Terlambat? (Oh, Belum)
“Zeyl,”
“Hmh?”
“Gue mau ngomong sama lo.”
“Ngomong ya ngomong aja kali. Nggak usah pake acara minta
izin segala. Biasanya juga lo nyablak, kan?”
Aku menatapnya dalam diam. Dia seorang cowok yang biasanya
kalo ngomong tuh, ya, “to the point”
aja nggak pake basa-basi tapi tumben-tumbenan banget kali ini pake acara
pemberitahuan dulu. Aneh. Sok serius gitu, deh! Errrrrr......
“Tapi, kali ini gue pengen ngomong serius.”
Nah, kan! Apa ku bilang? Ceritanya dia mau serius.
“Serius?”
“Iya, serius.”
“Alah! Seantero sekolah juga tau kali, Zaa, kalo serius lo
tuh bercanda sedangkan bercanda lo tuh serius.” sahutku seraya mengibaskan
sebelah tanganku di depan wajahnya sementara dia refleks membuang napasnya
dengan cukup kasar.
Okey, aku tau dia mulai kesal dan aku...........,
senaaaaaang! HAHA~
Kalian tau? Jarang-jarang lho wajah kesalnya terpampang
nyata seperti ini.
“Ya udah kalo gitu gue pengen ngomong bercanda.” ralatnya
kemudian.
“Tuh, kan, lo nggak serius! Pengennya bercanda mulu. Males
ah gue sama lo.”
Dia menganga lebar, mengacak-ngacak rambut cepaknya dengan
dramatis lalu tersenyum begitu manis.
“Zeyl, belakang sekolah sepi tuh. Kita berantem aja gimana?”
ucapnya kalem namun terselip nada kesal to
the max di sana. HAHA~ dan tawaku meledak LAGI. Ya Tuhaaaaan, cowok yang
satu ini nyaris membuatku terpingkal-pingkal.
Muka kesalnya itu lho!
Uuuuuuuugh......, ngegemesin! Nggak cuma aja, tapi banget
pake deh (read: ngegemesin banget deh).
Di sela-sela tawa yang masih tersisa ku rangkul dia. “Iya, selaw Zaa selaw. Lo sih emosian anaknya, makanya tuh muka boros.” ejekku
masih dalam rangka bercanda.
“Jadi? Mau serius atau bercanda?”
“Serius yang nggak bercanda.” jawabnya cepat.
Ku angkat sebelahku alisku yang -katanya sih- tebal, “Demi
apa?” dan menggodanya lagi.
“Demi lo yang udah ngerebut hati gue.”
“Hah?”
“Zeyl, gue tuh suka sama lo.”
“.........”
“Sejak setahun yang lalu.”
“.........”
“Zeyl? Sejak kapan lo tuli?”
Eh, dia ngomong apa barusan? Demi aku yang udah ngerebut
hati dia? Dia suka sama aku? Sejak setahun yang lalu, gitu? Duh! Pasti dia cuma
bercanda, deh. Pasti!
Well, aku nggak
bisa ngebohongin perasaanku kalau aku
emang suka -atau bahkan cinta- sama dia semenjak dia jadi sahabatku. Sahabatku
satu-satunya. Tapi aku nggak pernah ngebayangin, sama-sekali-nggak-pernah-ngebayangin
kalau dia juga menaruh rasa yang sama terhadapku. Seperti ini.
“Zeyl! Kok lo malah bengong, sih?!” Dia menepuk pundakku
hingga aku tersadar dan mendadak kikuk.
“Ngggggg...., lo bilang apaan tadi?”
“Gue. Suka. Sama. Lo. Rozeyl.” ulangnya dengan nada
putus-putus, penuh penekanan disetiap katanya.
Bermodal wajah polos aku pun merespon, “Trus gue harus
bilang apa?”
“Lo nggak perlu bilang ‘WOW’ kok, cukup
bilang ‘iya’ atau ‘enggak’ doang. Simple.”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, gue juga suka sama lo, Zaa.” jawabku pelan dengan gaya
tubuh yang klise, ala-ala sinetron picisan gitu deh; wajah menunduk, nggak mau
menatap ke arahnya sama sekali. Nggak tau kenapa, ya, aku mendadak malu.
“Yang bener?”
“He'emph.”
“Beneran?!”
“Hmh,” Bersamaan dengan deheman kecil yang keluar dari
mulutku dia pun tertawa lepas. Seperti ada yang lucu. Seperti ada sesuatu yang
konyol mengocok perutnya. Apaan sih?!
“Heh! Kenapa lo? Ketawa udah kek orang kemasukan.”
“Gue tadi bercanda kali. HAHA~ lo serius ya, Zeyl, suka sama
gue? Ngaku aja deh!”
What the.........
Kini giliran aku yang menganga lebar. Sangking lebarnya
mungkin kepalan tanganku bisa masuk ke dalam mulutku sendiri. Oh Tuhan, jadi
dia bercanda? Benar-benar bercanda, gitu?
Sialan! Kutu kupret!
Kodok loncat! Dasar lo ya turunan buto ijo nyebelin banget! Gue doain bisulan
nyampe nggak bisa duduk baru tau rasa lo! Sederet sumpah serapahku tertahan
di kerongkongan. Rasanya aku pengen gali tanah sedalam-dalamnya lalu
menyembunyikan ragaku di sana sekarang juga. Malu banget iniiiiii~ ah sumpah!
Kalem Rozeyl kaleeeeem. Cewek cantik kudu kalem, rite? Aku menyugesti diriku sendiri
dalam hati meski tanganku sudah terkepal menahan rasa marah. Duh! Boleh jujur
nggak? Aku nggak tahan denger gelak tawanya yang terang-terangan ngeledek itu.
Seperti mauuuuuuu........ Okey, maaf banget Tuhan sebenernya aku nggak pengen
ngelakuin hal ini, aku nggak pengen ada kekerasan. Tapi apa boleh buat dia udah
bikin aku malu nyampe nggak mampu berkata-kata lagi. So, RASAKAN INI......!!!!!
“Eits!” Dia menangkap kepalan tanganku yang hendak melayang
di pipi kirinya dengan sigap. Sedangkan aku sendiri nggak nyangka ketika
mendapati bagian atas tanganku yang tau-tau sudah menempel di bibirnya yang
kurasakan agak--eummmm..., lembap. Uhuk....,
“Gue beneran suka sama lo kali.” katanya lembut setelah
mencium tangan kananku yang untungnya sudah kuolesi lotion dengan wangi lavender pagi tadi, dijamin deh nggak bau ikan
asin.
“Can I be your man?”
Dan bisikannya itu membuat kedua pipiku memerah seketika.
Tapi, maaf, maafffff banget, dengusanku nggak mampu untuk kusembunyikan.
Memang! Aku terlanjur kesal sekarang.
“Perez! Lo mau ngerjain gue lagi, kan?” Aku melengos. “males
gue sama lo, tau?” Buru-buru aku menarik tanganku dari genggamannya lalu
berdiri hendak pergi. Namun, aku kalah cepat. Belum sempat kakiku melangkah,
lebih dulu ia mengunci sebelah pergelangan tanganku -lagi- dan menariknya tanpa
aba-aba hingga aku pun terjatuh tepat dipangkuannya.
DI-PANG-KUAN-NYA. Oh
my!
“Tunggu dulu! Aku serius. Aku bakal ngebuktiin kalau aku
emang beneran ada rasa sama kamu, Rozeyl.” bisiknya sok lembut.
Gaya bahasanya yang berubah menjadi Aku-Kamu membuat
jantungku mendadak berdebar-debar.
Ditambah lagi dengan wajahnya yang semakin lama semakin maju
mendekati wajahku. Aku tau dan aku sadar banget dengan apa yang sebentar lagi
bakal terjadi---dia akan merenggut first
kiss-ku.
Yah, FIRST KISS-KU
AKAN DIRENGGUT OLEH DIAAAAA! Ah tapi anehnya, kok, aku sama sekali nggak ada
niatan untuk menghindar, ya? Aku nggak nolak. Tubuhku bahkan meresponnya dengan
positif. Tanpa dikomando kedua tanganku melingkari lehernya, kepalaku pun
refleks memiring, begitu pula dengan
mataku yang terpejam secara otomatis. Ya
Tuhan, kenapa aku ikutan nyosor?!
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik berlalu aku nggak merasakan sesuatu yang lembut
dan basah menyentuh bibirku. Aku hanya merasakan sesuatu yang kasar menempel di
sana saat ini. Jadi begini, yah, rasanya ciuman pertama? Dimana letak
“indah”-nya yang seperti orang-orang bilang itu? Oh, tapi tunggu dulu! Aku juga
mencium bau yang nggak asing. Bau yang sangat aku kenal. Seperti bau Kokkiri
(guling berbentuk gajah kesayanganku) yang nggak dicuci selama bertahun-tahun. Eh?
Apa jangan-jangan..........,
“Kyaaaaaaaaaaa.......!” Aku membuka mata dan berteriak histeris
manakala melihat bibir Kokkiri yang tadinya menyatu dengan bibirku yang
terkenal dengan ketipisannya ini.
Mimpi?
MIMPI?!
Duh! Kenapa bisa, sih, aku mimpi yang aneh-aneh? Aku pun
terduduk panik.
Serta-merta kulempar asal guling gajahku tersebut, don't care ya dia mau mendarat dimana,
yang penting itu guling jauh-jauh dari bibir seksiku! Hiyyyyyyy~
•••
Rhezaa Putra Adipurna namanya. Aku biasa manggil dia “Zaa”
(inget ya huruf A-nya harus dua). Salah
satu cowok populer di sekolahku---yang tampangnya padahal biasa aja. Aku
ulangin sekali lagi, BIASA AJA (sengaja aku capslock
gitu biar kalian nggak ngebayangin tampangnya dia yang gimana-gimana, karena
emang nyatanya dia biasa aja). Layaknya remaja cowok Indonesia kebanyakan,
kulitnya nggak hitam juga nggak putih alias cokelat tapi bersih. Tingginya
standar anak SMA dengan gaya rambut cepak yang disisir rapi. Smart? Lumayan, laaaah. At least, dengan tingkahnya yang
selengekan itu dia nggak pernah remed dan lupa ngerjain PR. Dia bukan anak
futsal apalagi basket, guys. Terlepas
dari jabatannya sebagai anggota OSIS, kurasa Rhezaa bukanlah bagian penting di
sekolahku.
Over all, perlu
kutegasin sekali lagi, dia sosok yang biasa aja. Dia nggak seganteng Edward
Cullen tapi, sayangnya, oh my God,
dengan berat kuakui bahwa dia punya kharisma selevel Sharukhan.
So, nggak perlu
heran kalau dalam waktu yang bersamaan dia bisa macarin lebih dari tiga cewek
sekaligus. Pesonanya nggak ketangkis, maaaaaan.......!
Udah jadi rahasia umum kalau Rhezaa itu playboy cap buaya darat. Everybody
knows that kupikir, dan bodohnya cewek-cewek itu (termasuk aku sih) susah
banget buat move on. Kami tetep aja stuck di hatinya dia yang jelas-jelas terpampang nyata belangnya.
Kalau kata Syahrini bukan khayalan, bukan fatamorgana. Kurang bodoh apa coba? Well, emang kadang kala yang namanya
perasaan nggak bisa ditampik meskipun itu dengan logika, sih, ya!
Seperti yang aku bilang di awal, Rhezaa adalah sahabatku.
Kami memutuskan untuk bersahabat sejak kelas sepuluh semester akhir. Awal-awal
sahabatan sih, perhatian aku ke dia pure
cuma sebagai “close friend”, tapi
setahun belakangan ini diam-diam aku mulai ngerasa ada sesuatu yang lebih.
Lebih seperti apa kayaknya susah untuk kujelaskan. Eungggggg...., to the point-nya sih gini, aku pengen jadi sesuatu yang bisa dia
milikin, meski aku tau aku bukanlah satu-satunya yang menjadi miliknya.
Bodoh? Yaaaaa...., abis mau gimana lagi? Aku udah terlanjur
“jatuh”, sih!
Dulu, aku pernah berpikir untuk berhenti mencintai Rhezaa
karena aku rasa percuma. Cowok playboy
kayak dia nggak pantes, girls, untuk
ngedapetin cinta yang tulus. Dia nggak akan bisa menghargai itu. Namun, niatku
tersebut lenyap gitu aja lantaran udah nyaris setahun berlalu aku nggak pernah
ngelihat dia deket dengan cewek manapun kecuali aku, sahabatnya.
“Udah bosen gue pacaran,” begitulah alibi Rhezaa setiap aku
menanyakan “kenapa” dengan status jomblonya. Okey, aku tau banget kalau itu
cuma lelucon, karena kurasa alasan yang sebenarnya adalah belum ada sosok yang
bisa ngebuat hatinya tertarik lagi. BELUM ADA.
Tapi, kenapa bisa, sih, playboy
macam dia betah dengan status jomblo?! Sementara status jomblonya itu udah
ngerugiin aku! Iya, ngerugiin aku banget. Gimana enggak? Efeknya kan perasaanku
ke dia semakin menjadi-jadi, bahkan sampai terbawa-bawa ke dalam mimpi! Yah,
seperti yang semalam kualami itu lho. Errrrrrr.......
“BUAHAHAAAA~ udah seromantis itu dan ternyata cuma mimpi?!”
Aku mengangguk lemah. “Gokil maaaaaan......,”
Rhezaa tertawa heboh sampai memukul-mukul bangku taman sekolah yang kami
duduki. “apes banget nasib lo, yak?” sambungnya masih diiringi derai tawa yang
berlebihan.
Ini masih jam istirahat pertama dan dia udah bikin aku unmood sebegininya. Nyebelin nggak,
sih?! Sepasang bola mataku berputar asal.
“Teruuuuuuus~ ketawa aja terus, Zaa! Nggak pa-pa, santai gue
mah.”
“Wohooooo! Tuan putri ngambek. Jangan ngambek gitu, ah,
entar cantiknya ilang lho!” rayunya kemudian. Seketika aku pun bungkam.
Bukaaaaaan! Bukan karena mendengar rayuannya yang expired, kadaluwarsa, basi, atau apalah itu sebutannya aku
kehilangan kata-kata. Tapi, lantaran sebelah tangannya yang saat ini melingkar
hangat di pundakku. Caranya dia ngerangkul, aku nggak bisa untuk bersikap biasa
aja meski hal ini udah sering ia lakukan. Ah
Gad!
“Siapa sih?” Rhezaa melepaskan rangkulannya lalu menatapku
penuh tanya.
“Apanya yang siapa?”
“Cowok dalem mimpi lo. Yang nembak lo.”
“Elo. Siapa lagi kalau
bukan lo?” Aku berharap bisa ngejawab pertanyaan Rhezaa dengan jujur,
seperti itu. Tapi yang keluar dari bibirku malah kata-kata, “Ada, deh! Secret kali.” Iya, yang kulontarkan
malah kata-kata sok ngeles yang ngebuat aku berpikir “kapan, sih, aku berhenti bersikap munafik?” Errrrr.....
“Idih, pelit banget sih lo!” Dia pun mencibir.
“Biarin!”
Senyap beberapa saat menguasai sebelum akhirnya sebuah
pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku. Pertanyaan yang berbunyi, “Zaa, by the way nggak bosen apa lo ngejomblo
gini? Udah hampir setahun kan, ya?”
For God's sake,
aku sendiri nggak ngerti kenapa aku bisa menanyakan hal itu. Padahal biasanya
aku nggak pernah menjadikan “perasaan” sebagai topik pembicaraan kami. Aku
nggak pernah mulai, karena selama ini Rhezaa curhat sendiri tanpa aku yang
minta. Sumpah! Demi apaan aja serah.
Sayang sudah terlanjur. Aku pun menatap Rhezaa takut-takut,
mengangkat sebelah alisku, memasang wajah se-innocent mungkin berharap pertanyaanku tadi nggak terdengar aneh di
telinganya. Humh-uh!
“Kalau gue yang baru setahun ngejomblo aja udah bosen, apa
kabar lo yang bertahun-tahun hidup ngejomblo? Udah mati kebosenan kali, ya,
lo.” jawabnya setengah bergurau. Tak ayal aku ikut tertawa seraya meninju
lengan kekarnya pelan. “Sialan lo! Nggak sebegitu ngenes-nya kali gue.”
“Lho? Tapi emang bener, kan? Udah dua tahun lebih gue jadi
sahabat lo nggak pernah tuh gue lihat lo---at
least kesengsem lah, ya, sama yang namanya cowok.” Rhezaa memandangku
curiga, ekspresi yang lagi-lagi berlebihan dan membuatku risih. “Elo normal,
kan? Masih demen sama yang ada jakunnya, kan?” cicitnya pelan. Seakan-akan itu
pertanyaan rahasia yang harus kujawab dengan -kalau perlu- sebuah bisikan. Dih! What
the hell is this?
“Ya masih lah! Gila yah, lo! Lo pikir gue lesbi apa?!”
sambarku nggak terima tentunya.
Rhezaa pun terbahak, lagi. “Abisan sih.”
Pause. Untuk yang
kedua kalinya kami sama-sama nggak bersuara. Kutatap ujung sepatu kets yang
membungkus sepasang telapak kakiku dalam diam. Tatapanku fokus tapi pikiranku
bercabang. Tiba-tiba aja aku kepikiran dengan mimpiku semalam, dan rasanya aku
udah nggak sanggup. Perasaan ini udah nggak mampu untuk kusembunyikan lagi.
Eunggggg...., seumpama
cewek yang memulai duluan nggak dosa, kan? Aku bertanya dalam hati.
Detik berikutnya aku mendongak, menghela napas pelan lantas
memberanikan diri untuk menumbuk sepasang iris mata Rhezaa lekat-lekat. Okey,
mungkin inilah saatnya. Aku harus bilang. “Zaa, sebenernya gue tuh suk----”
“Maaf, lo Rhezaa, kan?”
Sial!
Aku nyaris mengatakan yang sejujurnya kalau aja suara sok
lembut---atau emang dari sananya udah lembut, bodo amat lah, ya, nggak memotong
ucapanku dari arah belakang. Seorang cewek bermuka barbie dengan postur tubuh
proporsional. Siapa sih?!
Rhezaa yang bahunya ditepuk menoleh dengan segera. “Iya?”
“Anak IPA 2?” tanyanya lagi, memastikan.
“Hmh,”
“Lo disuruh Bu Elma nemuin dia di kantor guru.” beritahunya
kemudian.
“Oh, ya, makasih entar gue kesana.”
Dia pun berlalu setelah mengulas senyum yang aku nggak suka
ngelihatnya. Pertama, terlalu manis (hehe). Kedua, senyumnya itu seperti
mengandung sebuah arti, suatu makna yang tersembunyi. Cuma sesama cewek yang
lagi jatuh cinta doang yang bisa ngartiin senyumnya itu. Yak! Satu lagi cewek
yang “fall for him”, terjatuh untuk Rhezaa
aku rasa.
“Eh, lo tadi mau ngomong apaan?”
Aku menggelengkan kepala dua kali. “Nggak, nggak jadi. Bukan
apa-apa, kok.” kilahku memasang wajah straight.
Terlanjur unmood.
“Katanya lo dipanggil Bu Elma, ya? Buruan gih temuin!” Dan
kualihkan pembicaraan dengan sengaja. Entahlah, tiba-tiba aja aku jadi
kehilangan nyali untuk ngungkapin semuanya, ngungkapin perasaan aku ke dia. Aku
mendadak ragu. Kehilangan selera juga, sih. Well,
nggak sekarang mungkin bisa kucoba lagi lain kali.
•••
Gila! Aku nggak ngerti. Bener-bener nggak habis pikir, deh,
kenapa perasaanku ke Rhezaa kian hari bisa kian membuncah seperti ini? Hasratku
untuk menjadi miliknya semakin besar dan aku nggak bisa mengendalikan
keinginanku yang satu itu. Aku nggak bisa menahan diri agar bersikap biasa aja
ketika Rhezaa menunjukkan perhatiannya. Untuk bersikap normal seperti dulu,
terus terang aku-nggak-bisa. Ampun beneran ampun!
Lalu, aku harus gimana Tuhaaaaaan....?
Masa iya aku yang mulai duluan, sih?!
Mesti, kudu, harus ladies
first, gitu?
Hah!
Sebulan telah berlalu sejak insiden di taman belakang
sekolah waktu itu. Insiden dimana aku hampir mengakui semuanya, tentang
perasaanku ke Rhezaa yang sebenarnya. Kalian tau, kan? Niatku itu gagal
lantaran aku yang hilang keberanian. Keberanian yang aku sendiri nggak tau
datangnya darimana. Dan sekarang aku harus mengumpulkan keberanian itu lagi
untuk mengulang hal yang sama----membuat sebuah pengakuan.
Oh Gad! Ini udah
sepuluh menit dan aku masih mondar-mandir nggak karuan di depan meja rias.
Entahlah, aku bingung lantaran hati dan otakku yang sekarang nggak sinkron,
saling bertolak belakang. Okey, my heart
says “yes” karena emang dia udah
nggak mampu memendam perasaan ini lebih lama lagi. Terlalu sesak. Aku
memahaminya. Tapi sayangnya my brain says
“no” cause----oh pleassssse,
gimanapun juga aku cewek! CE-WEK! Rasanya agak gimana gitu kalau cewek harus
jujur duluan. Ya, kan? Cewek yang lugu, polos, dan “hijau” banget dalam masalah
kayak beginian mestinya sependapat denganku.
Aku menarik napas pendek. Merenung, mengajak hati dan otakku
agar mau berkonspirasi saat ini. Thinking!
C'mon thinking, Rozeyl!
Begini, eunggggg....., cuma mengaku, kan? Nggak nembak,
nggak minta dia untuk jadi pacar (mesti dalam hati nggak munafik, kalau bisa taken ya kenapa enggak?). Well, harusnya ini bukan masalah. Dengan
mengaku, at least, kan, hatiku bisa lega terlepas dari gimanapun
perasaan Rhezaa ke aku nantinya, entah dia mempunyai rasa yang sama atau malah
sebaliknya, aku bakal tenang setelah mengakui semuanya. Toh, kalaupun Rhezaa nggak
suka sama aku juga aku nggak perlu ngerasa malu yang berlebihan karena aku
nggak nembak dia. Aku-nggak-nembak-dia,
rite? Okey, deal!
Sedetik kemudian aku menatap fokus pada cermin di depanku.
Berandai-andai kalau ada sosoknya dia di cermin, sosok Rhezaa dihadapanku,
kalimat seperti apa yang akan ku utarakan?
“Lo tau nggak, sih? Sejak kapan tau gue tuh suka sama lo.
Gue naksir elo, Rhezaa. Kenapa lo nggak peka, hah?! Gue itu jatuh cinta sama
lo! DEMI TUH~HAAAAAAN!”
Dalam bayanganku, aku akan berteriak dengan memakai logatnya
si Arya Wiguna. Seluruh penghuni sekolah gempar dan aku akan mendadak terkenal.
Akhirnya seantero sekolah pun tau siapa Rozeylia Andini Maharani. Bukankah itu
kedengarannya keren? Sayang, setelah di pikir-pikir, bukannya keren, itu malah
terlihat konyol. Itu juga terlalu to the point dan terkesan emosi. Gimana
kalauuuuu......,
“Nggak nyangka yah, kita udah bersahabat hampir 3 tahun dan
selama itu pula gue terjatuh untuk lo. Iya, sejujurnya gue suka sama lo, Zaa. I'm falling in love with you. Gue nggak
butuh jawaban karena gue nggak lagi nembak lo sekarang. Gue cuma berusaha jujur
dan-----” Dan belum sempat aku menuntaskan kalimatku mungkin Rhezaa udah
ngibrit entah kemana. Itu kelewat bertele-tele, Zeyl! Nggak ada yang lebih
simple, apa?! Errrrrrr......,
Ponselku berdering tepat ketika aku mengacak-acak rambut
sebahuku dengan frustasi.
Siapa, lagi?
Sekilas kulihat nama “Rhezaa” tertera di layar dan aku pun buru-buru menekan
tombol hijau.
“Iya kenapa? Sekarang ya? Dimana? Ada apaan, sih, emang?
Penting nggak? Kalo nggak penting gue males, ah! Iya iya bawel lo! Nenek-nenek,
dasar!” Aku memutuskan sambungan lalu tertegun. Dia ngajakin aku ketemuan di
EdelwÊiss Café? Kebetulan banget.
Hmhhhh..., kemarin gagal mungkin sekaranglah waktu yang
tepat.
*
Pukul 16:45 taksi kuning yang kutumpangi berhenti di depan
pintu masuk EdelwÊiss Café. Café yang tetap cozy
meski ada sedikit aksen Eropa-nya, menurutku. Bagus! Dengan begini cropped jeans dan kaos baby pink bertuliskan “Alone But Happy” yang kukenakan sekarang
nggak akan membuatku malu.
Setelah membayar ongkos taksi, aku pun segera mendorong
pintu masuk. Mataku berpendar mencari sosok Rhezaa. Sosok yang akhirnya kutemui
di ujung café dengan earphone yang
menyumpal di kedua telinganya. Dari jauh kulihat kaki kanannya bertumpu di paha
kiri sementara punggungnya menyender di kepala kursi. Nah, itu! Itulah contoh
gaya selengekannya yang selalu menarik perhatianku.
“Hey!” sapaku basa-basi. Dia menyeringai lebar,
mempersilahkanku duduk lalu menyuruhku memesan minum terlebih dulu. Bersamaan
dengan datangnya waiter yang membawa secangkir hot vanilla latte pesananku, aku
pun mendelik.“So?”
“Ada yang pengen gue bilangin ke elo.” jawab Rhezaa sambil
melepas salah satu earphone yang
menyumbat di telinganya.
“Kebetulan banget! Gue juga sama.”
Rhezaa tersenyum sumringah. “Ohya? Ladies first kalo gitu.”
“Enggaklah, lo dulu aja kali. Gue perhatiin muka lo udah
nggak sabar tuh pengen bilang something
yang roman-romannya penting. Ye nggak? Apaan, sih?” Dengan sedikit menggodanya
aku mengelak. Berusaha bersikap rileks, meski dalam hati aku udah ngerasain
deg-degan yang berlebihan. Ah, sebentar
lagi! Sebentar lagi, nggak perlu dia yang menggalinya, akan kukeluarkan
sendiri apa yang selama ini terpendam begitu dalam di sini. Di hatiku.
Untungnya tanpa banyak basa-basi Rhezaa setuju. Salah satu earphone yang dilepasnya tadi
disumpalkannya ke kuping kiriku. Keningku lantas berkerut.
“Kok?”
“Dengerin, deh!” Dan sebuah lagu ballad pun menyapa indera
pendengaranku. Di kupingku lagu ini rasanya udah nggak asing lagi. Salah satu
lagu dari band luar favorit Rhezaa (Secondhand Serenade) yang aku nggak tau
judulnya apa. Meski nggak ngerti dengan maksudnya dia yang nyuruh aku untuk
ngedengerin ini lagu, tapi toh aku tetap mendengarkannya dengan seksama.
Meresapi bait demi bait liriknya sambil menerka-nerka maksud dari perintahnya
tadi. Kira-kira apa, yah?
Because tonight
will be the night that I will fall for you.
Over again,
Don't make me
change my mind.
Kalau dilihat dari lirik reffrain-nya
jelas lagu ini menggambarkan tentang orang yang tengah jatuh cinta. Hah? Aku bilang apaan tadi? Jatuh cinta? Apa
iya? Aku mulai berpikiran yang aneh-aneh.
Nggak, nggak mungkin. Sambil masih menebak-nebak aku
berusaha memusatkan pendengaranku. Meski rasanya sulit, karena jantungku
berdetak semakin kencang dan ritme-nya udah nggak beraturan lagi. Tanganku
bahkan mulai dibasahi oleh keringat dingin.
Ya Tuhan apaan, deh?!
Untungnya 3 menit lebih 5 detik kemudian lagunya pun
berhenti. Aku menatap Rhezaa sembari melepaskan earphone-nya dari telingaku. Awalnya aku pengen tanya “kenapa” tapi
anak itu keburu membuka suara dengan berkata, “Fall for you.” setelah musik
udah nggak terdengar lagi.
“Aku terjatuh untukmu. Bener-bener terjatuh sampai-sampai
aku nggak tau lagi gimana caranya untuk bangkit. So, would you be my
girlfriend?”
Double what?!
Kejutan macam apa lagi yang diberikan Tuhan untukku? Kejutan seindah ini, apa
benar-benar diberikan Tuhan untukku? Aku nggak lagi salah dengar, kan?
Seingatku tadi pagi aku sempat mengorek kuping dan aku nggak punya riwayat
gangguan telinga. So, kecil
kemungkinan aku salah dengar. Lalu? Nggak salah lagi!
Setelah puas dengan ekspresi kaget bercampur senang yang ku
tunjukkan aku pun tertawa nyaring. Sampai-sampai beberapa pengunjung café
menoleh ke arah kami.
Aku menggangguk malu pada mereka lantas berdehem menghadap Rhezaa.
“Zaa, udah deh. Gue tuh tau banget kali, lo bukan tipe cowok
yang romantis. Kenapa, sih, ribet banget nyuruh gue dengerin lagu itu segala?
Kenapa nggak to the point aja, coba?
Lo tinggal bilang, ‘Zeyl, mau
nggak jadi pacar gue?’, pasti
gue terima kok. Eh, tapi, cara lo nembak gue unik juga ya? Ahahaaaaa~” Aku
kembali tertawa, tentunya tawaku ini terdengar lebih sopan dari yang pertama.
Tanpa aku tau Rhezaa menatapku bingung. Bukannya girang
cintanya ku terima dia malah mengernyitkan dahi, seolah-olah ada yang salah di
antara kami. Sebentar kemudian dia menggeleng, “Zeyl, maksud gue nggak gini.
Gue tadi tuh.......,” Refleks tawaku terhenti bersamaan dengan jeda di
kalimatnya yang menggantung. Dia memandangku cemas sambil berusaha menjelaskan
“nggak gini” yang dia maksud.
“Jadi, gini, apa yang gue bilang ke elo tadi itu kata-kata
waktu gue-nembak-Metha-semalam. Tadinya gue belum selesai ngomong, eh elo main
nyahut aja. Mana lo pake acara ketawa ngakak gitu lagi. Gue kan jadinya bingung.”
Aku speechless.
Speechless dalam
artian kerongkonganku tercekat hingga suaraku nggak mampu keluar meski aku udah
mati-matian membuka mulut. Rasanya sesak. Aku berharap banget kali ini salah
dengar. Kali aja kupingku yang bermasalah. Tapi, nyatanya kupingku masih
berfungsi dengan normal. Rhezaa bilang, semalam dia nembak Metha. Ya, kan?
Entah Metha siapa, yang jelas dia abis nembak cewek dan itu bukan aku.
Bodoh! Bisa-bisanya aku salah tanggap. Aturan tadi aku
pura-pura nggak denger dan minta Rhezaa untuk mengulang kalimatnya lagi. Iya,
seperti yang pernah aku lihat di sinetron-sinetron. Bukannya malah bersikap
superpede yang ujung-ujungnya menanggung malu seperti ini.
“BAHAHAAAA, gue tadi....., BAHAHAAAAA~” Aku berusaha mencari
alasan untuk mengelak. Sialnya nggak ketemu! Yang ada aku malah kembali
tertawa. Tertawa kering tentunya.
“Zeyl, lo bercanda, kan, suka sama gue? Pasti deh bercanda!
Pasti! Seperti elo yang tau gue, gue juga tau elo kali. Rasanya aneh aja kalau
emang bener lo bisa naksir cowok. Ya, kan? Lo tadi bercanda, kan?” setengah
panik Rhezaa bertanya. Raut mukanya yang nggak enak dan mungkin ngerasa
bersalah itu mau nggak mau memaksaku untuk mengiyakan dugaannya.
“BAHAHAAAA~ lo bener. Gue tadi cuma bercanda. Amit-amit
banget gue naksir playboy macem lo!”
jawabku dengan nada sok ketus. Aku hampir menangis tapi kupaksaan diri untuk
tetap tertawa dan bersikap normal, sebagaimana Rozeyl yang penuh percaya diri.
Di bawah meja dengan santainya Rhezaa menendang tulang
keringku. “Sialan lo!” sungutnya pura-pura marah.
Aku mengerling. Kami pun sama-sama tertawa, tapi dengan tawa
yang berbeda. Rhezaa tertawa dengan perasaan lega sementara aku tertawa kosong,
hampa, yang kulakukan sekedar untuk menipu perasaanku.
“Tapi, serius nih tadi lo cuma bercanda?” Setelah tawa kami
reda, Rhezaa kembali bertanya, kali ini dengan nada menelisik yang membuatku
gugup. Beruntung aku adalah Rozeyl si dramaqueen.
Mudah untukku menipu Rhezaa dengan sedikit
acting juga ekspresiku yang meyakinkan.
“IYA! Elo ngarep banget gue naksir lo apa, yak?” candaku
mengedip-ngedipkan mata. Melihatku seperti itu Rhezaa berlagak mau muntah.
“Okey, balik lagi ke curhatan gue. Semalam gue nembak Metha.
Dia nerima gue, maaaaan! Setelah
seminggu lebih gue dibuat galau ama tuh cewek, akhirnya gue nekat juga buat
nembak Metha. Disaat dia masih jadian sama Edho. Dia mutusin Edho dan milih
gue. Gila! Kebayang nggak, sih, lo betapa senengnya gue?!” Dan, bla bla
bla..... Aku nggak begitu mendengarkan curhatan Rhezaa dengan fokus karena
sekarang pun pikiranku merambat kemana-mana. Entahlah, ragaku memang masih di
café ini, tapi jiwaku melayang dari tempatnya. Aku yang semula bahagia dengan
ribuan kupu-kupu yang menari di perutku, mendadak hampa. Kupu-kupu itu pergi,
meninggalkanku bersama kekosongan di hati ini. Duh! Aku ngomong apaan, sih? Aku
tuh nggak pernah sepuitis ini sebelumnya. Apa jangan-jangan ini efek dari patah
hati, ya? HAHA~ menyedihkan.
•••
Besoknya aku memutuskan untuk nggak masuk sekolah. Aku izin
dengan alasan berangkat ke Bandung, meski pada kenyataannya aku mendekam di
kamar seharian. Mengunci diri di sana, menangis selama yang aku mau. Untungnya
kedua orangtuaku nggak curiga. Waktu aku bilang aku sakit, mereka percaya aja.
Nggak banyak tanya sesuai dengan apa yang kuharapkan. Yah, aku beruntung.
“Ya Tuhaaaaaan..., kenapa bukan hamba, sih, cewek yang Rhezaa
suka? Kenapa harus si Metha-Metha itu Tuhaaaaan?” jeritku sesenggukkan.
Aku menarik selembar tisu dari kotak yang ketiga. Percaya
nggak percaya dua kotak tisu udah kuhabisin untuk ngelap air mata sekaligus
ingus yang keluar dari hidungku. Bekas tisunya kubiarkan berceceran di lantai.
Berantakan banget. Aku yakin kalau Mama lihat kondisi kamarku sekarang Mama
pasti bakal marah habis-habisan, deh! Tapi, siapa yang peduli? Aku lagi patah
hati. Dan, orang patah hati berhak berbuat semau mereka biar hatinya seneng
lagi.
Too much, ya?
Lebay? Berlebihan? Iya, aku tau. Tapi, ini untuk yang pertama kalinya aku patah
hati. Wajar, kan, kalau aku kaget dengan rasa sakitnya?
Aku menghembuskan napas kasar dan pendek. Pandanganku jauh
menerawang ke langit-langit kamar. Rincian tragedi di EdelwÊiss café kemarin
sore masih berputar-putar di kepalaku. Seperti kaset rusak. Aku dipaksa untuk
nggak ngelupain itu meski aku males banget untuk mengingatnya lagi.
“Lo tau, kan, si Metha?
Itu lho yang manggil gue waktu di taman sekolah. Yang nyuruh gue ke kantor guru
gara-gara di panggil Bu Elma. Inget kan? Masa iya, lo lupa?! Baru sebulan yang
lalu padahal!” Di akhir ceritanya kemarin, seakan bisa membaca pikiranku
yang nggak tau yang mana sosok si Metha, Rhezaa pun memberitahuku. Aku cuma
menyahut “oh” meski dalam hati aku cukup terkejut ketika tau siapa si Metha-Metha
itu. Cewek nyebelin yang menyela ucapanku waktu aku berniat nembak Rhezaa, kan?
Yang mukanya agak ke-barbie-barbie-an. Yang tinggi. Yang langsing.
Sial! Apa ku
bilang? Dia juga naksir sama Rhezaa. Kebaca kali dari matanya. Tau gitu,
kemarin nggak usah pakai acara ditunda langsung aku “DOR!” aja tuh si Rhezaa.
Kenapa mesti ragu, sih?! Jadinya di embat, kan? Elaaaaaah.......
Dalam hati aku merutuki diriku sendiri. Nyesel, tau nggak?!
Sayang, semuanya udah terlambat. Rhezaa udah taken sama si Metha. Sekarang aku bisa apa? Nunggu mereka
putus......, gila! Lama banget! Kecil kemungkinannya, karena sepengamatanku di
antara pacar-pacarnya berikut gundik-gundiknya Rhezaa, si Metha ini yang paling
cantik. Paling sempurna. Paling perfect.
Dua-tiga bulan nggak mungkin ngebuat Rhezaa bosen jadian sama Metha. Yakin,
deh!
Sadar akan hal itu air mataku langsung merembes lagi. Aku
buru-buru menarik berlapis-lapis tisu dari kotaknya seraya mengusapkannya di
pipiku dengan kasar. Pathetic!
Tiba-tiba aja aku merasa seperti gadis yang paling malang sedunia. Paling
terpuruk. Paling menyedihkan. Oh, ayolah, ini bukan Rozeyl! Seorang Rozeyl
nggak pernah putus asa kayak gini.
“Rozeyl, kamu udah ngerasa mendingan belum? Gini lho, jam 2
nanti Mama mau ke salon. Kamu mau ikut, nggak?” Mama mengetuk pintu kamarku dan
berteriak dari luar. Aku balas teriak “Enggak!” sekeras-kerasnya tanpa sadar
kalau suaraku terdengar serak dan sengau.
Sial! Ketauan, deh, kalau aku lagi nangis. Lagian si Mama apaan, deh?
Anaknya lagi -ceritanya sih- sakit juga, malah diajak pergi ke salon. Bukannya
ke rumah sakit, gitu---Yaaaa..., at least
klinik lah minimal.
“Zeyl, kamu kenapa? Kamu nangis?” Sedetik kemudian Mama
berteriak lagi. Teriakan Mama kali ini bernada panik. Aku diam, nggak mau
ngejawab. Kutenggelamkan wajahku di bantal besar hingga teriakan Mama nggak
terdengar lagi. Oke, fix sepanjang
harian ini akan kuhabiskan dengan TIDUR!
Lima menit berlalu.......
“Hhhh....,”
“Dari awal Mama juga udah yakin kalau anak gadis Mama itu
nggak benar-benar sakit. Kamu bohong, kan?”
Desahan napas khawatir Mama terdengar jelas di kupingku. Aku
refleks membuka mata seraya menjauhkan bantal dari wajah, sekedar memeriksa
suara Mama tadi beneran nyata atau cuma halusinasiku aja.
“Mama?” kagetku mengernyit disaat mendapati Mama yang
tau-tau udah duduk manis aja di tepi ranjang. Bukannya Mama tadi di luar, ya?
Aku yakin, kok, udah mengunci pintu kamarku dengan rapat. Kuncinya bahkan aku
simpan di laci meja belajar, tuh! Kok
bisa?
Mama memperlihatkan serencengan kunci di telapak tangannya.
Sepasang matanya yang teduh seakan menjelaskan,
kamu-lupa-yah-kalau-Mama-kan-punya-kunci-serep-untuk-seluruh-ruangan-di-rumah-ini?
Dan, sialnya, bukannya lupa, tapi aku memang nggak tau. Aku mendecak sebal
lantas bangun. Duduk menyender di kepala ranjang, siap untuk di interogasi.
“Jadi namanya Rhezaa?” Mama menunjuk buku tulisku yang
terbuka di meja belajar dengan dagu lancipnya. Aku mengikuti arah pandangnya.
Di sana tertulis nama Rhezaa dengan huruf kapital dan sebuah gambar hati yang
patah terbagi dua. Ditemukannya barang bukti seperti ini aku nggak bisa ngelak.
Aku menghambur ke pelukan Mama dan menangis LAGI. Gila! Aku nggak tau udah
berapa banyak aku menangis sepagian ini. Yang aku tau hanyalah belum ada
tanda-tanda air mataku ini akan habis. Apa aku bakal menangis seharian seperti
apa yang kurencanakan?
Masih dalam pelukan hangat Mama aku menceritakan semuanya
dengan rinci. Dari awal pertama kenalan, sahabatan, lalu diam-diam menyimpan
rasa suka seperti sekarang. Sifat Rhezaa kudeskripsikan dengan gamblang, nggak
ada yang ingin kututup-tutupi. Bahkan, pada Mama, aku menyebutkan nama-nama
mantan Rhezaa yang memang udah kuhafal di luar kepala. Mama memandangku takjub.
Selesai bercerita dia mengelus punggungku dengan sayang.
“Dia playboy.”
“Memang!”
“Trus, kalau udah tau gitu, kenapa kamu masih aja suka sama
dia?”
Dalam rengkuhannya aku menggeleng lemah. “Dunno. I don't have any reason.”
“Kamu bener-bener jatuh cinta?”
“Mungkin.”
“Dengan seorang playboy?”
tanya Mama lagi seakan kurang yakin. Aku gemes!
“Mamaaaaaa~” Dengan wajah di tekuk aku melepaskan
pelukannya.
“Okey, okey. Mama pikir, seharusnya menarik hati seorang playboy itu adalah pekerjaan mudah.
Kamu tau, Rozeyl?” Tangan lembut Mama merangkum wajah bundarku. “Cowok player gampang berpaling dari satu ‘kupu-kupu’ ke ‘kupu-kupu’ yang
lain. Tentunya dari ‘kupu-kupu’ yang indah ke ‘kupu-kupu’ yang menurutnya jaaaaaauh lebih indah. Buat
dia nggak butuh waktu lama untuk sekedar memiliki. Ingat, memiliki bukan
mencintai.”
Aku tercenung. Perandai-andaian Mama membuat sepotong
curhatan Rhezaa di EdelwÊiss café kemarin terngiang-ngiang lagi di telingaku.
“......Setelah
seminggu lebih gue dibuat galau ama tuh cewek,”
“......Setelah
seminggu lebih gue dibuat galau ama tuh cewek,”
“......Setelah
seminggu lebih gue dibuat galau ama tuh cewek,”
Aku jadi ragu kalau Rhezaa jatuh cinta beneran sama Metha.
Aku yakin kedekatan mereka terjalin nggak lebih dari sebulan
belakangan ini. Bahkan, mungkin hanya kurang dari sebulan. Dan, Rhezaa dibikin
galaunya baru seminggu. SE-MING-GU! Walaupun dia bilang lebih, paling lebihnya
cuma satu-dua hari. Aku kenal Rhezaa! Dengan waktu galau yang sesingkat itu,
gimana bisa dia nembak Metha dengan embel-embel cinta?
Oh Gad! Apa
sebegitu mudahnya Rhezaa menganggap dirinya jatuh cinta? Sementara aku harus
meyakinkan hatiku berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dulu sebelum akhirnya
percaya bahwa aku memang di landa virus merah jambu.
Mendadak, sepercik harapan muncul di benakku. Rhezaa nggak
mencintai Metha! Dan, kalau aku bisa berpenampilan lebih menarik dari Metha,
aku yakin Rhezaa akan melirikku dan berubah mengejarku. Eh, seperti itu bukan, sih, maksud Mama?
“Kamu itu cantik, Sayang.” Mama kembali bersuara. Dalam hati
aku mengiyakan ucapan Mama. Iya, aku cantik! Dasar si Rhezaa aja yang buta!
Nggak ngelihat kalau ada cewek secantik aku yang berdiri di sampingnya. Oh,
bukan. Bukan Rhezaa yang buta, tapi emang dasar akunya aja yang selama ini
nggak pernah memperhatikan penampilanku sebagai perempuan. Well, harus kuakui bersahabat dengan Rhezaa membuatku tanpa sadar
mengabaikan sisi feminim-ku. Aku jadi ketularan cuek dan selengekannya dia.
Bayangkan, selama dua tahun terakhir rasanya aku baru tiga-empat kali, deh,
mengenakan aksesoris di kepala. Selebihnya rambut sebahuku tergerai polos tanpa
hiasan apa-apa. Wajahku? Nggak pernah ku poles dengan apa pun kecuali bedak.
Itu pun tipis! Aku bahkan sampai nggak bisa ngebedain mana wajahku yang dipoles
bedak dan mana wajahku yang bener-bener natural. Semua terlihat sama! Dan,
karena bibirku nggak dilapisi lipbalm,
setiap kali ngerasa kering aku selalu menjilatinya dengan lidah. Hmmmmm..., kalau seandainya
penampilanku di make-over sedikit aku pasti terlihat lebih
cantik mengalahkan Metha. Fine, Metha
boleh punya body lebih tinggi
dibanding aku. Tapi, aku pikir nggak semua cowok deh, ya, pengen pacaran sama
tiang listrik! Badan mungil sepertiku juga bisa, kok, menarik perhatian cowok
termasuk............, Rhezaa.
“Ma, ajakan ke salon tadi masih berlaku, nggak? Aku mau,
kok.” kataku tiba-tiba. Mama memutar kedua bola matanya lalu mengangguk ketika
melihatku yang menatapnya penuh harap.
Whoaaaaa! Aku udah
bener-bener nggak sabar menantikan jam dua siang. Membayangkan akan seperti apa
jadinya aku di make-over nanti, tanpa
sadar membuatku tersenyum-senyum sendiri. Ternyata belum. Aku belum terlambat.
•••
Selama ini aku nggak pernah tau gimana rasanya menjadi pusat
perhatian. Gimana rasanya ketika semua mata tertuju pada kita itu aku nggak tau
seperti apa.
Sampai akhirnya tiga hari setelah meliburkan diri aku pun
kembali bersekolah dengan penampilan baru. Penampilan baru yang membuat self confidence-ku naik berkali-kali
lipat dan yaaaa....., aku merasakan itu. Merasakan seperti apa menjadi pusat
perhatian, yang dihujani tatapan kagum dari berbagai sudut.
“Rozeyl,”
“Selamat pagi, Rozeyl.”
“Aku bawain tas kamu, ya?”
Sapaan, tawaran, berikut siulan-siulan heboh menyambutku
yang melangkahkan kaki dengan anggun di koridor. Great! Nggak sia-sia, deh, aku say
“good bye” pada rambut dora
milikku demi mendapatkan rambut lurus yang panjangnya melewati bahu. Meskipun
ini nggak alami bukan berarti buruk. Salon langganan Mama memiliki rambut palsu
berkualitas baik yang mampu tersambung di rambutku tanpa ada kesan buatan. Dan,
ya, aku juga harus say “thanks” sama mbak Reni -pegawai di sana-
yang kemarin mengajariku bagaimana caranya menggunakan make-up dengan hasil
cantik tapi tetap terlihat natural, alami. Nggak ribet sampai-sampai aku bisa
mempraktekkannya walau baru diajarinya satu kali.
Demi apa, sih? Hari ini aku tuh merasa seperti terlahir
kembali. Aku bener-bener menikmati hasil make-overku, nggak peduli dengan tatapan iri
segerombolan cewek-cewek yang berbisik sinis di sepanjang koridor. Entah apa
yang tengah mereka bisikkan; Poniku yang di-blow
sempurna atau rok abu rokok-ku yang panjangnya di atas lutut? Dunno, I don't care. Aku hanya membalas tatapan mereka dengan senyuman
miring yang -sumpah- baru sekali ini kuperlihatkan. Senyuman ala-ala gadis
populer di sinetron dengan dagu yang sedikit terangkat serta pandangan lurus ke
depan. Oh ya, ngomong-ngomong soal populer, melihat penampilanku di cermin tadi
pagi, Shayla Si most popular girl di
sekolahku mah lewaaaaat......
Shayla aja lewat apalagi Metha!
Aku tersenyum angkuh sambil ngebayangin akan seperti apa
reaksi Rhezaa ketika melihatku nanti. Apa dia akan terkejut lalu memandangku
dengan takjub? Terkejut lalu melongo dengan bodoh? Atau malah...., terkejut
lalu biasa aja? Memikirkan reaksi yang ketiga aku memberengut sebal. Oke, Sayang, please jangan diambil pusing,
deh! Toh, itu baru kemungkinan, kan? Belum terjadi ini.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, seakan ngebuang jauh
kemungkinan terburuk yang tengah kupikirkan tadi seraya melangkah dengan lebih
pasti.
Dan, tepat di langkah ke-lima, ayunan kakiku yang pasti itu
spontan terhenti. Dengan berat sepasang mataku menangkap sosoknya. Iya! Sosok Rhezaa
yang muncul di salah satu tikungan sambil-menggamit-lengan-Metha. Duuuuuuh..... Kenapa pagi-pagi udah dikasih
pemandangan yang nyelekit gini, sih?! Aku menggigit bibir untuk beberapa
detik. Kukepalkan tanganku kuat-kuat, lalu mendengus ketika mata itu juga
menatap mataku dengan pandangan yang menelisik; kayak kenal tapi siapa ya? Begitu kira-kira arti tatapan Rhezaa menurutku.
Buru-buru aku membuang muka sebelum akhirnya melanjutkan
langkahku yang sempat tertunda.
Aku berharap Rhezaa nggak mengenaliku dulu, tapi sialnya di
sela-sela langkahku yang lebar ini aku malah mendengar namaku dipanggilnya.
“Rozeyl!”
Entah karena rasa kesel ngelihat dia gandengan tangan sama Metha
atau apa, aku nggak nyahut atau bahkan menelengkan kepala sedikit pun ke
arahnya. Aku tetap berjalan nggak peduli, berharap Rhezaa ninggalin Metha demi
menyusulku sampai kelas. Dan, bener banget! Harapanku nggak sia-sia karena
sewaktu aku menaruh tas di atas meja dia pun muncul di ambang pintu kelas.
Nyamperin aku dengan napas yang kudengar ritme-nya udah nggak beraturan. Rasain!
“Rozeylia Andini Maharani, kan?” Pertanyaan bodohnya nyaris
membuat tawaku meledak kalau aja aku nggak ingat aku lagi marah saat ini.
Sambil sok sibuk memerhatikan kuku-kukuku yang di manicure aku pun menyahut, “Emangnya siapa lagi? Lo nggak
berpikiran kalau gue ini Angelina Jolie atau Emma Watson, kan?”
Sahutanku barusan dibalas dengan dengusan besar oleh Rhezaa.
“Sialan lo! Dipanggil bukannya noleh juga.”
“Gue nggak denger.” balasku seraya memperlihatkan tali
headshet yang sedikit kukeluarkan dari saku baju. Bohong emang dan sialnya
Rhezaa tahu kalo aku tengah berbohong.
“Heh! Mata gue minus-nya nggak lebih dari O,5 ya, dari jarak
kita tadi gue bahkan bisa ngeliat kalau lo nggak pake anting-anting. Pengen
ngebohongin gue lo?”
Kupejamkan mata sesaat lalu melek lagi ketika tau Rhezaa menunggu
respon dariku.
“Fine, gue emang
sengaja nggak denger teriakan lo. Oh, bukan. Pura-pura nggak denger lebih
tepatnya.”
“Kenapa lo jadi ngeselin gini, sih?! Lo marah sama gue?”
Rhezaa mengernyitkan dahinya dan aku menjulingkan mata
dengan gemas.
“Jelas! Lo ninggalin gue gitu aja di EdelwÊiss café tiga
hari yang lalu. SENDIRIAN dan nggak nganterin gue pulang!” Ditambah lagi elo jadian sama Metha disaat gue udah mantepin hati buat
nembak lo! Kurang jahat apa lo, ha?! sambungku nggak bersuara. Aku kembali
mengingat kejadian di sore itu. Dimana Rhezaa ninggalin aku dengan kata “sorry” ketika dia mendapat telepon
dadakan dari Metha. Gimana aku nggak kesel coba? Mungkin karena itu juga Rhezaa
lupa kalau aku pengen ngomong sesuatu ke dia. Inget waktu aku bilang,
“Kebetulan banget! Gue juga sama.” kan? Nah, malamnya Rhezaa nelepon dan
nanyain hal sama apa yang pengen aku bilang ke dia itu, tapi aku mengelak
dengan alasan kalau aku sendiri lupa. Untung banget Rhezaa bukan tipe orang
yang suka maksa meski alasanku mungkin terdengar aneh di telinganya.
“Lo nggak pernah kek gitu sebelumnya, Zaa. Kemarin yang
pertama sejak lo taken sama Metha.”
Aku kembali bersuara disaat Rhezaa masih berusaha mengingat itu. Pandangannya
yang semula menerawang ke langit-langit kelas beralih ke wajahku dengan tatapan
serius. Mati! Jangan-jangan aku salah
ngomong lagi!
“Bentar, bentar. Lo nggak seneng gue jadian sama Metha?”
tudingnya mengagetkanku. Dengan cepat aku menggeleng.
“Bukannya gitu, tapi----”
“Okey, gue ngerti. Gue minta maaf.” potong Rhezaa lembut
sembari meraih telapak tanganku yang tergeletak bebas di atas meja.
Menggenggamnya beberapa lama sampai akhirnya aku sendiri yang menariknya karena
rasa gugup yang datang tiba-tiba. Duh!
Apaan, deh?
“Nggak masalah. Asal nggak lo ulangin aja.”
“Iya, nggak kek gitu lagi, deh! Janji.” Rhezaa mengedipkan
sebelah matanya yang ku sambut dengan senyuman geli. Maka runtuhlah dinding es
yang semula membentengi kami.
“By the way, lo
cantikan hari ini. Gue nyampe pangling tadi. Tiga hari di Bandung lo oplas,
yah, itu muka?”
Dan, topik pembicaraan beralih ketika Rhezaa meneliti
penampilanku dari atas sampai bawah. Aku tertawa lepas lantas mengangguk
menanggapi candaannya.
“Gimana? Udah mirip Emma Watson belum guenya?”
“Di mata gue cantikan elo malah.”
“Serius?!” Aku membulatkan mata senang.
“He'emph!”
“Kalo sama Metha?”
Rhezaa diam bentar, berlagak mikir. Detik selanjutnya dia
mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat ke arahku dan tau-tau berbisik.
“Jauh-cantik-elo-banget-sumpah.”
Homaigadddd! Aku speechless. Di puji dari jarak sedekat
itu membuat pipiku memerah padam. Buru-buru aku memalingkan muka dengan
senyuman malu-malu.
“Perez!”
“Gue jujur kali. Serius, nggak bercanda.”
Disaat aku nyaris terbang karena pujiannya Rhezaa segera
menambahkan, “Eh, tapi lo jangan kasih tau Metha, ya, kalo gue bilang lo lebih
cantik dari dia. Kalo sampe dia tau gue ngomong gitu bisa diputusin gue.”
Sial!
Kenapa dia suka banget, sih, “ngelempar” lalu “ngejatuhin”
aku tiba-tiba kayak gini?
Aku menekan dadaku yang mendadak perih.
Entahlah, ini lebih sakit daripada kemungkinan terburuk yang
tadinya kupikirkan. Hmh, terkejut lalu biasa aja rasanya lebih baik daripada
terkejut, takjub, baru kemudian berubah menjadi biasa aja seperti ini. Oh,
nggak, lebih baik lagi kalau aku nggak melakukan make-over sama sekali.
Lebih baik lagi kalau dari awal aku sadar Rhezaa telah berubah. Dia udah bukan Rhezaa-ku
yang playboy. That's why dia nggak tertarik sama aku meski dia mengakui aku
jauh-lebih-cantik-dibanding-Metha-pacarnya. Trus, kurang bukti apa lagi
sekarang kalau Rhezaa bener-bener mencintai Metha? Rasanya udah jelas, kok.
Aku berbalik kembali menghadap Rhezaa. Kuhirup napas
dalam-dalam lalu mengangguk disertai senyuman tulus yang aku-harap-banget nggak
tampak be made atau dipaksakan.
Fine, mungkin udah
saatnya aku berdamai dengan kenyataan.
Berusaha sadar kalau harapan itu udah nggak ada.
Mencoba sadar kalau semuanya memang udah terlambat.
Hmh, TER-LAM-BAT.
•••
Mei 2013.
Enam bulan pasca patah hati.
Enam bulan terberat yang pernah kulewati.
Dari yang tadinya nggak terbiasa, mencoba terbiasa, terpaksa
untuk terbiasa, hingga akhirnya terbiasa dengan sendirinya.
Well, semua butuh
proses. Semua butuh waktu.
Meski nggak munafik, seminggu pertama aku emang rajin
ngeluarin air mata untuk Rhezaa. Minggu kedua pun masih sama. Minggu ketiga,
keempat, nyaris sebulan lebih keadaannya nggak berubah. Aku mendadak
sentimentil. Nggak bisa denger lagu mellow
sedikit bawaannya pengen nangiiiiiii.....s aja. Terutama lagu “Fall For You”. Kalau denger lagu itu,
udah, deh! Sejam aja nggak cukup buat nangis.
Lalu, masuk bulan kedua barulah aku move on sedikit demi sedikit. Move
on dalam artian merelakan, ya, bukan melupakan. Aku terlalu sibuk belajar
untuk persiapan UN yang tinggal menghitung bulan sampai-sampai nggak ada waktu
lagi buat ngeratapin cowok yang satu itu. Kalau pun ada, aku juga udah
terbiasa. Terbiasa sedih dalam diam, tentunya. Pppffttttt......,
Jangan kalian pikir setelah hari itu aku menghindari Rhezaa.
Menjaga jarak gitu? Enggak. Kami masih bersahabat baik. Walaupun kebersamaan
kami nyaris hilang -karena Rhezaa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Metha
dan itu wajar- tapi, sesekali dia masih ngejadiin aku “tong” curhatnya, kok.
Terakhir dia curhat ke aku kalau dia mau ngelanjutin study-nya di Aussie. Yang jadi masalahnya, dia nggak tau gimana
caranya ngejelasin ke Metha tentang kemungkinan longdistance yang nantinya harus mereka jalanin. Dia takut Metha
nggak setuju gitu, deh.
Sial! Apa dia
nggak takut kalau aku juga nggak setuju? Kenapa dia cuma takut kalau Metha
doang yang nggak setuju dengan rencananya itu? Think, deh! Lamaan mana, sih, dia sahabatan sama aku dengan dia
jadian sama Metha? Dia nggak berat ninggalin aku, gitu? Hoh!
Waktu berputar dengan cepat. Nggak terasa UN udah berlalu, farewell party pun udah dilangsungkan
dua hari setelah diadakannya UN. Sekarang kami -yang anak kelas 12- free sambil menunggu hasil kelulusan
yang diumumkan pertengahan bulan nanti.
Aku mengisi hari-hari kosongku itu dengan hunting kampus di
internet. Nggak kayak Rhezaa yang berniat lanjut ke Aussie, aku pengen kuliah
di sekitar Jakarta aja. Nggak usah jauh-jauh, deh! Rencananya, sih, kalau nggak
kuliah jurusan Kedokteran yaaaa...., Hubungan Internasional gitu. Diplomat atau
dokter kecantikan kayaknya bagus juga untuk masa depan.
Aku masih berkutat dengan macbook-ku ketika Mama datang
memberitahu bahwa di luar ada teman yang pengen ketemu aku. Cowok. Aku langsung
berpikir kalau itu Rhezaa, karena cuma dia satu-satunya cowok yang tau alamat
rumahku. Tapi, mau ngapain dia?
“Temuin gih!”
“Iya, iya, bentar.” Tanpa menutup macbook-ku yang terbuka
aku langsung berlari kecil menuju teras.
“Zeyl!” Dan, belum juga aku nyampe teras, suara yang udah aku hafal banget timbre-nya itu
menyerukan namaku dari pintu rumah yang terbuka lebar. Apa ku bilang? Rhezaa,
kan? Aku tersenyum refleks menyambutnya, “Eh, elo Zaa. Ayo masuk.”
“Nggak usah, di luar aja.” tolaknya cepat.
Aku mengangkat bahu pengganti kata “terserah” lalu ikut
duduk di bangku panjang yang udah lebih dulu Rhezaa tempati.
“Mau minum apa?” tawarku kemudian.
“Makasih, tapi gue nggak haus.”
“So?”
“Biasalah. Akhir-akhir ini gue ngebutuhin lo untuk apa lagi,
sih, kalau bukan curhat?”
Mendengar kata “curhat” keningku spontan berkerut.
“About apaan nih?”
“Metha.”
Jeda beberapa lama setelah Rhezaa menyebutkan nama itu. Ku
pejamkan mata sesaat lalu berdecak pelan.
Lagi? Kenapa, sih, Metha
mulu? Nggak ada yang lain, apa, yang bisa dijadiin bahan curhatan selain itu
cewek? Aku menghela napas seraya menatap kosong pagar rumahku dengan
berbagai macam perasaan yang tertahan.
Marah, cemburu, kesel, muak, bete, entah perasaan apa lagi
yang berkumpul di benakku sekarang efeknya cuma satu; PERIH. Hmh, perih.
Sangking perihnya aku mesti ngegigit bibir bawahku kuat-kuat biar tangisku
nggak pecah depan Rhezaa. Jangan, seenggaknya jangan sekarang, Zeyl. Gue tau
banget lo sakit hati, tapi meweknya entar aja tunggu Rhezaa pulang. Ya? batinku
bernegosiasi.
“Gue putus sama Metha.”
Lalu, tanpa pernah kuduga, sebaris kalimat itu pun keluar
dari mulut Rhezaa. Terdengar ketika batinku masih sibuk bermonolog, fokusku
lagi nggak di tempat. Nggak heran kalau aku meresponnya dengan mata memicing
dan mulut setengah menganga. Pergerakan refleks dari yang namanya kaget. Aku nggak salah denger, kan, ya?
“Apaan? Lo bilang apaan barusan?”
“Gue. Putus. Sama. Metha. Kemarin.” ulangnya dengan lebih
jelas. Jelas banget hingga membuat mulutku semakin terbuka penuh. Untungnya dua
detik kemudian aku bisa mengendalikan rasa kagetku itu dengan kembali menutup
mulutku lantas menatap Rhezaa lurus-lurus.
“Lo putus sama Metha?” Rhezaa berdehem mengiyakan.
“Demi apa? Kok, gue nggak percaya?”
“Demi Tuhan!” tukasnya gemes. “Kenapa lo nggak percaya, ha?”
“Ya, abisan muka lo nggak ada sedih-sedihnya gue liat.”
Kuteliti kembali wajahnya dengan seksama dan......., dia tetap terlihat
biasa-biasa aja. Nggak menunjukkan ekspresi patah hati sama sekali. Gimana aku
bisa percaya coba? Yaaaa..., emang sih, selama mereka jadian aku rajin berdoa
supaya mereka putus. Tapi, aku nyadar diri kali! Doa jelek gitu mana mungkin di
ijabah, sih?!
“Dan lagi,” tambahku, “Lo sama dia udah jadian nyaris
setengah tahun. Untuk ukuran playboy
macem lo, itu tuh waktu pacaran yang lama tau nggak? Aneh aja kalo tiba-tiba
kalian putus kek gini.”
Rhezaa membuang napasnya dengan berat sebelum akhirnya
melemparkan tatapan sendunya yang membuat aku tiba-tiba kasihan sama dia. Aduh! Dia beneran apa, ya?
“Tapi, emang begitu kenyataannya, Zeyl. Kami udah putus.
Masalahnya sepele. Dia nggak sanggup LDR. Waktu gue tanya LDR atau putus,
dengan entengnya dia langsung jawab putus. Gila!”
“Lebih gilanya lagi, besoknya gue nggak sengaja ketemu dia
di Senayan gandengan tangan sama Edho. Edho yang mantannya itu! Yang dia
putusin demi nerima cinta gue. Lo inget, kan? Padahal, di Senayan waktu itu dia
ngeliat gue, tapi dia bersikap seakan-akan gue ini bakteri macem apaaaaa....,
gitu yang nggak bisa dilihat pake mata telanjang. Sial!”
“Gue curiganya mereka balikan, deh! Kalau bener dugaan gue,
sumpah gue nggak habis pikir, kenapa giliran gue yang jatuh cinta
ujung-ujungnya malah kek gini coba? Iya, iya, gue akuin selama ini gue emang
seneng mainin perasaan perempuan. Sampai-sampai gue lupa ada saatnya di mana
giliran perasaan gue yang bakal dipermainkan.”
Setelah puas menumpah uneg-unegnya, Rhezaa menarik napas
penuh penyesalan.
“Menurut lo apa ini yang namanya karma? Rasanya sakit, ya?”
“Zeyl, lo dengerin gue kan, Zeyl? ZEYL?!”
Aku mengerjapkan mata sesaat. “Jadi beneran?” Setelah sekian
lama mematung dengan bibir yang mendadak kelu akhirnya aku bisa bersuara juga.
Ku tepuk bahu Rhezaa pelan di saat dia memutar bola matanya jengah. “Maaf, gue
pikir tadinya lo bercanda. Abisan ekspresi lo biasa banget gitu.”
“Udah capek gue galau semalaman.”
“Eh, tapi, lo dengerin curhatan gue yang panjang lebar tadi,
kan? Jangan sampai gue ngulang nih, bisa-bisa mulut gue berbusa entar.”
Aku terkekeh ringan. Sedikit salut karena dalam keadaan
kayak gini pun sisi humorisnya ternyata nggak hilang. Dia masih bisa bercanda.
“Iya, bawel, gue denger! Bener tebakan lo, Zaa. Ini yang
namanya karma.”
“Tapi, kan, gue udah tobat waktu jadian sama Metha. Masa
tetep di kasih karma?” keukeuhnya lagi membela diri. Ini orang kepala batu, ya,
dasar!
Ku julingkan mataku dengan asal. “So what? Yang namanya karma itu cerminan dari perbuatan buruk lo
terhadap orang lain. Nggak peduli mau lo udah tobat atau belum, hal buruk yang
pernah lo lakuin ke orang-orang itu bakal terjadi ke diri lo sendiri. Bahkan
mungkin rasanya lebih sakit dari apa yang mereka rasain.”
“Elah, Zeyl. Ngomong lo sok bener!” cibir Rhezaa menoyor
kepalaku.
Aku mencak-mencak. “Sialan lo! Emang bener gitu, kali.”
sungutku sambil merapikan poniku yang berantakan akibat toyorannya tadi. Rhezaa
nyengir kuda.
Dia......., dia
beneran udah kembali?
Seneng sih, seneng parah waktu tau mereka putus. Rhezaa-ku
balik lagi. Tapi, nggak tau kenapa, pas tadi ngelihat mata jenaka itu berpijar
sedih -walaupun dia lagi nyengir- aku, kok, jadi nyesek sendiri? Ikut ngerasa
galau. Ikut ngerasa perih, gitu. Entahlah.
Aku diam. Rhezaa diam. Kami sama-sama terdiam. Jeda untuk
yang kedua kalinya pun terjadi. Aku nggak tau apa yang ada di pikiran Rhezaa
sekarang. Aku harap, sih, dia nggak lagi mikirin gimana caranya biar bisa
balikan sama Metha. Dengan cara ngebatalin niatnya yang pengen kuliah di
Aussie, maybe? Duh! Jangan dong, ah! Hatiku mendadak panik sendiri.
Keheningan yang tadinya menguasai kami akhirnya pecah juga
akibat suara Rhezaa yang menggema lirih.
“Gue jadi takut jatuh cinta lagi.” katanya.
Kontan aku pun menolehkan kepala. “Kok gitu?”
Tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan Rhezaa
menjawab, “Toh nggak akan ada cinta yang tulus buat playboy macem gue.”
“Kata siapa? Ada kok!” ceplosku tanpa sadar.
“Gue.” Bego! Bukannya
mengatup mulut aku malah semakin blak-blakan. Berkata terus terang tanpa ada
setitik pun keraguan. Okey, kita anggap aja hatiku yang tengah berbicara saat
ini.
“Gue suka sama lo, Zaa. Jauh sebelum lo deket sama Metha lalu
jadian sama dia. Yaaa..., gue juga nggak tau kapan tepatnya perasaan itu
muncul, rasanya ngalir aja, gitu. Tau-tau gue suka deg-degan sendiri kalo ada
di deket lo. Gue juga suka cemburu kalo tau lo dapet gebetan baru. Rasanya gue
pengen marah. Tapi, who am I, gitu?
Gue cuma sahabat lo yang nggak berhak ngelarang lo jadian sama siapa pun itu.
Gue---”
“Zeyl?”
“Duh! Jangan dipotong dulu! Entar konsentrasi gue ilang,
nih!” protesku mengangkat sebelah tangan ke udara, tanpa menoleh. Seketika Rhezaa
diam, mungkin sambil menahan rasa kaget juga, aku nggak tau. Aku terus nyerocos
tanpa menatap Rhezaa sama sekali. Kualihkan pandanganku ke mana aja asal nggak
ke mukanya dia. Bukannya apa, tapi kalau aku ngomong sambil natap Rhezaa bisa-bisa
nyaliku ciut. Keberanianku hilang. Setelah serempat jalan mengaku gini aku
nggak mungkin berhenti, kan? Finally,
ku putuskan untuk menyelesaikan ini sekarang juga dalam-keadaan-sadar-sepenuhnya.
“Gue nggak pengen kehilangan lo. Gue pengen lo selalu ada di
sisi gue bukan sebagai sahabat, tapi sebagai sosok yang ngelindungin gue. Gue
pengen lo jadi ‘payung’ gue, Zaa. Tapi, gue nggak berani
minta itu ke elo.”
“Dan akhirnya, waktu tau lo ngejomblo selama hampir setahun
gue seneeeeeeeng banget. Gue pikir ini kesempatan gue. Ini saatnya gue nembak
lo. Gue kesampingkan rasa gengsi gue, nggak peduli lagi sama yang namanya malu
karena gue nggak mungkin nunggu lo yang nembak, kan? Kelamaan. Dan lagi, gue
juga nggak tau gimana perasaan lo ke gue. Jadi, mau nggak mau gue yang harus
ngaku duluan.”
“Bodohnya gue orang yang kelewat plin-plan, Zaa. Pengen
nembak lo aja gue maju-mundur dulu kek setrikaan. Sedetik yakin, sedetik
kemudian ragu. Akibatnya apa coba? Gue terlambat. Waktu keberanian gue udah
terkumpul sepenuhnya gue harus nerima kenyataan pahit kalo elo udah taken sama Metha.”
“Sore di EdelwÊiss café, lo inget nggak? Kayaknya nggak
perlu dijelasin lagi lo udah bisa ngebaca perasaan gue waktu itu, deh!”
“Malu, Zaa. Selain malu yaaaa...., sakit. Sakitnya nggak
nahan sampe-sampe besoknya gue absen dengan alasan ke Bandung. Padahal lo tau?
Nyatanya gue nangis seharian di kamar.”
“Gue nggak terima lo jadian sama Metha. Demi Tuhan gue nggak
terima! That's why tiga hari kemudian
gue ngelakuin make-over. Itu semata-mata demi menarik
perhatian lo, Zaa. Sayang banget, elo-nya udah berubah. Lo bukan lagi Rhezaa sahabat
gue yang player.”
Inget itu, aku pun tertawa dan menangis dalam waktu yang
bersamaan. Rhezaa sok gantle.
Tangannya terulur maju pengen ngusap air mata di pipiku, tapi aku lebih dulu
menepisnya lembut. Ku usap sendiri air mataku dengan punggung tanganku yang
bebas lalu kutarik napas dalam-dalam.
“Well, seiring
berjalannya waktu akhirnya gue bisa juga terima kenyataan. Gue bisa terima kalo
emang lo sama Metha udah jadian.” lanjutku menelengkan kepala ke arah Rhezaa.
“Yaaaa...., walaupun nggak semudah itu merelakan karena dalam diam perasaan gue
ke elo nggak berubah, Zaa. Masih sama. Sampe sekarang.” Ku akhiri pengakuan itu
dengan satu senyuman yang dibalas Rhezaa dengan wajah datar. Dia menatapku
dalam diam. Masih diam setelah enam puluh detik berlalu hanya dengan menatapku
sampai aku risih sendiri.
“Kok, lo diem?” Kedua alisku saling bertautan.
“Katanya tadi gue nggak boleh nyahut dulu.”
Aku menghentakkan kaki ke ubin tanpa sadar. Nyebelin!
“Ya, tapi kan sekarang gue udah selesai ngomongnyaaaaaa~”
jeritku gemes.
“Oh.”
Oh? Dia cuma bilang
oh? What the hell is this? Mendengar responnya itu aku melongo kayak orang
bodoh.
“Lo nggak kaget?”
“Sinetron banget kalau sampe gue pake acara kaget gitu.”
kelakarnya disertai tawa. “Lagian, gue udah curiga dengan perubahan-perubahan
sikap lo semenjak lo tau gue jadian sama Metha. Lo mendadak sentimen, tau
nggak?”
“Gue? Sentimen? Itu wajar, kan? Mungkin lo nggak percaya
ini, karena lo sendiri pernah bilang nggak mungkin gue bisa naksir cowok.
Rasanya aneh.” Rhezaa berhenti tertawa ketika aku mengingatkannya tentang yang
satu itu. Tatapan jenakanya seketika berubah menjadi tatapan bersalah yang minta maaf.
“Gue nggak ngerti kenapa lo bisa berpikiran kek gitu. Apa
karena gue nggak pernah nerima satu pun cowok yang nembak gue? Kalo iya, gimana
bisa gue jadian sama orang yang sama sekali nggak gue suka? Gue sukanya cuma
sama elo, Zaa. Nggak yang lain.”
“Tapi, Zeyl, gue playboy.”
beritahu Rhezaa yang di telingaku lebih terdengar seperti; lo-mencintai-orang-yang-salah.
Sambil tersenyum kecut aku mengangguk. “Gue udah tau. Kalo
boleh milih juga gue nggak pengen naksir playboy
macem lo. Lo pikir enak apa? Setiap hari bawaannya makan ati.”
“Tapi---”
Tapi apa lagi,
siiiiih?! Aku berdecak pelan seraya mengibaskan sebelah tanganku tepat di
depan wajah Rhezaa.
“Udah, deh! Lo tenang aja. Gue nggak lagi nembak lo, kok. Lo
nggak perlu susah-susah cari alasan buat nolak gue gitu karena yang tadi itu
cuma pengakuan. That's it! Nggak
lebih.” sambarku dengan nada kesel yang tadinya pengennya disembunyiin, tapi
sayang nggak berhasil kulakukan.
Out of the blue,
dia malah nyahut, “Kalo gue pengen lebih?” What?!
“........”
“Kalo gue pengen lo jadi pacar gue?”
Aku masih bungkam. Memandang Rhezaa skeptis dalam
kebungkamanku itu lalu mendesis, “Lo gila!”
“Gue serius.”
“Lo pikir gue seneng di tembak karena rasa kasihan, ha?”
“Siapa yang kasihan sama lo?” Rhezaa menggelengkan kepalanya
dua kali.
“Gue nembak lo karena gue juga ada rasa sama lo. Bisa di
bilang gue naksir lo dari dulu. Tapi berhubung kita sahabatan dan gue juga
takut lo nggak punya perasaan apa-apa ke gue, terpaksa gue kubur dalam-dalam
keinginan gue buat milikin lo itu. Gue nggak pengen perasaan gue ke elo
ngerusak persahabatan kita. Ditambah lagi gue nggak pengen nyakitin lo dengan
ke-playboy-an gue.”
Aku nggak tau Rhezaa tulus atau nggak ketika mengucapkan itu
karena aku mengalihkan pandangan dari matanya. Tapi, yang pasti penjelasannya
membuat marahku sedikit demi sedikit mereda. “Jadi e-elo?” Nada bicaraku
melunak. Kutatap Rhezaa kurang yakin lantas mendengus besar. “Nggak! Gue nggak
percaya.”
Rhezaa membuka mulut hendak melayangkan protesnya tapi dia
kalah start dari aku yang lebih dulu
mengangkat suara lagi. “Emang iya gue suka elo. Gue pengen lo jadi milik gue
tapi nggak dengan terpaksa kek gini, Zaa.”
“Terpaksa apa siiiiih?!” Kulirik Rhezaa yang mengacak-ngacak
rambutnya frustasi. Detik selanjutnya dia pun membuang napas kejengkelannya.
“Okey, saat ini gue emang belum sepenuhnya mencintai lo tapi
gue tulus nembak lo, Zeyl. Bukan karena terpaksa, kasihan, atau apapun itu
menurut lo, whatever!” Dia berusaha
meyakinkanku.
“Atau lo pengen bukti? Coba, deh, lo merem.”
“.....”
Diamku dianggapnya “iya”. Perlahan tapi pasti Rhezaa bangkit
dari tempat duduknya. Lalu, tau-tau berjongkok di hadapanku dengan kedua tangan
yang bertumpu di lututku. Spontan aku bergidik, kaget.
“Mau ngapain lo?”
“Udah merem aja.”
Alarm tanda bahaya di tubuhku sepertinya lagi nggak
berfungsi dengan baik saat ini. Tanpa ragu aku mengikuti instruksinya dan
yaaaa...., ngebiarin bibir itu menyambar bibirku. Melumatnya lembut untuk
beberapa detik. Sial! First kiss-ku bener-bener diambil sama Rhezaa,
dan bodohnya aku malah menikmatinya. Emang, sih, aku nggak ngebalas ciuman
pertamaku itu. Tapi, aku membuka mulut seakan “welcome” dengan bibir ranum Rhezaa yang masuk lebih dalam lagi di
bibirku. Well, harus kuakui caranya Rhezaa
melumat bibirku seakan ngebuat aku melayang, terbang, lupa kalau aku masih ada
di bumi. Aku kehilangan kesadaran selama dia menciumku. Ketika bibirku
digigitnya pelan barulah aku sadar dan refleks memundurkan wajahku sepuluh
centi dari wajahnya. Sementara Rhezaa? Tanpa terlihat kikuk dia bangkit berdiri
dan kembali duduk di bangkunya. Aku jadi berpikir, udah berapa banyak cewek
yang selama ini dia cium? Aku yang ke-berapa?
“Baru lo. Elo yang pertama.” Dan, ternyata pertanyaan itu
nggak cuma ada di pikiranku doang tapi memang keluar asli dari mulutku. Rhezaa
menjawabnya sambil menatapku dalam-dalam. Dari sekian lama aku kenal dia, baru
kali ini Rhezaa menatapku se-intens itu. Aku seakan ditelanjangi oleh
tatapannya.
“Maaf, gue lancang.” Rhezaa kembali berbicara. “Tapi seenggaknya
dari ciuman gue tadi lo bisa ngenilai gimana perasaan gue ke elo. Lo bisa
ngebedain mana ciuman nafsu sama ciuman penuh cinta, kan?” tanyanya mengangkat
alis.
“Bego! Gue nggak pernah ciuman sebelumnya. Gimana gue bisa
ngebedain?” Sedikit malu aku menjawab pertanyaan Rhezaa. Sesekali kutolehkan
kepalaku ke belakang jaga-jaga takut Mama ngintip. Kalau sampai Mama tau
anaknya habis di cium, bisa-bisa Mama berpikiran yang nggak-nggak. Mama pasti
nyangka anaknya habis diajarin yang macem-macem sama ini cowok!
Lalu, ketika aku berbalik lagi ke depan Rhezaa merangkum
wajahku dengan kedua tangannya yang besar. Sensasi jantung jumpalitan yang udah
lama nggak kurasain muncul lagi. Muncul lagi ketika tangannya menyentuh
rahangku dengan hangat.
“Kalo gue nggak cinta sama lo, gue nggak mungkin nyium lo
selembut tadi. Perlu gue ulangin?”
“Lo gila!” Aku menjulingkan mata sambil tersipu-sipu.
Tawanya pun pecah dalam hitungan detik. “Jadi sekarang kita couple nih?”
“Hmh,” dehemku.
“Lo nggak masalah kalo kita LDR, kan?”
“Enggak. Gue bakal nunggu lo sampai lo balik.”
“Lo yakin?”
Aku menggangguk dua kali. “Kenapa enggak? Nungguin lo yang statusnya milik orang lain
aja gue bisa. Kenapa nungguin lo yang jelas-jelas udah milik gue sendiri, gue
malah nggak bisa?” Kutatap Rhezaa dengan curiga. “Atau jangan-jangan elo
lagi yang nggak yakin? Lo takut nggak bisa setia, kan?” tudingku memicingkan
mata.
Rhezaa melengos, disangkalnya tuduhanku tadi cepat-cepat.
“Lo tuh apaan, sih? Setengah tahun gue pacaran sama Metha tanpa satu pun selir
nggak cukup apa sebagai bukti kalo gue udah tobat?”
Aku mendelik dengan bahu terangkat sedikit. “Ya, udah. Kalo
gitu apa lagi yang mesti dipermasalahin?”
“Masalahnyaaaaa....,” Rhezaa menggantung kalimatnya sambil
menggeser letak duduknya hingga bener-bener berhimpitan denganku.
“Masalahnya?”
“Masalahnya gue pengen nyium lo lagi.”
Dan, dalam hitungan detik pipiku pun dikecupnya. Aku
kecolongan lagi!
“Iiiiiiiiiih........” Kuhujani perutnya dengan cubitan lalu
kami sama-sama tertawa bahagia.
Hmhhhhh.....,
Kalau aku tau akhirnya begini, aku nggak perlu repot-repot
ngerebut cintaku dari Metha. Toh, kalau
emang udah waktunya cinta itu bakal dateng dengan sendirinya, kok. Nggak
perlu dipaksa. So, kupikir yang
kemarin itu bukan terlambat cuma emang waktunya aja yang belum tepat. Rite? ☺
The End