkuh didepan
mata kepalanya sendiri! Hoh, itu sungguh menyakitkan!
Kemarin, Alyssa sama sekali tidak memberikan Stevano waktu
untuk berbicara menjelaskan semuanya. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu,
karena menurut Alyssa apa yang dilihatnya kemarin sudah mampu menjabarkan
hubungan apa yang sebenarnya terjalin diantara Stevano dan Ashilla akhir-akhir
ini.
Jauh bukan berarti musuh dan dekat bukan berarti tidak ada
apa-apanya kan?
Sambil mendekap hangat tubuhnya, gadis itu mendesah pelan.
Berharap beban dihatinya keluar bersamaan dengan
partikel-partikel udara yang berhembus dari mulutnya.
Salahkah ia???? Salahkah ia jika menganggap cinta Stevano
kepadanya hanyalah cinta sesaat???? Stevano sama sekali tidak sungguh-sungguh
mencintainya, dan seharusnya Alyssa sadar siapa dia dan siapa Stevano? Mereka
berbeda! Dibandingkan dirinya, tentu Mrs. Amanda lebih memilih Ashilla yang
mendampingi anaknya kelak. Jelas, karena gadis itu.......sempurna.
“I love you so much and I hate to say goodbye
sweety.”
Kata-kata
itu kembali menggema ditelinga Alyssa.
Baru
beberapa hari yang lalu Stevano mengucapkannya dengan nada yang menggoda.
Namun, disaat Alyssa melihat Stevano mencium Ashilla, maka terpatahkanlah
semuanya. Pemuda itu seolah menunjukkan bahwa apa yang ia ucapkan kemarin
hanyalah gombalan semata, bukan ungkapan kejujuran dari dalam hatinya.
Bodoh!
Lagi-lagi Alyssa merutuki kebodohannya sendiri. Ia bersikap seakan-akan
dirinyalah yang salah didalam permasalahan ini.
Dan
kemudian, gadis itu tampak menggelengkan kepalanya beberapa kali. Berusaha
keras untuk membuang jauh segala hal yang mengingatkan ia akan kekasihnya. Ya,
karena Alyssa rasa mengingat pemuda yang telah mengkhianatinya itu bukanlah hal
yang penting. Menurutnya, hal itu malah terkesan membuang-buang waktu! Just a wasting time!
“Hei, anak muda! Ini malam minggu. Apa
kau tidak kencan dengan kekasihmu yang tampan itu?”
Teguran halus seorang nenek tua yang kebetulan melewati
jendela kamar Alyssa, berhasil mengagetkan lamunan gadis itu. “Eh nenek Chloe?”
Chloe Verquson,
wanita tua berumur 50-an yang menegur dirinya tadi, adalah tetangga Alyssa.
Wajar jika Nenek Chloe menanyakan Stevano, karena ia selalu
melihat Alyssa menghabiskan malam minggunya bersama dengan pemuda yang
menurutnya “tampan” tersebut.
Yang tak wajar adalah mengapa malam ini Alyssa tidak
terlihat bersama dengan Stevano???? Ada apa gerangan???? Nenek Chloe pun
membuang rasa penasarannya dengan cara menanyakan langsung kepada Alyssa.
“Kenapa hah?” tanya Nenek Chloe lagi.
“Oh itu, aku sudah tidak ada hubungan
apa-apa lagi dengannya, Nek.”
Alyssa
mengurungkan niatnya yang semula ingin berbohong pada Nenek Chloe. Untuk apa?
Toh masih berpacaran atau tidak ia dengan Stevano, itu bukanlah urusan Nenek
Chloe.
Namun,
sepertinya dugaan Alyssa salah. Karena kali ini wanita tua itu tampak memasang
raut ingin tahunya. Penasaran.
“Kenapa? Kalian sudah putus?”
Alyssa
terkesiap.
Tiba-tiba
saja pertanyaan Nenek Chloe barusan mengingatkan dirinya akan ke-tidakjelas-an
hubungan diantaranya dengan Stevano. Terhitung semenjak Stevano ketahuan
berselingkuh dengan Ashilla sampai hari ini, mereka masih diam tak bersuara.
Jangankan
mengobrol, bertemu dengan pemuda itu saja Alyssa enggan.
Dan akibatnya,
sampai sekarang hubungan mereka menggantung. Tidak ada kata putus yang
terlontar dari mulut keduanya.
“Belum.”
Alyssa tersenyum kecut, tatapan mirisnya susah sekali untuk ditebak. “Tapi akan segera putus.” lanjutnya mantap. Kali ini lengkap
dengan senyum manisnya.
Mau tidak
mau Nenek Chloe pun membalas senyuman Alyssa.
Ia sempat
mengucapkan selamat malam dan memberikan bungkusan hitam ketangan Alyssa
sebelum akhirnya pamit pergi entah kemana.
Alyssa sama
sekali tak ingin melihat apa isi dari bungkusan pemberian Nenek Chloe, karena
ada suatu hal yang lebih penting dari itu.
Dengan cepat
ia mengetik sebuah pesan dari ponselnya, lalu mengirimkannya ke nomer handphone yang sudah dihapalnya diluar
kepala.
Setelah
pesan singkat itu terkirim, dengan tergesa-gesa Alyssa pun meraih baju mantel
berwarna putih tulang yang tersangkut dibelakang pintu kamarnya. Cuaca diluar
masih sangat dingin, dengan memakai sweater
hangat saja Alyssa rasa itu tidak cukup untuk menangkal hawa dingin yang
menusuk dikulit bahkan sampai ke tulangnya.
Ini semua harus segera diakhiri, pikir gadis itu seraya memasang
sepatu boots andalannya, dan ia juga
mengambil sebentuk payung dari tempat yang sama.
Begitulah,
malam ini Alyssa memutuskan untuk keluar rumah dengan satu tujuan. Kalau bukan
dia siapa lagi yang akan mengakhiri cerita cinta ini???
***
Ingatkah kamu saat
kita bersedih..
Ingatkah kamu saat
kita bahagia..
Ingatkah kamu
janji bersatu demi kasih sayang kita menuju hari esok berdua..
..........
Disini, bertempat di Taman Kota, Alyssa memberhentikan
langkah kakinya.
Ia terduduk lemas dibangku panjang bermaterial besi yang cat
nya sudah mulai terkelupas disana-sini.
Bangku ini???? Bangku ini adalah bangku yang ia tempati saat
Stevano menyelamatkannya dari hinaan Mrs. Amanda.
Saat dimana Stevano membalut luka ditangannya dan mengatakan
bahwa dirinya adalah permata yang wajib pemuda itu jaga.
Saat dimana ia putus asa.
Saat dimana Stevano meyakinkan hatinya untuk bertahan barang
sedikit lagi saja. Dan sekarang akankah ia tetap bertahan??? Tidak!
Hati gadis sederhana itu terlampau sakit. Hancur, remuk tak
berbentuk!
Ia kecewa.
Begitu mudah Stevano melupakan semua kenangan diantara
mereka. Menghapuskan cerita cinta yang ada dengan melakukan sebuah
pengkhianatan.
“Kau telah membohongiku Stev.” gumam Alyssa nyaris tak bersuara.
Napasnya tercekat akibat menahan tangis dikerongkongan.
Gadis itu berpura-pura tegar, ia hanya tak ingin memperlihatkan kerapuhannya
didepan segelintir manusia yang malam ini juga mengunjungi Taman Kota. Biarlah,
cukup ia yang merasakan bagaimana sakitnya hati akan sebuah pengkhianatan.
`Tap... Tap... Tap...`
Malam yang sunyi membuat derap langkah kaki itu terdengar
begitu nyaring.
Alyssa hafal betul dengan suara langkah kaki itu. Itu adalah
bunyi derap kaki Stevano! Yah, Alyssa yakin. Dugaannya tak mungkin meleset,
karena hanya pemuda itu yang ia ajak untuk bertemu malam ini.
Spontan Alyssa pun mengangkat sebelah tangannya yang kosong
keatas. Isyarat bahwa Stevano tidak perlu mendekatinya.
“Sudah
hentikan langkahmu! Malam ini aku tak ingin mendengar penjelasan apapun juga
dari mulutmu.” ucap gadis itu tanpa menoleh kebelakang.
Stevano yang berdiri tidak jauh dari bangku yang Alyssa
duduki pun hanya menelan ludah, terdiam kaku dengan raut wajah yang bersalah.
“Alyssa, aku-----”
“Kau telah membohongiku! Kau
PENGKHIANAT Stev! Kau mengkhianati cinta kita dengan cara mencium gadis itu.
Apa waktu itu kau tidak memikirkan perasaanku? SAKIT Stev! Selama ini aku
selalu berusaha mempertahankan cinta kita. Tapi kau? Hanya dengan satu
perbuatan saja kau telah menghancurkan semuanya!”
potong gadis itu cepat, hanya dalam satu tarikan napas.
Sekuat hati
Alyssa mengontrol emosinya agar tidak meledak-ledak. Walaupun susah tapi itu
harus. Karena mereka bertemu dengan cara yang baik, maka berpisah pun harus
dengan cara yang baik pula.
Setelah menghirup napas sejenak, gadis itu kembali menyahut.
“Well, sebenarnya aku kecewa, tapi aku
tidak bisa berbuat banyak. Sekarang juga aku juga sudah memaafkanmu, jadi aku
minta pergilah dari kehidupanku.” lanjutnya dengan nada yang lebih
tenang.
Stevano
terkejut. Sungguh, bukan ini yang ia inginkan. “Alyssa,
aku mohon maafkan-----”
“SUDAH AKU BILANG AKU SUDAH
MEMAAFKANMU!” nada bicara Alyssa naik satu oktaf.
Menandakan betapa emosinya ia pada saat itu.
Dan untuk
meredamnya, Alyssa pun memegang erat batangan payung yang melindunginya dari
butiran salju yang turun dimalam itu.
“Maaf, tapi aku ingin hubungan kita
berakhir cukup sampai disini saja. Bye~”
Cepat-cepat Alyssa bangkit dari bangku taman.
Lalu, berjalan menjauhi Stevano yang tertunduk dalam
penyesalan.
1 langkah...
2 langkah...
3 langkah...
Alyssa berhenti tiba-tiba sambil memutar lehernya, menghadap
kebelakang.
Ditatapnya Stevano yang masih diam bergeming ditempat.
Ah, mantannya itu sangat terlihat tampan dengan memakai syal
berbulu domba.
Tapi sayangnya ketampanan itu tidak akan menjadi “miliknya” lagi.
“Aku lupa berterima kasih.”
Stevano
mengangkat sedikit kepalanya, pengganti atas kata “Untuk apa?” yang saat ini tidak mampu ia
ucapkan.
“Terima kasih atas indah cintanya dan
sakitnya pengkhianatan yang telah engkau beri. Sungguh, aku tidak akan mungkin
melupakannya.”
Alyssa tersenyum. Senyuman manis yang --mungkin-- untuk
terakhir kalinya ia persembahkan didepan Stevano.
Sejurus kemudian, tak peduli dengan jawaban yang Stevano
berikan, Alyssa pun kembali melangkahkan kedua kakinya yang terasa berat ketika
dijejakkan diatas jalanan setapak Taman Kota yang tertimbun oleh salju. Pergi,
karena memang lebih baik jika kisah cinta ini diakhirnya saja.
***
Aku akan bertahan, jika kau mau
bertahan.
Aku akan setia, jika kau juga setia.
Tapi, jika kau sudah jenuh, TERPAKSA
aku pun ikut jenuh.
Dan jika memang cinta kita harus
diakhiri, maka walau berat itulah yang kini terjadi.
Apa kau tahu????
Cinta tak bisa berdiri dengan kokoh,
jika hanya dibangun oleh satu orang.
Karena cinta adalah suatu kesatuan yang
didalamnya harus ada aku dan juga KAU.
[The End]
With Imagination~
_Minah Syalalabibeh_